Hening.
Suasana di sekeliling mereka mendadak hening. Suara telepon yang berdering di meja resepsionis, bahkan code blue yang diteriakkan melalui pengeras suara seolah tidak mampu menembus dinding hening yang tercipta. Tanpa perlu bersepakat, Ara dan Iago otomatis menoleh ke arah Hendra yang kini berjalan cepat menjauhi mereka.
Ara menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering. Rasa bersalah menyergapnya. Namun, Ara enggan memikirkan itu sekarang. Fokusnya saat ini adalah Iago. “Apa yang terjadi, Go?”
“Mami coba bunuh diri lagi,” jawab Iago dengan suara pelan. “Ini bukan yang pertama kalinya, tapi kali ini kondisi Mami kritis. Gue—” Kalimat Iago terputus.
Ara memeluk Iago dan mengelus punggungnya. Tak ada yang dikatakan Ara, sebab ada kalanya perkataan sebaik dan setulus apa pun tidak akan berfungsi. Ara hanya melakukan apa yang dia bisa untuk menenangkan Iago yang berantakan.
“Gue takut, Ra.” Tubuh Iago bergetar hebat. “Gue nggak tahu harus cerita sama siapa soal apa yang gue rasakan. Gue nggak bisa cerita ke siapa-siapa. Cuma lo, Ra. Karena cuma lo yang tahu kondisi gue, kebobrokan keluarga gue.”
“Gue di sini,” lirih Ara, matanya berkaca-kaca. Dengan susah payah Ara menahan air matanya agar tidak tumpah, sebab saat ini dirinya harus bisa berdiri tegak agar Iago dapat bersandar padanya.
“Gue nggak mau kehilangan Mami, Ra....” Iago akhirnya menangis, sesenggukan di bahu Ara. “Mami udah terlalu banyak menderita, gue nggak pengin Mami pergi dengan cara kayak gini. Walau cuma sekali, gue pengin Mami tersenyum, bahagia. Tapi gue bisa apa? Gue nggak bisa apa-apa.”
“Go, lo bukan anjing yang dikekang sama pemiliknya. Hidup lo adalah milik lo, jangan biarkan orang lain mengendalikan dan mengambil alih. Gue juga nggak tahu gimana caranya supaya lo terbebas dari kerumitan hidup lo, yang bisa gue katakan sama lo adalah ... lakukan yang terbaik.” Ara mendorong tubuh Iago, hingga kini dia bisa melihat wajah cowok itu dengan jelas. Ibu jari Ara bergerak menghapus air mata di pipi Iago. “Sejak gue denger ramalan itu, gue ngerasa hidup gue kayak di neraka. Gue ngerasa kalau semesta jahat banget sama gue, tapi mungkin itu nggak berlaku buat lo.” Ara terkekeh kecil. “Hidup gue dulunya terasa sempurna banget, dan sekarang? Yah, mungkin ini yang dinamakan kehidupan seperti roda, kadang di atas dan kadang di bawah. Lo jangan putus asa ya, kali aja hidup lo yang terasa kayak di neraka, besok-besok akan jadi bahagia.”
Iago tak langsung merespons. Cukup lama cowok itu terdiam sampai-sampai membuat Ara gatal ingin menegurnya. Namun, Ara menunggu, memberi waktu pada Iago untuk mencerna kalimat panjang lebar yang baru saja diucapkannya. Ara tak tahu apakah yang dilakukannya benar, semua kata-kata itu seperti tergelincir begitu saja dari mulutnya tanpa bisa ditahan.
“Tadinya gue menahan diri buat nggak hubungi lo. Gue udah janji buat angkat kaki dari hidup lo, nggak akan ganggu lo lagi. Tapi gue nggak bisa. Gue gagal menahan diri gue.”
Mendengarnya, Ara tak lagi dapat membendung air matanya. Cairan bening itu meluncur begitu saja menuruni pipinya. Setiap orang memiliki batasan. Dan mungkin, Iago kini sudah mencapai batasnya. Selama ini mungkin Iago hanya memendamnya seorang diri, entah dia tidak ingin membaginya pada orang lain atau memang dia tidak memiliki seseorang untuk berbagi. Membayangkannya, hati Ara terasa ngilu.
