“Apa tujuan kalian, hah!” Suara pria itu menggelegar. Tangannya mengepal, lalu ia melesat cepat kembali memukul sisi kanan.
Bum!
Cedric terhempas, namun berhasil menahan dengan barrier-nya. Sekarang posisi kami berdua cukup jauh, ini akan berbahaya buatku. Pukulan tadi jelas sangat keras dan aku tidak punya pelindung sekuat itu.
Pria itu memalingkan pandangannya dan kini menatapku. Matanya biru menyala, penuh kekuatan yang menakutkan. Suaranya nyaring bertanya, “Rika? Itu kau?”
Aku menelan ludah, bukan karena dahaga tapi karena takut. Aku mengangguk pelan, kemudian suara ku menyahut dengan gemetar, “I-iya...”
“Ha-ha-ha!” Pria itu tiba-tiba tertawa nyaring. Suaranya seperti sonar yang mendengung di telinga. Sontak aku menutup kedua telingaku, berusaha menghalau rasa sakit.
“Kau, kau ini sangat diinginkan pemimpin. Siapa kau sebenarnya, kenapa bisa membuat tuan tertarik sampai seperti ini?” Dia melangkah mendekat, badannya terlihat lebih tinggi jika dari dekat, mungkin setinggi 195 cm.
“Apa yang membuat tuan pemimpin tertarik kepada bocah SMA sepertimu?” Suaranya menderu, membuat mataku melebar. Auranya bertebaran, menyelimuti tubuhku. Aku terkekang, merasa tidak berdaya.
“Cukup! Jangan mendekat lebih dari itu!” Cedric berlari dengan tinju barrier di tangan kanannya, melesat menancapkan tinju.
Bum!
Abu beterbangan untuk kedua kalinya. Pukulan tadi jelas sangat keras.
“Ti-tidak mungkin,” desahku, menatap sesuatu yang tidak terpikir olehku sebelumnya. Kekuatan yang tampak mustahil untuk dimiliki seseorang.
“Apa yang salah dengan pukulanku?” tanya Cedric setelah pukulannya berhasil ditangkap dengan tangan kanan pria itu tanpa perlindungan apapun.
“Cedric, mundur!” Aku berteriak, Cedric berusaha waspada namun terlambat.
“Pukulan cukup untuk membuat kalian lumpuh,” pria itu menarik lengan Cedric lalu tangan kirinya yang biru menyala memberikan pukulan telak ke perut.
Bum!
Cedric terhempas lima meter, merubuhkan tenda putih prajurit.
“Cedriiiic!” teriakku, perasaan takut dan putus asa menyelimuti hatiku.
“Sebenarnya aku ingin membawa dirimu langsung jika kau tidak ingin melawan. Bagaimana?” Pria itu kembali menatapku, auranya menekan.
“Aku agung, aku sendiri yang akan memastikan keselamatan mu.”
Jadi Agung namanya, tidak perduli siapa namanya jelas dia sangat kuat, bahkan tubuhku berontak untuk bergerak melawan balik.
“Baguslah kau tidak ingin melawan, karena tuan pemimpin pasti marah jika ia tahu, pion barunya harus rusak di awal permainan.”
Tiba-tiba ia mengangkatku seperti menggendong karung di bahunya. Namun, apa daya, badanku tidak bisa melawan. Suaraku tidak keluar untuk sekadar berteriak meminta tolong. Aku benar-benar kaku di bawah kekuatan besar.
Sejak awal memang seharusnya aku tidak menerima misi ini. Aku benci kenapa harus ikut mengiyakan karena mayoritas. Lagi-lagi harus terlibat.
“Kau lepaskan RIKAAA!”
Flash BUM!
Pukulan berdebum. Cedric kembali mencoba menyerang, namun kembali berhasil ditahan dengan satu tangan. “Kau lagi? Tidak bisakah hanya terbaring nyaman di tenda yang kami sediakan?”
