Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Berhubung Cori setuju dengan permainan kecilnya, maka Ben meminta Cori untuk menonton sandiwaranya.

Selagi Ben menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker, dada Cori mulai bergemuru.

"Sayang, kamu di mana sekarang? Kamu nggak jadi ikut reuni SMA, kan? Katanya kalau nggak ada aku, kamu nggak mau pergi. Kamu lagi ngapain, Sayang? Aku ganti ke video call, ya? Sayang... Halo... Suara kamu kok nggak ada?" Arga langsung memborbardir Cori begitu hubungan telepon tersambung. 

Mendehem beberapa kali, Ben mulai beraksi. "Halo, sekarang Cori sedang tidak bisa menerima telepon. Saya bicara dengan siapa, ya?" tanya Ben seramah mungkin.

"LU SIAPA? Kenapa lu yang jawab ponsel Cori?! Ngapain kalian berdua-duaan? Kalian di mana?!" Suara Arga berubah gusar dengan cepat.

"Saya..." Sebelum menjawab, Ben melirik Cori yang juga ikut-ikut menegang. "...teman dekat Cori. Kami sedang jalan-jalan di tepi pantai."

Si Penonton menajamkan pendengarannya demi mendengar pembicaraan dua lelaki ini. Akting Ben sangat luar biasa tenang meski kekasihnya seperti orang yang kebakaran rumah di ujung sana. 

"TEPI PANTAI?!"

"Betul. Dia kecewa karena tidak jadi datang ke reuni SMA-nya. Jadi saya bersedia menemani gadis cantik ini ke manapun dia ingin pergi."

"TEMAN DEKAT? GADIS CANTIK? Cori tidak punya dekat teman laki-laki. Beraninya lu muji-muji cewek gua!"

Kak Ben! protes gadis itu tanpa suara.

Ben justru membalasnya dengan kekehan kecil.

"Kamu memang cantik. Aku tidak membual untuk yang satu ini," bisik Ben serius. Cori sampai melempar tangannya ke udara.

Dia bukan pembunuh berdarah dingin, tapi tukang gombal kelas kakap, satu circle sama Denny Cagur! dumel Cori di kepalanya. 

"Berarti Anda tidak mengenal 'pacar' sendiri. Lagi pula, Cori memang cantik. Rugi besar ada orang yang sia-siain wanita seperti dia."

Tarikan kuat di lengan kemejanya membuat Ben menoleh pada si pelaku.

"Kak Ben mulai ngelantur. Udahan aja," desis Cori mengancam. Sayangnya, wajah serius Cori diartikan berbeda oleh Ben.

Ya ampun. Kenapa pipinya lucu begitu? batin Ben. 

"HEH! Jangan macam-macam sama pacar gua! "

"Yang macam-macam itu saya atau Anda, sih? " Ben mendengkus geli.

Si Gadis Cantik memutar bola matanya dramatis. Namun, tak pelak garis senyumnya tertarik jua ke kiri dan ke kanan.

Astaga, kenapa aku nggak merasa bersalah sama Mas Arga? bersitnya. Cori mulai merasakan kalau ide ini tidaklah terlalu buruk.

"Siapa lu?! Ketemu kita sekarang!"

"Tidak perlu bertemu, soalnya kami mau pergi bersenang-senang."

"Woy, tunggu! Gua mau bicara dengan pacar gua!"

Klik. Komunikasi dimatikan sepihak.

Arga mencoba menghubungi Cori beberapa kali. Yang didapat Arga? Dia dikacangi.

Puas, itu kata yang menggambarkan isi hatinya. Cori tanpa sadar terus tersenyum. Namun, detik berikutnya senyum itu lenyap dari wajah cantiknya. 

"Terus setelah ini apa?" Tiba-tiba Cori panik sendiri. "Kalau Mas Arga minta penjelasan, aku harus jawab apa? Yang bohong kan, Kak Ben, bukan aku." Cori tak dapat menyembunyikan kegundahannya. Dia sampai menggerakkan tangannya tak tentu arah.

Ben sampai harus memerangkap kedua pergelangan tangan Cori dalam genggamannya. "Tenang dulu, Cori."

"Yang bakal ketemu Mas Arga setelah telepon tadi tuh aku, Kak. Bukan Kak Ben. Toh setelah ini kita nggak akan bertemu lagi."

Terus terang Ben tidak menyukai ucapan Cori. Ben tidak menyukai perpisahan. Telah banyak adegan perpisahan yang menyakitkan yang dia alami. Untuk itu, kali ini Ben tidak akan membiarkan dirinya dan Cori berpisah untuk yang kedua kali.

"Cori, dengar!" Ben memastikan Cori hanya menatap matanya dan meremas lembut kedua tangan adik kelasnya agar dia sadar. "Urusan Arga sudah menjadi urusanku bila menyangkut kamu dan Riri. Aku tidak akan membiarkan pria berengsek macam dia menyakiti kalian."

Karena Cori diam saja, Ben menyerahkan ponselnya sendiri pada adik kelasnya.

