Akhirnya ada kesempatan berdua saja dengan bos, kurasa senior dan Tuan Neil sibuk menutup Kafe Gerimis serta membereskan ini itu. Aku berdehem sejenak, melirik bos yang terlihat acuh dan sibuk mencatat.
Kami berada di pantry. Seharusnya aku memeriksa persediaan kantung biji kopi yang tersisa dan mengeceknya satu persatu. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini aku selalu gagal berkonsentrasi saat berdua dengan bos. Aku justru melakukan kegiatan lain yang tidak diperintah. Padahal dia sedang tidak mengomel, tapi kediamannya lebih membuatku merinding. Jika boleh memilih, aku lebih senang dia mengomeliku saja seperti biasa.
Tak dapat kucegah, rasa penasaran mengalahkan rasa sungkan pada bos. Tanpa menatapnya, kuberanikan diri bertanya padanya. Posisiku saat ini jongkok dekat meja nakas tempat kami menyimpan lap-lap kering, aku sedang melipatnya dan memasukkan pada laci terbawah, membelakangi bos yang menyandarkan pinggangnya pada kitchen island (meja dapur) yang berada di tengah ruangan.
“Bos ....” Sedetik, dua detik aku menunggu reaksinya.
“Hmm ..” Dia menjawab malas.
Kupejamkan mata, jariku mengepal, ‘yes’ kataku, setidaknya bos memberi respon.
Bingung memulai dari mana menyusun pertanyaan yang ingin kuajukan padanya, aku memutuskan menghentikan kegiatan melipatku dan menoleh pada bos.
Detik itu juga aku memandang sebuah senyuman darinya. Sial, pertanyaan yang kususun buyar. Aku yang masih dengan posisi berjongkok dan bos yang berdiri santai, layaknya poster drama Korea di kepalaku.
“Huum?” Bos memiringkan kepala seolah bertanya. Masih terlalu malas membuka bibir rupanya.
“ Mmm, begini bos ...” aku berdiri salah tingkah, lap kering menjadi sasaran jari-jariku yang mengekspresikan grogi.
“ Tadi sore, a-apa yang kau katakan pada wanita itu?” tanyaku.
Bos mengerutkan kening, menyilangkan kedua tangan tanda ia sedang berpikir.
“Apa perlunya kau tahu, Salli?”
“Hanya penasaran.”
Bos mengambil sikap hendak bercerita, berdehem sebentar dan menatapku tajam.
“Aku menanyakan dari mana keberaniannya melamar kerja di sini dan apa dia tahu bahwa putri dari kekasihnya bekerja di sini.” Bos menghela napas berat. Lalu melanjutkan kembali.
“Apa kau tahu darimana wanita itu tentang Kafe Gerimis ini?”
Aku menggeleng pelan.
“Ayahmu,” jawab bos tegas.
“Ayah tak pernah tahu aku bekerja di sini, ia justru terkejut bertemu denganku.” ujarku keheranan.
“Huuh dia sungguh cerewet, dan yeah ambisius. Asal kau tahu tak henti-hentinya ia bersikap menggodaku.” Cerita Bos dengan wajah sebal.
Aku menyeringai mendengar itu. Sepertinya hampir semua tamu wanita yang melihat bos untuk pertama kali akan bersikap menarik perhatian bos dan menggodanya. Apa bos tidak sadar akan hal itu?
“ Kukatakan padanya untuk tidak membuang waktu berlama-lama di sini karena aku sudah pasti menolaknya.” Bos terdiam sejenak, lalu lirih ia meneruskan ....
“ Karena aku mengenal anak baik yang keluarganya kau hancurkan, itu kataku pada wanita itu.” Ucapan Bos yang terakhir membuat hatiku berdesir. Perasaan hangat memenuhi rongga dada. Aku merasa dibela dan aku senang. Sekarang aku tahu alasan wajah wanita itu merah padam.
Tanpa sadar aku tersenyum, bos pun tersenyum menatapku.
“Terima kasih,” ucapku lirih.
Bos mengangguk, bibirnya masih menyungging senyum. Ada sinar hangat dari cara bos menatapku, apakah aku salah mengartikanya ya? Sayangnya itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja pintu pantry terbuka wajah senior dan Tuan Neil muncul dari balik pintu.
Sikap bos mendadak berubah, sibuk mengomeliku tentang pekerjaanku melipat kain lap kering yang sempat terhenti. Aku merasa perubahan sikapnya karena kehadiran senior yang bos ketahui sangat menyayangiku. Bos tidak ingin terlihat perhatian padaku. Membuatku tertawa dalam hati. Pura-pura tak menyadari sesaat tadi ada moment bos melepas topeng ketusnya dan menunjukkan senyum menawannya terhadapku.
