Aksi kabur dan mangkir dari tugas yang dilakukan Ara pada Sabtu lalu rupanya berdampak cukup besar bagi orang-orang di sekitarnya. Vika dan Monic kelimpungan mencari Ara. Lalu Hendra yang merupakan penanggung jawab atas acara malam itu tak kalah paniknya, cowok itu nyaris melapor ke polisi untuk membantu mencari Ara. Praktis acara malam itu tidak berjalan sebagaimana mestinya karena semua orang sibuk mencari Ara. Sementara orangtua dan kedua kakak Ara yang mendapat laporan dari Monic langsung melakukan pencarian sebisa mereka.
Pada malam itu, baik Ara maupun Iago sama-sama meninggalkan ponsel di mobil dan malah nongkrong di trotoar, tempat Abang nasi goreng berjualan hingga menjelang fajar. Saking lega dan senangnya, keduanya lupa waktu dan baru kembali ke sekolah saat langit sudah sepenuhnya terang.
Ara keluar rumah, berjalan sembari menatap layar ponsel. “Hendra ngamuk. Gue suruh ngadep dia pas istirahat pertama. Ini semua gara-gara lo!” omelnya pada Iago. Padahal cowok itu baru saja tiba di rumah Ara untuk menjemputnya ke sekolah.
“Yang penting lo masih hidup sampai sekarang.”
Ara memutar mata, lantas melengos. “Ck, kalau tahu buntutnya bakalan ribet gini, gue mendingan mati aja!”
Iago bersedekap dan menelengkan kepala. “Lo yakin?”
“Yakinlah!”
Mama yang mendengar ribut-ribut di depan rumah tergopoh-gopoh keluar. “Kenapa pagi-pagi anak Mama udah ngegas aja bawaannya?”
Iago langsung memperbaiki cara berdirinya. “Pagi, Tante....”
“Pagi, Iago.”
“Saya minta maaf buat kejadian kemarin lusa.”
“Aduh, Tante udah bosan dengar permintaan maaf kamu,” Mama mengibas-ngibaskan tangannya, “yang penting jangan diulangi ya.”
“Iya, Tante.”
Ara mendecak sebal, kemudian dia mendorong-dorong tubuh Iago. “Udah nggak usah pakai acara halalbihalal sama nyokap gue.” Kemudian dia menoleh pada Mama. “Ma, Ara sama Iago berangkat dulu ya.”
Iago mengangguk dengan kikuk. “Mari, Tante.”
“Hati-hati di jalan.”
Mereka berdua baru akan masuk ke mobil saat Kak Marvel yang baru saja lari pagi keliling kompleks tiba. “Eh, lo mau ke mana?” tanyanya pada Iago.
“Ke sekolah, Kak.”
“Awas aja lo sampai bawa kabur adek gue!” ancamnya.
“Biarin aja, Vel.” Kak Marcel menyusul di belakang saudara kembarnya. “Malu gue punya adek yang doyan ngomong sendiri sambil ngelus-elus poster,” lanjutnya lalu berpaling pada Iago. “Lo kalau mau bawa kabur adek gue jangan dipulangin sekalian. Biar nanti gue request adek baru lagi ke Mama sama Papa.”
Ara yang geram berjalan cepat ke arah Kak Marcel dan menginjak kakinya. “Kenapa punya abang rese banget sih?!”
Iago yang sedari tadi menjadi penonton hanya bisa menggaruk belakang kepalanya. “Ra, buruan berangkat. Ini Senin lho, ada upacara.”
“Ya udah, ayo!”
“Mari, Kak,” pamit Iago.
“Yo!” Hanya Kak Marvel yang menjawab.
“Keluarga lo ramai banget ya,” komentar Iago ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
“Paling ramai di kompleks ini.”
“Tapi, Ra, herder lo nggak galak-galak amat kok.” Iago menyalakan mesin. “Masih ada yang lebih galak.”
Kening Ara mengernyit. “Siapa?”
“Hendra.”
Ara mendesah dan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Mampus gue!”
*
Seketika setelah bel istirahat pertama berbunyi, Ara meninggalkan kelas dan menuju ruang OSIS. Hendra sudah berada di ruangan itu ketika Ara masuk. Ketua OSIS yang masih kelihatan marah itu menatap Ara, mengikuti setiap gesturnya. Ara yang duduk berhadap-hadapan dengan Hendra balas menatapnya canggung. Hal yang normal jika Hendra marah, sebab Ara memang bersalah.
