Manusia itu setidaknya memiliki empati dan tidak mengambil hak orang lain. Bila kamu tidak melakukannya berarti kamu bukan manusia.
Menatap pijar lampu kafe dengan bulir bening mengalir. Menyenderkan kepala yang terasa berat pada lengan kursi, posisi ini terjadi selama enam puluh menit sejak pertemuan dengan ayah.
Bos membiarkanku, tidak ada teriakannya kali ini.
Bos, senior dan pegawai kafe lainnya seolah mengerti apa yang baru saja kualami. Pertemuan tidak terduga yang menyerap banyak energi dan membuatku lunglai.
Sebenarnya telah berbulan-bulan aku menyiapkan kata-kata makian yang kurancang untuk menyakiti ayah dan kekasihnya. Kendati demikian, ketika saat itu tiba lidahku justru kelu membeku, mulutku terkunci rapat sementara rasa nyeri tak tertahan menjalari seluruh dada.
Perih ….
Sesak ….
Jangankan sempat memaki, bahkan aku hanya mematung ketika melihat ayah begitu kasihan ‘di bawah ketiak wanita culas’. Terlihat nyata, wanita itu memang mengaturnya, mendikte segala hal yang ayah perbuat. Kami mengenal ayah sebagai lelaki temperamen, namun wanita itu lebih emosional daripada ayah.
Sungguh itu di luar dugaan, ayah kami seperti anak itik yang mengikuti induknya. Hilang sudah harga dirinya, lenyap sudah sorot mata berani juga galak, yang ada kini hanyalah himpitan rasa malu dalam belenggu nafsu.
Aku masih bersyukur, ibu tidak melihat ayah yang seperti tadi, kalau iya, wah ... ibu bisa menangis.
Bagaimanapun aku tahu, hati Ibu terlalu lembut untuk menyaksikan pria yang pernah ia cintai tulus diperlakukan begitu buruk oleh wanita lain.
Dear seseorang di tahun 2001
Ibuku berkata cara agar berdamai dengan diri sendiri adalah menerima, merelakan, melepaskan dan memaafkan. Dengan begitu baru kita bisa mengobati sebuah luka.
Namun aku masih saja berhenti di kata penerimaan yang mudah untuk diucapkan tetapi sungguh sulit dilakukan.
Hubungan orang dewasa sungguh terlalu rumit bukan?
Serumit seribu tanya yang tak dapat terlontar di hadapan ayah. Mengapa nafsu dan hasrat ayah begitu penting? apakah keberadaan kami dalam hidup ayah tidak sepenting itu?
Bukankah hubungan ikatan keluarga ini tercipta karena ayah yang menginginkan? Lantas mengapa ayah tidak berhenti saja mengejar ego pribadi terbentur pada kata tanggung jawab.
Lalu wanita itu, mengapa tak memiliki rasa malu dan menahan diri?
Apakah akibat dari dirinya yang memaksakan kehendak untuk bersama ayah kami hanyalah permainan kehidupan yang ia lakonkan dengan mengorbankan masa depan beberapa nyawa manusia?
Huuh, orang sepertinya mana mungkin peduli, aku ragu jika ia memiliki empati.
Bagi ibu, akibat perbuatan wanita culas itu bisa dikatakan, membunuh secara perlahan. Ibuku tersenyum, tetapi hatinya terlampau sakit. Bukan hanya psikis tapi juga menyerang fisik. Kesehatannya menurun drastis. Fisiknya melemah. Tremor di tangannya sering tiba-tiba muncul. Hampir mirip Tian, mereka bisa saja menjatuhkan gelas tanpa mereka mau.
Dan bagi aku dan adikku, perbuatannya membuat kami dicampakkan oleh ayah. Iya, sosok ayah bukanlah ayah yang ramah seperti sediakala.
Sungguh akibat luar biasa dari dua orang yang terjerat nafsu bukan?
Perasaan terbuang macam apa ini?
Mengapa harus jatuh cinta jika serumit ini?!
Seandainya saja, seandainya saja ….
Betapa banyak kata seandainya berseliweran seperti benang kusut.
Benar kata ibu, satu-satunya yang tak bisa diharapkan di dunia ini adalah perasaan manusia.
