Seorang wanita cantik berjalan masuk dengan anggun, percaya diri dan senyum menawan, membuat semua orang yang ada di ruangan pelayanan PT. Sejahtera Bersama Cabang Mega Legenda menatap tanpa putus. Ada yang mengagumi dalam diam, ada pula yang tak segan memuja dengan gumam.
Wanita itu adalah Agni Paramitha.
Agni menikmati puja-puji itu. Ia sudah terbiasa membawa kecantikan alaminya untuk memesona orang lain, membuat pukau di mata lelaki, ataupun wanita, baik muda maupun tua. Bahkan Ben tergila-gila padanya, memuji betapa cantiknya dia, dan ingin memiliki Agni dengan mengikat dirinya pada sebuah pernikahan nan sakral.
Sayang, Agni merasa kecantikannya bukan untuk dikekang. Agni masih ingin dipuja oleh semua orang. Agni masih ingin mendapatkan perhatian tak hanya dari kekasihnya—yang hanya berharap dari Ben saja puja itu datang, hanya untuk Ben saja keelokan itu ditujukan—tapi dari semua makhluk bumi. Ben tidak boleh melarangnya.
Itu dulu.
Sekarang, setelah berpisah itu nyata, rasa kehilangan akan seseorang yang memuja dengan tulus semakin pekat. Agni ternyata masih mencintai pria itu. Yang ia dapati, mata memuja Ben tidak lagi mengelukan keindahannya. Yang ada, mata Ben memuja seorang perempuan gemuk yang seolah-olah sedang tersenyum tulus pada nasabah yang sedang memberikan gelang emasnya. Mata Ben seakan takluk pada sosok menggumpal yang dilihat beratus kali pun, jauh dari kata menarik, cantik, anggun, tak seperti dirinya tentunya.
Lihat-lihat, tidak ada pinggang karena tertutup lemak. Lengannya demi Tuhan, seperti betisku. Dan ... ya ampun. Itu paha, atau bongkahan lemak? cebik Agni di kepalanya.
Agni melewati Cori dengan sorot mata mencemooh kemudian ia berlalu dengan kepala penuh rencana untuk membawa kembali Ben ke dalam pelukannya.
Sementara itu, Cori tidak menyadari sorotan mata merendahkan itu. Sebab, ia dan Winnie masih berkutat dengan pekerjaan mereka di meja front liner.
"Terima kasih telah bertransaksi dengan kami Bapak Junaedi," ucap Winnie sebagai salam penutup pada nasabah terakhir hari ini.
"Sama-sama Mbak."
Dengan keluarnya Bapak Junaedi, Tonggo si sekuriti shift pagi menutup rolling door pertanda jam pelayanan berakhir, sehingga menahan calon nasabah agar tidak masuk ke dalam.
Cori dan Winnie serempak menghempaskan punggung mereka ke sandaran kursi setelah menghadapi bertubi-tubi nasabah hari ini. Keduanya seakan melambaikan tangan ke kamera pertanda menyerah.
"Kak, gue mau pipis. Udah nggak kuat lagi nahan dari tadi. Nasabah datang terus, sih."
Cori meringis prihatin dan mengusir Winnie dengan lambaian tangannya. "Iya. Pergi sana."
Cori capek. Punggungnya nyeri, pantatnya pegal, dan semua otot tubuhnya kaku. Tapi jika laporan-laporan ini tidak segera diselesaikan, ia sendiri tidak akan tenang dibuatnya. Maka dari itu Cori putuskan untuk memaksa jemarinya bergerak di depan komputer merekap pekerjaan hari ini.
Suara getar ponsel yang berasal dari dalam laci otomatis mengalihkan perhatiannya. Tidak peduli dengan tumpukan pekerjaan yang menunggu maupun tubuh yang pegal, Cori meninggalkan keyboard dan buru-buru meraup si gawai agar getarnya segera berhenti dan mendengar suara yang dirindukannya.
