Hari-hari berikutnya tiba dengan cepat. Kini, pada hari keempat, misi akan dimulai pada pukul 2 pagi, dan persiapan dimulai tengah malam. Hati berdebar-debar, tegang tapi penuh semangat.
“Semuanya siap?” Cedric memeriksa regunya dengan nada tegas. Ada rasa percaya diri yang terpancar dari suaranya, seperti selalu.
“Siap kapten,” jawabku, mencoba meniru semangat Cedric. Malam ini, atau pagi ini, entahlah. Waktu terasa kabur dalam ketegangan yang menyelimuti kami.
“Kita akan bergerak senyap ke lapangan latihan. Di sana, regu elite sudah berkumpul. Aku tidak tahu siapa anggota tim mereka, semoga bisa bekerja sama dengan baik,” instruksi Cedric terdengar tegas. Ada rasa harap dalam suaranya.
“Angkat ransel kalian dan bergerak senyap keluar dari apartemen menuju rute yang biasa,” tambahnya.
“Baik,” jawab kami serentak, hampir berbisik. Kami menjaga suara dan langkah kami dengan hati-hati. Latihan malam sebelumnya sangat membantu; kini, aku merasa lebih percaya diri dalam menyelinap di kegelapan tanpa ketahuan.
Setelah sekitar 20 menit bergerak senyap dalam gelap, kami akhirnya sampai di depan gerbang lapangan latihan. Debar jantungku semakin kencang.
“Regu Alaya,” Cedric mengucapkan kodenya kepada prajurit yang berjaga. Mereka saling bersitatap sejenak sebelum mengizinkan kami masuk. Pintu besi itu terbuka otomatis dengan suara berat.
Kami berjalan ke tengah lapangan, dan dari kejauhan aku melihat siluet tim lain. Ketika semakin dekat, aku bisa mengenali mereka. “Itu bukankah Riko, Stark, Kesya, dan coach Lilyfa,” bisikku dengan gembira.
“Shttt,” Cedric menyuruhku diam. Aku mengangguk, menutup mulut, dan segera ikut berbaris di sebelah regu Constellation. Tim elite ini terdiri dari Roki, Stark, Kesya, dan coach Lilyfa sebagai kapten regu. Mereka terlihat hebat dan siap tempur. Armornya hampir menutupi seluruh tubuh mereka, kecuali coach Lilyfa yang bagian perutnya terbuka, terlihat imut dan seksi, sedikit menambah ketegangan yang sudah ada.
“Siap gerak!” Seseorang memberikan perintah berbaris. Ah, itu Jendral 1. Sepertinya jendral yang lain sedang sibuk, hanya dia yang berada di sini, bahkan Yeriko juga tidak terlihat.
“Sebelumnya, aku ingin kalian memperhatikan sekeliling,” perintah Jendral 1. Kami mengangguk dan memutar kepala ke kanan dan kiri, memperhatikan suasana. Malam terasa sunyi, hanya diterangi oleh cahaya bulan. Suara jangkrik terdengar indah di balik kegelapan, rumput terasa basah, dan udara dingin menusuk. Untungnya, pakaian kami cukup tebal untuk menahan hawa dingin.
“Tidak ada siapapun di tempat ini selain kita,” lanjut Jendral. “Misi kalian terbatas dan rahasia. Kesuksesan pasukan utama ada pada kalian. Jika gagal mencapai target dan ketahuan, mundur kembali ke markas. Kekuatan kalian tetap kami butuhkan untuk serangan utama.”
“Lilyfa,” panggilnya.
“Siap Jendral,” jawab Lilyfa dengan tegas.
“Ambil kotak di depanmu dan bagikan,” perintahnya lagi.
Lilyfa membungkuk, mengambil kotak besi yang berisi jam tangan analog. Jam tangan tua ini, kenapa memakai model lama?
“Kami memberikan kalian jam analog lama untuk mencegah kurasakan, karena kalian akan menggunakan bom EMP dalam misi. Bom itu ada di kotak besi belakang kalian. Setiap orang cukup membawa dua bom EMP. Pastikan peralatan elektronik kalian tidak terkena radius radiasi elektromagnetik dari bom itu.”
“Kalian paham!?” suaranya menggema, penuh otoritas.
“Siap paham!” jawab kami serentak. Suara kami kecil tapi cukup membakar semangat.
“Misi kalian dimulai jam 2 pagi dan sekarang sudah jam satu pagi. Kalian mulai bergerak pada pukul 01.30 pagi. Waktu berjalan kalian menuju posisi persiapan penyerangan adalah 30 menit.” Perintahnya tegas, dan kami semua merasa adrenalin mulai mengalir lebih cepat.
