Read More >>"> Ben & Cori (42. Pembicaraan Para Orang Tua ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Beberapa jam sebelum Popy menelepon Ben di bioskop... 

"Tia, makasih lho udah dikirimin produk Romaine Bakery. Satu toples habis 10 menit sama Bonita. Seneng banget dia sama butter cookies-mu," kata Popy pada telepon genggamnya di ruang keluarga.

"Senengnya dihabisin si Cantik. Lain kali aku kirim lagi ya, Mbak?" sahutnya di ujung telepon.

"Jadi ngerepotin, lho."

“Enggak, Mbak. Ya, anggap aja sebagai tanda terima kasih atas semua yang udah Mbak lakukan untukku selama ini."

Apalagi yang mesti Popy katakan selain, terima kasih?

“Gimana kukis ketumbarnya, Mbak? Enak?”

“Rasanya unik, lho. Dapat ide dari mana sih, Tia?” Popy benar-benar penasaran. 

"Sejujurnya, kukis itu aku buat ... untuk anakku."

"Miko?"

Mutia tertawa kecil. Namun, setelahnya tawa itu hilang dengan bombardir perasaan bersalah yang teramat besar.

"Bukan Miko, Mbak."

"Anakmu cuma satu, Tia. Memangnya anak mana lagi?"

"Mbak masih ingat dengan pengakuan dosa besarku puluhan tahun yang lalu?"

"Kamu yang melakukannya pertama kali dengan cinta pertamamu itu, kan?"

"Ya." Lagi-lagi Mutia tertawa. "Cinta pertama..." Ia tak melanjutkan kalimatnya. 

"Kenapa diingat-ingat, Tia? Sudahlah. Masa lalumu itu jadikan pelajaran. Saat itu jiwa mudamu sedang menggebu-gebu. Kadang hal-hal seperti itu terjadi ketika kita sedang berjauhan dengan Tuhan."

"Ya, aku akui saat itu kami dibutakan cinta dan nafsu."

"Yang penting kamu yang sekarang, Tia."

Tetap saja. Yang namanya kesalahan masa lalu akan menjadi bayangan yang mengikuti Mutia ke mana ia melangkah. 

"Mbak tahu kan, dia ... adalah cinta pertamaku yang ndak akan pernah aku lupakan. Dia ndak bisa menggantikan papanya Miko sampai kapan pun."

"Benar. Cinta pertama memang lebih berkesan. Tunggu, tunggu. Kenapa tiba-tiba bahas pengakuan dosa dan cinta pertama? Kamu kenapa, Tia?"

"Mbak, aku mau nambah pengakuan dosa lagi ke Mbak Popy. Boleh kah, Mbak?"

"Tia, Tia. Asal hatimu tenang. Baiklah. Mbak mendengarkan."

Mutia berdehem kemudian mulai bicara. "Sebelum menikah dengan Mas Suji, aku hamil dengan cinta pertamaku itu." Popy sampai menegakkan punggungnya berkonsentrasi penuh. "Masalahnya, saat itu kami belum sempat menikah."

Ingin Popy menyela karena informasi yang didengar begitu mengejutkan, tapi ia berhasil menahan keinginannya dan mendengar dengan sabar.

"Lalu?"

"Dan aku meninggalkannya, Mbak. Aku sengaja meninggalkan darah dagingku pada pria itu dan menggagalkan pernikahan kami. Aku ... Benar-benar menyesal." Pecah isak tangis Mutia detik itu juga. Sesal terpendam yang telah menggerogoti jiwanya puluhan tahun akhirnya keluar jua. Lelah jiwa Mutia menyimpan rahasia yang menyesakkan ini sendirian. Ia butuh mengeluarkannya dari dadanya. Sebab, himpitan sesal itu makin berat setiap detik. Apalagi setelah bertemu darah dagingnya sendiri. 

"Tia, Mbak turut menyesal mendengarnya."

"Aku ndak bisa memeluknya. Aku ndak bisa memanggilnya dengan bebas. Padahal dia begitu dekat denganku.  Aku ...." Kata-kata pun sudah tak mampu mewakili kesedihannya. Isakannya makin deras.

"Dekat? Di mana anak itu sekarang?"

"Dia ada di Batam, Mbak."

"Kamu tahu orangnya? Pernah bertemu dengannya?!" Popy makin penasaran. 

"Tahu, Mbak. Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya. Dia perempuan yang cantik dan ayu. Mirip banget sama papanya."