“Lo tahu kenapa gue manggil lo ke sini?” tanya Hendra.
Ara mengangguk.
“Lo tahu salah lo apa?”
Ara mengangguk lagi.
Hendra menegakkan punggungnya dan menyatukan tangannya di atas meja. “Sebutin kesalahan lo.”
“Gue main kabur gitu aja tanpa minta izin sama lo. Gue mangkir dari kewajiban gue. Gue ngilang dan bikin bingung semua orang. Terus gara-gara gue, acara keakraban nggak berjalan lancar.”
“Ada pembelaan diri?”
Ara menggeleng. “Gue siap menerima sanksi dari lo.”
Lawan bicara Ara tak langsung menyahut, melainkan berpikir. “Oke. Gue bakal berusaha menutupi insiden itu dari pihak sekolah, tapi lo harus buat laporan tertulis mengenai acara keakraban tempo hari.”
Tak ada sahutan. Tak ada bantahan. Ara tak punya pilihan selain menurut.
“Serahin ke gue besok.”
Ara terbelalak. “Besok?!”
“Iya. Besok,” tegas Hendra. “Lo nggak denger?”
“Gue denger.”
Tatapan mereka selama sekian detik sampai Hendra dulu yang memutus kontak mata, cowok itu berpaling ke arah lain. “Lo boleh keluar,” ketusnya, walau sama sekali tidak memiliki niat untuk mengusir.
“Gue ... keluar dulu.” Ara buru-buru berdiri dari duduknya dan berjalan cepat menuju pintu.
Namun belum juga Ara memutar kenop pintu, Hendra memanggilnya, “Ra....”
Ara membalikkan badan dan terjingkat ketika mendapati Hendra sudah berdiri tepat di belakangnya. Cowok berbadan tegap itu berdiri hanya berjarak satu langkah dari Ara dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.
“Gue mau ngomong sama lo,” kata Hendra.
“E-eh, iya. Ada tugas lagi buat gue?”
Hendra menyeringai, lalu menggeleng. “Gue mau ngomong sama lo sebagai temen, bukan sebagai ketua OSIS.”
Ara langsung mengembus napas lega.
“Gue ikut seneng lo akhirnya ketemu sama cowok yang lo cari,” ungkap Hendra. “Waktu gue nganterin lo ke rumah sakit buat ketemu sama Iago, gue tulus kok. Tapi meski gue tulus, gue masih berharap kalau cowok yang lo cari itu bukan Iago.”
Diam. Sikap itulah yang Ara pilih. Sebab dirinya tak tahu harus bersikap seperti apa. Terus terang Ara masih tak enak hati jika menyangkut masalah ini. Ara takut sudah melukai hati Hendra terlalu dalam. Ara juga takut hubungannya dengan Hendra akan rusak. Namun, takdir memiliki kehendaknya sendiri yang tak seorang pun tahu. Apa yang akan terjadi pada hubungannya dan Hendra, terjadi saja. Ara akan siap dengan semua risikonya.
Ara menghela napas panjang, lalu bersuara dengan tenang, “Gue pikir cinta itu melulu yang indah-indah. Sedangkan lo tahu sendiri gimana hubungan gue sama Iago. Tapi ternyata malah rasa sakit dan benci yang saling menghubungkan gue dan Iago.”
Hendra mendekat. “Gue boleh peluk lo? Sebentar aja.”
Ara mengangguk dan membiarkan Hendra memeluknya.
“Gue ini nggak sebaik yang lo pikir, Ra,” ucap Hendra tercekat. “Bisa dibilang hubungan kita nggak berakhir dengan baik. Hati gue sakit. Gue juga kecewa. Tapi gue akan berusaha buat mencintai lo sebagai temen gue.”
Bohong jika hati Ara tidak tergores oleh kata-kata Hendra. Dadanya berdenyut penuh rasa bersalah. Dan sumpah demi apa pun, rasanya sangat tidak nyaman. “Maafin gue, Hen. Gue sendiri nggak pernah mikir kalau hasil akhirnya bakalan kayak gini. Gue udah jahat banget sama lo.”
“Selama gue bisa ngelihat lo hidup dan bahagia, sakit hati gue akan terbayar lunas.”
Ara berkaca-kaca. “Ngibul banget sih.”