“Jangan sia-siakan waktu kalian. Bubar dan kembali ke tugas masing-masing,” perintah Jenderal 1 dengan suara tegas.
“Siap, terima kasih, Jenderal.” Kami serempak menjawab. Jenderal 1 kemudian balik kanan meninggalkan kami di tengah lapangan yang sunyi dan gelap. Hati ini berdebar-debar, penuh ketegangan dan harapan.
Coach Lilyfa, yang paling berpengalaman di antara kami, membuka peti besi berisi bom EMP seukuran kepalan tangan, sedikit lebih besar dari granat nanas. Ia membagikannya, dua untuk setiap orang. Saat dia menyerahkan bom itu padaku, aku merasakan bobot yang cukup berat. Meskipun aku belum pernah memegang granat sebelumnya, aku tahu bom ini lebih berat dari biasanya.
“Pastikan kalian memasang kait bom EMP dengan benar dan jangan menarik pemicunya. Jika salah sedikit saja, teknologi dalam radius 10 meter akan rusak total,” kata Coach Lilyfa dengan nada serius.
Aku mengangguk, menerima bom EMP tersebut dan segera mengaitkan tali keamanan, lalu memasukkannya ke dalam tas granat di pinggangku. Bom ini cukup mengintimidasi, tetapi aku harus tenang.
“Sudah selesai, sekarang apa, Coach?” tanyaku, memecah kesunyian dan fokus mereka. Tatapan sinis langsung menyerang ke arahku, membuatku merasa bersalah.
“Rika, panggil aku Kapten. Kita tidak sedang latihan dan pastikan jangan banyak bertanya. Pasukan elite akan bersikap tenang tanpa suara,” tegur Kapten Lilyfa dengan nada tajam.
Aku mengangguk lagi. Itu pelajaran berharga bagiku. Meskipun cara penyampaiannya terasa kejam, aku menerima dengan lapang dada.
“Kita bergerak sekarang. Semua jam analog samakan waktu,” perintahnya. Aku melihat jam analog di tanganku, merasa bingung karena belum pernah menggunakan yang seperti ini sebelumnya.
“Kenapa, Luna?” Kapten Lilyfa menegur Luna. Untung bukan aku yang ditegur kali ini.
“Maaf, Kapten. Saya belum pernah menggunakan jam analog seperti ini,” jawab Luna dengan suara rendah.
“Cukup tekan sekali untuk masuk mode reset dan tekan sekali lagi setelah hitung mundur untuk memulai waktu yang baru,” jelas Kapten Lilyfa.
Luna mengangguk, dan aku juga ikut mengangguk, memperhatikan penjelasannya. Setidaknya, sekarang aku tahu cara kerjanya.
“Set waktu, hitungan mundur 3 detik. Satu... Dua... Tiga... Set waktu.” Klik, waktu di tersamakan.
“Cek perlengkapan,” perintah Kapten Lilyfa.
Aku mengecek kembali peralatan tempur yang terpasang. Semuanya aman. Kali ini aku hanya membawa panah portabel sebagai senjata utama.
“Regu Alaya lengkap, Kapten Lilyfa,” seru Cedric dengan penuh keyakinan.
“Regu Constellation juga lengkap,” jawab Kapten Lilyfa. Mereka saling bersitatap setelah mengkonfirmasi perlengkapan regu masing-masing.
“Kita akan berpisah di sini, Kapten Cedric,” ujar Kapten Lilyfa, mengulurkan tangan untuk jabat tangan perpisahan. Cedric menyambut dengan senyuman karismatiknya.
“Aku tidak sabar bertarung bersama regumu, Kapten Lilyfa,” kata Cedric dengan nada penuh semangat.
Kapten Lilyfa tersenyum sejenak, matanya memantulkan cahaya bintang di langit malam. “Aku mohon, kembalilah dengan selamat dan kita akan bertarung untuk kebebasan,” tambahnya.
Cedric mengangguk. “Tentu, itu indah kan?”
“Benar, mungkin ini juga sebuah keberuntungan bagi kami. Di saat bintang terlihat cerah memikat, di saat itulah kekuatan kami akan bertambah sebanyak bintang itu,” ujar Kapten Lilyfa dengan nada yakin.
“Ha-ha-ha,” Cedric tertawa sejenak. “Kau benar, Kapten Lilyfa. Regumu memang yang terbaik.”
Mereka melepaskan jabat tangan, dan kami semua balik kanan. Kami berpisah di sini, masing-masing regu bergerak menuju titik yang telah disepakati para jenderal sebagai target penyerangan.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22