Sudah berhari-hari dia begini gara-gara sebuah panggilan telepon.
"Abang," bisiknya girang pada si telepon genggam.
"Hai. Sudah tutup layanan?"
"Baru aja."
"Aku punya kabar buruk. Dan aku. Tidak. Suka."
Seluruh indra Cori menjadi waspada gara-gara Ben.
"Kabar buruk apa?"
"Urusanku di sini diperpanjang sampai dua hari." Cori membayangkan wajah tampan Ben berubah cemberut ketika sedang bicara.
"Ya Tuhan. Cuma dua hari Abang. Enggak sebulan, kan?" ujarnya santai.
Padahal, ada secuil rasa tak rela hinggap membayangkan pemilik rumah nomor 4 baru akan datang dua hari lagi. Demi Tuhan. Hampir seminggu ia tak bertemu Ben.
"Dua hari rasa dua tahun, Cori."
Mau tak mau Cori terkekeh. Ben seperti anak kecil!
"Abang terlalu berlebihan."
"Enggak. Ini terlalu lama. Bapak Pimpinan Wilayah Pekanbaru sedang dalam perjalanan karena mau meninjau lokasi pembukaan unit baru. Buk Farida memintaku untuk tetap di sini sampai beliau datang." Desahan Ben menutup uneg-uneg panjangnya.
"Sabar. Nikmati Natuna selagi Abang masih di sana."
"Sudah aku bilang. Berdua lebih baik daripada sendiri. Sulit menikmati keindahan Natuna bila pikiranku bercabang. Aku ingin kita menikmati kemegahan pulau ini bersama-sama. Sendiri hanya akan membuatku bertambah merana. Kamu harus tahu itu, Coriander."
Pshhh.
Cori melarikan tangannya ke dada, merasakan degup yang tak biasa, namun entah bagaimana caranya justru nyaman terasa.
Begini bentuk Cori menyembunyikan kegugupannya.
"Bang, situ sehat? Kebanyakan makan latoh silong, ya?" Padahal ia sendiri tak tahu latoh silong itu apa. Cori hanya pernah mendengarnya dari Ben dan meledeknya dengan kata itu.
"I wish you were here, Cori." Kalimat itu Ben ulang dengan nada sungguh-sungguh. "Ternyata sulit berjauhan sama anaknya Papa Sudjana. Demi Tuhan. Baru enam hari, Cori. Rasanya sudah seabad."
Pshhh.
Lagi-lagi Ben membuat dadanya cenat-cenut. Wajahnya kali ini yang mendapat giliran untuk merasakan efek kata-kata Ben. Pipi Cori menghangat.
"Udah ah, makin lama omongan Abang makin melantur. Aku belum sempat ngapa-ngapain gara-gara Abang menelepon. Kerjaanku banyaaak."
Ben justru tertawa kecil. Ternyata, membuat kesal si pipi chubby tidaklah buruk. Dia malah menyukainya.
"Kerjaanku juga banyak, tapi aku nggak ngeluh, soalnya aku sedang nge-recharge tenaga sambil dengerin omelan kamu."
Keduanya spontan tertawa. Yang satu tertawa sungguhan, sedangkan yang lain tertawa kering karena sedang menyembunyikan salah tingkahnya.
Makin lama bicara dengan Ben, kesehatan jantung Cori semakin dipertanyakan. Bisa-bisa Cori harus dirujuk ke poli jantung dan pembuluh darah rumah sakit terdekat. Cori menjepit ponselnya di telinga dan bahu untuk memulai menarikan jemarinya di atas keyboard.
"Duuuh, kenapa ponsel Ben selalu sibuk dari tadi? Dia lagi ngomong sama siapa, sih?"
Suara familiar itu menginterupsi debaran jantung Cori. Saat menoleh ke belakang, Agni sedang menempelkan ponsel ke telinganya dengan wajah tertekuk, tapi anehnya, kecantikannya tetap di sana. Cori, untuk sesaat merasa tidak percaya diri berdekatan dengan Agni.
