“Lo nguping?!” tuduh cowok itu frontal, yang langsung menghentikan umpatan Ara yang sudah berada di ujung lidah.
Ara mencoba menarik lengannya, tapi sayang tenaganya kalah kuat. “Lepasin!”
“Jawab gue! Lo nguping?”
“Lo sinting? Gue baru aja keluar dari kamar mandi terus langsung lo tuduh nguping?!”
Sekali lagi Ara berusaha melepaskan diri dan kali ini cowok itu membiarkannya. “Awas kalau lo sampai ngomong macem-macem!” ancam cowok ber-hoodie putih itu seraya menatap Ara lurus-lurus.
Tak gentar dengan tatapan lawan bicaranya yang mengancam, Ara menyunggingkan senyum seringai. Menantang balik.
“Iago Kresna,” gumam Ara pelan. “Lo ternyata jauh banget dari image baik yang selama ini gue tahu.”
Iago balas menyeringai.
Ara menyipitkan mata, menatap remeh cowok di hadapannya. “Malam ini lo bikin image lo jungkir balik di mata gue.”
“Terus lo pikir gue peduli?”
Ara tak menyahut.
“Selama lo nggak nyebarin apa yang lo denger tadi, lo aman.”
“Gue bilang—”
Iago cepat-cepat membungkam mulut Ara dengan tangan. “Gue cuma minta itu,” geramnya. Lalu Iago menarik tangannya, mundur beberapa langkah, dan membungkuk sopan ala kesatria berkuda putih. “Selamat malam, Arabella.”
Ara mematung, membiarkan Iago berjalan menjauh dengan lagak tanpa dosa. Sebelum benar-benar hilang dari pandangannya, Ara sempat melihat cowok itu menarik sepasang stik drum dari balik hoodie-nya.
“Kok dia bisa tahu nama gue?” Ara nyengir kebingungan.
*
Rasa dongkol masih bercokol di dada Ara sekalipun dia sudah kembali bergabung bersama teman-temannya. Hari ini, entah dosa apa yang dilakukanya, rasa-rasanya semua tidak berjalan sesuai dengan kemauannya. Dimulai dengan ramalan Madam Maris, kemudian Iago. Setelah ini, apa lagi?
Ck, semua itu benar-benar menjengkelkan!
Tiba-tiba Ara merasakan kepalanya dipukul lagi. “Eaaa, ngelamunin apa lo?” Dion cengengesan seraya memainkan lightstick berbentuk palu yang dipegangnya.
Ara mendengus kesal, tapi dia kehilangan selera untuk marah.
“Muka lo kusut banget habis balik dari kamar mandi,” komentar Vika dengan tatapan menyelidik. “Lo kesambet setan tisu toilet?”
“Setan tisu toilet?” Kening Monic berkerut dalam.
“Iya, kan tisu toilet kusut, kayak mukanya Ara,” jelas Vika yang disambut oleh tawa terbahak-bahak Dion.
Mendengar ocehan teman-temannya, Ara hanya mendesah pelan. Biasanya dia akan langsung membalas, tapi tak tahu kenapa kali ini rasanya malas sekali untuk menanggapi.
Hendra yang berdiri agak jauh dari Ara, kini mendekatinya. “Lo kenapa, Ra? Nggak enak badan? Mau gue anterin pulang?”
Ara mengembus napas lega. Merasa senang karena Hendra sudah ber-lo-gue. “Nggak, gue nggak apa-apa kok. Cuma kayaknya otak gue agak geser gara-gara keseringan dipukulin Dion pake palu.”
“Ntar gue bales pukul kepalanya Dion pakai godam beneran,” balas Hendra. Tangan cowok itu mengelus-elus kepala Ara dengan lembut.
Sesaat, suasana terasa hening meski di sekeliling mereka berisik oleh suara yang berasal dari seorang cowok yang menyanyikan lagu She Looks So Perfect dengan pelafalan yang pas-pasan.
“Ehm, kenapa kalian nggak jadian aja sih?” tanya Brian memecah diam di antara mereka berenam.
“Gue sih mau, Ara-nya yang nggak mau,” jawab Hendra terang-terangan yang sontak membuat pipi Ara bersemu merah. Untung saja langit sudah gelap, jadi tidak ada yang tahu.
“Kadang tuh ngelihatin kalian bikin iri,” gumam Monic. “Belum jadian, tapi berasa sweet banget. Kayak di drakor-drakor yang PDKT-nya tarik-ulur gitu.”
Vika seketika merespons, “Tarik-ulur? Emang benang layangan?”
“Lebih mirip senar pancing sih daripada layangan,” timpal Dion.
