Kendaraan terbang dengan teknologi magnetik flush melaju dengan kecepatan penuh menuju markas pusat. Hanya butuh 10 menit untuk tiba, namun waktu terasa lebih lama karena ketegangan yang mencekam. Sesampainya di sana, para jenderal menyambut kami dengan serius.
Debu masih beterbangan terhembus angin dari mesin saat kami turun. Salah satu jenderal segera menghampiri dengan ekspresi cemas.
“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya Jenderal 1.
“Kita akan bahas di ruang rapat. Apa semua sudah hadir di sana?” Yeriko menjawab tegas.
“Sudah, Tuan.”
“Bagus. Oh iya, kalian regu Alaya, berikan ransel dan perlengkapan tempur kalian kepada prajurit yang berjaga. Aku tidak ingin sumpek di dalam ruangan.”
Aku bisa mendengar Jenderal 1 berbisik, “Eh Tuan, mereka diajak?”
“Iya, mereka ikut. Aku memerlukan mereka dalam rencana.”
“Baik, Tuan.”
“Kalian ikutlah di belakang Tuan,” kata Jenderal 1 dengan nada yang lebih tenang.
“Baik, Jenderal,” kami berempat menjawab serentak.
Sesampainya di ruang rapat, aku merasakan deja vu. Ruangan ini masih dipenuhi teknologi tinggi yang aktif, meski sebagian besar teknologi telah hancur oleh gelombang elektromagnetik. Kenangan pertemuan sebelumnya di sini membuat jantungku berdegup kencang. Jenderal 1 mengarahkan kami untuk duduk, dan kami mengangguk, mengikuti arahan.
Yeriko memasukkan flashdisk ke alat yang dibawanya. Beberapa detik kemudian, layar hologram menampilkan video percakapan kami dari awal hingga akhir. Aku merasa tegang melihat kembali wajah Artemis yang mengerikan di layar.
“Itu kah wajah sesungguhnya dari pemimpin faksi teror malam?” Jenderal 2 berbisik, terlihat jelas dari ekspresinya betapa seriusnya situasi ini.
“Dia menyeramkan. Dari video ini saja aku bisa tahu dia sekuat apa,” Jenderal 3 menambahkan, suaranya bergetar sedikit.
Beberapa menit berlalu hingga video menunjukkan Artemis meninggalkan ruangan pertemuan.
“Tuan, apa benar dia bagian dari 45 sayap emas Garuda?” panglima perang bertanya, suaranya berat dan penuh otoritas.
“Iya, itu benar, Panglima. Awalnya aku tidak mengenali sosok penuh luka di depanku. Dulu dia tidak seperti itu. Aku baru menyadari saat memperhatikan gaya bicara, pola pikir, dan namanya. Artemis adalah lulusan tingkat fisik terbaik ke-5 dalam program itu. Walaupun dia berada di peringkat 40 dalam hal kecerdasan, dia tetap menjadi bagian dari 45 orang yang memiliki IQ superior hingga jenius.”
Aku mengangguk setuju. Sekalipun peringkat kecerdasannya berada di paling bawah, itu tidak bisa dipungkiri bahwa dia adalah orang cerdas yang berbahaya.
“Apakah kalian punya rencana, para jenderal dan panglima?” Yeriko bertanya serius dengan tatapan mata yang tajam. Untuk pertama kalinya, aku melihat garis wajah kusut di dahinya. Dia sedang berpikir keras sekarang.
“Tuan, sejujurnya akan sulit untuk menang melawan mereka jika bertarung secara langsung, ditambah persenjataan kita minim dengan sisa kas faksi yang menipis setelah perbaikan atas serangan yang lalu,” Jenderal 3 membuat daftar keluhan.
“Bukan hanya itu, Tuan. Kondisi pangan kita menipis. Saat ini juga masyarakat kita 70% adalah golongan menengah ke bawah dan hanya 20% yang menjadi bagian dari golongan menengah ke atas. Sulit untuk mengumpulkan dana perang,” Jenderal 4 menambah daftar keluhan dengan suara berat.
“Panglima, ada yang ingin disampaikan?”
“Ada, Tuan. Tapi rencana saya belum matang,” jawab Panglima, wajahnya berkarisma dan nada suaranya berwibawa. Aku merasa dia lebih cocok menjadi pemimpin faksi hukum daripada Yeriko.
“Tidak apa, sampaikan saja,” jawab Yeriko, suaranya penuh harap.
“Aku hanya terpikirkan untuk membentuk kembali team Six Fox yang lama untuk menyusup,” kata Panglima, suaranya penuh keyakinan.
Jenderal 1 berkomentar, “Lalu apa yang berbeda?” Panglima menoleh dan menjawab dengan santai, “Saya berpikir, kita mungkin bisa menang jika mengambil senjata rahasia mereka.”
“Apa maksud Anda, kristal komet?” tanya Jenderal 2.
“Benar, karena saya yakin senjata itu dipersiapkan untuk memperkuat armada tempur mereka.”
