"Semuanya tetap siaga di posisi. Velarius, periksa bangunan minimarket di depan," perintah kapten, sambil merapatkan dirinya ke balik dinding.“
Oke, kapten. Shadow: Shadow coat.”
“Luna, siapkan kemampuan ilusimu.”
“Siap, kapten.”
Apa sebaiknya aku menggunakan kemampuanku sekarang? Baiklah, semoga ini membantu mereka.
Aku memejamkan mata, berkonsentrasi penuh, lalu mengucapkan kalimat perintahnya meniru cara Velarius menggunakan kekuatan. Sepertinya kata pertama adalah tipe kekuatan lalu kata kedua adalah jurusnya.
“Imagination: Pathography.” Aku mengaktifkan kemampuan untuk melacak musuh dengan konsentrasi yang membelit otak. “Arg.” Aku sampai ke titik fokus tertinggi, hingga hampir kehilangan nafas.
“Kenapa, Rika?” Tanya Freya.
“Tidak apa-apa,” jawabku berusaha meredam kaget karena hampir mencapai batas pemakaian kemampuan, kepala ku sedikit pusing dengan pandangan berkunang-kunang.
“Kapten, ini Velarius. Ada beberapa makanan yang bisa kita ambil.”
Kami saling menatap dengan bibir yang tersenyum senang.
“Bagus, tetap di posisi. Kami akan segera ke sana.”
Kami berlari menuju minimarket yang berhasil Velarius selidiki. Aku juga begitu yakin semuanya akan aman karena teknik ku tidak menemukan aura energi dari Hyper manapun dalam radius 500 meter.
Bum! Suara ledakan terdengar jelas dan itu tepat satu meter di depan kami.
“Ahck... Ledakan?” Cedric berseru. Kami semua terlempar keluar, bahkan terbentur tembok akibat ledakan. Untungnya, sebagian dari kami tidak terluka parah kecuali Cedric yang tangannya terbakar.
“Luna, cepat gunakan kemampuanmu,” teriak Cedric tetap mengaktifkan kemampuan barrier. Terlihat perisai transparan bercahaya tipis kekuningan menutupi sisi depan. Kemampuan itu keluar dari lengannya yang menyilang tepat di depan dadanya.
Tangan Cedric terlihat hancur terbakar. Sepertinya ledakan itu bisa di tahan tapi tidak dengan suhu yang panas membuat kulit itu melepuh.
“Illusion: Thick fog.” Luna mengatakan kalimat perintah kekuatan. Kabut tipis mulai menutupi pandangan, itu memberikan kami waktu untuk bersembunyi.
Cedric yang masih di obati menggunakan kemampuan Healing Freya tetap memberikan perintah terbaiknya kepada kami.
“Velarius, bawa yang lain pergi dan cari jalan terbaik. Aku tidak tahu di mana musuhnya. Aku hanya akan menahan mereka sebentar di sini,” instruksi Cedric.
“TIDAK...” Aku memotong perintah itu. Jelas aku akan mengatakan tidak, bagaimana mungkin misi mengambil makanan akan mengorbankan 1 nyawa. Itu tidak logis.
“Sudahlah, Rika. Ini sesuai prosedur kelompok ini. Lalu, kita akan...” Ucap Freya berusaha menarik tangan ku setelah mengobati tangan Cedric yang terbakar melepuh.
“Lalu kita apa?... Kita akan selamat?... Lalu, selanjutnya apa?... Membiarkan Cedric mati....”
“Tapi, Rika.” Freya tetap bersikukuh menarik tangan ku, aku menghempaskan melepaskan tarikan itu.
“Aku akan tetap di sini. Kalian pergilah. Aku akan bertahan bersama Cedric.” Aku memutuskan sendiri. Tidak peduli mereka benar-benar akan meninggalkan kami berdua di sini melawan musuh entah berapa dan di mana mereka, sebesar apa kekuatan dan apakah kami akan hidup kembali ke villa.
Luna, Freya, dan Velarius hanya saling menatap, lalu menunduk, Luna memecah keheningan.
“Huhhhh... Baiklah, aku juga akan ikut Rika,” kata Luna.
“Baiklah, mau bagaimana lagi,” sahut Freya.
