Read More >>"> Ben & Cori (41. Phone A Family ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

"Mau berangkat?"

"Belum. Ini lagi sarapan, Pa," tutur Cori pada earbuds-nya.

"Perginya sama Ben, kan?"

"Iya. Tuh, lagi panasin mobil. Gimana resto Papa?" tanyanya disela-sela sarapan salada romaine, tomat ceri, dada ayam dan potongan roti panggang dengan dressing minyak zaitun, garam, dan lada.

Cori makan dedaunan pemirsah! Sebuah kemajuan meski mencobanya butuh tekad yang enggak main-main. Cori tidak suka daun hijau, cori tidak suka tumbuhan berklorofil. Namun, ia sudah berniat untuk berteman dengan mereka. Dan pertemanan ini dimulai dengan menyukai selada romaine, kesukaan mamanya.

"Sebentar lagi sibuk. Kami sedang mempersiapkan menu-menu untuk makan siang. Kamu butuh sesuatu? Apa perlu Papa ke sana? Ben baik padamu? Dia enggak macam-macamin kamu kan, Nak?"

"Easy, Chef. One question at a time, please." Cori terkekeh. Pertanyaan Super Dad-nya yang selalu kelewat protektif tidak pernah membuatnya tersinggung.

"Maafkan Papa. Ketidahadiran kamu membuat Papa suka menebak kelewat jauh. Papa enggak bisa melihat kamu secara langsung, itu sebabnya."

"Cori baik-baik aja, Pa. Abang enggak berani macam-macam sama anaknya Sudjana. Percaya sama Cori."

"Kalau memang begitu, Papa bisa tenang."

"Gitu, dong."

"Jadi kapan kalian mau menikah? Udah punya rencana tahun, bulan, atau tanggal, mungkin? Ben sudah ajak kamu bicara dengan Popy?"

"Semua jawaban Papa belum semua," tukasnya. Suaranya mulai terdengar jauh. Sebab, Ben memang belum pernah membahas orang tuanya dan pernikahan. 

Helaan napas keluar begitu saja dari telepon di ujung sana.

"Ada apa, Pa?"

"Apa karena masa lalu keluarga kita lagi?" Cori langsung paham apa yang Sudjana maksud.

"Abang terima Cori dan sejarah keluarga kita, Pa. Papa jangan khawatir," ucap Cori malu-malu.

"Benar?"

"Yes, Chef."

"Syukurlah. Papa pikir Ben ... seperti mantan kamu itu." Geraman rendah ditangkap oleh pendengarannya. Cori paham perasaan papanya. Sangat.

"Doakan kami ya, Pa."

"Selalu, Nak. Selalu."

Bunda ... merestui aku dengan anak Bunda, kan? tanyanya meragu. 

***

"Bon, menurut kamu Kak Cori gimana orangnya?" Ben memanfaatkan waktunya yang sempit di jalan raya menuju Kantor Cabang Sei Panas. Ia memang sudah berniat menelepon si bungsu setelah menurunkan kekasihnya di depan kantor Cabang Mega Legenda. 

"Baik banget orangnya." Suara Boni langsung meninggi di earbuds Ben. "Kemarin aja Bunda baru dikirimin roti khas Tarempa sama Kak Cori. Apa tuh Bang namanya? Yang isinya abon ikan."

"Luti gendang."

"Iya, itu. Sama makanan kering khas Kepri. Boni sering diajakin Kak Cori ke Singapura, tapi Boni belum bisa cuti."

Ben mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Ia baru tahu informasi ini. "Kak Cori baik banget ya, orangnya?"

Boni mendengar nada sarat kejumawaan barusan.

"Iya, banget

"Sejak kapan kalian dekat?"

"Sejak Boni dan Bunda ke Batam waktu itu. Kami enggak pernah berhenti berkomunikasi sampai sekarang. Kenapa tanya-tanya? Naksir Kak Cori, ya?" ledek Boni. Ben bisa membayangkan cebikan bibir Boni yang menyebalkan, tapi herannya ia juga merindukannya.

Apa Cori tidak menceritakan hubungan kami? batinnya.

"Lha, itu tahu." Ben menunggu reaksi si bungsu dengan tenang sambil menginjak rem perlahan dan menarik rem tangan. Ben menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.

"APA?!" Si kakak lelaki terkekeh. Reaksi yang terlambat, Bonita.

"Kamu denger barusan."

"Ini suka beneran? Abang serius?"

"Iya."

"Udah ditembak, Kak Corinya?"

"Tembak." Ben memutar bola matanya geli. "Memangnya Abang masih bocah main tembak anak gadis orang. Kami malah udah memutuskan berkomitmen serius, Bon." Ben mengatakannya dengan dewasa dan tenang, sebab ia tidak berniat main-main dengan anaknya Sudjana. 