“Lo boleh hubungi gue kapan aja, Go. Saat lo butuh temen curhat, lo butuh temen makan, lo butuh temen main, lo boleh hubungi gue. Gue dengan senang hati akan jadi temen lo.”
Namun, Iago menggeleng. “Ini yang terakhir, Ra. Benar-benar yang terakhir. Gue janji.”
“Go....”
“Gue nggak mau ngerusak hubungan lo sama Hendra,” tukas Iago. “Nanti gue bakal minta maaf sama Hendra karena perbuatan gue hari ini.”
“Lo ngomong apa sih?” Nada bicara Ara meninggi. “Gue nggak bisa jatuh cinta sama Hendra, Go! Gue udah jujur sama Hendra soal apa yang terjadi. Soal ramalan itu, soal perasaan gue yang nggak bisa ngebales perasaannya—”
“Apa?”
“Lo denger gue bilang apa.”
“Terus siapa cowok yang lo cari?”
Ara hanya mengedikkan bahu.
Tangan Iago mengepal dan spontan meninju tembok. “Sialan! Pasti gara-gara gue. Gara-gara gue, lo kehabisan waktu buat cari cowok itu.”
“Terus gimana dong? Lo harus tanggung jawab,” balas Ara berseloroh. “Lo udah janji buat temuin cowok itu buat gue.”
“Gue pasti bisa temuin cowok itu buat lo,” janji Iago.
Ara meringis. “Nggak usah terlalu percaya diri. Lo bilang cowok itu adalah Hendra, tapi nyatanya bukan.”
“Ra, cowok kayak apa yang bisa bikin lo jatuh cinta?”
“Gue juga nggak tahu.” Ara membuang napas kasar. “Kata Vika dan Monic, jatuh cinta itu indah. Menyenangkan. Tapi kok gue sama sekali nggak pernah ngerasa kayak gitu sama cowok? Gue nyaman sama Hendra, kami berdua nyambung banget, tapi cuma sebatas itu. Gue nggak ngerasa gimana-gimana.”
“Lo terlalu banyak menerima cinta, sampai-sampai lo nggak tahu apa yang namanya cinta. Hati lo udah tawar,” anggap Iago. “Apa yang dirasakan orang lain sebagai cinta, lo rasakan sebagai sesuatu yang biasa aja.”
Apa iya memang seperti itu?
“Iago!” Seseorang memanggil.
Ara dan Iago sontak menoleh. Itu adalah tante Iago yang pernah Ara temui tempo hari.
“Kondisi mami kamu semakin stabil, kita pantau sampai besok, kalau tetap stabil mami kamu bisa dipindahkan ke ruang rawat untuk pemulihan,” terang tante Iago.
Iago hanya mengangguk kecil, ekspresi wajahnya terlihat lebih lega.
“Kamu pulang aja, banyak-banyak istirahat biar nggak sakit. Di sini ada perawat yang jagain kok, kebetulan Tante juga shift malam.”
“Iya, Tan.”
“Ya udah, Tante tinggal dulu ya.”
Ara mengembus napas lega. “Lo masih pakai seragam,” dia mengomentari Iago.
“Gue nggak sempat ganti baju.” Iago menatap Ara lekat-lekat. “Lo ke mana aja dua hari belakangan? Gue nggak ngelihat lo di sekolah.”
“Hhh, gue tumbang. Sakit. Flu.”
“Lo sakit dan nggak masuk sekolah, tapi langsung dateng ke sini setelah terima telepon dari gue?” Iago melongo, sulit untuk percaya.
“Ya gitulah,” jawab Ara santai.
“Sori, gue terpaksa.”
“Lo sadar kalau gue nggak masuk sekolah?”
Iago meraih tangan kanan Ara dan memadanginya. “Di sekolah, gue selalu cari-cari lo. Gue ngelihat lo dari jauh, sudut di mana lo nggak bisa balas ngelihat gue. Gue tahu ini lucu dan nggak masuk akal. Gue pengin mendekat, tapi gue nggak boleh ngelakuin itu. Jujur, gue kangen ribut sama lo. Itu jauh terasa lebih baik ketimbang nggak bisa ngomong sama lo.”
Aneh. Namun, Ara juga merasakan hal yang serupa. Hari-harinya dengan Iago terasa jauh lebih menyenangkan, walau setiap bertemu mereka lebih sering berargumen.
