My Diary ….
Seperti batu karang yang tak pernah mengeluh diterjang gelombang, seperti daun jatuh tak pernah menyalahkan angin yang datang menerjang, aku juga ingin kuat menghadapi segala kenyataan. Kemiskinan sudah cukup membuatku menderita, kini masih ditambah dengan kemampuanku melihat penghuni dunia lain yang tak sembarang orang bisa melakukannya.
Aku masih ingat betul Diary, semua bermula dari sebuah mimpi saat aku berusia tujuh tahun. Waktu itu aku mengalami demam tinggi. Lantaran tak punya ongkos untuk berobat ke dokter, orang tuaku hanya mengompresku dengan selembar kain dibasahi air sumur. Namun hingga tengah malam tiba, panas tubuhku tidak menurun juga. Aku sampai kejang-kejang, membuat panik semua orang.
Kata seorang dukun yang ada di kampungku, aku sawanen. Lantaran ibuku berani melintasi jalan dekat sebuah petilasan keramat saat menjelang Magrib tiba. Warga kampungku yang masih kental kepercayaannya pada ajaran animisme dan dinamisme, memvonis kalau aku ketempelan penunggu petilasan yang mereka sebut Nini Diwut. Sosok perempuan jejadian yang menghuni beringin raksasa di petilasan keramat.
Dakwaan warga itu semakin kuat sewaktu dukun kampung berhasil menyembuhkan aku yang seharian demam tinggi dan menangis tanpa henti, dengan cara membaluri sekujur tubuhku dengan ramuan yang ia buat dari daun, akar, dan kulit batang beringin yang dia ambil dari petilasan itu.
Sejak saat itu Diary, mata batinku seolah terbuka. Aku mulai bisa merasakan dan melihat keberadaan makhluk-makhluk gaib yang ada di sekitarku. Bahkan tak jarang mereka sengaja datang menemaniku ketika aku ditinggal sendirian di atas ranjang.
Aku jadi jarang menangis, apalagi sampai rewel, tidak pernah. Aku lebih sering tertawa-tawa sendiri karena memang ada sosok yang mengajak bercanda. Malah ada juga yang suka menggelitiki perut, pinggang, dan telapak kakiku. Kedua orang tuaku yang tak sempat mengenyam pendidikan formal, menganggapku sedang dijaga oleh amongku. Konon menurut kepercayaan para orang tua di kampungku, kelahiran seorang bayi akan selalu diikuti oleh kaki among nini among dan kakang kawah adi ari-ari.
My Diary ….
Sekarang kemampuan aneh yang aku miliki itu baru terasa mengganggu. Bahkan terasa amat sangat mengganggu. Semua itu bermula dari kedekatanku dengan Anggit, seorang teman sekolah yang telah sukses memporakporandakan ketenangan hidupku. Karena dia, tidurku tak pernah lagi pulas lantaran dia selalu datang mengusik mimpi malamku dengan gairah yang panas. Makan bagiku jadi tak lagi terasa nikmat, karena kalah oleh dorongan keinginanku untuk selalu dekat.
Namun runyamnya my Diary, seiring semakin besarnya rasa sayangku pada Anggit, semakin besar pula kemampuanku melihat dan berinteraksi dengan para makhluk gaib. Setiap saat selalu muncul sosok-sosok tertentu yang menguntit di setiap langkahku.
Hal ini sungguh mengganggu proses pendekatan yang sedang aku lakukan. Akibat ulah teman gaib itu, di hadapan Anggit aku jadi sering melakukan kelakuan konyol di luar kesadaran. Seolah-olah para makhluk gaib itu tak suka jika aku menaruh perhatian lebih pada gadis idamanku itu.
Hingga suatu hari Anggit datang menemuiku di depan kedai bakso yang menjadi langganan utang makanku.
Sebenarnya kamu itu sayang sungguhan apa nggak sih sama aku? katanya waktu itu. Pelan memang, tapi aku dengar seperti petir yang datang menyambar tanpa didahului oleh adanya mendung.
Aku mengangguk dengan muka menekuk. Persis onta yang keberatan punuk.
