“Hey, apa yang kau lakukan?”
“Rika, buka matamu!”
“Huh!” Aku membuka mata karena kaget mendengar seruan dari suara yang sangat ku kenal. “Cedric?” jawabku termangu, menatap sosoknya yang sudah berdiri dengan gagah berani, menggenggam tangan pria itu sekuat-kuatnya.
“Apa yang kau lakukan, dasar bodoh!” teriak pria itu dengan marah. Pria itu berusaha menarik tangannya yang digenggam erat, tetapi Cedric menahannya dengan seluruh kekuatannya.
“Lepaskan!” pria itu kembali berteriak. Suaranya semakin nyaring, tapi Cedric tak gentar. Dia juga berteriak.
“Rika! Pergi ke truk di sana, pecahan kristal komet pasti di sana, aku bisa merasakannya!”
Aku menatap truk di kanan ku, sekitar 50 meter dari tempat aku terduduk diam, menyaksikan mereka berdua adu kekuatan. Sekali lagi, aku menatap Cedric. Rasanya tidak mungkin meninggalkannya.
“Tapi Ced—.” Aku hendak membantah, tapi dia tetap keras kepala. “CEPATLAH!”
Aku terdiam, sesekali menatap ke truk itu merasa kurang yakin. Tapi bagaimanapun ini harus kulakukan. Aku segera berdiri tanpa pikir panjang lagi, lalu berlari. Cedric dengan sisa tenaganya berteriak keras.
“Cepat, Rika!”
“Apa yang kau lakukan, bodoh!” ucap pria itu masih berusaha menarik lengannya yang ditahan Cedric dengan kedua lengannya.
Sesekali aku melirik ke belakang memastikan aku tidak terlambat dan tetap fokus berlari ke depan. Hingga beberapa prajurit datang menghadang.
“Aku tidak punya waktu meladeni kalian!” teriakku. Aku terus berlari, pisau di kantong kananku segera kuambil. Bersiap menebas leher mereka.
Slash! Satu orang terjatuh, berhasil lumpuh. Tiga lainnya menyusul menyerang. Aku menendang salah satu di antara mereka lalu yang lain datang dari belakang. Aku menunduk, hampir tertusuk pisau di kepalaku. Kemudian kaki kananku memutar, merobohkan pertahanan kaki mereka.
Dengan cepat kugores leher mereka tetapi tidak terlalu dalam. Sejujurnya aku tidak berani membunuh seseorang, itu bertentangan dengan akal sehatku.
Bum! Suara dentuman terdengar. Aku menoleh ke belakang, menghentikan langkahku sesaat.
“Cedric!” seruku setelah melihat Cedric terlempar karena pukulan pria itu. Cedric membalas teriakanku.
“Pergilah! Aku masih bisa menahannya!” teriaknya dengan tangan kanan dan sekujur tubuh hampir membiru.
Aku mengangguk, segera kembali menoleh ke depan berlari menuju truk.
“Ada tiga truk, aku tidak tahu yang mana. Sial,” dengusku dengan kesal. Tapi tanpa berpikir panjang, aku segera mendekati salah satu dari tebakan ku. Segera kulayangkan pukulan keras untuk membukanya.
Bum! Bum! Bum! Tiga pukulan berhasil menjebol pintu belakang truk. Namun, tebakan pertama kosong. Aku menderu kesal, segera berlari ke truk di sebelahnya.
Tiga pukulan lagi kulayangkan, aku berhasil merobohkan pintunya dengan paksa.
“Lagi?” dengusku setelah melihat isi truk kedua hanya berisikan senjata api dan beberapa senjata dingin. Aku segera berlari ke truk satunya, yang sedikit lebih jauh.
“Hiyaaaaargh!” Cedric berteriak, langkahku terhenti segera menoleh ke arah pertarungan. Terlihat Cedric sudah terpojok. Aku harus cepat.
“Ini yang terakhir. Aku berharap ini benar,” desakku dalam hati.
“Imagination: Barrier punch!” Bum! Bum! Bum! Bum! Empat pukulan kali ini. Pintunya cukup kuat, sulit dirobohkan. Namun, aku tak mau menyerah. Kali ini tebakan yang tersisa harus benar.
Di dalamnya, terdapat dua cincin dilapisi tabung kaca dengan perak khusus. Terlihat memukau dan bersinar. Aku segera naik, mengambilnya dengan hati yang berdegup kencang.
“Kalau tidak salah cincin ini akan mengakibatkan pemakai mengalami evolusi kedua secara paksa, kan?” gumamku sambil menatap kedua cincin itu dengan mata penuh keraguan.