Meski lewat sambungan telepon, Popy tahu Mutia sedang tersenyum ketika menceritakan anaknya.

"Aku ndak mampu mengakui siapa aku sebenarnya, Mbak. Aku merasa ndak berhak untuk sekedar memeluk anak yang ndak pernah aku besarkan, yang ndak pernah aku beri air susuku sendiri. Aku ibu ndak bertanggung jawab. Aku malu jadi manusia, Mbak. Aku malu. Sungguh."

"Oh, Tia..." Popy sampai kehilangan kata-kata. Hati Popy ikut terenyuh lara Mutia.

"Mbak tahu? Kukis ketumbar jeruk itu aku buat sebagai hukuman untukku agar aku selalu ingat bahwa aku manusia yang buruk," sambungnya.

"Kenapa kukis ketumbar?"

"Karena, ketumbar adalah bumbu dapur yang amat disukai Mas Djana. Dan nama anak itu adalah Coriander, yang artinya ketumbar. "

"Sebentar." Popy butuh waktu memroses semua yang dia dengar barusan. "Maksudmu Djana owner The Coriander Taste? Cori ... anak kalian?!"

"Benar, Mbak. Mbak kenal dengan Mas Djana?"

"Tentu. Dia partner bisnisku. Anak kami berteman, malah. "

Mutia tertawa kecil. "Ya, aku tahu mereka ... berteman."

"Tia, apa yang akan kamu lakukan dengan Cori?"

"Jujur aku nggak tahu Mbak. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan, Mbak Popy?" mohonnya.

"Mohon ampun pada Tuhan. Minta maaf pada mereka yang telah kamu tinggalkan. Cori dan Djana berhak mendapatkan maafmu, tho?"

"Tapi aku takut mereka ndak mau menerimaku."

"Berdoa, lalu coba. Kemudian hasilnya serahkan pada Tuhan."

Secercah harapan sedikit menerangi jalan Mutia.

"Aku akan mempertimbangkannya."

"Bagus. Semoga dimudahkan, Tia," harap Popy sungguh-sungguh.

"Mbak..."

"Ya, Tia?"

"Aku, aku boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa, Tia?"

"Tolong beri Cori sedikit kasih sayang Mbak. Tolong wakilkan aku Mbak, sayangi dia seperti Mbak menyayangi Ben. Aku mohon, Mbak?"

Sebelum menjawab, Popy mengulas senyumnya. "Tentu, Tia. Dia sudah lama aku anggap anakku sendiri."

***

"Haah," desahnya untuk kesekian kali. Percakapan barusan sedikit mengguncang malamnya yang tenang.

Popy menatap layar TV tanpa benar-benar menontonnya. Telepon Mutia tadi telah mengambil alih pikirannya.

Djana. Cori. Mutia.

Mereka adalah keluarga? Tapi bukannya selama ini Sudjana mengatakan istrinya meninggal setelah melahirkan Cori? Setidaknya itu yang diceritakan Sudjana padanya. 

Dan Cori... Ah, anak malang itu. Ia ditinggalkan oleh mamanya, demi Tuhan. Ia hidup tanpa tahu apa yang terjadi pada mamanya. Pantas waktu itu anak Sudjana terlampau senang saat ia  menyuruh Cori memanggil dirinya, bunda.

Popy tersenyum miris.

Anak yang malang, ulangnya sekali lagi dalam kepalanya. Kalau bertemu dia lagi, aku akan sering memeluknya.

"Buuun, bulan depan ke Singapura, yuk?"

Boni baru pulang kerja dan melempar tasnya sembarangan ke lantai. Gadis itu menghenyakkan pantatnya di sofa yang sama dengan Popy.

"Kok, tiba-tiba?"

Tanpa minta izin, Bonita menandaskan air putih kepunyaan bundanya kemudian menjawab, "Kak Cori yang ajak, Bun. Boni mau ajuin cuti kalau Bunda juga ikut."

"Cori..." ucapnya menerawang.

"Bun. Bunda kenapa?" Bonita bertanya demikian karena Popy terlihat sangat tersesat saat ini.

"Ya?"

"Bunda kenapa Boni tanya. Kok kayaknya Bunda lagi banyak pikiran gitu? Cerita sama Boni."

"Cori."

"Kenapa Kak Cori, Bun?"

"Dia wanita tangguh. Hidup tanpa ibu kandung pasti berat. Dia pasti punya hati yang besar karena telah bertahan dengan baik hingga sekarang."

"Iih, kok Bunda samaan sama Abang?"