Dia membalas balik dengan menendang.
BUM! Cedric terhuyung lalu jatuh ke tanah. Aku hendak berseru ngeri tapi tidak ada gunanya. Rasa kagetku tidak bisa menggambarkan semua kecemasan yang kurasakan sekarang. Tapi aku tidak menyerah.
“Sialaaaan!” teriakku, membuatnya berpaling padaku. Bagaimanapun caranya, aku harus menahan agung sampai Cedric bisa berdiri lagi.
Sesaat aku memasang posisi kuda-kuda, suara pria itu lagi-lagi melengking di telingaku, membuat nyali ini semakin ciut. “Aku penasaran, apa kalian memang mencari mati? Bukankah ini sudah kedua kalinya kalian terciduk ingin mencuri, dan lucunya,” ia tertawa sinis, “kalian tertangkap oleh orang yang sama.”
Pria itu berlari ke arahku, gerakannya tidak begitu cepat. Aku mencoba menahannya, namun kegelisahan terus menghantui. “Kalian tidak akan dipenjara kali ini.” Tangannya mengarah langsung ke perutku. Sesaat aku sadar, aku refleks berteriak, “Barrier!”
Bum! Aku terpental langsung, merubuhkan satu tenda. “Argh,” desahku menahan sakit di lengan kanan dan punggung. Sakitnya merambat, membuat setiap gerakan terasa seperti disayat pisau. “Barusan aku yakin, aku telah mengeluarkan kekuatan, tapi kenapa barrier itu tidak muncul?” bisikku, berusaha berdiri, segera melanjutkan pertarungan dengan perasaan cemas.
“Sudah kukatakan, berbaring saja di tenda yang kami sediakan,” pria itu sudah berdiri tepat di belakangku, bersiap menendang keras punggungku. Aku tak sempat bereaksi.
Bum! Aku terpental, tersungkur ke aspal, kepala berdarah. Tangan terluka parah menutupi organ vital. Tulang rusuk terasa patah. Aku ingin menangis, menahan sakit yang luar biasa.
“Apa kalian tidak tahu, jika kebaikan tuan rumah tidak boleh ditolak.” Lagi-lagi, sebelum aku sempat bersiap menerima serangan, pria itu muncul tepat di hadapanku. Kakinya terangkat, lalu menginjak keras punggungku yang sudah sakit.
“Aaaaaaaarggh!!!” Aku berteriak, nyeri menusuk hingga napasku terasa habis. “Sekarang berbaringlah, aku akan menjamu teman laki-lakimu.” Pria itu berdiri tegap, melangkah ke arah Cedric, tangan kanannya mengepal, bersiap memberikan serangan.
Kondisi benar-benar buruk, kondisi yang lagi-lagi sama seperti malam itu. Seharusnya aku hindari, justru aku datangi. Kenapa mereka tidak pernah mendengarkan kekhawatiranku? “Aku tidak ingin berakhir seperti ini,” suaraku merintih, menahan rasa sakit tulang yang patah. Aku mencoba berdiri dengan kedua lengan menopang bahu.
“Ayolah, rasa sakit ini hanya ilusi,” gumamku, namun tubuhku tak bisa bergerak. Benar-benar gagal kali ini melindungi teman-temanku.
Pria paruh baya itu kini berdiri di hadapan Cedric, tangan terulur membuka kepalan tangan. Sesuatu bercahaya biru di antara jarinya menarik perhatianku. Perlahan, percikan cahaya semakin terang. Cedric menatapnya lebar-lebar, seolah mematung tak bisa melawan.
Sontak aku berteriak, padahal suaraku sudah hampir hilang. “Apa yang kau lakukan, jangan kau sentuh dia sialan!” Aku mengangkat bahu, berusaha berdiri dengan kedua tangan. Tidak peduli rasa sakit di punggung, cepat atau lambat ini akan menjadi hal yang buruk.
