Eh, my Diary ….
Hujan turun lagi ketika kulewati jalan depan cungkup desa siang tadi. Gerimis yang tak seberapa deras, mengantar benakku pada secuil kenangan dari masa lalu. Ya, di jalan depan cungkup itu. Dulu sewaktu kondisi jalan itu masih makadam berupa tatanan batu yang jelas jauh dari kata rata seperti wajahku yang berjerawat, aku dan Anggit pernah melintasi sambil bercanda ria.
Waktu itu aku dan Anggit masih kelas 1 SMP. Kebetulan aku dan dia menjadi siswa di sekolah yang sama. Siang itu dalam perjalanan pulang sekolah, ban motornya Anggit bocor tertusuk paku. Sebagai cowok yang menaruh perasaan suka kepadanya, aku pun berlagak sok pahlawan. Dengan suka rela aku menawarkan jasa untuk menuntun motornya sampai di tempat tukang tambal ban. Padahal nih, satu-satunya tukang tambal ban di kampungku adanya di depan rumah Anggit. Jadilah aku mengantar dia sampai ke rumah.
Tapi tak mengapa my Diary, aku bahagia melakukannya waktu itu. Sebab dengan peristiwa itu aku jadi punya kesempatan berduaan lebih lama dengan Anggit. Dan yang lebih mengasyikkan lagi, tiap kali wajahku banjir keringat dia menyuruhku berhenti sejenak lantas dia menghapus keringatku dengan sampu tangannya yang harum semerbak.
Sepertinya memang begitulah keajaiban perasaan cinta. Meski baru sebatas cinta monyet tapi setidaknya aku sudah merasa lebih perkasa dari monyet. Menuntun motor di jalan berbatu sejauh satu setengah kilometer, tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi dalam cuaca terik waktu itu. Tapi ajaibnya, lantaran rasa bahagia yang memenuhi dada, sedikit pun aku tak merasakan lelah. Rasa cinta memang, gila kok!
Hanya sayang ya my Diary, hingga saat kutuliskan curahan hatiku kepadamu ini, Anggit belum juga mau menyambut perasaan cintaku padanya. Jadi selama ini dia hanya semacam kekasih bayangan bagiku. Tidak apa-apa ya, my diary. Bukankah di dunia ini segala sesuatu dimulai dari sebuah bayangan dulu. Dari bayangan terciptalah usaha untuk mewujudkannya.
Dan ajaibnya lagi my Diary, tadi sewaktu aku kembali melewati jalan depan cungkup itu, eh, Anggit juga pas lewat jalan yang sama. Seolah sedang terjadi dejavu. Hanya bedanya kali ini motor Anggit bannya tidak kempes. Tapi setelah mendahuluiku tanpa menyapa, tahu-tahu dia berhenti tak jauh dariku. Sepertinya Anggit sengaja menungguku. Ada apa, ya?
“Jali, di kelasku ada tugas bikin patung dari tanah liat. Nah, kata Jonet kau punya koleksi patung yang bagus. Ada tiga, ya? Bolehkah aku pinjam satu untuk contoh!” kata Anggit tadi siang.
Akh, entah apa yang merasukiku my Diary, tanpa berpikir panjang aku mengangguk setuju. Bahkan lengkap dengan senyum termanisku. Senyum yang dibalas senyum juga oleh Anggit. Astaga! Kenapa baru sekarang aku menyadari bahwa ternyata selain patung manusia berkepala kuda dengan tanduk di kepalanya yang aku dapatkan secara ajaib, masih ada satu keajaiban lagi dalam hidupku yaitu Anggit. Ya, Anggit memang ajaib dalam hidupku. Kehadirannya seperti magnet berkekuatan besar yang selalu mampu membuatku mengangguk iya setiap kali dia meminta sesuatu dariku.
Jadilah siang tadi aku dan Anggit pulang bersama, dia mampir ke rumah ini untuk mengambil patuh yang dipinjamnya. Tentu saja aku keluarkan empat patung yang aku punya, walau aku yakin dia hanya bisa melihatnya tiga patung saja. Setelah memilih-milih dia memutuskan pinjam patung sosok perempuan bermahkota ular cobra.
