Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love 90 Days
MENU
About Us  

“Go, lo mau ke mana?” Ara terengah-engah mengejar Iago. “Lo kenapa lari kayak maling kambing diuber warga sih?” tanya Ara lagi ketika cowok itu berhenti karena sudah sampai di mobilnya.

“Gue harus pergi,” beri tahu Iago tanpa menoleh.

Ara seketika bingung, terlebih ketika melihat wajah Iago yang kelimpungan. “Gue ikut sama lo,” putusnya.

“Nggak usah.”

“Gue maksa.”

“Lo bakal ngerepotin gue.”

“Gue bakal urus diri gue sendiri.”

Iago menggerang frustrasi, namun saat ini dia harus segera pergi dari sini. “Ya udah, lo ambil tas lo dulu. Gue tunggu di gerbang depan.”

“Jangan ditinggal.”

“Iyaaa,” sahut Iago tak sabaran.

Ara kembali ke ruang OSIS untuk mengambil tasnya, kemudian secepatnya lari menuju gerbang depan. Di mana Iago sudah menantinya dan siap untuk pergi.

“Pakai sabuk pengamannya. Gue bakal ngebut,” perintahnya sesaat sebelum menginjak pedal gas.

Ara hanya mengangguk, sama sekali tidak bertanya walau rasa penasarannya sudah mencapai ubun-ubun. Entah kenapa Ara merasa jika ada yang tidak beres dengan Iago. Bukannya tadi Iago baik-baik saja? Tapi sekarang....

Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, mereka sampai pada sebuah rumah berpintu gerbang besar. Melihat ada yang datang, seseorang yang Ara asumsikan sebagai penjaga langsung keluar dari pos jaga yang terletak di sisi kanan rumah dan membukakan gerbang untuk Iago.

Jujur sampai di sini Ara masih tidak mengerti. Potongan puzzle ini terlampau sulit untuk dirangkai.

Di depan sana, berdiri sebuah rumah yang kelewat mewah untuk ukuran Ara. Tepat di pintu masuknya, ada empat orang berbadan gempal yang berjaga. Mereka semua tampak menyeramkan hingga membuat Ara bergidik sendiri.

Mobil berhenti mendadak yang membuat Ara terlontar ke depan, untung saja masih tertahan oleh sabuk pengaman. Sementara Iago langsung melesat keluar dari mobil dan berlari kencang masuk ke dalam rumah.

“Go....” Ara kewalahan mengikuti cowok itu.

Iago masuk ke sebuah ruangan dan membiarkan pintunya terbuka. Ara yang merasa sebagai orang asing memilih untuk berdiri di luar, menyender pada kosen pintu.

“Gimana bisa kejadian kayak gini sih?!” bentak Iago pada beberapa orang yang sedari tadi sudah berada di dalam. “Kalian ngapain aja?!”

“Maaf, Mas.... Tadi habis saya mandikan nggak apa-apa. Ibu masih nonton TV,” jawab seorang wanita paruh baya berdaster itu dengan takut-takut. “Terus saya ke dapur buat masak makan malam—”

“Arrrgh!” Iago mengerang sejadi-jadinya. “Udah, kalian pergi sana! Keluar! Keluar!!!” bentaknya sambil menunjuk ke arah pintu.

“Mami kamu nggak apa-apa, Go,” kata satu-satunya orang yang masih tinggal di dalam ruangan setelah yang lain keluar. “Tante sudah kasih obat penenang. Semoga waktu mami kamu bangun nanti, semuanya sudah kembali stabil,” lanjutnya, menepuk-nepuk bahu Iago.

Iago tak menyahut.

“Tante pergi dulu,” katanya lagi. “Oh iya, kamu jangan main marah-marah sama asisten rumah tangga kamu, mereka tadi sudah gerak cepat. Soalnya kalau nggak, kejadiannya bakal lain.”

