Duuh, my Diary ….
Demi untuk mewujudkan kesanggupan yang telah aku ucapkan di hadapan Anggit, hari Minggu yang biasanya aku habiskan untuk menonton tayangan film kartun di channel televisi, sekarang harus aku gunakan untuk mencari tanah liat yang hanya ada di area petilasan keramat.
Berbekal cangkul yang sudah sedikit berkarat, aku ambil tanah liat dari petilasan keramat lebih dari satu ember. Karuan saja, para warga yang tadi berpapasan dengan aku pada menatap heran melihat aku menenteng satu ember berisi tanah liat. Tapi tentu saja aku tidak pernah kehilangan alasan yang masuk logika.
Namun sampai di rumah aku jadi bingung sendiri, my Diary! Kau kan tahu, aku tidak punya pengetahuan apa-apa soal membuat patung. Makanya hampir setengah jam lebih, aku pandangi saja tanah liat itu di belakang rumah. Ya, salahku sendiri sih, sudah tahu tak bisa membuat patung eh pakai sok-sokan menawarkan jasa membuatkan patung hanya karena ingin mendapatkan simpati saja. Hasilnya, sama dengan masuk ke mulut buaya!
Dalam kondisi terjepit itulah my diary, dalam hati tiada henti-henti aku menyebut nama Nini Diwut agar demit keriput itu mau datang dengan membawa pertolongan. Dengan telepati hati aku panggil Nini Diwut sambil menggenggam tanah liat yang kuambil dari petilasan keramat.
Dan tiba-tiba angin kencang datang menderu. Berputar-putar di sekitar tempatku berada sehingga menerbangkan daun-daun kering yang telah jatuh ke pekarangan belakang rumah. Sesaat kemudian angin itu berpendar menjadi satu dan melesat masuk ke ubun-ubunku. Tubuhku bergetar dengan hebat sampai bermandikan keringat.
Seiring dengan itu, my Diary … beberapa peralatan membuat patung datang dan bergerak dengan sendirinya. Dengan gerakan cekatan, barang-barang dan peralatan itu melakukan tugasnya masing-masing. Sehingga dalam waktu singkat, kira-kira hanya 5 menit, sebuah patung yang bentuknya mirip dengan arca Ken Dedes sudah tercipta di hadapanku. Hmm, aku tersenyum setelah beberapa saat memperhatikan patung berdiameter 15 centimeter dengan ketinggian 30 centimeter. Dan yang lebih membuatku bahagia lagi, guratan wajah pada patung itu nyaris sama dengan raut wajah Anggit.
Sungguh my Diary, aku teramat bahagia melihat hasil kerja anak buah Nini Diwut itu. Penggambaran Anggit dalam wujud seorang ratu, sangat sesuai dengan ekspektasiku yang selalu berharap gadis itu akan menjadi ratu dalam hidupku.
Belum puas aku mengagumi patung berbahan tanah liat dari petilasan keramat itu, tiba-tiba Anggit datang menghampiriku. Dengan senyum lebar dia langsung mengangkat patung itu dan dipandanginya lekat-lekat.
Waah, patungnya sudah selesai dan bagus banget …! Terima kasih ya, Jali. Demi aku tubuhmu sampai keringatan begitu, kata Anggit waktu itu. Di luar dugaan, dia langsung mengeluarkan selembar sapu tangan untuk mengelap keringat di wajahku. Aku menunduk salah tingkah walau dalam hati rasa bahagia sedang membuncah.
Oiya Jali, ini aku bawakan es campur untukmu. Aku tahu kau pasti sedang haus, jadi ayo kita minum es campur ini sama-sama. Ini aku beli dari pedagang es campur langganan kita waktu SMP dulu loh. Lagi-lagi perkataan Anggit membuat membuat hatiku berasa nano-nano enggak karuan.
Oh, my Diary ….
