My Diary ….
Ternyata tidak ada hal yang gratis di dunia ini. Setiap kebahagiaan yang kita cecap selalu meminta imbalan yang kadang tak pernah kita harap. Hasil tidak akan berdusta pada usaha. Keringat tidak akan berkhianat pada apa yang telah diperbuat. Walau kadang dalam urusan asmara ungkapan-ungkapan seperti itu tidaklah ada gunanya.
Aku telah membuktikannya sendiri, my Diary! Sudah tak terhitung lagi berapa banyak aku berkorban demi untuk mendapatkan sedikit perhatian dari Anggit yang kusayang. Tapi hasilnya? Sampai saat ini kehadiran masih diabaikan. Aku masih menjalani status sebagai seorang kekasih yang tak dianggap.
Aku muak! Aku bosan! Aku kecewa! Tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Hati kecilku selalu merasa tak tega setiap kali ingin berbuat nekad untuk mendapatkan cinta yang kuharap. Maaf, hal ini bukan berarti diri ini tidak jantan, my Diary. Aku sudah melakukan berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Tapi yang kudapat bukan, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Justru sebaliknya, aku bersakit-sakit dahulu malah mati kemudian! Sebel, kan!
Tambah sebel lagi saat aku tahu bahwa ternyata bantuan yang diberikan Nini Diwut dalam membuat patung berbahan tanah liat dari petilasan keramat, ternyata tidaklah cuma-cuma. Demit nenek peyot itu pada akhirnya minta imbalan juga. Sebuah imbalan yang teramat berat untuk aku lakukan rasanya.
Betapa enggak, my Diary! Saat aku lagi duduk santai di bawah pohon rambutan di depan rumah tiba-tiba kudengar satu bisikan setan yang menyuruhku untuk membawa Anggit nyekar di petilasan. Tentu saja, aku yang sudah hapal tabiat para setan penunggu petilasan merasa keberatan.
Sayangnya aku terlambat menyadari kalau bangsa setan itu memang tidak memiliki peri kemanusiaan. Mereka hanya mementingkan peri kesetanan yang suka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Keberatanku atas bisikan setan itu ditolak. Bahkan ditandaskan dengan satu ancaman, kalau aku sampai gagal mengajak Anggit nyekar ke petilasan maka Nini Diwut akan membuat bidadari pujaanku itu hilang kewarasan.
Sudah pasti aku enggak mau dong Anggit sampai hilang ingatan. Iiih, serem deh! Untuk itu dengan amat sangat sungguh terpaksa aku sepakati bisikan setan itu.
Untuk itulah sekarang aku bingung, my Diary! Bagaimana caraku mengajak Anggit nyekar ke petilasan itu. Dengan alasan apa aku harus meyakinkan Anggit agar mau kuajak nyekar ke tempat yang sama sekali belum pernah dia datangi. Apalagi bisikan setan itu mengharuskan kedatanganku nyekar adalah malam hari.
Mampus aku, my Diary! Selama ini aku belum pernah mengajak keluar rumah makhluk yang bernama perempuan. Apa kata para tetangga jika mengetahui hal itu. Sedang di kampungku ada pamali yang mengatakan bahwa jika seorang cowok dan cewek belum menikah keluar berduaan pada malam hari, maka keduanya tidak akan pernah bersatu. Modar kan, aku! Sebab bersatu dengan Anggit adalah impianku.
Tapi demi mengingat keselamatan Anggit juga terancam, maka berbuat nekad bisa jadi pilihan. Dengan alasan mengajaknya belajar kelompok, nanti malam Anggit sudah bersedia untuk aku ajak keluar.
Doakan ya my Diary, semoga apa yang kulakukan nanti akan berjalan lancar agar bisikan setan itu tidak lagi mengancam kewarasan Anggit.
***
My Diary ….
