30 menit berlalu, kami tiba di perbatasan. Beberapa prajurit berjaga semakin ketat. Derap langkah kami terdengar samar di bawah rembulan malam. Jantungku berdebar keras, setiap detik terasa begitu panjang. Aku mencoba untuk tetap tenang, tetapi bayangan kemungkinan terburuk terus membayangi pikiranku. Aku berusaha menghindar dari setiap penjaga yang lewat berpatroli, merasakan ketegangan yang menyelimuti setiap gerakan kami.
Dengan suara pelan, aku bertanya, “Kapten, apakah perlu menggunakan cara kekerasan?” Mataku tertuju pada empat penjaga perbatasan yang berjaga di depan gerbang masuk.
“Tidak perlu, kita punya ilusi,” jawab Cedric, melirik Luna dengan kode kedipan mata. Luna mengerti isyarat itu. Tanpa ragu, dia melafalkan kalimat perintah kekuatannya.
“Illusion: Thick fog,” perintahnya dengan suara tenang namun tegas. Kabut tebal mulai menyelimuti ruang sunyi di sekitar kami. Para penjaga perbatasan belum menyadari kejanggalan kabut tebal ini. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, tetapi juga ada rasa lega bahwa kami punya keunggulan dengan kemampuan Luna.
Kapten memberikan aba-aba menggunakan jarinya. Mungkin maksudnya kami harus segera bergerak. Aku mengangguk, dan kami mulai bergerak dari posisi persembunyian. Cedric memimpin, diikuti oleh Luna dan Freya di belakangnya, dan aku berada di posisi paling akhir.
Meski seram berada di posisi terakhir, di mana kapanpun bisa terkena sergapan atau tertinggal, aku tahu ini adalah yang terbaik. Hanya aku dan Cedric yang memiliki kekuatan tameng, dan ini sangat berguna untuk melindungi Freya dan Luna sebagai titik vital regu kami.
Di dalam kabut tebal, Luna menuntun jalan dengan aba-aba tangan. Semua menggunakan bahasa isyarat dalam misi ini. Bukan berarti kami bisu, tetapi untuk mengurangi kebisingan yang penting dalam misi penyusupan. Aku merasa ketegangan yang begitu nyata, setiap detik terasa begitu krusial.
Lima menit berjalan, melewati beberapa penjaga, kami akhirnya berhasil sampai di titik pemberhentian pertama, sebuah gedung lima lantai yang terbengkalai. Kami segera masuk dan naik ke lantai paling atas untuk memantau situasi sebelum melaksanakan rencana. Gedung ini juga menjadi titik pertemuan kami jika terpisah atau perlu merubah rencana. Posisinya cukup strategis, tepat di pinggir perbatasan dan tidak terhalang gedung tinggi lainnya.
Saat aku masih mengatur nafas, beristirahat sejenak, Freya memecah kesunyian. “Kapten, bisakah segera menyelesaikan misi ini? Aku masih muak dengan pria-pria yang lalu,” ujarnya, membuat kami semua kaget. Bukan hanya karena dia akhirnya berbicara, tetapi juga karena dia memanggil Cedric dengan sebutan Kapten.
“Freya, ini Freya kan?” tanyaku, memeriksa seseorang di depanku. Tidak ada yang berubah dari fisik dan suaranya.
“Huh, kenapa?” balas Freya dengan bingung.
“Sejak kapan kamu memanggil Cedric dengan sebutan Kapten?” Luna menyambung topik menarik ini.
“Aku hanya ingin menghormati jabatan barunya, jadi setidaknya kali ini resmi tidak secara sepihak kan,” jawab Freya santai.
“Ooooo...” Luna dan aku mengangguk, memahami alasannya.
“Hey, bisakah kalian fokus ke misi?” Cedric menyambar percakapan, menghentikan topik menarik yang tiba-tiba muncul di tengah ketegangan ini.
“Rika, gunakan kemampuan pelacakanmu,” perintah Cedric. Aku mengangguk dan segera memejamkan mata, bersiap memberikan perintah kekuatan.
“Imagination: Pathography,” ucapku pelan. Kemampuan ini bekerja seperti sonar bawah laut, mendeteksi hawa panas dan benda logam yang memantulkan energi di udara.
“Kapten,” panggilku, membuka mata untuk melaporkan hasil pengamatan. “Berapa musuh di sekitar?”
“Aku tidak tahu pasti, tapi intensitasnya cukup kecil. Kita masih bisa menyelinap,” jawabku.
“Bagus,” katanya, lalu berpaling ke Luna. “Berapa kali lagi kamu bisa menggunakan kabut tebal?”
“Sepertinya tiga kali masih cukup, Kapten,” jawab Luna.
“Baiklah, kita mulai misi lima menit lagi. Cek kembali perlengkapan dan bom EMP. Kita hanya membutuhkan empat bom, sisanya tetap dipakai ketika keadaan darurat,” instruksi Cedric.
“Siap, Kapten,” kami serentak menjawab, meniru gaya Cedric saat menerima arahan.