"Simpan nomor kamu di sini. Kalau Arga menghubungi kamu, bilang padaku. Selama kita masih berada di satu pulau yang sama, kita tidak akan berpisah," jawabnya mantap langsung ke bola mata yang khawatir itu.

Entah bagaimana, Cori bisa merasakan kali ini janji barusan benar-benar akan ditepati.

"Kak Ben janji?"

"Janji."

Dan Cori pun menyimpan nomornya di ponsel milik Ben dengan nama, Coriander Romaine Sudjana.

***

Untuk makan malam, Ben meminta Cori membawanya ke restoran mi Tarempa, makanan khas Kabupaten Anambas. Ia ingin membuktikan apakah rasanya sesuai dengan klaim yang disombongkan kawannya saat masih bertugas di Pekanbaru. 

"Jadi, suka sama mi Tarempa?" tanya Cori.

Ben melicinkan piringnya, baru bicara. "Lidahku kaget ada potongan ikan. Sejujurnya bukan tipeku. Tapi bumbunya enak. Cocok sama teh tarik dingin."

"Kak Ben nggak suka ikan tongkol."

Ben tersenyum. "Tebakan yang tepat."

"Sebentar, HP-ku bunyi." Tampang memelas Cori muncul saat tahu siapa yang menghubunginya. "Papaku nelepon. Kayaknya Kak Ben harus bicara sama papaku."

"Kenapa?"

"Sekarang pukul 07.30 malam dan aku masih di luar rumah. Papa harus tahu aku sedang sedang apa, sedang di mana, dengan siapa, dan pulang jam berapa. Daddy's only daughter." Cori menunjuk dirinya malu-malu. "Oh, satu lagi. Papaku galak," katanya cepat-cepat. 

"Oke," ucap Ben tanpa perlu berpikir.

Ha? Secepat itu? bersit Cori. 

"Hm, baiklah. Beri aku waktu lima menit bicara sama papa."

Cori menjelaskan semua informasi dasar yang harus diketahui oleh Sudjana, semata-mata agar papanya tidak khawatir.

"Cori sama temen SMA, Pa," ucap Cori pada ponselnya.

"Teman yang mana?"

"Duluuu banget Cori pernah cerita, Cori bantuin kakak kelas tiga nyariin cincinnya dia."

Yang sedang dibicarakan mengulum senyum malu. Ia tidak menyangka pernah menjadi topik pembicaraan Cori dengan papanya.

Membayangkan pertemanan seperti apa yang akan terjadi bila mereka tidak berpisah membuat Ben menderita karena angan-angan yang tak pernah sampai. Dunianya seakan hancur ketika tahu ia akan pindah ke luar kota. Permintaan Ben untuk tetap melanjutkan sekolah di sekolah lama ditolak mentah-mentah oleh orang tuanya. Ben patah hati. Bagaimanapun, memori yang tak sampai sepuluh hari itu begitu membekas.

"Yang namanya Ben?"

Cori takjub dengan ingatan papanya. "Papa masih ingat Kak Ben?"

Ben kembali menegakkan telinganya.

"Tentu saja. Gara-gara dia anak Papa patah hati dan di-bully penggemarnya. Dia yang bikin anak Papa menderita di tahun terakhirnya di SMA!"

"Cory nggak semenderita itu," bisiknya. Takut Ben akan mendengarnya.

"Mana dia? Papa mau memastikan kamu pulang diantar pulang dengan aman." Cori memutar bola matanya.

"Kak," panggil Cori enggan. "Papa." Ben mengangguk dan menerima ponsel Cori.

"Halo"

"Hm."

"Perkenalkan namaku Benjamin, Om, kakak kelas Cori waktu SMA."

"Sudah tahu," jawab Sudjana dingin, tapi tak membuat Ben gentar. "Sekarang sudah malam. Jangan keluyuran ke mana-mana. Langsung antar anak saya pulang. Sebelum pulang, suruh Cori foto mobilmu. Yang ada nomor polisinya. Kirim nomer ponselmu ke nomor saya."

"Baik, Om. Ben akan antar Cori sampai ke depan rumahnya."

Ke depan rumah? Mana bisa Bambang? Mobil bukan penghuni kluster nggak akan bisa masuk sembarangan, cemooh Cori dalam kepalanya.

"Oke. Setelah sampai hubungi saya lagi!" Bukannya ketakutan, Ben malah tersenyum.

"Baik, Om."

Klik.

"Apa kata Papa?"

"Harus antar anaknya pulang dengan selamat sampai tujuan. Terus papamu minta kirim nomor HP-ku dan foto mobilku yang ada nomor polisinya."

Cori meringis malu. "Galak kan, papaku?"

Pria itu menggeleng tidak setuju. "Aku akan melakukan hal yang sama bila adik perempuanku berada di posisi kamu."

Cori menghembuskan napas lega. "Baiklah. Terima kasih sudah mau menyanggupi perintah papaku."

"Sama-sama. Itu gunanya teman, kan?"

"Memangnya kita temenan?"

"Not again, Coriander!" Ben pura-pura cemberut.

Pernyataan si Gadis Ketumbar 12 tahun yang lalu terulang kembali.

