Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love 90 Days
MENU
About Us  

Sudah dua hari ini Ara tidak masuk sekolah. Pilek yang dikiranya akan sembuh dengan cepat, malah bermutasi menjadi flu berat dan demam. Ara mengembus napas, belakangan ini masalah datang seperti air bah. Dan dirinya yang tidak siap menghadapi air bah tersebut berakhir tumbang seperti ini.

Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Iago? Apakah cowok itu baik-baik saja?

Beberapa kali berpapasan di sekolah, Iago sama sekali tidak menoleh padanya. Walau penasaran, Ara tidak berani terlalu memperhatikan ekspresi Iago saat itu. Ara hanya memohon dalam hati semoga semuanya baik-baik saja.

“Nah? Kenapa gue malah khawatir sama tuh anak sih?” gumam Ara menggerutu sendiri.

Harusnya hal itu tidak boleh terjadi. Harusnya Hendra yang ada di pikirannya, bukan malah Iago.

Ponsel Ara bergetar. Rupanya Hendra yang menelepon. “Halo, kenapa, Hen?” sahut Ara tanpa basa-basi.

“Gue di depan rumah lo nih.”

“Oh! Masuk aja. Gue di kamar.”

“Oke. Gue masuk ya.”

“Oke.”

Tak berselang lama, Hendra sudah berada di kamar Ara. Cowok itu sibuk mengamati Ara yang masih tampak kurang sehat.

“Gimana keadaan lo?” tanya Hendra.

“Udah mendingan,” jawab Ara, mencoba untuk tersenyum.

Hendra membantu Ara bangun dan membetulkan posisi bantal agar nyaman untuk bersandar.

“Lo sebenernya ada masalah apa, Ra?”

“Masalah?” Ara pura-pura tak paham dengan maksud Hendra. “Gue cuma flu, bukannya sakit gara-gara masalah.”

Sepasang mata Hendra menyipit, menyangsikan kejujuran Ara. “Belakangan ini lo berubah.”

“Berubah? Nggak, Hen, gue nggak berubah. Gue masih Arabella yang lo kenal.”

“Lo kelihatan tertekan. Gue nggak tahu lo kenapa, tapi gue harap bukan gue yang bikin lo tertekan.” Hendra menghela napas. “Gue suka sama lo. Gue pengin lo jadi pacar gue. Tapi kalau pendekatan gue bikin lo nggak nyaman, bahkan malah tertekan, gue akan berhenti.”

Bukan. Bukan seperti itu.

Ara menggeleng lemah. “Bukan lo penyebabnya,” terangnya meluruskan.

“Berarti bener, kan? Lo ada masalah?”

Kali ini Ara tidak lagi memiliki ruang untuk mengelak. “Iya. Gue ada masalah...” Ara mengambil jeda, bingung mau menjelaskannya seperti apa, “masalah yang bisa dibilang konyol. Atau malah gue yang konyol karena percaya sama ramalan itu?”

“Ramalan?”

Ara mengangguk sekali. “Lo inget waktu festival musik di SMA Nusantara awal Januari lalu?”

“Iya. Gue inget.”

“Waktu itu ada seorang peramal yang bilang kalau gue bakal mati.” Ara menarik sebelah sudut bibirnya. Menyeringai. “Peramal itu bilang, itu semua terjadi karena gue terlalu banyak menerima cinta. Lalu biar gue nggak mati, gue harus bisa berbagi cinta sama seorang cowok yang kekurangan cinta sebelum ulang tahun gue yang ke-17.”

Hendra menyimak. Namun, kali ini keningnya mengernyit dalam.

“Vika sama Monic bantu gue. Menurut analisa mereka, kemungkinan besar cowok yang kekurangan cinta itu adalah cowok-cowok yang pernah ngedeketin gue—”

“Jadi karena itu lo sempat deketin Alan?”

Ara mengangguk. “Terus Iago muncul. Cowok sinting itu minta bantuan gue buat pura-pura jadi pacarnya, sebagai gantinya Iago akan cari semua informasi soal perasaan semua cowok yang suka sama gue. Pada akhirnya yang tersisa cuma lo. Lo yang paling tulus, lo suka sama gue karena emang lo suka, nggak ada modus lainnya.”

Hendra manggut-manggut. Mengerti. “Sekarang gue tahu alasan lo bersikeras buka hati lo buat gue.”

“Gue udah jahat sama lo, Hen. Gue egois karena gue nggak mau mati.”

Cowok itu meraih tangan Ara dan meremasnya. “Lihat gue,” pintanya.