Wanita yang mengenakan blazer putih, yang menyebut dirinya Tante itu mengemasi barangnya, memasukkannya ke dalam tas besar, lalu meninggalkan ruangan. Akan tetapi langkahnya tertahan ketika mendapati Ara berdiri di ambang pintu.

Sebelah alisnya terangkat. “Kamu...?”

“Saya temannya Iago,” jelas Ara.

“Oh!” Wanita itu tampak terkejut. “Kamu jangan tinggalin dia ya. Emosinya suka nggak stabil kalau menyangkut ibunya.”

Ara ternganga. Tentu saja dia bingung. Namun belum sempat Ara bertanya apa maksudnya, wanita itu sudah terlanjur pergi.

“Masuk aja kalau mau masuk. Jangan berdiri aja kayak balon Oppo di depan konter HP gitu,” tegur Iago. Cowok itu mencoba untuk berseloroh, tapi jatuhnya malah garing.

Walau ragu, Ara tetap melangkah masuk.

Tidak ada yang aneh dengan kamar ini, semuanya tampak normal seperti kamar pada umumnya. Ada tempat tidur, lemari pakaian, meja rias, nakas.... Yang membuatnya berbeda adalah sosok yang tergolek di atas tempat tidur itu.

Seorang wanita dengan wajah pucat dan kedua mata terpejam. Napasnya tenang selayaknya orang tidur. Menariknya, lengan kiri wanita itu penuh bekas luka, bahkan beberapa di antaranya masih baru.

“Ini nyokap gue,” beri tahu Iago. “Gue manggilnya Mami.”

Ara membatu. Lidahnya kelu hingga tak bisa berkata-kata. Lagi, Ara mengamati wanita yang sama sekali tidak mirip dengan Iago tersebut.

“Sini.” Iago memberi isyarat dengan tangannya, meminta Ara agar mendekat.

Ara duduk di tepian tempat tidur, tangannya bergerak pelan, hati-hati menyingkirkan anak rambut yang berserakan di dahi mami Iago. “Nyokap lo cantik,” komentar Ara.

“Paling cantik, lebih dari siapa pun,” balas Iago. “Harusnya besok malam gue baru mau ajak lo ke sini, tapi....” Iago tak bisa meneruskan kalimatnya.

Ara mengalihkan pandangannya pada Iago. “Gue nggak bakalan tanya macem-macem sekalipun gue penasaran setengah mati,” ujarnya. “Gue tahu lo bakalan cerita kalau emang lo mau.”

Iago yang semula menduduki kursi di sebelah tempat tidur, berpindah untuk duduk di tepi ranjang. “Mami stres setelah tahu Papi suka main perempuan. Mulanya cuma nangis dan mengurung diri di kamar, tapi lama-lama mulai nyakitin diri sendiri, cenderung pengin mati. Papi yang nggak mau reputasinya jatuh akhirnya mengungsikan Mami dari rumah utama, menaruhnya di sini, dan bilang ke media—”

“Kalau mami kamu sedang mengurusi bisnis di Singapura,” sambung Ara, melanjutkan kalimat Iago. “Itu sih yang gue baca di majalah yang ada di lobi kantor bokap gue.”

Iago melempar senyum pahit. “Lo diam-diam stalking gue?”

“Ck, pede amat,” cibir Ara. “Pas itu gue lagi ngegembel, nungguin bokap pulang.”

“Pasti lo nggak bawa kunci rumah, ya?”

Ara mengangguk.

Kemudian hening lagi. Suasana berubah kaku karena mereka sama-sama diam. Iago mengusap kening wanita yang sudah melahirkannya itu, bibirnya menggumamkan sesuatu yang tak didengar oleh Ara.

“Mami adalah alasan gue minta tolong sama lo,” lirih Iago.

“Maksud lo?” Ara penasaran.