Bum! Dentuman keras terdengar dari luar. Jantungku berdegup kencang saat aku segera berlari keluar, menatap dari balik truk. Cedric masih menahan pria itu dengan sisa tenaganya. Tubuhnya hampir seluruhnya membiru. Aku bisa melihat betapa parahnya kondisi Cedric. Penuh rasa cemas, aku bergumam, “Apa yang harus kulakukan?”
“Jika kupakai cincin ini, mungkin akan menambah kekuatanku—tapi risiko cincin ini…” Aku menatap kedua cincin yang kugenggam. Aku sadar akan risiko yang harus kuterima jika memakai kekuatan dari cincin ini. Aku menarik napas panjang, memutuskan dengan helaan terakhir, “Tidak ada cara lain. Aku harus melakukannya.”
Dengan tangan gemetar, aku segera memakai salah satu cincin kristal komet itu di jari kelingkingku. Cahaya biru mulai bersinar dari cincin, mengalir melalui pembuluh darahku seperti energi yang mengalir, terlihat dari hari hingga ke lenganku mulai membiru, memperlihatkan arteri dan vena yang tampak jelas.
“Rasanya tidak sakit,” gumamku sambil menatap reaksi yang terjadi di tubuhku. “Baguslah, sekarang aku harus membantu.” Aku menatap benda-benda di sekitar, mencari sesuatu yang bisa kugunakan. Hingga aku kembali melihat ke truk tadi. “Senjata, aku bisa menggunakan ini,” seruku dengan sedikit kegembiraan di tengah situasi kacau ini.
Segera, aku menutup mata, tangan ku terulur tepat di depan pintu kontainer truk yang berisi senjata api dan senjata tajam. “Imagination: Kinesthetic!” Perintah kekuatan terucap dari bibirku. Aku menutup mataku rapat-rapat, konsentrasiku berada di puncak tertinggi hingga otakku terasa seperti ditekan dari segala arah, terasa berat juga terasa panas membakar. Jika bukan karena Cedric, aku tak akan sanggup menahan ini semua.
“Hiyaaaaaaaa,” teriakku saat senjata-senjata itu terangkat tiga meter dari tanah. Aku membuka mata, memastikan semuanya telah siap. Namun, menyadari bahwa senjata apinya belum diisi peluru, aku kembali menutup mata, mencari pelurunya di truk, dan dengan susah payah mengambangkan peluru itu untuk mengisi senjata. “Argh, sakit,” rintihku dengan kedua tangan tetap terangkat mengangkat benda-benda itu.
Perlahan, senjata-senjata itu terisi peluru, pelatuk siap ditekan. Aku membuka mata, menyadari sesuatu, “Cincin ini bersinar terang, energiku juga terasa pulih setiap detiknya,” gumamku menatap cincin kristal komet yang bersinar di jariku.
Namun, tidak ada waktu untuk mengagumi keajaiban ini. Dunia ini sudah rusak sejak lama. Masalah utamaku sekarang adalah Cedric yang masih bertarung dengan tubuhnya yang sudah sangat lemah. Hingga pukulan terakhir dari pria itu berhasil membuat Cedric terkapar di tanah. Hatiku yang ragu langsung menjadi berani mengambil langkah.
“Kau!” teriakku sambil berlari, senjata-senjata beterbangan di udara layaknya sapu terbang. Pria itu menyadari kedatanganku, dia menatapku dengan kesal. “Kau berani mengambil cincin kami!”
Pria itu melompat, meninggalkan jejak retak di tanah. Sekarang aku yang dalam bahaya, tepat di atas ku ia bersiap memberikan pukulan kuat. “Rasakan ini!” satu tanganku bergerak layaknya maestro, mengendalikan tiap pedang, tombak, senjata api, dan yang lainnya.
Dor! Dor! Cring! Semua suara dentingan bergumam di udara ketika pria itu dengan pedang kecilnya menangkis setiap serangan yang datang. “Sial!” ucapku panik.
Bum! “Hampir saja,” gumamku lega saat pukulan itu berhasil kutahan dengan lima pedang dan empat senjata api yang kutumpul membentuk perisai satu sisi.
“Nonaktif,” perintahku tanpa sadar.
Dring! Aku menatap lebar yang baru saja kusaksikan. Seluruh pedang dan senjata yang kubuat untuk tameng tiba-tiba berjatuhan dan tidak bisa kukendalikan. Seolah ada sesuatu yang menetralisir kemampuanku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku memastikan.