Ara menatap lurus-lurus mata Hendra. Ada sedikit pancaran kekecewaan, tapi tidak ada kemarahan sedikit pun. Malahan pancaran ketulusan yang paling mendominasi.

“Bilang sama gue, gimana perasaan lo ke gue.... Lo cinta sama gue nggak?”

“Hen—”

“Jawab jujur, Ra,” potong Hendra. “Bukan buat gue, tapi buat lo sendiri.”

Ara terdiam. Pertanyaan ini jauh lebih susah daripada menyeimbangkan neraca. “Gue nggak tahu,” jawabnya setelah terdiam agak lama.

“Lo pasti tahu,” balas Hendra. “Lo cuma nggak mau jujur. Sekali lagi gue tanya, lo cinta sama gue nggak?”

Ragu-ragu, tapi akhirnya Ara menggeleng.

“Nah, kalau gitu kenapa lo maksa?”

“Karena gue nggak tahu harus cari cowok itu di mana lagi, Hen. Gue buntu. Dan lo, satu-satunya cowok yang gue kenal paling baik. Cowok yang tulus sama gue....”

“Sini.” Hendra merengkuh tubuh gemetar Ara. Dalam pelukan Hendra, Ara merasa dadanya sedikit lega, seolah cowok itu sudah berbaik hati menanggung sebagian bebannya. “Ra, gue suka sama lo. Suka banget. Bohong kalau gue nggak ngarep lo jadi pacar gue. Tapi masalahnya meski alam kita sama, perasaan kita beda frekuensi. Jadi, gue rasa nggak perlu dipaksain.”

Mendengarnya, Ara malah menangis. “Lo kenapa baik banget sama gue sih?”

“Ini bukan soal baik atau nggak, Ra,” desah Hendra. “Kalau lo terus maksain diri buat jatuh cinta sama gue, ujung-ujungnya lo sendiri yang bakal mati.”

Kalimat itu menyentaknya. Hendra benar. Awal bulan depan adalah ulang tahunnya yang ke-17, itu artinya waktu Ara semakin sedikit. Ke mana lagi dia harus mencari cowok itu?

“Gue sedih, Ra. Ternyata selama ini gue bikin lo buang-buang waktu yang harusnya lo pakai buat cari cowok itu.”

“Tapi, Hen....”

“Nggak ada tapi, Ra,” tukas Hendra. “Gue berharap banget gue adalah cowok itu. Tapi sejauh ini kita jalan bareng, gue bahkan nggak bisa sedikit aja dapetin hati lo. Iya, kan?”

Ara menggigit sudut bibirnya, merasa semakin putus asa. “Terus gue harus gimana?”

“Gue bukan cupid yang dengan gampangnya bisa bolak-balikin hati orang seenak udel. Tapi gue yakin lo bisa menemukan cowok itu, meski di detik-detik terakhir. Percaya sama gue.”

“Kalau gue nggak bisa?”

“Lo pasti bisa. Inget kata-kata gue, kalau hati lo terasa kosong, itu artinya udah dicuri sama orang. Lo sebagai pemilik hati pasti tahu siapa malingnya.”

Ara menjauhkan diri dari Hendra. Dia menunduk dan menangis sekencang-kencangnya, mengeluarkan seluruh emosi yang selama ini terperangkap di dadanya. “Gue minta maaf sama lo, Hen. Gue minta maaf....”

Hendra memeluk kepala Ara. “Lo nggak perlu minta maaf, Ra. Selama lo hidup dan jadi temen gue, gue udah seneng setengah mati.”

Ara tak menjawab dan terus menangis.

“Percaya sama gue. Lo pasti bisa.”

Ponsel Ara bergetar. Ara menjauhkan diri dari Hendra dan melihat siapa lagi yang meneleponnya.

Iago.

Tubuh Ara membeku, matanya terpaku pada nama itu. Nama yang Ara pikir tidak lagi akan muncul di layar ponselnya.

Melihat kebimbangan Ara, Hendra dengan cepat mengambil sikap. Dia menyambar ponsel Ara dan menyodorkan pada pemiliknya. “Kalau lo ngerasa lo perlu jawab telepon dari Iago—”

Ara mengambil alih ponselnya dari tangan Hendra. “Halo, Go...?”

“Gue tahu ini nggak seharusnya gue lakuin. Gue juga akan terima kalau sampai Hendra marah sama gue.”

Ara hanya diam.

“Ra....” Suara Iago tercekat. “Tadinya gue nggak mau telepon lo, tapi gue cuma bisa berbagi ini sama lo. Gue butuh lo sekarang juga!”