"Tuh kaaan, sibuk terus," omelnya sambil memencet-mencet kasar layar gawainya.
"Paling lagi teleponan sama yayangnya," goda Priyono.
"Dia nggak punya yayang, No!"
"Pede amat, lo."
"Emang pede! Setahu gue Ben memang nggak punya pacar lagi sejak terakhir sama gue."
Cori mendengkus kecil sambil memutar bola matanya tidak percaya.
Yayang? Iya, Abang lagi teleponan sama 'yayangnya', Mbak Agni. Cori membatin kesal.
Cori merasa di atas angin karena mengalahkan si mantan kekasih.
Daripada terjadi hal-hal yang tak diinginkan dengan si mantan, Cori memutuskan melipir ke lantai dua. Belum juga bangkit dari kursinya, tatapan Winnie yang berdiri di sisinya sambil menyilangkan tangan di dada membuat Cori tak berkutik. Winnie berhasil mengunci pergerakannya, membuatnya membeku di tempat.
"Sejak kapan lo berdiri di situ?" selidik Cori.
"Lo punya abang, Kak?" bisik Winnie. Ia tak berniat menjawab pertanyaan partner-nya. "Bukannya lo anak tunggal? Trus yang tadi itu abang yang mana? Dan ... latoh silong? Apa jangan-jangan..." Sengaja Winnie gantung kalimatnya.
Ia baru ingat Winnie adalah pemudi melayu asli Batu Besar—salah satu kelurahan di Kecamatan Nongsa, Batam. Jangan-jangan ia tahu latoh silong itu makanan khas dari ... Natuna. Mau pingsan Cori dibuatnya.
"Pssst, gue lagi teleponan. Nggak boleh ganggu." Begitu alibi Cori untuk kabur dari Winnie, menghindari si calon masalah baru, dan Agni, yang sudah bermasalah sedari awal. Kemudian ia pergi menuju lantai dua.
"Tadi Winnie, ya?"
"Iya, dan aku hampir ketahuan teleponan sama Abang," desisnya.
"I'm okay with that."
"But I'm not," jawab Cori setengah kesal.
"Kenapa? Aku bukan kesalahan sampai harus disembunyikan," tuturnya pelan.
Suara nelangsa Ben menghentikan langkah Cori.
"Bukan begitu. Kapan-kapan aku jelasin." Sekarang bukan saat yang tepat untuk berdebat, sementara ada orang lain yang tidak berkepentingan yang bisa menguping pembicaraan pentingnya. Mereka adalah Agni dan Priyono. "Abang beneran nggak ada kerjaan sampai nelepon aku siang bolong begini?" ucapnya sambil melewati tim legal.
Tidak tahu saja Cori, ia sedang mendapatkan tatapan paling mematikan dari wanita tercantik yang sempat membuatnya minder.
"Kan sudah aku bilang, aku mau re-charge tenaga dulu, baru lanjut kerja."
Cori memutar bola matanya dramatis. "Iya deh, iya."
"Oh iya. Ngomong-ngomong soal latoh silong..."
Mereka ngobrol panjang lebar sampai Cori terpaksa (meski tak rela) menghentikan Ben bicara. Alasannya: laporan yang belum selesai. Dan Ben terpaksa menuruti Cori karena situasi yang sama di kantor Natuna.
Beginilah rutinitas Ben dan Cori semenjak mereka dipisah oleh Laut Cina Selatan. Cori terus 'dibombardir' oleh kebiasaan Ben yang menghubunginya setiap waktu.
Satu kali video call berubah menjadi dua kali, atau tiga kali sehari. Pesan WhatsApp menanyakan kabar setelah acara tangis diam-diam berlanjut menjadi pesan yang masuk hampir setiap waktu. Bahkan ada sesi teleponan sebelum tidur. Padahal mereka baru berpisah sekitar ... enam hari! Sungguh sebuah kemajuan pesat.