“Huh? Pertanyaan bodoh lagi,” ejek pria itu sambil menggerakkan tangannya bersiap meninju. Aku segera menangkis dengan tangan kanan.
Bum! Tubuhku terpental ke belakang, tapi aku segera bangkit, berusaha untuk tetap berdiri meski rasa sakit menjalar di sekujur tubuhku. Aku melesat berlari, menghindari setiap pukulan yang datang dengan cepat. Pria itu terus mengejarku, bergerak semakin cepat seolah-olah menikmati setiap detik pengejaran ini.
“Hiya! Hiyaa! Hiya!” Teriakku setiap kali melemparkan pedang dan tombak ke arahnya. Namun, setiap serangan yang kulemparkan selalu dihindarinya dengan mudah, dan aku selalu kehilangan kendali atas senjata-senjata itu begitu mendekatinya. Keputusasaanku mulai tumbuh, tapi aku tahu tidak boleh menyerah.
Aku mulai curiga ketika peluru dari senjata yang kutembakkan mulai menembus dan sesekali menggores wajah serta tangannya. “Dia hanya bisa menetralisir kekuatan yang mendorongnya, bukan gaya kinetik yang dihasilkan,” gumamku pelan, berusaha mengatur napas sambil terus berlari menghindari serangan cepat dari pria itu.
Zing! Zing! Dua goresan tajam muncul di lengan kananku, membuatku tersentak. Rasa perih merambat ke seluruh tubuh, tapi aku segera mundur menjauh, mencoba mencari jarak aman. Dia tetap mengejar tanpa henti, tak memberiku waktu untuk merencanakan strategi. Aku akan mengandalkan insting, pikirku dalam hati, perasaan putus asa mulai mencengkeram.
“Baiklah, coba tangkis ini!” teriakku dengan sisa keberanian yang kupunya. “Hiyaaaaa, tembak!”
Puluhan senjata berisikan peluru besi mulai menembak bersamaan, suara dentuman keras beruntun memenuhi udara. Pria itu berlari menuju mobil lapis baja, berlindung di baliknya karena ia tidak memiliki cara untuk menangkis peluru tajam. “Kemana kau pergi, hah!” teriakku, mencoba menantangnya, tetapi pria itu justru membalas dengan tawa yang nyaring, membuat amarahku membuncah.
“Sudah cukup meninggi?” ucapnya dengan suara yang tajam, menusuk telingaku. Tiba-tiba, dia mengeluarkan kekuatan aneh, “Seluruh area, nonaktifkan.” Gelombang bunyi aneh melintasi tubuhku, membuat semua senjata yang kukendalikan lumpuh, jatuh tak berdaya ke tanah. Aku mencoba fokus untuk mengangkatnya kembali, tapi terlambat. Pria itu sudah melompat ke hadapanku saat aku menutup mata.
“Kau tidak pernah diajari bertarung, wahai bocah?” ejeknya sebelum tinjunya menghantam perutku dengan kekuatan penuh. Bum! Darah keluar dari mulutku saat tubuhku terangkat ke atas, terhempas dengan brutal. Rasa sakit yang luar biasa melumpuhkan tubuhku. Dan itu belum berakhir—dengan kombinasi pukulan tangan dan kaki, dia terus menghajar setiap titik vital di tubuhku.
Tubuhku lumpuh dalam satu menit, tak berdaya tergeletak di antara tiang tenda. Darah mengalir dari mulut, hidung, dan telingaku. “Uhck!” Aku tersedak, darah kembali memuncrat, membasahi bajuku. “Sa-sakit,” bisikku lemah, napasku terengah-engah. “Rasanya sakit,” desahku dengan sisa tenaga yang kumiliki. Pandanganku mulai memudar, sempoyongan. Darah terus mengalir di antara telinga dan hidung, membuat dunia di sekitarku tampak semakin jauh.
Suara langkah kaki pria itu masih terdengar, mendekat perlahan layaknya penjahat utama dalam mimpi buruk. Aura biru yang kuat mengelilingi tubuhnya, mengintimidasi dan menakutkan. Ia berhenti tepat di depanku, yang terbaring tak berdaya di tanah. “Kau bukan tandinganku,” suaranya menggelegar, membuatku semakin tenggelam dalam ketakutan. “Jadi cepatlah enyah!” Tiba-tiba, kakinya terangkat, bersiap menginjak kepalaku hingga hancur lebur.
Aku tidak bisa bergerak, rasa takut menguasai setiap sel di tubuhku. Pandangan kaburku menangkap bayangan kakinya yang melayang di atas kepalaku. Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi tubuhku tak mampu.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22