“Bentar. Bentar. Lo kenapa? Lo di mana?” Ara mulai panik.

“Gue di rumah sakit. Mami kritis.”

Mendengarnya, Ara sontak melompat dari tempat tidurnya. “Lo share loc posisi lo sekarang. Jangan ke mana-mana, gue segera ke sana.”

“Lo mau ke mana, Ra?” tanya Hendra yang keheranan melihat sikap impulsif Ara.

“Ke rumah sakit,” jawab Ara sembari membuka lemari pakaiannya. “Tolong lo tunggu di luar dulu ya, gue mau ganti baju.”

“Ra,” Hendra menghampiri Ara, menyambar tangan cewek itu, “gue nggak tahu apa yang terjadi sama Iago sampai lo sepanik ini. Tapi gue akan anterin lo ke sana.”

Ara terpaku sejenak sebelum akhirnya mengangguk sekali dan membalas, “Oke. Makasih ya.”

*

 

Ini adalah suasana paling aneh yang pernah Hendra rasakan bersama Ara. Sebagai dua orang teman dekat yang juga memiliki banyak kesamaan, atmosfer beku di antara mereka harusnya mustahil untuk ada. Namun, kenyataannya saat ini itulah yang Hendra rasakan. Ara duduk di boncengan motornya dengan menjaga jarak. Beberapa kali Hendra melirik cewek itu melalui kaca spion, raut wajah Ara seperti tidak fokus. Rasanya ingin sekali bertanya apa yang sebenarnya terjadi, akan tetapi Hendra merasa jika pertanyaan itu dilontarkan, dia tidak akan mendapatkan jawaban.

Jika boleh berterus terang, Hendra juga tidak ingin mengantarkan cewek yang disukainya pada cowok lain. Namun, rasa-rasanya jahat sekali kalau Hendra melakukan itu.

Hendra menggeleng lemah, mencoba mengembalikan fokusnya pada jalanan, lebih-lebih sekarang ini bertepatan dengan jam pulang kerja.

“Ra, pegangan ya. Gue akan coba ngebut,” beri tahu Hendra.

“Ngebut dari Hong Kong? Kita udah terjebak macet kali, Hen,” balas Ara.

“Udah, percaya aja sama gue.”

Walau ragu-ragu, Ara akhirnya melingkarkan kedua tangannya di pinggang Hendra. Motor yang dikemudikan oleh Hendra bergerak cekatan memasuki setiap celah di kemacetan, memang tidak terlalu membantu mengingat lolos dari kemacetan itu hampir-hampir mustahil.

Setelah hampir satu jam, akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang dituju. Ara turun dengan tergesa-gesa sembari menyerahkan helmnya pada Hendra. “Makasih ya, Hen,” ucap Ara, sebelah tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel untuk memeriksa pesan WhatsApp yang masuk.

“Dia di mana?” tanya Hendra.

“Di ruang ICU.”

“Gue temenin lo ke sana.”

Ara menggeleng. “Nggak usah, Hen.”

“Ra,” Hendra menepuk pundak Ara, “gue akui gue kecewa, tapi gue tulus kok nganterin lo ke dia.”

“Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Iago, Hen. Gue—”

“Lo nggak perlu jelasin apa pun. Gue nggak butuh itu, karena bagi gue semuanya udah jelas.”

Kening Ara mengerut, menyiratkan sebuah pertanyaan.

Hendra mengangguk. “Lo nggak punya perasaan yang sama kayak gue, jadi ... saat ini gue cuma bisa ngedukung lo, gue akan jadi sahabat yang selalu ada di sisi lo.” Perasaan Hendra benar-benar tak karuan saat mengatakan itu, antara hancur dan merasa lega. Perasaannya pada Ara tidak berbalas yang tentu saja menyakitkan, akan tetapi di sisi lain Hendra tetap ingin berada di samping Ara sebagai seorang yang dapat diandalkan kapan saja.

“Gue nggak ngerti harus ngomong apa sama lo,” balas Ara, dia berpaling ke arah lain seolah menghindari tatapan Hendra.

Hendra terkekeh pelan. “Udah. Udah. Nggak usah mikir macem-macem, Iago nungguin lo. Lo tunggu sebentar di sini, gue parkir dulu.”

Ara mengangguk.

Iago duduk di depan ruang ICU ketika Ara dan Hendra tiba. Cowok itu bersandar di salah satu deretan kursi tunggu, bersedekap dengan kedua mata terpejam. Ara berlarian kecil menghampiri Iago.