Bagi Ben, mengirim pesan pada seseorang di Batam di tengah kesibukannya berkeliling unit-unit kantor cabang Natuna telah menjadi kegiatan wajib setiap hari. Seperti makan nasi. Minimal tiga kali sehari, dan belumlah lengkap kalau belum melaporkan kegiatannya pada Cori.
Cori sendiri mulai merasakan ada yang kurang bila tidak mendapatkan satuuu saja pesan dari Ben. Seperti makan ayam goreng tanpa sambal: bland banget, tak bergairah. Padahal isi pesannya enggak penting-penting amat.
Misalnya, Ranai sedang mendung. Batam bagaimana?
Atau, Kamu harus coba sambal calok dan pedek kalau suka sambal super pedas! Tapi kamu aja. Aku sih no.
Atau hanya sekedar, Hai, Coriander.
Ajaibnya, tak satu pun pesan Ben yang menyinggung curhatan Cori yang terpotong gara-gara menangis tempo hari. Ben juga tidak pernah mengungkit mengapa Cori sampai menangis terisak-isak membicarakan orang tuanya.
Cori merasa dihormati. Cori juga merasa diberi ruang untuk bersedih, untuk berkabung atas duka hatinya tanpa dipaksa mengeluarkannya sampai ia sendiri benar-benar nyaman untuk bertutur.
Dua anak manusia itu mulai sadar telah memasuki satu tahapan baru, yaitu membuka lembar putih untuk diisi dengan sebuah kisah perjalanan romansa baru. Atau hanya satu saja yang sadar, sedangkan yang lain berusaha menikmati kebersamaan singkat itu sampai saatnya kebenaran menyelipkan diri untuk memisahkan hubungan yang sudah tercipta dengan indah?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
***
Kaki Cori pegal maksimal setelah membuntuti Popy dan Bonita mengelilingi rak-rak Informa dua jam penuh. Tenaga dua perempuan cantik ini sepertinya tidak ada habisnya. Mereka malah lanjut mencari sprei untuk Ben.
"Bun, apa nggak kebanyakan kita beli pecah belah dua set?" tanya Boni.
"Enggak. Kan kita bisa sewaktu-waktu ke sini lagi, Boni. Masa mau numpang terus sama Cori?"
Cori langsung protes. "Nggak apa-apa, Tante. Cori seneng kalau meja makan Cori selalu penuh. Selama ini kan, Cori selalu makan sendiri. Sementok-mentoknya ya makan sama Papa dan Abang waktu Papa berkunjung ke sini. Tante dan Boni udah Cori anggap keluarga Cori."
Popy malah tersenyum prihatin dan segera mengelus lembut lengan si Gadis Ketumbar. Popy tahu hanya Sudjana yang dimiliki Cori selama hidupnya.
"Makasih ya Nak sudah menganggap kami keluarga. Kalau begitu, jangan panggil tante lagi, ya? Panggil Bunda mulai sekarang."
Cori terkesiap, matanya melebar, berbinar senang. Permintaan Popy begitu mudah bagi Cori untuk diwujudkan. Tanpa ragu, ia langsung menjawab, "Baik, Bunda."
Popy tersenyum penuh keibuan.
Sedangkan Boni bertepuk tangan girang. "Yeeey, Boni nambah kakak satu lagi."
Cori membalas Boni dengan senyuman paling tulus. Di saat yang sama, matanya menangkap sebuah benda berkilau yang terkena pantulan cahaya lampu Informa. Benda itu terselip di jari manis Bonita.
"Cincin mata safir?!" seru Cori. Keringat dingin mulai menjalari tengkuknya.
"Ya?" Boni memandang jarinya. "Oh, ini. Ini cincin yag dikasih Bunda. Abang juga punya, cuma hilang sebelum pindah sekolah dulu," jelas Boni tanpa diminta.
Bukan hilang, Bon. Cincin itu sangat aman tersimpan di dalam kotak perhiasanku, batin Cori.
Bersambung.