Hendra terkekeh. “Udah sana. Kalau gue kelamaan ngumpetin lo di sini, bisa-bisa gue digorok sama pacar lo.” Lalu Hendra melepaskan pelukannya. “Jangan lupa PJ[1]-nya.”
“Iyaaa. Lo mau gue traktir apa? Nonton film horor? Ngabisin duit jajan gue di Timezone?”
“Nonton film horor yang ada jumping candy-nya.”
“Ck—”
Hendra menepuk-nepuk puncak kepala Ara. “Udah buruan pergi sana.”
Ara mengangguk sekali, lantas keluar ruangan.
Di belakangnya, Hendra hanya dapat menatap punggung Ara dengan perasaan campur aduk. Hendra turut bahagia untuk Ara, akan tetapi dia merasa sedih untuk dirinya sendiri. Entah mana yang lebih mendominasi.
“Gue akan berusaha jadi cowok baik seperti yang lo bilang, Ra.”
*
Pulang sekolah, Ara sudah disambut oleh Iago begitu dia keluar kelas. Cowok itu bersandar di dinding dengan sepasang AirPods di telinganya—entah lagu apa yang tengah didengarkan Iago. Namun, saat melihat Ara, Iago langsung mencopot AirPods-nya.
“Lo cepet banget sih sampai di sini? Perasaan baru juga bel.” Ara menyipit keheranan.
“Tadi jam terakhir gue ulangan matematika, yang udah kelar boleh pulang duluan,” jawab Iago.
“Barusan lo dengerin lagu apa?”
“Oh, gue dengerin lagunya Oasis.”
Ara melengos. “Nggak kenal,” balasnya sewot.
“Mau dengerin?”
“Nanti aja. Gue lagi nggak mood.”
Iago baru akan bertanya apa yang membuat Ara kesal, tapi kemunculan Vika dan Monic dari dalam kelas praktis mengurungkan niatnya.
“Cieee.... Yang baru aja jadian, enak banget diapelin terus,” goda Vika, menyodok lengan Ara dengan bahunya. Ara yang tidak siap otomatis terhuyung, tapi dengan sigap ditangkap oleh Iago.
Monic pura-pura batuk. “Uhuk, gue jadi kangen pas awal-awal pacaran.”
Ara memutar mata. “Terusin aja. Terusss....”
“Habisnya kalian berdua itu kiyuuut banget,” timpal Vika gemas.
Monic mengangguk. Sependapat. “Kayak di FTV gitu. Judulnya: Hatiku Dimaling Anak Sultan.”
“Yang masuk akal dikit dong, Mon.” Vika menyikut rusuk Monic. “Masa anak Sultan maling? Dia kurang apa coba?”
“Kurang cinta,” jawab Monic asal, lalu cekikikan.
Ara mendecak, tambah jutek. “Lo berdua kenapa tiba-tiba jadi receh banget gini sih?”
Kedua sahabat Ara hanya mengangkat bahu.
Iago yang tahu Ara kesal setengah mati langsung berinisiatif untuk mengajaknya pergi. “Udah ya, gue mau anterin dia pulang dulu. Bahaya kalau keburu ngambek di sini.” Lalu Iago merangkul Ara, memaksanya untuk berjalan menjauhi Vika dan Monic.
Ara terus mengomel tak jelas, sampai-sampai Iago bingung harus menanggapi seperti apa. Takutnya jika dinasihati, Ara akan semakin menjadi-jadi. Maka Iago memutuskan untuk membiarkannya dulu. Baru setelah omelannya mereda, Iago menanyai Ara, “Lo kenapa lagi sih? Muka dari tadi ditekuk melulu.”
“Gara-gara lo, gue dapet sanksi dari Hendra. Sial banget gue,” rutuk Ara pada Iago yang berjalan di sampingnya.
“Yang penting lo nggak mati, kan?”
“Arghhh.... Itu terus yang lo bahas.” Ara mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Kesal sendiri. “Ngomong yang lain kek.”
“Gue sayang sama lo,” balas Iago cepat.
Ara langsung bungkam.
“Gue sayang sama pacar gue yang cantik, tapi jutek, galak, dan suka nyumpahin gue.”
“Ish. Kenapa gue gitu amat sih di mata lo?”
Iago menggandeng tangan Ara, menautkan jemari mereka. “Tapi gue suka kok.”
Ara berhenti. “Go....”
“Hm?”
“Gue juga sayang sama lo,” ungkap Ara jujur. “Meski lo nggak suka mandi, nggak pernah sisiran, dan baju lo cuma itu-itu aja.”