“Argh,” aku terjatuh, hampir terduduk namun rasa sakitnya luar biasa. “Haaaaah!” Aku berteriak, air mata jatuh. Dengan posisi tengkurap, aku memukul tanah sekuat-kuatnya, meluapkan rasa kesal terhadap diriku sendiri. Hingga akhirnya pria itu bertanya, “Hey, Rika. Namamu itu kan?”
Aku menatap pria itu dengan tangannya masih bercahaya biru. “Kenapa kalian begitu keras ingin mengambil kristal komet ini?”
“Karena—kalian membuatku kesal!” Aku berseru dengan sisa tenagaku.
“Itu alasan bodoh. Tidak ada gunanya bertanya kepada gadis labil ini.” Suasana kembali hening. Pria itu melanjutkan kemampuannya, perlahan mendekatkan tangannya ke kepala Cedric, hendak menggenggamnya.
Namun aku berhasil menghentikannya, lebih tepatnya aku tidak sengaja terpancing pertanyaannya.
“Aku hanya ingin pergi dari tempat ini, bersama teman-temanku,” suaraku serak, bercampur dengan tarikan ingus, menjadi latar percakapan yang penuh keputusasaan.
Pria itu, dengan sikapnya yang mengintimidasi, memberikan tawaran yang menggoda batinku. “Aku akan membiarkan kalian pergi dan jangan pernah ke sini lagi,” katanya.
Aku menatap Cedric yang tergeletak tidak berdaya, tubuhnya penuh luka. Dalam posisi sekarang, tawaran itu jelas adalah keberuntungan bagi kami. Tetapi, apakah aku akan mengambil pilihan ini karena inilah yang paling rasional? Hati kecilku menolak.
Namun, kenyataannya berbeda dari yang terucapkan. “Terima kasih atas tawarannya,” kataku, berusaha berdiri dengan tubuh yang perlahan mulai pulih. Kemampuan regenerasiku mulai aktif, memberikan sedikit harapan.
“Kau menerimanya?” tanya pria itu dengan senyum yang mengejek.
“Tidak, aku tidak bisa membiarkan kristal komet itu jatuh ke tangan yang salah,” jawabku tegas.
Pria itu kembali murung, berbalik menghadap Cedric. Dia melanjutkan tujuannya sembari mengeluh padaku, “Rika, banyak hal di dunia ini tidak bisa dibuktikan dengan yang terlihat oleh mata saja. Aku tidak menyalahkan pilihanmu, tapi pilihanmu belum tentu yang terbaik.”
Setelah kalimatnya berakhir, tangan kanannya menggenggam penuh kepala Cedric. Cahaya biru semakin terang, dan Cedric berteriak kesakitan. “Apa yang kau lakukan?!” desakku, berusaha segera berdiri, tapi terlambat.
“CEDRIIIIC!” teriakku. Sesaat kemudian, Cedric jatuh ke tanah tidak berdaya. Pria itu berbalik menatapku, “Sekarang giliranmu, Rika.” Setiap langkahnya mendekat terasa berat, seperti beban yang menekan dadaku.
“Argh! Jangan mendekat!” teriakku. Pria itu tidak peduli dan melanjutkan langkahnya. “Kubilang jangan mendekat!” sekali lagi aku berteriak. Namun, terlambat. Dia telah berada di hadapanku, menarik rambutku hingga tubuhku berdiri tanpa tenaga. Aku berteriak kesakitan, mata menyipit sebelah.
“Aku tidak ingin kasar kepada wanita,” katanya sebelum melemparku jauh hingga menghantam tanah. **Bum!** Debu beterbangan menutupi wajahku. “Uhuck!” darah mengucur dari mulutku. Tidak ada kesempatan lagi bagiku. Tangan dan kaki mati rasa. Mata kananku tidak bisa terbuka. Yang bisa kulakukan hanya satu hal.