Hehe, Anggit tersenyum bahagia. Ajaibnya, justru aku yang merasa lebih bahagia karena telah membuat wajah bidadari impianku bercahaya. Lagi-lagi keajaiban perasaan aku rasakan untuk kesekian kalinya.
***
My Diary ….
Entah apa yang terjadi di rumah Anggit, dia yang katanya mau pinjam patung koleksiku selama seminggu, hari ini dia sudah bilang akan mengembalikannya. Padahal baru satu hari dia membawanya. Hal ini membuat perasaanku tak enak, my diary. Aku takut kekuatan yang ada di dalam patung bermahkota cobra itu telah berbuat hal-hal yang tidak baik pada dirinya.
Meski aku tahu hal ini bukanlah salahku, tapi lagi-lagi keajaiban perasaan menderaku. Dadaku dipenuhi rasa sesal. Aku menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada diri Anggit. Padahal aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Baru setengah jam lagi dia hendak menemuiku untuk mengembalikan patung itu. Nanti pasti akan kuceritakan padamu, my diary. Ditunggu, ya!
***
Jumat legi, 13.15.
My Diary, baru saja aku menemui Anggit di depan pos ronda di ujung jalan sana. Dia tidak mau mengembalikan patung itu ke rumah. Katanya dia takut. Ketika mengulurkan patung yang dia bungkus kertas Koran dalam wadah tas kresek hitam, Anggit cerita kalau tadi malam dia diganggu oleh patung yang dia pinjam itu. Tepat tengah malam, patung bermahkota cobra itu keluar dengan sendirinya dari dalam tas. Kemudian melayang menghampiri dia yang sedang berbaring di ranjang empuknya.
Anggit yang waktu itu belum benar-benar tertidur pulas, kaget bukan kepalang dengan keajaiban yang terjadi di depan matanya itu. Terlebih lagi saat dia tahu mata patung berkepala cobra itu bergerak-gerak saat menatapnya. Termasuk ular yang melingkar di kepala patung itu. Kepala ular itu meliuk-liuk sambil mendesis-desis mengerikan.
Tentu saja my Diary, aku pun pura-pura terkejut saat Anggit menceritakan semua keajaiban itu. Hal ini aku lakukan agar Anggit tak menuduhku bersekutu dengan setan. Tidak! Aku tidak mau ada orang beranggapan seperti itu. Apalagi dari seorang Anggit yang selalu kurindu.
Ya ampun, my Diary! Melihat wajahnya yang masih menyiratkan rasa takut dalam tatapan matanya, sungguh hatiku ikut trenyuh. Aku hanya berani berharap semoga penguasa alam kegelapan segera menghapus ingatan Anggit tentang kejadian ajaib itu. Setidaknya dengan begitu, Anggit tetap mau berteman denganku. Sungguh, tak sanggup aku membayangkan betapa nelangsanya hidupku andaikan Anggit tak mau lagi melihatku.
Lebih ajaibnya lagi, di luar kendali sadarku, aku yang jelas-jelas tidak punya pengalaman dalam hal membuat patung tahu-tahu bibirku mengucapkan kalau aku siap membuatkan patung untuknya. Ini gila bin ajaib, kan! Atau jangan-jangan aku sudah tidak waras lagi. Berbuat jauh dari logika.
Entahlah, my Diary! Aku juga semakin bingung dengan keajaiban demi keajaiban yang terjadi dalam hidupku. Selama hal itu bisa membuatku lebih dekat dengan Anggit, aku rela. Sebab bagiku tidak ada keajaiban yang lebih ajaib selain diterimanya ungkapan rasa cintaku pada Anggit. Bucin dikit, gak apa-apa ya my Diary!
Nah my Diary, sampai di rumah barulah aku bingung bagaimana cara untuk mewujudkan kesanggupanku pada Anggit tadi. Aku hanya mampu menatap patung wanita bermahkota cobra yang ajaib itu.