"Sejak kapan?"

"Baru beberapa bulan."

"Tapi ... Abang yakin? Maksud Boni, Kak Cori kan ... ehm, dia ...."

"Dia kenapa, Boni?!" Meski kalimat Boni tak sempurna, Ben merasa harus melakukan sesuatu. Ia tidak suka keragu-raguan adiknya barusan.

Perlahan, tuas rem tangan dikembalikan ke tempat semula dan mobil berangsur bergerak pelan.

"Easy brother. Jangan marah dulu."

"Siapa yang marah?"

Suaranya yang datar bikin Boni tidak percaya. Boni sangat tahu bagaimana prinsipilnya seorang Benjamin untuk beberapa hal.

"Heleh. Itu barusan."

"Ck! Memangnya Kak Cori kenapa?" Ben menyabarkan dirinya. Bicara dengan Bonita memang butuh kesabaran seluas Laut China Selatan, meski ia tahu level sabarnya sudah setipis kertas HVS dibagi dua. 

"Aku akan jujur kali ini dan aku minta maaf kalau pendapatku enggak termasuk popular opinion. Abang harus berpikiran terbuka."

"Baiklah. Go ahead. Abang akan dengar," ujar Ben bete. Ben menginjak pedal gas lebih dalam dan stabil di kecepatan 50 km/jam.

"Kak Cori beda banget sama Kak Agni. Bisa ya, selera Abang jungkir balik begitu? Dia ... bukannya terlalu gemuk?"

"Language, Bonita!"

Suara rendah Ben sempat membuat bulu kuduk adiknya meremang, padahal mereka tidak bicara hadap-hadapan.

"Duh! Jadi orang jangan jadi sumbu pendek, bisa?"

"Kalau diksi kamu enggak keterlaluan, Abang juga enggak bakal marah. Jangan biasakan menilai orang lain seperti itu. Mengerti?!"

"Iya, iya. Maaf. Tapi asal Abang tahu ya, Boni tuh enggak bermaksud ngehina Kak Cori. Cuma, Boni udah ngerekap semua mantan Abang selama ini. Dan kesimpulannya, enggak ada satu orang pun yang mendekati fisik Kak Cori." Ben memutar bola matanya. "Rata-rata mirip Kak Agni. Makanya aku tanya begitu. Mengerti Abangku Sayang?"

"Oke, oke. Abang ngaku salah. Maaf."

"Dimaafkan," balasanya di detik berikutnya. Secepat itu dua bersaudara ini bermaafan dan tertawa seakan perdebatan urat saraf tadi tak berarti.

"Makasih, Boni. Maaf ya, Abang keburu spaning. Abang enggak tahan kalau ada yang ngejelekin Kak Cori."

"Hilih! Bucin," cebik Cori di ujung telepon.

"Biarin. Emang iya," aku Ben bangga.

"So," Bonita menjeda tiga detik. "Mengapa Kak Cori dari sekian banyak pilihan wanita di dunia?"

"Dia cantik." Ben mengulum senyum setelah mengungkapkannya. "Kamu seharusnya melihat penampilan Cori sebelum dia berubah chubby menggemaskan, Boni, baru kamu mengerti mengapa Abang tergila-gila padanya. But her size doesn't bother me that much, so..."

"Abang udah enggak ada obatnya." Tawa lepas Boni menggema di telinganya.

"Take it or leave it," ujar Ben jumawa.

"Iya deh, iya. Terus?"

"Dia baik banget orangnya."

"Standar. Kak Cori memang baik, sih. Tapi Boni butuh dari sekedar kata sifat 'baik'."

"Big heart, big soul. Dia wanita seperti itu. Oh, dia enak diajak ngobrol. Abang enggak pernah bosan bicara apapun dengan Kak Cori. Dan bonus besar, Kak Cori pinter masak!" Ben tersenyum sepanjang menjelaskan kelebihan Cori.

"Good for you. Ada yang lain?"

"Dia wanita tangguh. Abang ingin hidup dengan bahagia dengannya, Boni. Hanya dengannya. Apa kamu masih butuh alasan yang lebih baik dari itu?"

"Cieee, yang cinta mati. Oke, oke. Boni percaya Kak Cori adalah the one-nya Abang. Cepetan nikah, gih."

Pecah jua tawa Ben di mobilnya.

"Tentu, Boni. Tentu."

"Tapi sebelum nikah, Abang harus dapat restu Bunda." Seketika Ben terdiam.

"Doakan Abang ya, Bon."

"Selalu. Tapi kalau Bunda mah, terserah Abang. Yang penting anak lakinya bahagia."

Ben tersenyum kecut. "Entah, lah. Mungkin kali ini enggak akan semudah itu."

"Lho, kok putus asa gitu kedengerannya?"