"Hm?" Popy tidak mengerti anak perempuannya.

"Abang juga bilang begitu tentang Kak Cori. Itu abang-abang udah cinta mati sama Kak Cori Bun. Asal Bunda tahu." Boni terkekeh.

"Cinta mati? Maksud Boni apa?" Jantungnya berpacu tiba-tiba. Popy tidak menyukai frasa cinta mati barusan.

"Eh, Abang belum bilang Bunda, ya?"

"Bilang apa?!" tuntut Popy tak sabaran.

"Abang sama Kak Cori kan udah serius, Bun."

"Serius?!" Popy tidak mau memercayai kata-kata anaknya. "Serius maksud Boni, Abang sama Cori pacaran?!"

"Iya, Bunda. Abang mau nikahin Kak Cori. Senengnya dapat kakak perempuan sebaik Kak Cori."

"Nggak boleh!"

Boni sampai terlonjak dari duduknya. Mulutnya sampai tak mampu dikatup sekian detik.

"Kok Bunda larang? Abang cinta banget sama Kak Cori lho, Bun."

"Pokoknya Ben tidak boleh menikah dengan Cori!"

"Kenapa?" rengek Bonita.

"Nanti Bunda jelasin. Bunda mesti nelepon Agni."

"Kok, Kak Agni? Apa hubungannya? Dia kan bukan siapa-siapa lagi buat kita, Bun." Bonita tidak terima. Bonita sudah kehilangan rasa hormat pada mantan calon kakak iparnya itu.

"Bunda mau tanya sesuatu sama dia." Sebelum Bonita bertanya lebih jauh, Popy pergi ke kamarnya.

***

"Begitukah?" Popy berjalan tak tentu arah di kamar sambil menempelkan gawai di telinganya.

"Benar. Bunda. Agni enggak nyangka aja Ben mau pacaran dengan perempuan seperti itu."

“Anak itu. Kenapa mesti sama Cori?” gerutu Popy. "Bunda udah kasih izin lho padahal supaya kalian balikan lagi. Dianya ngeyel. Ya udah. Kapan-kapan kita sambung lagi ya, Agni."

"Baik, Bunda."

Klik.

Kini Popy menuju sambungan telepon berikutnya. Popy kembali mondar-mandir tak tenang di kamarnya sambil menunggu suara anak lelakinya terdengar.

"Halo, Bundanya Ben," sapanya ramah.

"Di mana kamu?" tanyanya to the point.

"Lagi di bioskop Bun, sama Cori."

***

"Ada masalah dengan venue kami atau ada perubahan menu dari pihak pengantin?" tanya Sudjana saat ia menjatuhkan diri di kursi ruangan pribadinya. Buru-buru Sudjana dari dapur ke lantai dua untuk bertemu Popy.

"Masalah teknis seperti itu biar Omes yang urus. Aku ke sini untuk urusan lain."

"Soal apa, Pop?"

"Djana, kamu tahu aku sangat menyayangi Cori. Dia anak yang baik."

"Terima kasih telah menyayangi putriku, Popy. Aku sangat menghargainya." Meski bingung, Djana tetap menjawabnya.

"Djana, aku tahu tidak seharusnya aku mengatakan ini, tapi aku merasa harus melakukannya. Demi Ben."

Terhempaslah punggung Sudjana ke sandaran kursi. Dia mungkin tahu ujung dari percakapan ini.

"Baiklah. Katakan padaku, apa yang tak seharusnya kamu katakan tapi kamu harus melakukannya, Pop?"

"Mutia."

"Mutia?!" Kekagetannya membawa tubuhnya maju dan mendekati lawan bicaranya. Rahangnya mengeras dengan kilatan masa lalu. "Mutia ... Adnan?"

"Ya. Aku mengetahui hubungan kalian dari dia. Terutama sejarah kelahiran Cori. Tak ada yang ditutupi, tak ada rahasia. Maafkan aku, Djana, tapi aku tidak melihat akhir yang baik bila Ben dan Cori tetap bersama. Seperti yang aku katakan tadi. Aku sangat menyayangi anak itu, tapi ... latar belakangnya ... Djana, aku mohon maafkan aku." Popy begitu kesulitan menyampaikan maksud hatinya.

"Kenapa, Pop?" tuntut Sudjana tak terima. "Karena Cori lahir sebelum kami menikah?"

Popy tak sanggup menjawab.

"Karena dia tidak memiliki nasabku?"

"Djana ...."