“Go, apa yang lo rasakan ketika lo jatuh cinta?” tanya Ara dengan sorot mata ingin tahu. “Maksud gue, kan lo pernah jatuh cinta sama Kak Lisa.”
“Terus terang gue nggak begitu paham dengan perasaan gue saat itu. Gue suka ngelihat Lisa.”
“Kak Lisa emang cantik.”
Iago menyeringai. “Tapi setelah gue tahu dia sama Daniel ada main di belakang gue, semua perasaan itu seketika berubah jadi benci.”
“Lo sakit hati nggak?”
“Nggak.”
“Sama sekali?” Ara terbelalak.
“Iya.”
“Aneh. Biasanya orang akan sakit hati kalau diselingkuhin.”
“Sok tahu lo! Lo sendiri belum pernah jatuh cinta,” balas Iago tidak terima.
Ara cemberut.
Sebetulnya, ada satu hal yang ingin ditanyakan Ara pada Iago, hanya saja.... Ara menggigit bagian dalam pipinya, kepalanya menyusun kalimat pertanyaan untuk Iago. Lalu, ketika kalimat itu sudah selesai disusun, ternyata keberanian yang dimiliki Ara belum cukup.
Ara memejamkan mata, mencoba untuk mengumpulkan remah-remah keberaniannya yang berceceran. Dengan satu tarikan napas panjang, Ara membuka mulutnya, “Go, boleh tanya sesuatu, nggak?”
Iago mengangguk. “Tanya aja. Sejak kapan lo jadi sungkan sama gue? Biasanya omongan lo ke gue sama sekali nggak ada saringannya,” responsnya yang malah terkesan mencibir.
Ara mengabaikan unsur sarkas dalam kalimat Iago. “Lo bilang suka sama gue.... Emangnya apa yang lo rasakan ke gue? Kita bahkan jarang banget akur.”
“Gue sayang sama lo. Gue ngerasa jauh lebih baik saat lo ada di samping gue. Bahkan saat gue jengkel atau sakit hati sama lo, itu rasanya jauh lebih baik daripada berada jauh dari lo.”
Ara seketika berpaling mendengar jawaban Iago. Perutnya menggelenyar dan darah di tubuhnya terasa mengalir lebih cepat.
“Andaikan nggak ada ramalan itu, saat ini gue pasti masih berusaha ngedapetin hati lo,” imbuh Iago.
“Gue juga benci sama ramalan itu.”
“Tapi gue memilih buat ngelepasin lo. Selama lo bisa hidup dan bahagia, gue juga akan bahagia. Mungkin nanti hati gue bakal sakit dan gue bakal nangis kayak anak TK yang direbut permennya, tapi gue yakin itu semua rasanya jauh lebih baik daripada ngelihat lo mati. Yah, setidaknya meski cuma dari jauh, gue masih bisa ngelihat lo.”
Mata Ara kembali berkaca-kaca. “Lo jangan bikin gue nangis dong!” protesnya sembari mencubit lengan Iago.
“Sori. Gue cuma jujur, bukan berniat bikin lo nangis. Maaf ya, Ra.” Iago mengusap kedua mata Ara dengan ibu jarinya.
“Minggu depan ulang tahun gue, feeling gue mengatakan kalau gue gagal. Gue nggak bisa jatuh cinta sama cowok mana pun.”
“Ra, gue nggak tahu apa yang sebenarnya lo rasakan. Tapi bisa nggak kalau lo lebih jujur sama diri lo sendiri? Gue yakin saat lo mau jujur sama diri lo sendiri, lo akan menemukan cowok yang lo cari, cowok yang bisa bikin lo jatuh cinta dengan perasaannya yang tulus.”
“Kalau gue nggak bisa?”
“Jangan keras kepala. Kalau lo tahu sebenarnya cinta itu seperti apa, lo pasti ketemu sama cowok yang lo cari.”
Ara diam.
“Kalau butuh bantuan gue, lo tinggal bilang.”
Ara masih diam. Pikirannya terasa kosong.
“Jangan gagal ya, soalnya kalau lo gagal, terus lo mati, gue bakalan patah hati.”
Gagal atau tidak, Ara tidak bisa menjanjikan apa-apa. Setengah dari dirinya ingin menyerah, sementara setengah lagi dari dirinya ingin terus maju.
“Gue akan berusaha biar lo nggak patah hati,” ungkap Ara setelah cukup lama merenung.
*