Jika kamu benar-benar sayang padaku, aku mohon hentikan segala tindakan konyolmu. Buang jauh kebiasaanmu bicara dengan benda-benda yang ada di sekitarmu. Aku gak sudi punya pacar yang sikapnya seperti orang gila. Waktu itu sambil berkata dia menatapku tajam seakan aku ini adalah seorang maling jemuran yang baru ketahuan.
Aku semakin menunduk. Tidak ada satu kata yang mampu kuucap. Dua makhluk gaib yang ada di sampingku tertawa cekikikan melihat kebodohanku. Aku merasa seperti batu Malin Kundang yang habis dikutuk karena kedurhakaan.
Jujur ya my Diary ….
Ketika aku diminta membuang kemampuan anehku yang bisa membuatku melihat kaum hantu, kok hatiku malah berkata jangan! Aku enggak rela tanpa disertai alasan yang jelas. Satu hal yang paling kuingat, tatapan tajam dari sepasang mata nenek keriput usia ratusan tahun yang bernama Nini Diwut.
Akhirnya dengan berbagai alasan yang aku buat-buat, aku mengangguk kecil di hadapan Anggit yang langsung tersenyum manis seraya menggenggam erat tanganku. Ya ampun. Hanya dengan genggaman singkat itu, serta merta aku merasa dunia di sekitarku menjadi lebih indah dari semula. Pohon-pohon nampak berkilauan bermandikan cahaya kuning keemasan. Sinar matahari yang tadinya terasa panas, tiba-tiba menjadi hangat. Sinar hangat yang menjalar di sekujur tubuhku.
Asal kau tahu ya Diary, walau yang digenggam itu hanya tanganku tapi sumpah di hatiku juga tumbuh getar-getar asa yang membuncah. Sepasang laba-laba cinta yang bersarang di dalam dada juga mulai menebarkan benang-benang abstrak yang membungkus hati dengan selembar kerinduan bernuansa pelangi.
My Diary ….
Pada saat itu tidak lagi aku hiraukan perubahan muka para makhluk gaib yang sedang membersamaiku. Aku yakin wajah mereka yang jelek pasti terlihat lebih jelek karena mereka merasa jutek. Keriput di pipi Nini Diwut juga pasti semakin semrawut akibat cemberut. Sosok pocong yang biasanya melompat-lompat seketika istirahat karena tercekat.
Persetan dengan semua itu! Bagiku lebih gampang mengikuti gelombang keindahan yang tercipta dari kedekatanku dengan Anggit daripada memikirkan apa gunanya kelebihanku yang bisa melihat bangsa dedemit.
Tapi my Diary, hal ini membuatku jadi bingung sendiri. Di satu sisi hatiku selalu berkata jangan untuk membuang kebiasaanku berkomunikasi dengan alam lelembut. Sedang di sisi lain, aku juga berat jika harus menjauh dari Anggit yang telah menguasai separo lebih isi hatiku.
Terserah jika ada yang menganggapku serakah. Meski kata orang dalam hidup memang banyak pilihan, tapi untuk memilih salah satu di antara Anggit atau kemampuanku melihat demit, bagiku terasa teramat sulit.
Kadang aku berpikir, bisa jadi kemampuan aneh yang aku miliki ini memang merupakan anugerah dari Illahi. Setiap kejadian di muka bumi ini tak pernah lepas dari sekenario yang sudah digariskan oleh Yang Maha Penguasa. Pun demikian atas pertemuanku dengan Anggit. Jadi kalau harus membuang salah satunya, akh jangan!
Sungguh my Diary ….
Aku akan berguru pada langit yang tak pernah merasa kehilangan walau berulangkali melepas turunnya hujan. Aku akan mencari ilmu dari embun pagi, yang rela hadir sesaat lalu lenyap setelah matahari datang menjilat. Meski aku tahu, hatiku tidaklah setegar karang. Hati ini hanya segumpal daging berisi darah yang sewaktu-waktu mudah berubah arah.
My Diary, nyanyian jiwaku gagal tentukan pilihan.