“Aku mohon, berikan kesempatan aku berada di sisi Cedric,” suaraku memohon ampunan, terdengar seperti sampah setelah tekad yang kutunjukkan padanya. Kini aku memohon ampunan.
“Pergilah,” katanya dengan nada yang mengejutkanku.
“Huh!” Mata kiriku melotot karena kaget. Barusan dia mengizinkanku, apa semudah itu mendapatkan ampunan dari orang seperti dia? Tapi aku tidak peduli apa yang terjadi. Aku segera menyembuhkan beberapa engsel di tangan dan kaki, lalu berjalan pincang ke arah Cedric. Sesekali air mataku jatuh tak terbendung. Untuk pertama kalinya, aku merasakan ketakutan sebesar ini. Ketakutan akan kematian.
“CEDRIC.” Aku tersungkur jatuh di sebelahnya yang terduduk lemah di antara bingkai tenda. Suaranya lemah menjawab panggilanku. “Kau tidak apa, Rika?”
Aku berkedip lambat, segera menggenggam tangannya. Lalu menjawab, “Tidak, aku tidak baik-baik saja. Seluruh tubuhku rasanya mati rasa.” Ucapku dengan jujur. Dia tersenyum seperti hendak tertawa, suara napasnya terdengar lemah.
“Rika, maafkan perbuatanku—maaf tidak mendengarkanmu,” katanya.
Sekali lagi aku menjatuhkan air mataku terlalu banyak, sembari perlahan terus memberikan rasa hangat ke tangannya yang mulai mendingin.
“Apa rasanya sakit?” tanyaku, suaraku bergetar melihat sekujur tubuhnya penuh bercak biru, gejala yang sama seperti yang dihadapi Elsa.
“Tidak,” jawabnya singkat.
Aku semakin erat menggenggam tangannya, sekarang terasa semakin dingin dan mulai bergetar. “Kenapa berbohong?” tanyaku dengan suara patah, berusaha menahan tangisan yang semakin sulit dibendung.
Dia kembali menjawab dengan senyum yang semakin lebar, “Karena aku menyayangimu.”
Aku terdiam. Seketika semuanya menjadi jelas. Tentang kejadian yang pernah menimpa diriku, alasan dia tetap berbohong kepadaku. Kali ini, seseorang di hadapanku juga berbohong. Lagi-lagi, hal yang sama. Tidak ada alasan yang cukup untuk membenarkan kebohongan.
“Padahal—sudah jelas,” runtuh sudah tangisanku, suaraku merintih. Tanganku semakin erat menggenggamnya. Aku ingin mengatakan kepadanya, aku tidak siap ditinggalkan begini.
“Hey, sudahkah?” suara itu, suara yang membuat bulu kudukku meremang. Aku melirik ke belakang. Dia telah berada di belakangku.
“Apa yang kau mau, huh?” teriakku sembari melempar batu ke arahnya, tetapi dengan mudah dia menghindarinya.
“Sudah cukup, kesabaranku sudah habis,” pria itu mengangkat tangannya, cahaya biru dari jarinya menyilaukan. Aku melihatnya dengan jelas kali ini. Itu sebuah cincin. Dia memakai cincin kristal biru. Aku harus mengambilnya.
Namun, tubuhku bergetar hebat, jantungku berdebar kencang, dan aku menutup mata tanpa melawan. Rasa takut yang menggelayut di hatiku terlalu kuat untuk dilawan. Semua keberanian yang tersisa terasa lenyap dalam sekejap. Aku hanya bisa merasakan kepedihan di hatiku, ketakutan yang mencekam, dan keputusasaan yang menghancurkan. Tetapi di dalam ketidakberdayaan itu, ada rasa cinta yang menghangatkan. Aku ingin melindungi teman-temanku, meski tubuhku tak mampu lagi bergerak. Meski, pada akhirnya aku hanya menutup mata.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22