"Please, Pop. Mereka saling menyayangi," mohonnya memelas. "Aku bisa merasakannya. Ben telah mengubah anakku menjadi lebih baik. Ben membantu anakku bangkit dan lebih terbuka setelah luka yang ditorehkan Mutia. Ben juga yang membantu anakku menjalani hidup normal setelah diselingkuhi dan ditinggalkan mantan kekasihnya demi menikah dengan wanita lain gara-gara nasabnya. Dan sekarang ... kamu ingin anakku mengakhiri hubungan sempurna mereka karena perkara yang sama? Tidak ada satu norma, hukum positif, maupun syariat agama yang menyalahi hubungan mereka. Coba pikirkan lagi, Pop. Ya?" mohon Sudjana. 

"Aku tidak bisa, Djana. Apa kata orang-orang ketika tahu Ben menikah dengan gadis yang tak bernasab pada ayahnya? Apa kata dunia pada keluargaku? Sudah cukup aku saja yang merasakan hidup di atas perkataan orang-orang mengenai status jandaku, Djana. Jangan Ben. Jangan anak-anakku!"

Sudjana lalu memutar otak dengan cepat mencari solusi.

"Mereka bisa menikah di KUA, tanpa tamu, hanya keluarga dekat. Bisa, tho? Semua ada jalan keluarnya. Jangan pisahkan mereka. Aku mohon, Popy."

"Djana..."

"Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku, agar kamu mau menerima Cori tanpa embel-embel masa lalu?" Habis sudah wibawa Sudjana. Ia tidak peduli apa pun lagi di dunia ini. Semua demi putrinya.

"Tidak ada, Djana."

"Belas kasihanilah putriku, Pop," mohonnya.

"Djana, keputusanku sudah final. Aku harap kejadian ini tidak memengaruhi bisnis antara The Coriander Taste dan WO kami. Aku harap kamu mengerti."

***

Berkali-kali kepalanya menoleh pada jalan yang macet. Tak sabar Sudjana ingin muncul di depan mantan kekasihnya dan menumpahkan semua kemarahannya.

Berkat informasi Popy, Sudjana terbang ke Batam secepat yang ia bisa.

"Di mana dia sekarang, Pop?" tanya Djana dingin.

"Dia ... hidup dengan baik di Batam."

"Batam?!"

"Cori ... ndak cerita apa pun mengenai Mutia?" tanya Popy heran. Djana menggeleng pelan. "Cori bahkan pernah bertemu beberapa kali dengannya."

"God ...." Djana menyugar rambutnya yang memutih di bangku belakang taksi bandara Hang Nadim.

Kenapa Cori ndak pernah cerita padaku? pikir Sudjana. Kenapa kamu selalu menyimpan semuanya sendiri, Nak?

"Macet, Pak. Hujan, pula," celetuk si supir, mengembalikan fokus Sudjana. "Apalagi kita lagi rebutan jalan sama anak-anak PT, Pak."

"Anak PT?"

"Itu, buruh pabrik yang juga baru selesai kerja. Makanya tambah macet, Pak."

"Tolong usahakan cepat ya, Pak. Saya perlu segera sampai di Toko Romaine Bakery."

***

"Romaine ... daun selada kesukaanmu," gumamnya ketika ia berdiri menantang bangunan 2 lantai yang sedang ramai pengunjung. 

Sudjana geram. Tak cukup wanita itu meninggalkan mereka dan menggores luka di hati anak satu-satunya, sekarang ia membuat Cori berpisah dari Ben? Wanita itu telah merenggut kebahagiaan anaknya!

Sudjana tidak peduli dengan banyaknya pengunjung hari ini. Yang ia pedulikan hanyalah sosok anggun yang memakai coat putih yang sedang mengatur tatanan roti di rak kayu.

"Tia."

Bergetar tangannya ketika ia memutar tubuhnya. Pundaknya panas dingin merespon betapa gugupnya ia ditatap oleh sang Cinta Pertama.

“Mas ... Djana.” Mutia tercekat.

Meski ada rindu yang membuncah untuk diluapkan, tapi rasa kecewa jauh lebih mendominasi. Dulu Mutia adalah segalanya, pusat hidupnya. Namun, setelah segala amarah divoniskan pada darah dagingnya, semua berubah. Cori menjadi satu-satunya alasan mengapa ia bertahan dari badai kecewa akan Mutia. Cori telah mengambil alih dunianya. Dan ia akan melakukan apapun untuk melindungi putrinya. 

"Dari mana Mas tahu ... aku di sini?"

"Popy."