Sejenak ruangan menjadi hening. Kami semua berpikir keras tentang situasi ini. Dalam hati, aku merasa rencana ini sangat berisiko. Musuh terlalu kuat, dan kami mungkin tidak siap menghadapi kekuatan mereka.
Yeriko berbicara dengan tegas, “Aku setuju dengan Panglima. Tapi ada tambahan sedikit.” Ia mengetuk layar di mejanya, mengatur hologram di tengah meja yang menyala. Kini menampilkan dua regu.
“Regu Alaya dan regu elite terbaik kita, Constellation, akan bergabung dalam rencana. Setiap tim punya tugas khusus. Regu Alaya akan bertugas mengambil kristal komet yang mereka rahasiakan, dan regu Constellation akan menyabotase peralatan militer serta memberikan jalan kabur untuk regu Alaya.”
Para jenderal saling bertatap, berdiskusi kecil di bangku mereka. Yeriko menunggu persetujuan mereka dengan sabar.
“Itu strategi yang brilian, Tuan. Jika misi itu berhasil, maka menyerang markas mereka akan lebih mudah,” kata Jenderal 3.
“Saya juga setuju, Tuan,” Panglima perang mengangguk setuju.
“Aku menolak!” Aku berdiri dengan tegas. Teman-teman ku tampak kaget, bukan hanya mereka tapi juga yang lain.
“Apa maksudmu, gadis kecil?” Jenderal 3 menatapku geram. Tangannya mengepal, aura keluar memberi rasa takut yang mendalam.
Yeriko segera menenangkan Jenderal 3, “Jenderal, tenanglah. Ini ruang diskusi, semua orang berhak berpendapat.”
“Jadi apa yang kau keluhkan?” tanyanya padaku.
Sejenak aku diam, memperhatikan tatapan semua orang. Aura Jenderal 3 membuatku ingin tutup mulut, tapi aku tidak bisa mundur sekarang.
“Ini rencana bunuh diri yang keberapa?” tanyaku dengan suara gemetar namun tegas.
“Aku tidak mengatakan ini bunuh diri, kenapa kau berpikir demikian?” Yeriko berlagak memimpin rapat dengan kata-kata bakunya.
“Apa kau tidak ingat misi pengintaian—” Bum! Jenderal 3 membentak meja, dia berteriak memarahiku.
“Kau ini lancang sekali, masih kecil sudah berani menggunakan kata kau kepada tuanmu?”
“Tenanglah, Jenderal. Kami punya hubungan spesial, kau tidak perlu marah seperti itu. Aku mengizinkannya,” Yeriko memotong, menenangkan situasi.
“Huh? Hubungan spesial apa dasar bod—” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Yeriko menyuruhku stop menggunakan tangannya.
“Tidak ada waktu untuk ocehanmu, jadi cepatlah,” dia menatapku serius. Ini bukan pertama kalinya aku dipelototi seperti ini, tapi kali ini suasananya lebih mencekam.
“Aku menolak untuk pergi, bukan hanya aku tapi seluruh regu Alaya. Tidak peduli jika itu akan membantu perang. Selagi itu membunuh kami, maka tidak ku izinkan.”
Yeriko diam sejenak, menatapku tajam. “Bagaimana jika kukatakan, kita semua akan mati bersama jika kau dan timmu tidak pergi sesuai misi.”
Sekarang aku yang terdiam. Pertanyaan Yeriko membuatku bungkam seribu kata. Sekejap aku menatap Yeriko, berharap ada pembelaan. Namun ia tidak menjawab, hanya tatapan serius yang memberatkan suasana.
“Rika, aku tahu kau bukan takut karena kematian diri sendiri. Jadi kumohon serahkan kepada kami, aku berjanji akan membuat strategi yang akan membawa kalian dengan selamat.” Suara Yeriko terdengar tulus, penuh keyakinan.
Aku terdiam, menunduk, tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Seluruh tubuhku terasa lemas, berat meladeni ketegangan ini. Hatiku penuh keraguan, namun ada sesuatu dalam nada suara Yeriko yang membuatku ingin percaya.
Cedric, melihat kebisuanku, berseru, “Lanjutkan, Tuan, tidak ada waktu.” Dia menggantikan peranku, suaranya tegas dan berani. Mungkin aku memang egois, terlihat paling tidak ingin ambil bagian untuk keluar dari masalah ini. Namun, perasaan itu bukanlah keengganan untuk bertarung. Itu adalah ketakutan akan kehilangan orang-orang yang kini telah menjadi keluarga baruku.
Dalam keheningan itu, pikiranku berputar-putar. Aku tidak ingin ada siapapun yang mati lagi. Bahkan jika harus melawan semua orang, aku tidak peduli, selagi keluarga baruku tetap hidup. Bayangan-bayangan masa lalu melintas di benakku—kehilangan yang sudah terlalu banyak aku alami. Tidak lagi. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi lagi.
Yeriko melanjutkan, “Baik, mari kita lanjutkan.” Dia menatap layar hologram yang kembali menyala, begitu pun yang lain ikut memperhatikan tanpa menoleh ke arahku untuk memikirkan setidaknya sedikit tentang kecemasan yang ku rasakan.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22