Salli, 2023
Seorang headbarista menghampiri, tersenyum padaku hangat. Kami memanggilnya Tuan Neil. Usianya sekitar sepuluh tahun di atas ayah. Jika tahun ini usia ayah adalah empat puluh tiga tahun, maka kemungkinan usia Tuan Neil sekitar lima puluh tiga tahunan.
Sedikit berbeda dengan ayah, aku melihat Tuan Neil begitu sabar dan bersahaja. Hal yang paling kukagumi darinya adalah ketika hendak menyantap makanan ia akan terlebih dahulu berdoa dalam waktu lama.
Secangkir teh limau dengan jahe di dalamnya ia suguhkan di hadapanku. Keningku mengernyit tanda tak suka tapi Tuan Neil memaksa. Maka kuteguk sedikit, biarlah agar Tuan Neil senang. Suaraku memang serak, terlalu banyak mengeluarkan air mata. Membuat suara yang keluar dari rongga mulut lebih menyerupai suara tercekik.
Tuan Neil memberikan jempolnya, bukan padaku tetapi pada bos dan senior yang terlihat menunggu reaksiku dari meja bar.
Hmm, ini pasti perintah mereka.
“Mereka khawatir padamu, Salli.” Tuan Neil beralasan, seolah tahu apa yang kupikirkan.
“Aku tidak apa,” ucapku lirih.
“Dibuat kecewa oleh orang tua memang membuat pening, karena bagaimanapun kita tak bisa memutus hubungan darah.” Tuan Neil mengatakan itu sambil terus menyodorkan teh limau.
“Ya, seperti itulah,” ucapku singkat. Suaraku serak. Malas bicara.
“ Tapi kau tetap tidak bisa membencinya.” Tuan Neil mengambil kesimpulan sendiri.
“Terlalu rumit,” ujarku singkat.
Mendadak aroma enak masakan senior menari-nari menggelitik hidung. Sialnya otakku merespon dengan memberi perintah pada lambung untuk mengeluarkan bunyi berisik.
“Mmmm, sup daging buatan Sun memang paling enak.” Tuan Neil yang juga mencium aroma enak itu memuji senior yang sibuk membawa panci sup, menuju ke arah kami, diikuti oleh bos yang membawa mangkuk empat tumpuk. Sepertinya mereka bermaksud menghiburku dengan membuat perutku kenyang.
Ini memang telah menjadi kebiasaan yang mulai kusadari, bahwa jika aku mengalami hal yang kurang menyenangkan, setelahnya bos akan memerintahkan senior memberiku banyak makanan hingga kenyang, hingga mengantuk melupakan kesedihan.
Aku pernah khawatir dengan perlakuan istimewa ini, tetapi alasannya adalah karena aku satu-satunya pegawai wanita dan yang termuda.
Pegawai Kafe Gerimis ini memang tidak banyak. Selain aku, bos dan senior juga Tuan Neil hanya ada dua orang lelaki paruh baya sebagai tenaga kebersihan sekaligus keamanan area kafe.
Setiap pagi, bos memastikan semua pegawainya memulai pekerjaan dengan perut terisi. Tidak ada yang dibedakan. Karena itu aku tetap senang bekerja di sini, meskipun omelan bos sudah seperti nyanyian bagiku.
Lebih senang lagi karena mereka tidak pelit, memberi roti untuk adikku saat aku pulang bekerja.
Kami duduk melingkar, di luar jendela terlihat langit senja telah bergeser menjadi gelap. Kami menikmati sup hangat buatan senior dengan diselingi canda yang dilontarkan senior dan Tuan Neil. Aku hampir melupakan pertemuan menyebalkan dengan ayah dan kekasihnya.
Sampai akhirnya aku melihat pada bos yang menikmati sup dengan santai, bahu lebarnya bersandar pada sofa, keningnya yang berkeringat sedikit mengganggu konsentrasiku. Tak sadar aku menggelengkan kepala.
Seperti sadar kuperhatikan, bos melirikku, mukanya memerah, mungkin karena sup hangat dan lemon tea panas yang diteguknya.
Namun aku dan bos hanya saling melihat. Kendati aku sangat penasaran, apa yang bos katakan pada kekasih ayah tadi sore.
***
Bersambung