Read More >>"> Ben & Cori (40. Seperti Kentut ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Ia sedang terengah-engah di ruang tengahnya setelah menempuh jarak 2 kilo meter dengan cara jalan cepat di atas treadmill manual. Jarak hari ini lebih jauh 500 meter daripada hari kemarin.

Ia berprinsip, lebih baik merangkak sedikit demi sedikit daripada diam di tempat tidur atau menyumpal mulutnya dengan lebih banyak makanan berkalori tinggi sambil meratapi kata-kata manusia yang tak punya hati macam Moza.

"Cukup untuk hari ini," ucapnya sambil terhenyak di kursi meja makan. Cori menenggak minuman isotonik dingin dari botol dengan rakus hingga tandas.

Kata orang, 7 hari pertama akan menentukan apakah kamu akan konsisten untuk melanjutkan ke proses berikutnya atau tidak. Cori bersyukur telah lolos 2 minggu serasa disiksa neraka ketika proses pembakaran kalori ini dimulai. Dan ia bangga dengan pencapaian kecilnya. 

Beberapa kali ketukan di daun pintu disusul dengan namanya yang diteriakkan menggema. Ia tahu siapa yang bertamu.

"Abang datang." Cori terlanjur senang dan tergesa-gesa menyongsong si calon imam. Tapi sedetik kemudian, dia membeku di tempat setelah mengingat satu hal krusial: dirinya terlihat sangat tidak presentatif. Rambut lepek, baju berkeringat, dan wajahnya yang pasti berkilau ... Ew.

"Coriander, kamu sudah tidur?"

Ah, ia tidak bisa berpikir jernih lagi. Persetan dengan presentasi dirinya. Cori buka pintu dengan sekali tarikan. 

"Abang," sapa Cori duluan. "Baru pulang?"

"Cori?! Kamu kenapa? Pipi kamu merah banget. Kamu demam sampai keringetan begini?" Tanpa pikir panjang, pria itu menempelkan telapak tangannya di dahi Cori. "Enggak panas..." gumamnya.

Cori terkekeh dan menyingkirkan tangan Ben. Yang khawatir tidak sadar kalau mukanya sendiri sangat lelah.

"Abang. Tenang, okay? Aku sehat seratus persen. Duduk dulu, yuk?"

Ben menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya ketika Cori menarik tangannya dan menyuruh Ben duduk di kursi rotan—tempat favorit Ben asal Cori juga ikut duduk bersamanya. Mata Ben tak lepas dari penampilan Cori malam ini

"Sebentar, aku ambil sesuatu dulu ke dalam."

Tak sampai dua menit, Cori menyuguhkan teh hangat dan satu toples kukis ketumbar jeruk yang rutin ia pesan di Romaine Bakery tanpa sepengetahuan mamanya.

Sejak kedatangannya bersama Ben tempo hari ke Romaine Bakery dan mendapatkan wejangan pernikahan, Cori ingin selalu merasa terhubung dengan Mutia walaupun tidak ada yang akan berubah dari hubungan mereka yang stagnan. Misalnya, dengan memesan kue ke Romaine Bakery. 

"Minum tehnya," perintah Cori. "Setiap pulang rapat sama deputi, Abang selalu kelihatan mau pingsan." Lagi, Ben menuruti apa pun perintah Cori. Ben mengakui butuh sedikit kafein. 

" Kamu ... habis olah raga?" Matanya menuburuk sepatu kets di kaki Cori.

"Iya. Baru selesai lari di treadmill." Cori mengedikkan kepala ke arah rumah.

Pandangan Ben tak jua lepas meski pertanyaannya telah terjawab.

"Abang jangan ngeliatin aku terus."

"Y-ya?"

"Aku lagi jelek banget, kan? Keringetan gini sampai-sampai Abang enggak berkedip natap aku."

Cori sudah mulai tidak peduli dengan pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, ketika orang itu adalah Ben, maka ketidakpercayaan dirinya kembali goyah. Insecure kembali menjadi nama tengahnya setelah Romaine. Pendapat Ben telah menjadi pendapat terpenting setelah kata-kata Sudjana.

"Kamu bicara apa, sih?" tanyanya setengah bingung. "Yang ada aku malah lega kamu enggak kenapa-kenapa. Jadi jangan mikir macam-macam, ya?"

"Bener?"