"Just my guts, Boni. Just my guts."

***

"Puas sama ending-nya?"

"Banget!"

Ben dan Cori keluar dari gedung Theater 3 dengan wajah semringah setelah menonton film terakhir dari sederetan film Marvels yang paling ditunggu di bioskop. Tidak sia-sia menahan pipis selama tiga jam demi menyaksikan akhir dari para pahlawan yang menghilang. Mereka kembali dipimpin oleh Captain America mengalahkan penjahat semesta dengan sarung tangan batu warna warninya.

"Tapi Abang kebelet banget. Ke toilet dulu, ya?"

"Aku juga mau pipis."

"Ya udah. Nanti ketemu di depan pintu masuk."

"Oke."

Ternyata Cori bukan satu-satunya pengunjung Bioskop yang ingin menunaikan hajatnya di saluran pembuangan. Nyaris semua bilik ditunggui oleh manusia-manusia kebelet.

"Cori?"

Tolehan kepala Cori berakhir pada satu wajah yang pernah ia dan Ben tolong malam itu. Dari semua tempat dan waktu di muka bumi, Tuhan memilih toilet sebagai tempat mereka bertemu.

"Hai, Mbak Agni. Nonton juga?" tanyanya basa basi.

"Kita sama-sama keluar dari Theater 3. Aku lihat kamu dan Ben," katanya tanpa basa basi.

"Aah, begitu."

Toh, semua orang di kantor sudah tahu. Apa kemungkinan terburuk yang akan terjadi?

"Bukannya kalian enggak direstui Bunda Popy? Kok masih jalan?"

"A-apa?"

Keinginan Cori untuk pipis sama kuatnya dengan keinginannya menampar bibir berwarna merah bata itu.

"Lho, Ben enggak kasih tahu apa-apa?" ucapnya pongah. 

Sungguh, lidahnya ingin berucap sepatah kata seringan, sialan.

"Mungkin Ben sedang mencari kata-kata manis supaya kamu enggak sakit hati," sambungnya. "Soalnya kamu juga pernah ditinggal nikah sama mantan, kan? Ben terlalu baik."

Telinga Cori berdenging. Agni bahkan tidak peduli dan terus bicara, sementara pengunjung bioskop mencuri dengar tanpa berniat menyembunyikan niat mereka.

"Lagian tanpa restu Bunda Popy, kamu bisa apa? Ben terlalu menyayangi bundanya. Dia tidak akan bisa menikah tanpa restu Bunda."

Cori tak sabar perempuan ini masuk ke bilik toilet dan berhenti mengoceh.

Setelah Agni diam, Cori mengambil kesempatan berpikir dengan jernih dan memutar tubuh sepenuhnya menghadap Agni.

"Ya, setidaknya bukan aku yang meninggalkan Abang. Sebab, aku akan setia dengan pilihanku sampai takdir Tuhan berkata lain!"

"Maksud kamu?!"

"Aku tidak akan meniru langkah seseorang yang pernah mengkhianati Abang dan menorehkan luka di hatinya."

Agni maju dua langkah sehingga mereka berhadap-hadapan. Seperti Moza, Agni hanya manusia yang mengandalkan mulut dan akal tak berhati untuk membuat manusia lain sakit hati. Maka Cori tidak akan menganggap Agni sebagai manusia yang layak untuk dihormati. Sebab, Agni bukan siapa-siapa bagi Cori. 

"Prediksi terburuk yang akan terjadi bila Bunda tidak menyetujui kami adalah aku akan mundur, tapi bukan karena alasan pengecut seperti takut berkomitmen, nggak mau resign, atau alasan memalukan karena ... selingkuh."

"Jangan kurang ajar—"

"Ah, giliranku. Permisi Mbak Agni."

Agni teriak tertahan dan jalan merentak menjauhi penonton sinetron gratis. Ia memutuskan mencari toilet lain dengan hati sepanas tungku!

***

"Jangan Cori, Ben!perintah suara itu di ujung telepon. 

Ben menyugar rambutnya frustasi. "Kenapa, Bun? Apa yang salah dengan Cori?" mohonnya.

"Bibit bebet bobotnya! Apa lagi? Djana sudah berbohong pada semua orang, termasuk Bunda. Kalau kamu menikahi perempuan seperti Cori, apa kata orang, Nak? Dia anak yang lahir di luar nikah. 'Keluarga pembohong'. Itu yang akan kamu dengar seumur hidupmu."

"Papa Djana punya alasan mengapa beliau bohong. Tunggu, tunggu. Dari mana Bunda tahu kami berencana menikah? Ben bahkan belum beritahu Bunda apapun tentang hubungan kami."