Lima menit berlalu, kami semua telah bersiap. Tidak ada satu langkah pengecekan yang terlupakan. Kami benar-benar sangat berhati-hati, dan bukan tanpa alasan. Banyaknya korban yang jatuh hanya untuk mendapatkan informasi tempat senjata rahasia itu disimpan membuat kami lebih waspada dari sebelumnya.
“Ayo gerak!” perintah Cedric, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Kami segera berlari menuruni tangga, melewati beberapa bangunan kosong dan rusak. Kondisi perumahan di Fraksi Teror Malam tidak jauh berbeda dari Fraksi Hukum. Hanya saja, begitu banyak penjaga dengan senjata api dan tombak khusus hyper yang membuat suasana semakin mencekam.
Waktu terasa begitu lambat. Jantungku berdetak kencang karena berlari tanpa henti. Setiap langkah terasa berat, tetapi aku terus memaksakan diri. Setelah menempuh jarak 300 meter, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di balik bangunan tua. Nafasku tersengal-sengal, mencoba mengatur ritme pernapasan.
“Kapten, ada barisan penjaga di depan sana. Kita harus memutar sedikit jauh,” ucapku dengan suara terengah-engah. Ketegangan semakin terasa, terutama dengan semakin banyaknya penjaga di sekitar.
“Kita istirahat lima menit. Sementara itu, aku akan mencari rute memutar,” Cedric mengeluarkan peta dari tasnya. Peta kota ini sudah familiar bagi kami, meskipun kondisi sebenarnya lebih rusak dan berantakan.
“Berapa meter lagi?” tanya Freya memastikan, setelah ia meneguk minuman dari botol besi yang kami bawa.
“Tidak tahu pastinya, tapi menurut informasi terakhir, kristal itu dipindahkan ke mobil dan dibawa ke tenda komando. Jika mereka tidak berpindah, seharusnya kita masih butuh sekitar 1,2 km lagi untuk tiba,” jelas Cedric sambil memandang peta mini di kertas gulungan.
“Aku sudah menemukan rutenya. Kita akan memutar ke kanan,” ucap Cedric kemudian menatap ke arahku. “Rika, cek dengan kemampuanmu.”
Aku mengangguk, segera berdiri setelah beristirahat sejenak. Tidak banyak waktu untuk bersantai. Cepat atau lambat, kami akan ketahuan. Misi ini harus selesai sebelum matahari terbit, saat pasukan bantuan tiba. Aku segera menutup mata, mengarahkan tanganku ke arah yang akan kami tuju.
“Imagination: Pathography,” ucapku pelan. Perlahan, setitik hawa panas terlihat. Hanya ada tiga titik yang berpatroli, bergerak sesuai garis penjagaan.
“Hanya tiga orang, cukup aman untuk kita,” laporku.
“Baiklah, sekarang angkat kembali perlengkapan. Kita akan bergerak satu menit lagi,” perintah Cedric. Kami segera menuruti. Tidak ada alasan untuk bertekak atau mengeluh kelelahan. Terlambat sedikit saja, kematian bisa saja satu langkah lebih dekat.
Kami segera beranjak pergi, berlari di antara lorong dan reruntuhan bangunan. Sesekali beristirahat untuk mengambil nafas segar, lalu kembali berlari. Waktu kami semakin singkat, dan setiap detik sangat berharga.
Setidaknya, semuanya berjalan lancar sesuai rencana hingga kami tiba di camp tempat kristal itu disimpan. Kami memutuskan bersembunyi di bangunan kosong sebelum memutuskan tindakan selanjutnya.
“Terlalu banyak yang berjaga, Kapten,” ucapku, merasa cemas melihat banyaknya penjaga di sekeliling camp.
“Harus ada yang mengalihkan perhatian,” sahut Freya. Dia juga memikirkan hal yang sama denganku, tapi aku menolak ide itu. Itu bertentangan dengan prinsipku.
“Tidak ada cara lain, kan? Aku dan Luna akan pergi mengalihkan perhatian. Luna akan mengeluarkan kabut tebal untuk kami kabur ketika hampir tertangkap. Itu juga akan digunakan untuk mengacaukan formasi pertahanan mereka,” jelas Freya. Namun, aku tetap menggeleng, menolak ide tersebut. Luna setuju dengan Freya, sementara Cedric masih mempertimbangkan.
“Kenapa, Rika? Apa kau punya cara lain? Waktu kita tidak banyak sebelum matahari terbit,” desak Freya, nada suaranya semakin tinggi.
“Kau gila? Terakhir kali kita melakukan pembagian kelompok, ada yang kehilangan nyawa!” tegasku, menolak keras rencana tersebut.
“Ada aku. Saat Luna berhasil menggunakan kabut tebal untuk membawa kami pergi, aku akan melakukan perawatan secepatnya. Tidak ada yang akan terluka serius,” Freya terus berusaha meyakinkan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, terkadang dia terlihat sangat pintar tapi juga bisa sangat bodoh.
“Huh.” Aku mengeluh, bukan karena lelah, tapi karena benci perdebatan. Tidak ada yang bisa memutuskan. Tugas ku hanya menyampaikan pendapat.