Tepat di jam Sembilan malam ini, akan aku ceritakan bagaimana pengalamanku nekad membawa keluar Anggit ke petilasan seusai gema adzan Isya’ tadi. Ternyata semua berjalan jauh lebih baik dari yang aku bayangkan. Di luar penerawanganku, Nini Diwut telah mengatur segalanya sehingga sekali pun Anggit tidak pernah menolak apa yang aku perintahkan. Untung tadi itu otak mesumku tidak sedang berpikir jorok, sehingga aku tidak terpikir untuk berbuat hal-hal yang tidak senonoh.
Kondisi Anggit tadi itu benar-benar seperti patung bernyawa. Apa pun yang aku katakana dia mengangguk tanpa pernah merajuk. Bahkan saat bisikan setan memerintahkan agar aku memeluk tubuh Anggit dengan erat ketika menaburkan sebungkus kembang kiriman yang kubawa, Anggit hanya bisa pasrah.
Tapi maaf ya my Diary, tadi sewaktu berada di petilasan aku juga sempat melakukan sedikit kesalahan yang nyaris mencelakai Anggit. Jadi begini my Diary, saat melakukan tabor bunga sambil berpelukan, bisikan setan juga mengatakan agar aku dapat mengendalikan naluriku sebagai cowok normal. Aku tidak boleh sampai timbul syahwat. Namun mau bagaimana lagi. Aku kan cowok normal. Dalam suasana sepi memeluk seorang gadis yang sangat aku cintai sudah pastilah syahwatku meninggi. Imanku memang kuat, tapi imronku tak urung menggeliat.
Dada sintal Anggit yang melekat erat ke dadaku membangkitkan nafsu untuk sekadar bercumbu. Aroma wangi yang meruar dari tubuh Anggit serasa membuatku lupa diri. Tak tahan, aku pun nekad mendaratkan sebuah ciuman lembut ke dahi Anggit.
Hal itu membuat Nini Diwut murka. Seketika tanah tempatku berpijak bergetar dengan hebat seolah sedang terjadi gempa yang kuat. Begitu pula dengan makam dan pohon beringin yang ada di petilasan. Semua bergoyang-goyang mengikuti arah angin yang tiba-tiba juga datang bertiup kencang dan menderu-deru.
Ratusan akar gantung yang menjuntai dari cabang-cabang pohon beringin terayun-ayun seakan hendak menjerat dan menggantung aku dan Anggit. Tentu saja aku panik. Kupeluk tubuh Anggit lebih erat dengan harapan agar dia tak menyadari apa yang sedang terjadi.
My Diary … sambil terus berusaha menghindari terjangan akar-akar gantung pohon beringin itu, masih sempat kulirik Anggit. Untunglah matanya masih terpejam rapat. Itu artinya dia masih dalam kendali Nini Diwut. Dan aku yakin Anggit tidak akan ingat dengan semua yang terjadi di sini nantinya.
Perasaan takut membuat syahwatku yang tadinya bangkit kini mulai menyusut. Seiring dengan itu angin rebut dan gempa itu pun berhenti. Selanjutnya yang terdengar hanyalah tawa mengekeh dari Nini Diwut tanpa menampakkan wujudnya yang keriput.
Serta merta aku tutupi kedua telinga Anggit dengan telapak tanganku. Aku berharap Anggit tidak mendengar suara tawa itu. Tawa cekikikan Nini Diwut membuat cemas kalau-kalau sang pemberi bisikan setan itu lalai dengan kekuatan yang dipakai untuk mengendalikan Anggit.
Tapi mimpi buruk itu ternyata tidak sampai terjadi. Hingga Anggit aku antar pulang sampai ke rumahnya, kesadaran dia belum pulih juga. Sehingga untuk sementara aku merasa aman.
Namun ternyata dalam perjalanan pulang, bisikan setan kembali hinggap di telingaku. Tanpa rasa malu setan-setan itu mengucapkan terima kasih karena aku telah berhasil memenuhi keinginan mereka. Hasilnya semalam aku tidak dapat memejamkan mata sebab selalu kepikiran bagaimana keadaan Anggit setelah masuk ke rumahnya.
Tanpa memedulikan perasaanku yang gundah gulana, bisikan-bisikan setan terus aku dengar disertai tawa mengekeh yang membuat dada berdebar-debar. Sungguh aku menyesal atas perbuatan nekad itu.