Pemandangan ini menyakiti Hendra, hatinya yang semula melambung tinggi penuh harapan tiba-tiba saja dicampakkan ke tanah dan diinjak-injak. Sisi egois Hendra memaksanya untuk menarik Ara kembali, tapi tubuhnya menolak. Kedua kaki Hendra seolah terpaku pada lantai, bergeming tidak melakukan apa-apa. Hendra menghela napas panjang sekali, menenangkan hati dan pikirannya yang amburadul.

“Gue pengin benci sama lo, Ra, tapi gue nggak bisa,” lirih Hendra yang mengabur begitu saja terbawa angin.

Hendra berjalan ke arah Iago dan Ara. Ara tengah memegang tangan Iago seolah memberi kekuatan, tanpa perlu berkomunikasi secara verbal, keduanya tampak sudah saling mengerti. Ingin rasanya bertanya apa yang terjadi. Alih-alih menyuarakan pertanyaan besar di benaknya, Hendra memilih tersenyum dan berucap, “Gue pulang dulu ya. Hubungi gue kalau lo butuh apa-apa.”

Tanpa perlu menanti respons dari Ara ataupun Iago, Hendra membalikkan badan dan berjalan cepat masuk ke dalam lift yang akan membawanya turun  menuju tempat parkir.

*

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Moira
27430      3305     5     
Romance
Diana adalah seorang ratu yang tidak dicintai rajanya sendiri, Lucas Jours Houston, raja ketiga belas Kerajaan Xavier. Ia dijodohkan karena pengaruh keluarganya dalam bidang pertanian dan batu bara terhadap perekonomian Kerajaan Xavier. Sayangnya, Lucas sudah memiliki dambaan hati, Cecilia Barton, teman masa kecilnya sekaligus salah satu keluarga Barton yang terkenal loyal terhadap Kerajaan Xavie...
Hanya Untukku Seorang
1123      617     1     
Fan Fiction
Dong Hae - Han Ji bin “Coba saja kalo kau berani pergi dariku… you are mine…. Cintaku… hanya untukku seorang…,” Hyun soo - Siwon “I always love you… you are mine… hanya untukku seorang...”
Fighting!
594      419     0     
Short Story
Kelas X IPA 3 merupakan swbuah kelas yang daftar siswanya paling banyak tidak mencapai kkm dalam mata pelajaran biologi. Oleh karena itu, guru bidang biologi mereka memberikan tantangan pada mereka supaya bisa memenuhi kkm. Mereka semua saling bekerja-sama satu sama lain agar bisa mengenapi kkm.
Kuliah atau Kerja
520      305     1     
Inspirational
Mana yang akan kamu pilih? Kuliah atau kerja? Aku di hadapkan pada dua pilihan itu di satu sisi orang tuaku ingin agar aku dapat melanjutkab sekolah ke jenjang yang lebih tinggi Tapi, Di sisi lainnya aku sadar dan tau bawa keadaan ekonomi kami yang tak menentu pastilah akan sulit untuk dapat membayar uang kuliah di setiap semesternya Lantas aku harus apa dalam hal ini?
PROMISES [RE-WRITE]
6307      1877     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
Who are You?
1492      696     9     
Science Fiction
Menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan? Terdengar keren, tapi bagaimana jadinya jika tiba-tiba tanpa proses, pengetahuan, dan pengalaman, orang awam menangani kasus-kasus medis?
I'm Growing With Pain
15092      2601     5     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Catatan 19 September
27649      3800     6     
Romance
Apa kamu tahu bagaimana definisi siapa mencintai siapa yang sebenarnya? Aku mencintai kamu dan kamu mencintai dia. Kira-kira seperti itulah singkatnya. Aku ingin bercerita sedikit kepadamu tentang bagaimana kita dulu, baiklah, ku harap kamu tetap mau mendengarkan cerita ini sampai akhir tanpa ada bagian yang tertinggal sedikit pun. Teruntuk kamu sosok 19 September ketahuilah bahwa dir...
Premium
RARANDREW
19589      3897     50     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Eagle Dust
749      500     0     
Action
Saat usiaku tujuh tahun, aku kehilangan penglihatan karena ulah dua pria yang memperkosa mom. Di usia sebelas tahun, aku kehilangan mom yang hingga sekarang tak kuketahui sebabnya mengapa. Sejak itu, seorang pria berwibawa yang kupanggil Tn. Van Yallen datang dan membantuku menemukan kekuatan yang membuat tiga panca inderaku menajam melebihi batas normal. Aku Eleanor Pohl atau yang sering mereka...