"Iya. Kamu tuh, justru ... terlihat ... sangat ... menarik ... malam ini," gumam Ben semakin pelan. Suaranya menghilang dibawa angin sepoi-sepoi malam, sedangkan jiwanya makin belingsatan enggak keruan gara-gara penampilan Cori malam ini.

Padahal Cori hanya pakai kaus oblong kebesaran dan celana training. Tapi mengapa Ben ... melihatnya berbeda? Apa karena pipinya memerah? Apa karena keringat di rambutnya? Atau karena bibirnya yang basah?

"Gimana, Bang?"

"A-apa?"

Sial! Bahaya, bahaya. Benjamin! Jauhkan Cori dari pikiran kotormu sekarang juga! Demi Tuhan, sekarang hampir tengah malam. Ingat janjimu pada Papa. Jaga Cori dari pikiranmu dan kelakuanmu! peringat Ben pada dirinya. 

"Abang ngomong apa barusan?" ulang Cori.

"Ehm, lupakan." Ben pura-pura membersihkan  tenggorokannya. "Sejak kapan kamu olahraga?"

"Baru 2 minggu."

"Jangan-jangan kamu olahraga karena kata-kata Moza?" tuduh Ben blak-blakan.

"Abang tahu?"

"Dari Winnie."

Setidaknya ia bersyukur versi Winnielah yang Ben dengar. Kalau begini, ia lebih mudah bertutur tentang kejadian itu. 

"Moza," Cori menggantung kalimatnya sejenak. "sempat menjadi motif aku berolahraga."

"Untuk kurusin badan?!"

Si Gadis Ketumbar terkekeh kecil "Kan aku bilang sempat, tapi lama-lama aku pikir, aku nggak mau melakukannya buat orang enggak penting macam dia. Aku hanya mau melakukannya karena aku sendiri. Untuk aku dan kesehatanku. Supaya aku sehat lebih lama bersama orang-orang yang aku sayangi."

Tak sadar Ben menghembuskan napas lega.

"Tapi tolong Coriander, kalau kamu punya masalah, bagi sama Abang. Apa Abang harus tahu dari orang lain soal perlakuan Moza? Abang harus tanya ke Winnie apa yang terjadi waktu itu gara-gara Marzuki keceplosan. Sebentar lagi kita akan menikah. Kamu harus mulai terbuka padaku. Mengerti, Cori?" mohon Ben sungguh-sungguh.

"Hm, I'll try. Aku akan belajar terbuka," ucapnya malu-malu.

Bertambah-tambahlah cinta Ben pada perempuan berpipi chubby ini.

"Cori."

"Apa?"

"Boleh peluk?"

Bukannya pelukan yang dapat, tapi sebentuk pukulan sayang di lengan. Rasanya?

"Aw! Pukulan tadi untuk apa?!" Si Sabeni meringis kesakitan. Ben menggosok-gosok cepat lengannya. “Belum nikah udah KDRT.”

"Mulutnya tolong dikondisikan, Bapak Benjamin. Jangan pancing-pancing aku. Sudah malam lho, ini. Abang pikir, cuma Abang yang ... yang mau ...meluk?" cicit Cori di akhir kata. Enggak ngaruh mau mencicit, mau berbisik, telinga Ben jadi sensitif bila itu menyangkut Cori. Ada sorak-sorai bergembira yang sedang berisik dalam kepala lelaki itu.

"Ya udah. Sini." Dengan pedenya, Ben merentangkan tangannya lebar-lebar menyambut Cori.

Sabar jantung, batin Cori memohon. Kelakuan Ben memang bikin jantung Cori siaga satu.

Balasan yang Ben dapat? Mulutnya disumpal dengan orange coriander cookies yang aromatik dan buttery buatan Romaine Bakery!

"Coriander!"

Cori menertawakan tampang Ben yang kebingungan sekaligus kesal di saat yang sama.

"Dimakan dulu kukis buatan calon mertua Abang. Mana tahu bisa benerin pikirannya yang udah enggak lurus itu."

"Calon mertua?" Ben cepat-cepat menghabiskan sisa kuenya. "Maksud kamu kukis ini buatan Papa? Tapi ini kan orange coriander cookies dari Romaine Bakery."

Tadi Cori bilang akan belajar terbuka, kan? Baiklah. Mungkin, bisa dimulai malam ini.

"Barusan Abang makan kukis buatan mamaku."

"Yang ini?" Ben mengangkat toples si kukis ketumbar jeruk tak yakin.

"Iya."

"Bagaimana bisa?" Ben butuh pencerahan sekarang juga.