“Papi pegang kartu AS gue. Dia bakalan cabut semua akses gue ke Mami kalau gue nggak mau dijodohin.” Iago menunduk, meraih tangan wanita yang telah melahirkannya tersebut dan menggenggamnya. “Gue sayang banget sama Mami. Bahkan mungkin gue bisa gila kalau sampai nggak boleh ketemu Mami. Sayangnya Papi lebih berkuasa dari gue.”

“Tapi bokap lo masih kasih lo izin buat ke sini...” gumam Ara mengambang.

“Emang iya. Tapi Papi juga bisa cabut izin itu kapan aja. Semau dia. Sesuka dia.”

Ara menahan napas sejenak, hatinya terenyuh mendengar penjelasan Iago. Rupa-rupanya orang jahat itu memang nyata adanya, bahkan terhadap anak kandungnya sendiri.

“Tapi gue juga pegang kartu AS-nya Papi,” lanjut Iago.

“Sumpah, nggak ngerti gue. Lo pegang kartu AS bokap lo...?”

Iago mengangguk. “Papi itu lemah terhadap media, orang tua itu bakal ngelakuin apa aja asalkan namanya tetap baik.”

Ara menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk mendengar kelanjutan kisah rumit di balik sosok Iago yang sempurna. “Kalau gue pamerin pacar gue di depan media, Papi nggak mungkin bisa apa-apa. Yah, setidaknya untuk sementara waktu.” Iago meletakkan tangan ibunya dengan hati-hati dan membetulkan posisi selimutnya. “Selama ini Papi dikenal sebagai sosok yang bijaksana, bebas, dan berpikiran terbuka. Sosok seperti itu nggak mungkin menentang anak kesayangannya pacaran, kan?” Nada bicara Iago berubah sinis saat menekankan kata ‘anak kesayangan’.

Kening Ara mengerut. “Bentar-bentar, bukannya pas ulang tahun lo mau dijodohin?”

“Bokap gue bakal nyuruh gue memperkenalkan Lisa sebagai pacar gue,” terang Iago. “Oh ya, asal lo tahu, di acara ulang tahun gue nanti, Papi bakal mengundang beberapa teman media.”

Ara mencebik. “Wajar! Soalnya yang ulang tahun kan anak Sultan.”

Iago mengedikkan bahu.

“Tapi kenapa lo nunggu sampai acara ulang tahun? Harusnya nggak masalah dong, lo mau pamer pacar kapan aja,” ujar Ara.

“Anggap aja gue mau jatuhin bom di Hirosima dan Nagasaki, semuanya harus dipikirkan masak-masak. Dan....”

“Dan...?”

“Gue masih ada satu kartu AS lagi. Tapi berhubung masih gue selidiki, saat ini gue nggak berani bilang apa-apa dulu.”

“Hidup lo ternyata rumit banget ya.”

“Takdir,” sahut Iago singkat, lantas menarik sebelah sudut bibirnya, menyeringai pada Ara. “Tapi kayaknya bom gue nggak bakalan bisa dijatuhin karena lo nggak mau bantuin gue,” ucapnya pasrah.

Ara menggigit sudur bibirnya. Ada segumpal rasa bersalah yang kini meleleh dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Waktu itu Ara masih tidak tahu kenapa Iago bersikeras meminta pertolongannya, cowok itu belum sepenuhnya terbuka dan selalu membuatnya bertanya-tanya.

“Gue cuma perlu pura-pura jadi pacar lo pas acara ulang tahun lo?” tanya Ara. “Sesederhana itu?”

Iago menggeleng pelan, lantas mengelus pipi Ara dengan telunjuknya. “Sejak dilahirkan, gue nggak kenal dengan istilah sederhana, Ra. Hidup gue udah rumit sejak pertama kali gue bisa menarik napas.”

Ara diam, darahnya masih berdesir merasakan pipinya disentuh oleh Iago. Lagi pula Ara juga tak mengerti harus memberikan respons seperti apa. Saat ini kepalanya sudah terlampau penuh.