“Mungkin kita harus merubah prosedur penyelamatan kita, Kapten,” tambah Velarius, melangkah beberapa langkah lalu menepuk bahu Cedric tanpa ekspresi yang jelas, dia benar-benar datar, tidak terlihat takut ataupun senang. Aku tidak bisa menebak isi pikirannya.
Cedric menghela nafas panjang, tangannya sudah lama pulih karena penyembuhan dari Freya begitu efektif.
“Lakukan formasi penyerangan,” perintah Cedric.
Freya, Luna, dan Velarius membentuk formasi segitiga saling membelakangi.
“Eh, aku bagaimana?” tanyaku setelah melihat posisi mereka.
“kamu akan berada di tengah. Kami akan melindungimu, Rika,” jawab Freya.
Bahkan dalam situasi terdesak seperti ini, mereka tetap tenang. Apakah mereka tidak takut mati?
“Rika, bisakah melakukan pelacakan seperti tadi?” tanya Cedric.
“Eh, sejak kapan Kapten tahu kemampuan itu?”
“Aku bisa merasakan aura yang keluar dari tubuhmu ketika fokus menggunakan kemampuan aneh itu dan aku merasa merinding jika seseorang mengawasiku.”
Aku mengangguk mengerti, kemudian mengucapkan kalimat perintahnya.
“Imagination: Pathography.” Kemampuanku keluar untuk kesekian kalinya. Aku sering melatih kemampuan ini di lingkungan rumah saat mencari hewan dan memastikan aman untuk keluar rumah. Aku selalu menggunakan ini untuk berjaga-jaga dan menghindari bertemu Hyper lain. Aku selalu menganggap Hyper di luar lebih mirip binatang buas daripada manusia berkekuatan.
“Musuh terlacak, sekitar 3... 5... 8... 14... 17...”
“Tidak mungkin,” wajah Luna yang tadinya santai mulai kusut.
“Angkat kepala kalian. Mereka hanya 17 orang. Kita pasti bisa mengalahkan mereka,” teriak Cedric dengan keras.
“Hanya itu?” Freya tertawa puas.
“Teman-teman, bersiaplah. Ada bola api mendekat ke arah kita, Kapten,” aku merespon cepat terhadap bola api itu.
“Barrier: One side.” Cedric mengeluarkan penghalang satu sisi di hadapannya, membentang 2 meter. Serangan itu berhasil ditahan sejenak tapi panas bola itu masih tembus ke kulit.
“Aaaa panas... Hiyaaaaaa.” Cedric berteriak memukul mundur bola api itu, kemudian terpantul jauh menghantam dinding gedung di depan kami. Ledakannya sangat besar, kira-kira setara dengan bom C4.
“Velarius, lakukan sekarang. Luna, berikan ilusi pada Velarius. Freya, tolong sembuhkan kedua lenganku,” Cedric terus mengawasi gerak-gerik tim, terus memberikan perintah tegas dengan lantang dan penuh semangat.
“Laksanakan, Kapten,” serentak kami menjawab.
Tampaknya ini berjalan lancar, semua melaksanakan perintah dengan tepat. Velarius membunuh musuh secara diam-diam dari belakang, sementara ilusi kabut dari Luna membuat Velarius sulit terdeteksi. Freya, sebagai healer utama dalam tim, berusaha menyembuhkan Cedric sekaligus menjadi penyembuh utama dalam pertempuran di darat, sedangkan aku, terus memberikan informasi yang akurat dengan kemampuan Pathography—Sampai pada akhirnya musuh terakhir dalam pelacakan berhasil dibunuh.
“Kapten ini Velarius, semua musuh sudah dibunuh.”
“Bagus Velarius, Freya, Rika, dan Luna, sekarang kembali berkumpul. Kita akan mulai tahap berikutnya.
“Baik, Kapten,” ucap serentak mereka.
Aku memutuskan untuk istirahat sebentar, sesekali memperhatikan sekitar. Velarius terlihat duduk di pojok ruangan, keringat mengalir dari rambut yang tebal.
“Nih Velarius,” aku menemuinya, menawarkan minuman kaleng yang masih bagus yang kutemukan.
“Apa?” Jawabnya tanpa ekspresi yang jelas.
“Nih, minuman, loh.” Tampaknya, cara lembut seperti ini tidak akan berhasil dengan orang ini.
“Ouh... Terimakasih.”