"Perkenalkan, Mutia Adnan pemilik Romaine Bakery adalah ibu kandungku yang ... hilang, Abang."

Selama semenit penuh, hanya suara jangkrik yang mengisi kekosongan teras rumah nomor lima. Tidak adanya respon membuat Cori panik maksimal. Tidak ada dalam rencananya gara-gara secuil informasi ini membuat rencana pernikahannya gagal total dan Ben lari darinya.

Oh, Tuhan...

"Abang. Abang pasti syok. Aku tahu Abang bingung kenapa tiba-tiba Mamaku muncul. Aku enggak bermaksud menyembunyikan apa pun dari Abang, tapi please, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Aku akan ceritain semuanya. Janji. Abang harus dengerin aku, ya?" pinta Cori memelas.

"Cori, tenang. Abang bahkan belum bicara apa-apa."

"Abang pasti berprasangka macam-macam tentang aku dan keluargaku. Aku ngerti, kok. Tapi aku punya alasan. Jadi jangan tinggalin aku hanya karena kehadiran mama," mohonnya. Pengalaman percintaannya dengan Arga beserta alasan mengapa ia dicampakkan membuat kepercayaan dirinya menukik tajam.

Cori terkesiap! Tangan besar itu melingkupi tangannya yang mulai dingin ujung-ujung jarinya. Lama-kelamaan genggaman tadi mengalirkan kehangatan dan ketenangan pada jiwanya yang rapuhnya.

"Cori, dengar! Aku bukannya menghakimi keluargamu. Aku hanya memikirkan sesuatu."

"Apa ... itu?"

"Maaf. Aku enggak tahu harus bereakasi apa. Sebab, Bunda cerita, mamamu sudah meninggal dunia setelah kamu dilahirkan. Lalu tiba-tiba kamu bilang pemilik Romaine Bakery adalah ibu kandung kamu."

Cori tersenyum kecut menatap nanar tautan tangan mereka.

"Yang Abang dengar adalah versi yang Papa ceritakan ke semua orang termasuk aku sampai usiaku 19 tahun."

"Tapi ... kenapa?" Sedikit remasan genggaman Ben menandakan pria itu tidak mengerti. "Aku ingin memahaminya dari sudut pandang kamu."

Cori menarik napas dan menghembuskannya pelan.

"Long story short, Papa mau aku hidup dalam kenangan indah tentang Mama. Mama yang menjadi pahlawan dengan mempertaruhkan hidupnya demi melahirkan aku ke dunia, Mama yang pintar, dan Mama yang selama kehamilannya tidak sabar bertemu aku. Indah ya, cerita Papa?" Khayalannya dulu membuatnya tersenyum masam. Cori menghela napas berat. "Tapi sepertinya Tuhan ingin aku tahu bahwa tidak selamanya Papa bisa menyimpan bangkai dengan sempurna, selamanya."

"Lalu apa yang terjadi sebenarnya?"

"Mama hamil sebelum kedua orang tuaku menikah. Tapi sayang Mama enggak pernah menginginkan aku sejak awal kehamilannya. Kemudian Mama pergi ke kampung halamannya setelah melahirkan aku. Mama meninggalkan kami berdua."

"Apa?!"

"Aku anak yang enggak pernah dinginkan Mama." Cori tersenyum kecut.

Menceritakan kisah hidupnya dengan gamblang menimbulkan sensasi perih dan melegakan di saat yang sama.

"Selama ini kamu pasti kesulitan menahan beban seberat itu," ucapnya prihatin. Ben makin mengeratkan genggamannya.

Cori justru membalas genggaman itu dan berkata, "Bikin mumet? Iya. Makanya badanku jadi segede gaban. Pelarianku waktu itu cuma ke makanan sambil kerja di resto papa."

Ia menyambung semua benang merah yang belum menemui ujung selama ini. Akhirnya Ben mengangguk paham.

"Makasih Abang udah dengerin aku. Abang tahu? Sekarang hatiku rasanya legaaa banget. Akhirnya Abang tahu rahasia keluargaku. Ngeluarin sampah di hati itu kayak buang kentut. Selega itu."

"Coriander!"

Tawa Cori tersembur begitu saja. Akibatnya, muncul suara tawa bersahut-sahutan di antara mereka. Saraf dua anak manusia itu mengendor perlahan.