Ara menyilangkan tangan di dada. “Kenapa dari tadi gue diolok-olok terus sih?” protesnya sebal, suasana hatinya bertambah jelek.
Monic yang tanggap akan perubahan mood sahabatnya langsung mengambil tindakan. “Eh, kita ke sana, yuk! Biar jelas nontonnya,” ajaknya pada Brian, menyeret cowok itu ke bagian depan kerumunan.
“Kita ikutan juga, yuk!” Vika ikut-ikutan menyeret Dion menjauhi Ara dan Hendra.
Ara tak bereaksi apa-apa, dia masih kikuk ditinggal berdua dengan Hendra. Namun, di saat-saat mati kutu seperti ini, bayangan Iago menyelamatkannya. Kalau tidak salah Iago sekelas dengan Hendra dan Brian.
“Hen, lo sekelas kan sama Iago?” tanya Ara tiba-tiba.
Hendra bengong sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
“Iago itu anaknya kayak gimana?” tanya Ara lagi, yang otomatis membuat lawan bicaranya mengerutkan kening. “M-maksud gue dia itu bawel atau pendiam atau gimana gitu?” lanjut Ara memperjelas pertanyaannya.
Rasa tidak nyaman menyergap Hendra, akan tetapi dia berusaha untuk bersikap wajar. “Iago sama kok dengan yang diberitakan. Pintar, tajir, dan tertutup. Dia nggak terlalu punya banyak teman.”
“Kalau pacar?”
“Setahu gue sih nggak punya. Kayaknya dia lebih suka sendirian.”
“Mirip biji monokotil dong,” anggap Ara, mencoba berseloroh.
Hendra tersenyum miring, semakin merasa tidak nyaman dengan topik obrolan mereka. “Kenapa emangnya? Tumben-tumbenan lo tanya soal cowok.”
“Nggak. Bukan gitu. Jangan mikir yang aneh-aneh.” Ara mengibas-ngibaskan tangannya. “Gue cuma kaget aja dia bisa main drum.”
Sebelah alis Hendra naik. “Oh....” Namun masih saja ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
“Eh, kita susul yang lain, yuk!” ajak Ara. Tanpa basa-basi, dia menggandeng tangan Hendra dan menariknya membelah kerumunan demi mendapatkan posisi paling depan.
Sementara itu, Hendra yang merasakan genggaman Ara merenggang karena padatnya kerumunan, memilih untuk mengeratkan genggamannya pada tangan cewek itu. Hendra mengabaikan benaknya yang terus-terusan berprasangka, Lo naksir Iago, Ra?
*
Serunya festival membuat Ara lupa pada semua hal tidak mengenakkan yang dialaminya tadi. Sampai tiba saatnya Valhalla, band dari sekolahnya, tampil. Gebukan drum mengawali penampilan mereka. Ya, si pemain drum alias Prince tengah unjuk kemampuan bersolo drum. Mulanya terdengar aneh di telinga, membuat para penonton bertanya-tanya lagu apa yang akan mereka bawakan.
Lalu, setelah gebukan menggila itu berhenti, suara petikan gitar mulai terdengar yang diikuti dengan suara merdu Roni, sang vokalis.
I can feel her breath
As she’s sleeping next to me
Sharing pillows and cold feet
Tak butuh ajakan untuk membuat siapa saja yang hadir turut bernyanyi, termasuk Ara. Semua tampak menikmati, membiarkan lagu itu menghanyutkan mereka.
Sebelumnya lagu Like We Used To milik A Rocket to the Moon ini terdengar biasa saja, tapi entah kenapa kali ini terdengar begitu menyentuh.
“Gila, keren abis!” teriak Vika begitu lagu selesai.
Sedangkan Monic hanya bisa teriak-teriak tak karuan saking senangnya.
Ara melompat-lompat agar banner bertuliskan SMA Ventura di tangannya terlihat. “Uwooo! Sumpah kalian keren abis!” teriaknya tak mau kalah. Ara tersihir. Dia lupa akan peringatan Madam Maris, juga kejadian tidak menyenangkan di koridor tadi. Hatinya hanya dipenuhi kebahagiaan yang mungkin saja merupakan kebahagiaan terakhirnya.
Setelah mempersembahkan tiga lagu, para personel Valhalla bergandeng tangan dan membungkuk sebagai bentuk ucapan terima kasih. Dan meski dari kejauhan, Ara bisa merasakan bila ada sepasang mata yang menyorotnya tajam.
Prince.
Amarah di dada Ara seketika mendidih. “Gue benci lo, Iago!” sumpahnya pelan.
*