“Iya, sama-sama,” balasku dengan senyuman.
Tetapi di lain sisi, Cedric, Luna, dan Freya melihat kami seolah itu adegan romantis dalam film drama Korea.
“Apa nanti mereka bakal... He-he-he... Ahck—.” Aku mendengar bisikan itu dan suara batuk yang terdengar menyinggung.
“Kenapa kamu pukul kepala ku pakai cangkir woi, Cedric.”
“Shttt, udah biarkan aja dia, Luna. Lagian, sekarang udah waktunya merapatkan situasi... Woi, yang berduaan di pojok, cepat kesini, kita masih harus lanjut.”
“Ah, iya-iya, Kapten,” aku balik kanan, berjalan cepat ikut merapatkan barisan.
Kapten membuka peta kota Nusantara yang saat ini mereka jelajahi, yang juga sekarang disebut sebagai kota mati.
“Kita berada di sini, arah barat kota ini... Yang perlu kita lakukan hanyalah menelusuri area untuk mencari tempat markas baru kita dan sekaligus mencari bahan makanan... Maka dari itu kita butuh informasi, Velarius, kamu menyisakan satu orang kan?”
“Iya, Kapten, sebentar, aku ambil.”
“Astaga, kenapa diletakkan di dalam karung.”
“Nih, Kapten,” Dia menatap Luna yang berseru, “Tidak apa, biar aman aja.” Lagi-lagi, tanpa ekspresi bersalah atau semacamnya.
Cedric membuka karung tersebut yang berisikan seseorang dari penyerang untuk diinterogasi.
“Sekarang, jawab, di mana lokasi markas kalian dan yang berjaga.”
“Hmm-hmhm-hmhm.”
“Hey, Cedric, buka dulu-lah selotip di mulutnya, hedeh,” protes Freya.
“Eh, ha-ha-ha,” Cedric lalu membuka selotip dari mulut pelaku.
“Siapa kalian, aku tidak akan kasih tau apapun.” Baru saja dilepas, pria berumur 26 tahun ini langsung ribut dengan suaranya yang besar, menggeliat seperti cacing, setengah badannya masih di dalam karung dengan tangan terikat. Hanya kepalanya tampak bebas menyentuh udara.
“Hayyah... Lu orang suara bising sangat loh.” Jika posisinya sedang santai, aku akan tertawa dengan lelucon aksen dari Cedric.
Cedric membentak tidak sabaran,
“Sudah cukup bercandanya, atau kami tidak akan membiarkan kau mati dengan mudah.” Aura penekanan begitu kuat keluar dari tubuhnya. Aku merasa takut berada tetap di belakangnya.
”Silahkan.” Pria itu tidak peduli, membalas dengan tatapan sombong.
“Luna, lakukan tugasmu,” perintah Cedric, Luna maju tanpa perlu disuruh dua kali. Tangannya menjulur tepat ke atas kepala pria itu. Aku berbisik bertanya sesuatu yang terbesit di pikiranku.
“Shtt, hey Freya... Sini.”
“kenapa?”
“Itu, Luna mau ngapain?”
“Luna mau membaca ingatan laki-laki itu,” jawab Freya.
“Jadi dia bisa melihat semua ingatannya?”
“Iya, tapi tidak semua, karena hanya 1-2 jam yang lalu saja. Setelah itu, kekuatan Luna akan habis,” jelas Freya dengan ikut membisik.
“Ouh, begitu, eh, lihat, udah mau dimulai.” Mataku membesar karena penasaran, berusaha tidak berkedip untuk tidak melewatkan satu momen pun.
Tangan Luna tepat menyentuh ubun-ubun kepala pria itu, tangannya yang lentik, putih, dan kecil terlihat begitu mungil di atas kepala pria yang besar.
“Wahai alam, berikan aku kekuatanmu untuk memperlihatkan kebenaran yang sebenarnya....”
Aku terdiam, begitu juga yang lain. Kalimat perintahnya begitu panjang seperti mantra sihir; aku baru pertama kali melihat penggunaan kalimat perintah sepanjang itu. Sebelumnya, aku hanya berfikir kalimat perintah wajib disebut sesuai nama jurus dan tipe kekuatan yang digunakan saja. Berselang 5 detik, cahaya biru kegelapan menyinari tangannya saat menyentuh ubun kepala pria itu.