"Tidak penting dari mana Bunda tahu. Ben, Bunda kan sudah pernah beri tahu tentang kriteria calon mantu Bunda. Bunda sudah memperingatkan kamu sejak awal, Benjamin. Dan kamu tetap keras kepala memilih Cori!"

"Bun," melas Ben. "Cori enggak ada hubungannya dengan masa lalu keluarganya. Kita juga bukan keluarga yang sempurna bila Bunda maksa pasangan Ben harus sempurna."

"Tapi bukan anak yang lahir di luar nikah juga, Ben!"

"Bunda, tolong jangan sebut Cori begitu!"

"Abang!" Tarikan di lengan jaketnya membuat Ben menoleh cepat.

"Cori?" Suaranya tercekat. "Sejak kapan kamu berdiri di situ?"

"Please, jangan bertengkar dengan Bunda gara-gara aku," bisiknya memohon. Perempuan itu memaksa senyum, meski hatinya terasa remuk.

Ben memejam matanya penuh penyesalan dan detik berikutnya ia kembali pada bundanya.

"Maafin Ben, Bunda."

"Ben, masih ada waktu untuk mencari yang lebih baik dari anaknya Djana."

"Tapi Bunda—"

"Bunda tahu dia perempuan baik. Dan Bunda juga tahu dia baik sama Bunda dan anak-anak Bunda, terutama kamu. Tapi Ben..." helaan napas Popy menghancurkan harapan Ben saat itu juga. "Bunda ... minta maaf, ya? Keputusan Bunda tetap sama."

Kepala Ben berputar pening. Apalagi perempuan di sisinya menunduk dalam menatap lantai tanpa berniat mengangkat kepalanya melawan dunia.

Lima menit sudah panggilan itu usai, tapi dua anak manusia itu tak beranjak dari tempatnya memancang ke lantai mal.

"Cori, Abang mau bicara sesuatu."

"Tentang Bunda yang enggak setuju aku dengan Abang?" ujarnya masih menatap lantai.

"Kamu tahu dari mana?!"

Cori mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tak percaya Ben tidak pernah berencana untuk terbuka padanya.

Komunikasi? Omong kosong!

"Apa hubungan kita akan bertahan, Bang?"

"Cori, lihat Abang!" Cori terpaksa mengangkat kepalanya enggan. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Coriander?! Abang akan meyakinkan Bunda. Jangan khawatir, ya?"

"Aku ... takut."

"Apa yang kamu takutkan, hm?"

"Aku takut ... khayalan indahku akan keluarga kecil bahagia bersama Abang ... harus berhenti karena restu Bunda."

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Each Other
550      398     1     
Romance
Sepuluh tahun tidak bertemu, pertemuan pertama Liora dengan Darren justru berada di salah satu bar di Jakarta. Pertemuan pertama itu akhirnya membuat Liora kembali secara terus menerus dengan Darren. Pertemuan itu juga berhasil mengubah hidup Liora yang tenang dan damai.
Ilusi
468      266     3     
Short Story
Fifi, gadis yang tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian diluar nalar. Dia yang baru saja pindah dari kota harus dihadapi oleh hal-hal aneh, semua teman barunya pun tidak ada yang berani mendekati, bahkan dia bisa melihat apa yang seharusnya tidak terlihat. Hanya Aldi yang mau berteman dengan Fifii, hal aneh makin terlihat saat Aldi meminta tolong padanya. Kejadian yang Fifi alami seak...
An Angel of Death
330      207     1     
Short Story
Apa kau pernah merasa terjebak dalam mimpi? Aku pernah. Dan jika kau membaca ini, itu artinya kau ikut terjebak bersamaku.
Tell Me What to do
447      315     1     
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu? Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?
Dira dan Aga
500      336     3     
Short Story
cerita ini mengisahkan tentang perjalanan cinta Dira
Bentuk Kasih Sayang
384      257     2     
Short Story
Bentuk kasih sayang yang berbeda.
Balada Valentine Dua Kepala
278      168     0     
Short Story
Di malam yang penuh cinta itu kepala - kepala sibuk bertemu. Asik mendengar, menatap, mencium, mengecap, dan merasa. Sedang di dua kamar remang, dua kepala berusaha menerima alasan dunia yang tak mengizinkan mereka bersama.
Story of April
1618      672     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Jika Aku Bertahan
11609      2405     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
KETIKA SEMUA DIAM
1374      793     8     
Short Story
Muhammad Safizam, panggil saja Izam. Dilahirkan di kota kecil, Trenggalek Jawa Timur, pada bulan November 2000. Sulung dari dua bersaudara, memiliki hobby beladiri \"Persaudaraan Setia Hati Terate\". Saat ini menjadi seorang pelajar di SMK Bintang Nusantara School Sepatan Tangerang, prog. Keahlian Teknik Komputer & Jaringan kelas 11. Hub. Fb_q Muhammad Safizam