H-7 sebelum festival musik di SMA Nusantara....
“Ara mana?” tanya Dion, melempar pandangan heran karena Vika hanya datang berdua dengan Monic. Biasanya mereka nongkrong berlima meski fungsi Ara di situ hanya sebagai obat nyamuk.
“Dia nggak mau ikutan,” jawab Vika.
“Kenapa?” Ini Brian yang bertanya.
Monic menoleh pada Brian. “Katanya dia nggak mau gangguin double date kita.”
“Oh....”
Dion mendecak. “Heran gue sama tuh anak. Kenapa kesannya kayak punya trauma gitu sih? Sampai pacaran aja ogah.”
Tak ada yang menanggapi. Sebenarnya mereka semua tahu alasan kenapa Ara tidak ingin pacaran, akan tetapi bagi mereka itu terlihat tidak wajar karena pada umumnya anak seusia mereka sudah pernah jatuh cinta—minimal sekali.
Tiba-tiba Vika menyeletuk, “Gimana kalau kita bikin Ara pacaran?”
“Caranya?” Kening Monic mengernyit, ingin tahu.
“Eh, tante lo yang bisa ngeramal itu masih buka praktik nggak?” tanya Vika pada Brian.
“Masih. Kenapa?”
Senyum seringai terbit di wajah Vika. “Gue punya ide.”
Monic yang tak sabar spontan memegang lengan Vika dan mengguncang-guncangnya. “Ide apaan sih, Vi? Kepo gue.”
Vika berdeham. “Jadi gini, minggu depan kan ada festival musik di SMA Nusantara. Terus biasanya kan banyak penjual makanan tuh, nah, gue minta tolong sama tantenya Brian buat buka stan di sekitar sana.”
“Terus? Terus?”
“Kita atur supaya tantenya Brian bisa ngeramal Ara.”
“Ngeramal gimana maksud lo?” tanya Brian.
Vika menggaruk pelipisnya. “Duh, gue belum mikir—”
“Bilang aja kalau tuh anak bakal mati kalau nggak pacaran dalam waktu seminggu,” potong Dion seenaknya.
“Boleh juga tuh.” Vika langsung setuju.
Monic keberatan. “Ih, kok seminggu sih? Kecepetan, tauk!”
Vika manggut-manggut. “Iya, kalau seminggu kecepetan. Terlalu nggak masuk akal.” Lalu dia berpikir. “Gimana kalau sebelum ulang tahunnya yang ke-17? Kan tiga bulan lagi Ara ulang tahun.”
Dion melirik Vika. “Lo mau nyuruh tantenya Brian buat bohong?”
“Gue bakal bayar kok.” Vika menoleh pada Brian. “Tante lo mau nggak?”
Brian ragu-ragu. “Coba deh nanti gue yang bilang,” katanya.
“Terus, gimana biar kelihatan meyakinkan?” tanya Monic.
“Kalau soal itu nggak usah khawatir. Tante gue itu bisa baca raut wajah seseorang,” beri tahu Brian. “Nanti gue kasih tahu rencananya. Kalau tante gue mau, sisanya biar diberesin sama dia. Selama tujuannya baik, gue rasa dia mau bantu.”
“Gue bakalan berdoa semalam suntuk biar tante lo mau,” sahut Vika. Kemudian dia berkata pada Dion, “Mulut lo jangan bocor.” Karena memang mulut Dion yang cenderung ceplas-ceplos itu sangat riskan untuk menyimpan rahasia.
“Siap,” balas Dion sembari membuat gerakan mengunci di bibirnya.
Mata Vika berbinar penuh antusias. “Gue nggak sabar bisa triple date barengan sama Ara juga.”
*
TAMAT