"Ah ...." Mutia memijat ujung jarinya. "A-apa kabar Mas Djana?"

"Aku tidak peduli dengan kabarku!" Gelegar suara Sudjana mengagetkan seluruh staf dan pengunjung toko kecil ini. "Apa yang kamu katakan pada Popy sampai membuat dia tidak merestui hubungan Cori dan Ben?!"

"Ti-tidak merestui? Kenapa?" Wajah perempuan itu sangat kebingungan.

"Aku yang seharusnya bertanya, Tia!" Sudjana menggeram frustasi. "Tidak cukup dengan meninggalkan Cori, kamu juga membuat Cori terpaksa merelakan masa depannya! Demi Tuhan, Tia. Padahal Cori akan menikah dengan Ben dan kamu mengacaukannya. Kamu bahkan tidak berhak menceritakan kebodohan kita dulu pada siapa pun dan tentang bagaimana Cori hadir ke dunia. Kamu tidak berhak, Mutia Adnan!"

"Mas, Mas. Dengar dulu—"

"Dan satu lagi." Sudjana mengangkat jari telunjuknya, mendekat, dan berdesis menakutkan di depan wajah kesayangannya dulu. "Aku mohon, berhenti mengganggu hidup Cori. Jangan pernah menemuninya!"

Putus sudah pita suara Mutia dihadapan cinta pertamanya.

Bersambung


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Soulless...
5284      1191     7     
Romance
Apa cintamu datang di saat yang tepat? Pada orang yang tepat? Aku masih sangat, sangat muda waktu aku mengenal yang namanya cinta. Aku masih lembaran kertas putih, Seragamku masih putih abu-abu, dan perlahan, hatiku yang mulanya berwarna putih itu kini juga berubah menjadi abu-abu. Penuh ketidakpastian, penuh pertanyaan tanpa jawaban, keraguan, membuatku berundi pada permainan jetcoaster, ...
Buku Harian
666      416     1     
True Story
Kenapa setiap awal harus ada akhir? Begitu pula dengan kisah hidup. Setiap kisah memiliki awal dan akhir yang berbeda pada setiap manusia. Ada yang berakhir manis, ada pula yang berakhir tragis. Lalu bagaimanakah dengan kisah ini?
Bittersweet My Betty La Fea
3085      1085     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
27th Woman's Syndrome
10121      1884     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Dia
580      353     12     
Short Story
Dialah perasaan itu. Dia,dia,dia aku.
Teater
19856      2827     3     
Romance
"Disembunyikan atau tidak cinta itu akan tetap ada." Aku mengenalnya sebagai seseorang yang PERNAH aku cintai dan ada juga yang perlahan aku kenal sebagai seseorang yang mencintaiku. Mencintai dan dicintai. ~ L U T H F I T A ? Plagiat adalah sebuah kejahatan.
Like you?
954      484     3     
Romance
short story compilations I guess, didn\'t have to be bts but I didn\'t want to change the names til I got a better idea enjoy
Through This Letter (Sudah Terbit / Open PO)
3799      1229     0     
Romance
Dia—pacarku—memang seperti itu. Terkadang menyebalkan, jail, sampai-sampai buatku marah. Dan, coba tebak apa yang selalu dia lakukan untuk mengembalikan suasana hatiku? Dia, akan mengirimkanku sebuah surat. Benar-benar berbentuk surat. Di tengah-tengah zaman yang sudah secanggih ini, dia justru lebih memilih menulis sendiri di atas secarik kertas putih, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah a...
KASTARA
344      289     0     
Fantasy
Dunia ini tidak hanya diisi oleh makhluk hidup normal seperti yang kita ketahui pada umumnya Ada banyak kehidupan lain yang di luar logika manusia Salah satunya adalah para Orbs, sebutan bagi mereka yang memiliki energi lebih dan luar biasa Tara hanya ingin bisa hidup bebas menggunkan Elemental Energy yang dia miliki dan mengasahnya menjadi lebih kuat dengan masuk ke dunia Neverbefore dan...
SEPATU BUTUT KERAMAT: Antara Kebenaran & Kebetulan
6028      1862     13     
Romance
Usai gagal menemui mahasiswi incarannya, Yoga menenangkan pikirannya di sebuah taman kota. Di sana dia bertemu seorang pengemis aneh. Dari pengemis itu dia membeli sebuah sepatu, yang ternyata itu adalah sebuah sepatu butut keramat, yang mana setiap ia coba membuangnya, sebuah kesialan pun terjadi.