***
Senior mengantarku pulang, aku menolak tapi tentu saja senior ngotot dengan geraham gemeretak tanda tak mau menerima sanggahan. Sungguh, kadang aku berpikir bos dan senior saling bertukar peran.
Kami menggunakan mobil bos, ia meminjamkannya. Katanya sulit untuk mendapat bus malam. Sepanjang perjalanan aku banyak terdiam. Tidak biasanya senior juga tidak banyak bicara. Biasanya ia akan membuat lelucon garing untukku. Tapi kali ini tidak, senior tampak serius melihat ke depan.
Sesampai di depan rumah ia mencegahku langsung membuka pintu mobil. Senior ingin mengobrol sebentar. Aku menyanggupi dan mengurungkan niatku yang ingin segera memasuki rumah.
“Apa kau akan mengatakan pada ibu dan adikmu, Salli?” tanya Senior terlihat khawatir.
“Tentang apa?”
“Peristiwa tadi siang,” jawabnya.
“Huum, tentu saja tidak.” Aku sontak menggeleng. Senior mengangguk tanda setuju.
“Kau boleh bercerita padaku jika hatimu masih terasa berat, Salli.” ujarnya lagi.
“Aku ingin berhenti membicarakan ayah karena membuatku pening.”
“Oh ya, benarkah?” Ada nada meragukan ucapanku dalam nada bicara senior. Kenapa ya?
“Aku sungguh tidak ingin membahas soal ayah.” Aku menegaskan sekali lagi.
“Baiklah, huuft.” Senior menghembuskan napas cepat dan langsung tersenyum, menatapku lekat, tangannya mengusap kepalaku lembut.
Sedikit jengah aku menggeser dudukku. Dari pertama kami berjumpa, sikapnya sedikitpun tak berubah selalu baik dan perhatian. Semua orang di Kafe Gerimis itupun tahu apa niat senior terhadapku. Tetapi memang aku tak pernah menerima perasaannya. Seluruh kebaikannya kutolak dengan halus.
Mungkin benar adanya, ada trauma mengikat yang tidak kusadari. Aku menjadi takut menerima kebaikan dan kasih sayang seorang lelaki. Aku selalu teringat, dulu ayah pernah selalu tersenyum dan baik pada ibu, nyatanya perubahan waktu membuat ia menampilkan sosok yang sebenarnya. Aku bukannya membenci senior atau menganggap ia seperti ayah. Tidak, aku hanya takut kehilangan senyumnya yang menawan ketika aku justru menjadi kekasihnya.
Ngomong–ngomong soal senyum menawan aku jadi teringat senyuman bos di pantry tadi, saat kami mengobrol berdua. Tanpa sadar membandingkan senyuman keduanya mana yang lebih menawan.
“Aduuh.” Sebuah jentikan jari di kening menyentak lamunan konyolku.
“Melamun!” Senior tertawa setelah menyentilku.
Aku segera berpamitan padanya dan tak lupa mengucapkan terima kasih karena telah mengantarku pulang dengan selamat. Kukatakan padanya tak payah menemui ibu, karena ibu dan adikku pasti telah tertidur.
Kurasa pandangan senior mengantarkanku hingga menghilang di balik pintu rumah.
Dari balik dinding yang hilang dari jangkauannya aku menyandarkan tubuhku menengadah keatas, sambil menggigit bibir, betapa hari ini begitu berat namun berakhir dengan bayangan senyum menawan dari dua orang lelaki yang membuat kesedihanku terkikis.
Oh, tidak. Mengapa aku membayangkan keduanya? Oh apakah sekarang aku serakah seperti ayah? Apakah bisa memiliki perasaan pada dua orang yang berbeda di waktu yang sama?
Aku menutup mulutku dengan kedua tangan dan segera berlari ke kamar.
Apakah pantas dadaku berdegup suka saat ini? Ketika tujuanku mengirim surat menembus waktu adalah untuk menghilang dari bumi.
Aku melempar tubuhku ke atas kasur. Menyentuh dada dengan kedua tangan. Apakah ini adil untuk adik dan ibu jika aku jatuh cinta? Perasaan bersalah, tiba-tiba menyeruak. Tidak! Ini bukan waktunya memikirkan hal romansa. Bila benar aku jatuh cinta, akupun belum tahu pada siapa rasa ini ditujukan.Bos atau senior?
Lebih baik rasa ini terkubur sebelum terlalu dalam. Menelungkupkan muka pada bantal, hingga pengap menyerbu. Tetap saja tak bisa menghalau bayang kedua wajah lelaki itu dari pikiranku.
Aaaaargh.
Lama-lama aku bisa gila!
***
Bersambung