"Makasih, Abang. Makasih udah dengerin aku. Nyimpen rahasia ini sendirian bikin kepalaku mau meledak setiap hari. Bahkan papa aja enggak tahu ada mantan kekasihnya di Batam. Udah enggak terhitung berapa kali aku mau cerita ke Papa, tapi aku enggak bisa. Aku takut Papa kecewa lagi."

"Tapi kenapa aku lihat kamu dan Bu Mutia kayak orang asing? Kamu bahkan memanggil Beliau, Bu, bukan Mama. Atau Abang yang salah menyimpulkan?" Ben sampai meragukan pernyataannya sendiri.

"Sebenarnya, Mama enggak tahu aku siapa." Cori mengangkat kedua bahunya ringan.

Wajah kebingungan Ben membuat Cori tertawa kecil.

"Kenapa?" tanyanya tak habis pikir.

“Mama ninggalin kami waktu aku masih berusia beberapa jam.”

“Ya Tuhan.”

Cori tersenyum hambar. "Lagian, aku sangsi Mama masih ingat namaku. Padahal namaku jelas-jelas tercetak tebal di kertas pinjamannya dulu. Papa malah pernah beri tahu namaku pada beliau waktu aku berusia 19 tahun."

Cori diam-diam menekan dadanya. Perih, seperti biasa ketika cerita Mutia kembali diungkit. 

"Lalu, kenapa kamu enggak memperkenalkan diri sebagai anak Bu Mutia?"

Cori tersenyum kecut, Ben memahami raut wajah itu.

"Mama telah memilih meninggalkanku dan tidak menganggap eksistensiku nyata, maka aku juga akan memilih untuk pura-pura tidak mengenali beliau."

"Cori..."

"Hm?"

"Apa kamu ... berencana nggak mengungkapkan siapa kamu sebenarnya ke Bu Mutia ... selamanya?"

"Terus terang, aku enggak tahu."

Sebelum bicara, Ben kembali meremas lembut tangan perempuan yang sejak tadi dia genggam.

"Nggak apa-apa. Aku tahu kamu butuh waktu untuk memikirkan semuanya, akan tetapi," kali ini jelaga sehitam malam itu mengunci mata Cori yang kebingungan.

"Ya?"

"Jangan lama-lama, ya? Jangan pendam sendiri. Kalian harus membicarakannya dengan hati lapang suatu hari nanti."

"Kenapa?"

"Kamu nggak bisa selamanya hidup dalam dendam, sakit hati, atau penyesalan, kan?"

"Kenapa Abang bilang dendam?"

"Karena aku bisa melihat ada kobaran kemarahan dan kesedihan di matamu di sela-sela kamu menceritakan Mama Mutia. Cepat atau lambat, kamu harus menuntaskan rasa marah, kecewa, dan dendam pada beliau, agar kamu dan masa lalumu bisa berjalan berdampingan dengan damai."

Detik itu juga Cori menyadari bahwa Ben benar seratus persen.

Bersambung

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Teman Hidup
4956      2124     1     
Romance
Dhisti harus bersaing dengan saudara tirinya, Laras, untuk mendapatkan hati Damian, si pemilik kafe A Latte. Dhisti tahu kesempatannya sangat kecil apalagi Damian sangat mencintai Laras. Dhisti tidak menyerah karena ia selalu bertemu Damian di kafe. Dhisti percaya kalau cinta yang menjadi miliknya tidak akan ke mana. Seiring waktu berjalan, rasa cinta Damian bertambah besar pada Laras walau wan...
The Arcana : Ace of Wands
125      110     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
The fallen Apperentice (story of Crane)
548      316     0     
Action
Crane is a little boy that grew up into a master of martial arts he was trained by a street fighter who quit and become a kung fu master called Steve
When I Was Young
8410      1681     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
KESEMPATAN PERTAMA
487      339     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
97
326      202     1     
Short Story
Di Hari Itu
431      304     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
SENJA YANG INDAH DI TANAH KAYA
378      287     0     
Short Story
Ketika kau dititipkan sesuatu oleh sang Pencipta, rawatlah, jagalah, berikan kesempatan yang sama, jangan batasi dia akan kreatifitasnya, akan bakatnya. Jangan atur dan sembunyikan dia dari indah dan luasnya dunia luar. Bimbinglah dia, arungi langkahnya dengan dukungan dan doamu. Seorang Ayah dengan SENJA-nya yang luar biasa.
ANSWER
667      405     6     
Short Story
Ketika rasa itu tak lagi ada....
Ignis Fatuus
1760      657     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...