“Cedric, katakan kepada Freya, itu rencana bodoh.” Suaraku terdengar tegas, tapi ada kekhawatiran yang tersembunyi.
“Tapi tidak ada rencana lain, Rika! Semakin lama kita menunggu, pasukan mereka akan berkumpul semakin besar dan akan semakin sulit untuk masuk.” Freya menjawab dengan nada mendesak.
“Oke, aku paham maksudmu, Freya.” Aku menunduk, kesal. Tangan ku mengepal, hendak memukul kepalanya, tapi ku urungkan niatku. “Bagaimana jika Luna gagal membawa mu pergi dan kalian tertangkap? Okelah, mungkin itu tidak terlalu buruk. Tapi bagaimana jika mereka justru langsung membunuh kalian berdua?” Aku menatap tajam ke Freya dan Luna bergantian. Auraku mungkin keluar, berusaha menekan. Tapi tidak ada gunanya; keputusan tetap pada Cedric.
Seperti biasa, Cedric menyetujui tindakan Freya. “Tidak ada waktu, lakukan rencana pengalihan. Aku dan Rika akan menerobos masuk, dan kalian—”
“Eh tapi Cedric, itu—.”
“Tidak ada waktu, Rika. Pasukan mereka semakin besar di tenda. Kita tidak bisa melewatkan terlalu banyak waktu untuk rencana tidak efektif lainnya.” Suara Cedric tegas, membuatku terpaksa mengiyakan. Aku lebih memilih mendengarkan sekarang daripada ikut campur berbicara, walau sebenarnya di dalam hati terdalam aku lebih mengkhawatirkan mereka daripada diriku sendiri.
“Semuanya siap?” Cedric bertanya.
Luna dan Freya mengangguk, sementara aku tetap menatap wajah mereka dengan malas. Aku sudah merasakan kejanggalan setiap rencana mereka, tapi aku memilih hanya diam. Suaraku tidak akan berarti jika mereka bertiga sudah setuju sejak awal.
“Luna, kabut tebal!” perintah Cedric.
Luna mengangguk, segera berlari bersama Freya menuju kerumunan. Perintah kekuatan ia ucapkan dengan keras, dan dalam waktu cepat kabut mulai menutupi area. Pasukan mulai pontang-panting. Luna juga mengeluarkan skill lainnya, memberikan kerusakan pada beberapa prajurit. Aku dan Cedric menunggu sebentar hingga mereka berhasil mengalihkan perhatian terpusat kepada mereka.
Bum! Seseorang datang meninju tanah. Angin berderap menghempas kabut. Perlahan kabut itu menghilang, dan Freya serta Luna mulai terlihat.
“Ayo, Rika!” ucap Cedric di sebelahku, sudah bersiap sejak tadi.
Aku berlari menyelinap di antara beberapa bangunan dan berganti ke beberapa tenda. Kabut masih cukup untuk menutupi pandangan dan aura kami. Namun, Freya dan Luna jelas sudah tertangkap basah. Semua perhatian tertuju pada mereka berdua, umpan telah dimakan.
“Aku tidak akan kalah!” teriak Luna, berusaha melawan sedikit walau tidak berarti. Ini sesuai rencana; Luna dan Freya akan memberikan perlawanan sedikit untuk menarik perhatian lebih besar, sehingga mereka tidak dianggap sebagai umpan saja. Perlahan, semakin banyak prajurit yang termakan umpan, dan Freya serta Luna memutuskan lari setelah kewalahan menghadapi tiap prajurit dengan perlengkapan seadanya. Mereka bukan tipe Hyper pertarung, jadi tidak ada alasan untuk bertahan lebih lama mengandalkan kekuatan fisik.
Di sisi lain, aku dan Cedric berhasil menyusup ke beberapa tenda. Tidak ada benda yang aneh hingga kami berusaha masuk ke gedung utama. Tenda-tenda ini didirikan dekat dengan gedung dewan perwakilan, tempat para ahli politik berkumpul menyuarakan aspirasi masyarakat. Setidaknya begitulah yang tertulis di undang-undang, namun tidak dengan fakta realita.
“Rika, cek gedung itu,” perintah Cedric.
Aku mengangguk, segera menutup mata berusaha fokus, kemudian perintah kekuatan diucapkan. “Imagination: Pathography!” Hanya ada tujuh penjaga, tapi aku merasakan aura yang sangat kuat datang dengan cepat.
“Apa? Di mana!” Cedric berseru panik. Aku menjawab dengan cepat, memastikan pergerakannya.
“Di kanan kita, Kapten!”
Bum! Pukulan itu menerbangkan debu dan tenda-tenda dalam jangkauan gelombang kejut.
“Untung aku sempat memasang barrier!” desah Cedric. Dia bernafas sedikit lega, tapi terlalu cepat untuk menarik nafas lega.
“Siapa kalian?” suara pria itu menggema seperti di goa. Terdengar nyaring dan menakjubkan. Aku merasakan ketegangan dan adrenalin meningkat. Siapa pun dia, jelas bukan lawan yang mudah.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22