“Illusion: Mnemosine....”
Kalimat perintah terakhir diucapkan. Cahaya ungu fantastis keluar meninggi sekitar 1 meter di atas ubun-ubun, kemudian bergerak jatuh menusuk ubun-ubun kepala pria itu, dan sesaat kemudian Luna pingsan, Cedric menangkap dari belakang.
“AHHHHHCCKKKKKKKK.”
“Hah, dia kenapa?” tanyaku. Pria itu kejang-kejang dengan posisi bergelut di dalam karung putih. Aku sedikit kasihan melihatnya, sepertinya itu sangat sakit hingga seperti kesurupan.
“Salah satu efek yang dirasakan target adalah sakit yang menusuk di ubun-ubun kepalanya,” jawab Freya sembari terus menyaksikan penderitaan pria itu.
“Terus kapan rasa sakit itu selesai?” Aku tetap bertanya memastikan semua ini selesai dengan cepat.
“Sampai Luna mendapatkan informasi yang kita perlukan lalu keluar, akan tetapi banyak korban yang mati karena tidak bisa menahan rasa sakit sebelum Luna keluar sehingga informasi yang didapatkan Luna akan berkurang.”
“Aku harap Luna cepat keluar.” Aku menunduk, sesekali melihat dan memalingkan wajah karena prihatin.
“Arghhhhh, tolong aku!” Pria itu terus merintih kesakitan dengan tangan dan kaki terikat di dalam karung, hanya kepalanya yang bisa keluar menghirup udara. Aku mengusap pipi yang basah, aku melirik Cedric—kadang dia terlihat baik, suka membantu, perhatian, dan suka menolong, tetapi hari ini aku melihatnya seperti seseorang yang haus darah, dia tidak berpaling sedetikpun dari pria yang merintih kesakitan, matanya melebar menatap kesal, sesekali berkedip tapi bukan karena simpati.
Tujuh menit berlalu, Luna sepertinya mendapatkan informasi yang diperlukan karena cahaya yang sama keluar bersamaan dengan Luna yang sadar dari pingsan.
“Luna, kamu tidak apa-apa?” tanyaku dengan khawatir. Aku yang bertanya pertama, mungkin yang lain sudah biasa dengan kejadian ini. Berbeda dengan aku yang setiap detiknya merasakan detak jantung yang kuat dan semakin kencang. Aku takut melihat seseorang mati terbunuh di depanku lagi.
“Aku baik-baik saja, Rika...” Luna menjawab yakin dengan senyuman indah itu. Ia menatap kapten dan segera duduk. “Tapi, Kapten, maaf, aku hanya bisa melihat informasi lokasi markas mereka setelah menelusuri jalan yang mereka lalui dari markas menuju kemari. Untuk informasi pergantian penjaga dan jumlah penjaga, tampaknya pria ini tidak terkait dengan hal tersebut.”
“Kalau begitu, siapkan perlengkapan, kita akan bergegas menyelidiki markas mereka. Lalu, saat lokasi tidak mungkin kita taklukkan, kita harus pergi sejauh mungkin. Keselamatan lebih penting dari segalanya... Sekarang, laksanakan.”
“Siap laksanakan,” serentak kami menjawab.
Belum sempat aku balik kanan, aku mendengar Cedric berkeluh di hadapan pria itu yang masih tidak sadarkan diri.
“Huh... Maaf, aku harus mengakhiri rasa sakitmu sekarang.”
Mataku, aku melihatnya dengan jelas. Cedric melayangkan pisau tepat ke urat nadi leher pria itu. Darah keluar seperti air terjun. Aku menatap ngeri dan jijik, tapi juga menatap takut dan memilih untuk mundur beberapa langkah dari Cedric. Dia sekarang lebih persis seperti monster daripada manusia berakal.
Lima menit berlalu, semuanya siap dengan perbekalan yang sudah dimuat penuh ke tas. Diskusi dengan membentuk lingkaran dimulai. Freya mulai memperdebatkan situasi.
Cedric memberikan kode tangan kepadaku. Aku mengangguk berpura-pura mengerti.
“Huh, apa kata Kapten?” Aku berbisik bertanya, tidak mengerti maksud kode tersebut.
“Kapten menanyakan berapa orang di dalam,” jawab Freya.