Andai kau tahu rasa hatiku saat itu, serasa sedang ada pawai drumband dengan tabuhan drum besar yang paling mendominasi. Dag dig dug seperti sedang ikut lomba lari. Terlebih lagi saat Anggit mengeluarkan satu kantong plastik berisi es campur yang kuahnya berwarna merah merona. Terasa kesegaran dari surga sedang dihidangkan untukku.
Dua batang sedotan kecil, dia masukkan ke kantong plastik berisi es campur itu. Sedotan yang satu dia ulurkan ujungnya kepadaku. Aku menerimanya dengan sedikit membuka mulut sehingga tangannya yang memasukkan sedotan itu ke celah di antara dua bibirku. Sementara bibirnya mungil dan selalu merekah, telah pula mengapit sedotan yang satunya.
Dengan jarak wajah yang kurang sari 20 centi, sambil beradu pandang, aku dan Anggit mulai menyedot es campur dalam kantong plastik itu. Cless! Seketika kesegaran merambati kerongkonganku. Menjalar ke dalam dada sampai akhirnya berhenti di dalam perut.
Ya Tuhan, ini benar-benar merupakan anugerah terindah dalam hidupku. Andai saja aku tak ingat kalau gadis di depanku ini adalah pacar dari teman sebangkuku, pasti akku akan melakukan sebuah drama agar aku dan dia bisa berpelukan mesra.
Oh … tapi tidak, my Diary! Saat batinku mengucap nama Tuhan itu, tiba-tiba sekilas aku melihat kedua mata patung dari tanah liat petilasan keramat itu bercahaya dan melotot ke arahku. Takut jika Anggit tahu akan hal aneh itu, aku menggeser tubuh ke kiri. Sehingga patung itu kini terhalang oleh kedua kakiku. Anggit hanya tersenyum saja melihat tingkahku. Mungkin baginya hal yang kulakukan itu terlihat lucu.
Kini kuah dari es campur itu sudah ludes. Di dasar kantong plastik yang tersisa tinggal potongan-potongan buahnya yang berbentuk dadu. Perlahan Anggit membuka karet gelang yang mengikat bagian atas kantong plastik itu. Dengan jemarinya yang lentik dan berkuku bersih lantas dia memakan potongan buah itu sekaligus menyuapiku.
Oh, my Diary … mimpi apa aku semalam? Gara-gara tanah liat dari petilasan keramat, sosok gadis yang sangat aku cintai menjadi begitu dekat. Walau tanpa bisa memeluknya dengan erat, tapi telah membuat gumpalan gundah dalam dadaku langsung minggat.
Setiap biji potongan buah yang dia suapkan padaku, terasa lebih manis dari biasanya. Terlebih saat jemari lentiknya tanpa sengaja menyentuh permukaan bibirku, serta merta gelenyar rindu menjalar di sekujur tubuh. Andai aku boleh meminta, ingin rasanya aku menikmati kebersamaan ini dalam waktu yang lebih lama.
Tapi tentu saja my Diary, harapan indahku itu sia-sia belaka. Tak ada pesta yang tak akan usai. Semua pesta pasti akan berakhir. Begitu pula kedekatanku dengan Anggit hari ini. Setelah kurang dari setengah jam es campur pemberiannya mengaduk-aduk perasaanku, kini tiba waktunya untuk pulang.
Aku tak mampu menahan kepulangan Anggit. Tidak ada alasan bagiku untuk melakukan hal itu. Tanah liat dari petilasan keramat telah melaksanakan tugasnya dengan sukses. Aku antar kepergiannya sampai di halaman rumah.
Duuuh … my Diary, gara-gara suapan es campurnya kini hatiku dilanda kehampaan setelah dia tinggalkan. Besar harapanku semoga akan ada lagi tugas membuat patung agar aku bisa mengambil lagi tanah liat dari petilasan keramat yang bisa membuatku sedekat itu dengan bidadari yang selalu kurindu.
Sampai sore harinya aku sengaja tidak mandi karena tak mau bekas sentuhan jemari Anggit di bibirku akan akan luntur oleh guyuran air sumur.