“Gue udah cerita apa yang perlu lo tahu biar lo nggak terlibat dosa gue,” lanjut Iago datar. “Kalau emang lo mau bantu gue, lo cuma perlu percaya sama gue.”

“Tapi—”

“Gue nggak maksa lo kok. Sekalipun keputusan lo nggak mau bantuin gue, gue akan tetap bantu lo cari cowok itu.”

Semua hal yang ada di kepala Ara campur aduk menjadi satu, membuatnya pusing tujuh keliling. Dia seperti tergulung dalam awan abu-abu hingga tidak bisa memutuskan apa-apa. Ada keinginan untuk tetap tinggal dalam gulungan awan abu-abu ini, yang artinya dia membantu Iago berperang melawan kerumitan hidupnya. Namun di sisi lain, Ara juga ingin terbebas, kembali pada hidupnya yang dulu. Bebas dan bahagia.

“Soal cowok yang gue cari, lo nggak usah bingung. Gue bakal cari semampu gue,” ucap Ara setelah badai di kepalanya sedikit mereda.

“Nggak. Gue nggak mau ambil risiko lo mati,” tukas Iago.

“Kenapa, Go? Kenapa lo bersikeras nggak mau gue mati?”

“Karena ... lo temen gue,” jawab Iago. Dia mendesah panjang, membuang emosi yang sedari tadi terperangkap di dadanya. “Gue pernah bilang kan, andaikan gue emang harus dijodohin, gue masih punya lo sebagai temen gue. Makanya, lo jangan mati.”

Iago menatap Ara lekat-lekat. Sorot matanya yang biasanya tajam, kini melunak. Ara balas menatap mata itu, mencari-cari sesuatu yang membuat hatinya yakin bila dia bisa memercayai cowok itu.

“Kalau gitu, gue bakal nolongin lo. Setidaknya itu yang bisa gue lakuin buat lo sebelum gue mati.” Ara mengangkat bahu. “Maksudnya, gue kan nggak tahu bakal bisa nemuin cowok itu atau nggak.”

Iago berdiri dan mendekati Ara. Tangannya meraih tangan Ara, membungkusnya dalam gengamannya. “Kalau gue bilang bisa, itu berarti bisa.”

*

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ineffable class
397      261     12     
Mystery
Seluruh penghuni kelas XII IPS E rata-rata tidak waras. Di mana ketua bucin menjadi wakil ketua dan ketua kelas sendiri adalah musuhnya guru BK. Dari 15 siswa separuhnya kerapkali hilang saat jam pelajaran, 5 lainnya tidur, sisanya pura-pura menyimak guru. 15 kepribadian berbeda yang jarang akur ini, harus bersatu mencari wali kelas dikabarkan menghilang selama seminggu. Gawatnya, tuduhan tidak...
Crystal Dimension
306      210     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Sosok Ayah
898      496     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Janjiku
597      427     3     
Short Story
Tentang cinta dan benci. Aku terus maju, tak akan mundur, apalagi berbalik. Terima kasih telah membenciku. Hari ini terbayarkan, janjiku.
Kata Kamu
932      480     3     
Romance
Ini tentang kamu, dan apa yang ada di dalam kepalamu
Ti Amo
515      300     2     
Romance
“Je t’aime, Irish...” “Apa ini lelucon?” Irish Adena pertama kali bertemu dengan Mario Kenids di lapangan saat masa orientasi sekolah pada bulan Juli sekitar dua tahun yang lalu. Gadis itu menyukainya. Irish kembali bertemu dengan Mario di bulan Agustus tahun kemudian di sebuah lorong sekolah saat di mana mereka kembali mencari teman baru. Gadis itu masih menyukainya. Kenyataannya...
Aranka
4142      1395     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Breakeven
18730      2466     4     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
Reach Our Time
10311      2391     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Kejutan
447      241     3     
Short Story
Cerita ini didedikasikan untuk lomba tinlit x loka media