“Ouh, bentar. Imagination: Pathography— 6 orang, Kapten,” bisikku ke Freya, kemudian menerjemahkannya ke kode tangan untuk membalas pesan Cedric. Cedric memberikan perintah penyerangan untuk Velarius dan memulai sesuai rencana. Velarius yang mengerti langsung bergerak cepat menggunakan mantel bayangan, dan Luna menggunakan ilusi kabut, sementara Freya memberikan efek tahan api kepada Velarius.
“Ahck....” Sesekali terdengar teriakan dari orang-orang di balik gedung tinggi bertingkat. Aku merasa ngeri sekaligus tidak menyangka akan ikut menyaksikan pembunuhan seperti ini. Apakah dunia ini sudah berubah begitu kejam, hingga membunuh menjadi terlihat biasa sekarang.
“Kapten, semuanya aman,” lapor Velarius melalui HT. Cedric yang mendengarkan memberikan kode tangan untuk bersiaga dan cepat masuk.
“Jangan ada suara, dan perhatikan langkah,” peringatkan Cedric kepada kami di belakang.
Satu langkah dari pintu lebar sebuah parkiran bawah tanah. Tercium bau besi yang amis, aku menunggu Cedric mengintip masuk. Setelah semuanya aman, kami perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara satu garis lurus masuk perlahan dan tetap memperhatikan sekitar, mengawasi setiap langkah. Aku tidak tahu apakah ada musuh yang tersisa atau tidak.
Belum genap 6 langkah, kakiku tersandung sesuatu. Aku melihat ke bawah—itu ternyata potongan tangan yang putus dari tubuh seseorang, seperti ulah Cedric. Aku ingin muntah sekarang, aku tidak sadar di sebelah kanan dan kiri ku terbaring 6-9 mayat dengan potongan tubuh yang tercecer. Aku makin tidak tahan, bau amis darah begitu membuatku ingin muntah.
“Aku tidak tahan.” Aku menutup mulutku, berusaha menahan muntah dan pusing. Freya yang berada tepat di depanku langsung berbalik kanan mengacungkan tangannya tepat di depan jidatku—cahaya hijau yang dingin mengalir masuk ke kepalaku yang terasa berat sejak tadi. Rasanya mulai tenang, sepertinya pengobatan sementara dari Freya berhasil membuatku berhenti mual sesaat.
Tidak sempat memperdulikan apakah aku akan bertahan dengan bau amis ini, Cedric sudah memanggil.
“Rika, gunakan sekali lagi untuk memastikan.”
“Laksanakan, Kapten, Imagination: Pathography.” Aku berusaha fokus dengan sisa-sisa kesegaran yang diberikan Freya. Sesekali aku merasa mual, tapi aku harus tetap fokus memastikan dengan jelas situasi.
“Negative, Kapten.”
“Bagus, sekarang kita bagi kelompok untuk menjarah tempat ini. Freya, Luna, dan Velarius menjadi satu kelompok, sedangkan aku akan bersama Rika. Kita bertemu jam 12.00 di sini dan segera hubungi melalui HT jika ada sesuatu terjadi. Sekarang, berpencar!” seru Cedric.
“Laksanakan, Kapten,” serentak kami menjawab.
Kami memecah tim lalu berpencar dan berjalan berlawanan arah dari titik kumpul bersamaan. Berharap secepat mungkin kami pergi dari tempat ini, menurut Cedric sebelumnya dia berkata kalau pusat IKN dijaga banyak kelompok Hyper. Mereka sering memperebutkan kekuasaan, tapi masih kondusif karena faksi yang masih sama imbang.
Kami berjalan terpisah, dengan setiap kelompok memiliki cerita, suasana, dan hal menarik masing-masing. Seperti kelompok Velarius yang isinya orang-orang berisik tidak seperti kelompok Cedric yang hanya berisikan keheningan yang canggung.
Asli canggung banget, kenapa aku harus sama Cedric berdua. Walaupun aku tidak punya perasaan apapun dengannya, tapi ini sudah beberapa bulan sejak aku terakhir kali bertemu cowok keren kek dia. Hidung mancung, putih, badannya bagus, lalu tinggi lagi. Bahkan kepala ku tidak sampai sebahunya. Aku memperhatikannya sekilas, dan matanya balik membalas.
“Rika, kenapa?” Cedric bertanya.