“Kan udah gue bilang gue nggak mandi gara-gara waktu itu hari libur, jadi nggak perlu dibesar-besarin.”
“Ya kan tetep aja jorok.”
“Gue maunya kalau dimandiin sama lo, gimana?”
Ara spontan mencubit lengan Iago. “Nggak usah modusin gue. Nggak mempan.”
Iago hanya tersenyum.
Ketika melewati segerombol cewek yang tengah duduk-duduk di atas motor, telinga mereka menangkap sepenggal pembicaraan seru.
“Eh, lihat tuh, Prince sama Arabella betulan jadian.”
“Padahal bukannya Iago udah dijodohin, ya? Sayang banget wajah sama identitas ceweknya disamarkan.”
“Padahal gue penasaran banget.”
“Gue juga.”
Ara mendesah, tak tahan untuk menoleh. Namun Iago mencegahnya. “Biarin aja,” suruh Iago.
“Tapi kuping gue panas, Go. Gue berasa jadi PHO gini.”
Iago menyipit. “PHO?”
“Pengganggu hubungan orang.”
Iago menggeleng geli. “Jangan ngomel-ngomel terus, gue traktir makan bakso mau?”
Ara langsung melunak. “Ya mau dong, Sayaaang.”
“Ck, manggil sayang kalau ada maunya doang.”
“Hehe.” Ara terkekeh, akan tetapi wajahnya tiba-tiba berubah serius. “Go, gue punya permintaan soal hubungan kita.”
“Apa?”
“Kita ... nggak usah membesar-besarkannya. Bisa, kan?”
Iago mengernyit. “Kenapa? Lo malu pacaran sama gue?”
Ara menggeleng cepat. “Bukan. Gue sama sekali nggak malu pacaran sama lo. Gue berpikir kalau hubungan kita lebih baik jadi semacam hubungan rahasia. Biarkan cuma orang-orang dekat aja yang tahu seperti apa sebenarnya hubungan kita.”
“Lo takut, ya?” Iago menebak-nebak.
“Gue nggak takut dengan masalah apa pun di depan sana. Gue cuma pengin istirahat sebentar, belakangan ini hidup gue kayak naik roller coaster, tegang banget,” jelas Ara. “Jadi untuk sementara, nggak apa-apa kan, kalau hubungan kita tetap seperti ini?”
Iago menjawab pertanyaan Ara dengan senyum tulus. “Selama itu bikin lo nyaman, gue nggak masalah. Ra, orang-orang pada tahu atau nggak tentang hubungan kita, itu sama sekali nggak penting. Buat gue, yang terpenting itu lo dan perasaan lo.”
Ara membalas senyum Iago. Memiliki hubungan spesial dengan anak seorang konglomerat bagi Ara adalah ujian tersendiri. Tidak semua bisa menerima, apalagi rela melihat kebersamaan mereka. Ara tak tahu akan seperti apa ujung hubungannya dengan Iago, dia tidak mau berandai-andai hingga menikah dengan cowok itu. Cukup menikmati apa yang ada saat ini serta menjalaninya dengan sebaik mungkin.
“Gue cinta sama lo, Ra,” bisik Iago, yang walaupun tidak mendapat balasan, dia tahu bila Ara juga mencintainya.
Iago mengeratkan genggamannya, rasa-rasanya enggan untuk melepaskan. Jika beberapa bulan yang lalu Iago masih berusaha keras untuk menemukan sebuah alasan untuk bahagia, kini dia sudah mendapatkannya. Kebahagiaan itu ada dalam genggamannya.
*
Di tempat lain, ada empat orang yang tengah berkumpul. Meja mereka penuh dengan makanan padahal tak satu pun yang berulang tahun atau merayakan sesuatu.
“Akhirnya dia punya pacar,” ucap cewek berambut ikal itu dengan nada penuh kelegaan. “Tapi sayangnya tebakan gue meleset.”
Cewek di sebelahnya membetulkan kacamata. “Jadi kita bakalan terus terang sama Ara?”
“Menurut gue jangan.” Cowok berwajah kalem itu tidak setuju.
“Iya. Udah biarin aja,” timpal cowok yang satunya lagi.
Ketiga temannya manggut-manggut.
“Yang penting dia udah jatuh cinta.”
Masing-masing dari mereka mengangkat gelas. “Cheers!”
*
[1] PJ : Pajak Jadian.