“A-a-a itu, tidak-tidak. Aku hanya memerhatikan sekeliling,” jawabku, berusaha menyembunyikan rasa canggung.
“Kamu canggung?” tanyanya sambil tertawa.
Astaga, dia peka banget lagi. Yaudahlah, lebih baik mengaku dari pada terus-terusan seperti ini. Bosan juga diam-diaman. “A iya, benar, eh,” akhirnya aku mengaku.
Cedric tertawa puas, aku tidak mengerti kenapa dia tertawa lepas begitu. Tidak ada yang lucu, pikirku.
“Kamu mirip adikku, pemalu tapi juga ceria. Walaupun aku tidak tahu apa yang sebenarnya perasaanmu katakan, tapi rasanya senang bisa melihatmu tertawa seperti adikku,” katanya sembari menyeka air matanya yang keluar karena tertawa.
Suasana menjadi lengang sejenak. “Kamu punya adik? Sekarang dia ada dimana?” tanyaku memecah keheningan.
“Aku tidak tahu. Terakhir kali adikku berada di pulau Sumatra, dan sejak kejadian tersebut aku tidak bisa menghubunginya sama sekali.”
Aku benar-benar tidak tahu kalau kondisinya begitu buruk. Aku merasa bersalah sekarang membuatnya khawatir tentang adiknya. “Ma-maaf... Aku tidak tahu situasinya,” ucapku dengan rasa bersalah.
“Santai saja, tidak perlu minta maaf, karena aku yakin adikku pasti sekuat diriku, dan aku yakin dia tidak mungkin mati sebelum diriku mati. Aku juga tidak akan membiarkannya pergi lebih dulu dariku,” ucap Cedric dengan mantap.
Mataku membesar, itu kata-kata yang hampir sama seperti yang Abangku ucapkan. Aku tidak percaya mendengar kata-kata yang sama dari seorang pria dewasa lain. “Kurasa kamu benar, dia pasti bisa bertahan,” jawabku mencoba menutup topik.
“Lalu, tujuan Kapten sekarang adalah bertemu adikmu?” tanyaku ingin tahu.
“Benar, aku ingin bertemu seluruh keluargaku. Sejak aku merantau dari Sumatera Utara ke Kalimantan, aku tidak pernah menyapa mereka lagi secara langsung, dan aku yakin secepatnya aku akan bisa menemui mereka. Sama seperti tujuanmu pasti akan tercapai jika punya keyakinan yang kuat, aku yakin itu.”
Sejak aku merasa tersindir mendengar perkataan itu, jika posisinya sedang ramai aku tidak akan sentimental begini. Aku menghentikan langkahku menundukkan kepala. “Aku merasa tidak punya tujuan,” aku mengakui dengan hati yang berat.
Cedric menghentikan langkahnya, lalu tiba-tiba memelukku. Aku benar-benar terkejut, tapi pelukan ini terasa hangat, terasa semakin kuat, terasa menenangkan.
Bisikan halus dengan suara serak sedikit berat terdengar di telingaku.
“Jangan berkata seperti itu lagi. Aku tidak tahan mendengarnya... Aku tidak tahu seburuk apa yang telah kamu lalui, tetapi jika kamu ingin menceritakan semuanya, aku akan mendengarkan... Jadi aku mohon, hargailah dirimu sekali lagi, lalu mungkin suatu saat dirimu akan mempunyai tujuan baru yang lebih baik.”
Pelukan terasa semakin erat. Aku tahu dia tidak mau melepaskan jika terus diam. Aku ingin berkata ‘aku baik-baik saja’, tapi itu tidak terucap. Air mataku jatuh lebih dulu sebelum sempat melepaskan pelukannya. Aku tidak risih, hanya saja ini terasa berlebihan menurutku.
“Tidak apa, jangan ditahan. Kamu pasti sudah menahannya sangat lama, jadi keluarkan saja, aku akan menunggu.”
***
Suara seseorang keluar dari HT, suaranya putus-putus dengan beberapa dentuman keras terdengar. Suasana terasa panik dari pengirim, nafasnya tersengal.
“Kapten-kapten. Tolong jawab, kapten.”
“Huh, suara Luna,” aku berseru kaget.
Cedric melepaskan pelukan itu, mengambil HT dari kantong bajunya, dan menjawab.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22