"Kenapa? Aku cuma tanya, kita temenan lagi?"

"Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban." Ben memutar bola matanya dramatis.

Si Gadis Ketumbar tertawa lepas, seakan kata-kata Ben selucu materi para komika stand up comedy.

Ben ... terhipnotis (lagi). 

"Ya Tuhan, Kak Ben terlalu lucu!"

"Hah?"

"Thanks, Kak."

"Untuk apa?" Pertanyaan bodoh itu terucap saja dari mulutnya. Mungkin otaknya masih berkabut dengan tawa memesona tadi.

"Untuk semuanya. Ngobrol sama Kak Ben sejujurnya bikin level stresku menurun." Cori bahkan sempat melupakan keberadaan Arga di dunia. 

"Hm ... s-sama-sama," tutur Ben terbata-bata.

"Dan terima kasih telah meladeni papaku dengan baik. Nggak semua temenku bisa bicara sama papa tanpa gemetar terlebih dahulu. Bahkan ... Arga sekalipun."

Ketakutan. Ini adalah kata terbaik untuk mewakili Arga bila itu berhubungan dengan Sudjana. 

Ben tersenyum manis setelah mampu menguasai dirinya lagi. "My pleasure, Cori. So, jangan buat papamu lebih cemas lagi. Ayo segera angkat kaki dari tempat ini."

***

"Kamu kerja di mana?" tanya Ben saat si Brio putih memasuki jalan raya.

"PT. Sejahtera Bersama."

Ben seketika menoleh. "Oh ya? Sejak kapan?"

"Sudah lima tahun."

Ben mengangguk. "Perusahaan yang bagus. Hanya orang-orang terpilih yang bisa bekerja di sana."

"Aku cuma beruntung."

Ben menggeleng tegas. "Semua orang juga tahu masuk ke PT. Sejahtera Bersama sangat sulit. Dan kamu kan memang pintar. Murid akselerasi yang lompat kelas dua kali!" puji Ben tulus.

Cori menggeleng samar. 

"Percayalah, kelas akselerasi nggak berguna di dunia kerja. Aku hanya tamat lebih cepat dari yang lain dan akibatnya aku melewatkan proses belajar bersosialisasi karena terlalu cepat tamat di SMP, SMA, dan kuliah. Aku jadi nggak punya banyak teman. Sedangkan dalam dunia kerja, mereka tak hanya butuh ijazah, tapi juga butuh soft skill dalam bersosialisasi dengan pekerja lain dan untuk mengatasi masalah hidup yang nyata. Jadi, nggak ada yang pantas diglorifikasikan dari kelas akselerasi."

Ah, Gadis Ketumbarnya yang malang. Kali ini Ben ingin sekali lagi mencampuri hidupnya. 

"Aku kan sudah bersedia menjadi teman sejak dulu. Kalau begitu, belajar bersosialisai bersamaku. Bagaimana?" tawar Ben.

Cori malah terkekeh. Ben yakin, mulai detik ini, tawa Cori akan selalu menjadi salah satu kesukaannya.

"Bagaimana, Cori? Kamu mau memulai berteman dengan benar denganku?" ulang Ben. "Dan aku janji nggak akan pergi ke manapun tanpa memberi kabar."

"Kak Ben, Kak Ben. Baiklah. Kenapa tidak?" jawab Cori santai.

Yes. Ben berselebrasi dalam kepalanya.

"Rumah kamu di mana?"

"Perumahan Nuri 1." Ben menaikkan kedua alisnya sempurna. 

"Kluster?"

"Kepodang."

"Nomer rumah?"

"Buat apa? Toh Kak Ben nggak bakal bisa masuk."

"Supaya bisa nganterin kamu sampai depan rumah, lah. Sesuai janjiku ke papa kamu."

Walaupun sejak tadi Ben tidak pernah berbuat aneh-aneh padanya, tapi alarm waspada langsung menyala di belakang kepalanya. Ben membuat Cori was-was setelah pria itu menyuruhnya menyebutkan alamat rumahnya dengan detail. Demi Tuhan, mereka baru saja bertemu.

Cori senang mereka berteman lagi, tapi tidak grasak-grusuk seperti ini. Cori tidak nyaman memberitahu 'wilayah pribadinya' pada sosok asing ini. Cukup dengan urusan Arga saja dia mau terbuka. Yang lain? Pelan-pelan dulu.

"Nggak usah mikir yang macem-macem, Kak. Kak Ben baru tiga hari di sini. Ini tanya-tanya Perumahan Nuri 1. Tempatnya aja pasti nggak tahu. Udah, ikutin aja arahan dari aku," pungkas Cori cepat-cepat.

"Aye-aye, Capt." Ben tersenyum misterius tapi tetap melajukan mobilnya.

Ketika sampai di depan gerbang utama Perumahan Nuri 1, Ben menurunkan kaca jendela dan tersenyum pada satpam. Herannya, Satpam yang bertugas mengangguk dan palang diangkat tanpa meminta KTP Ben. Kening Cori mengernyit heran.

Selagi Cori masih berkutat dengan keheranannya, mobil Ben sudah berbelok ke dalam Kluster Kepodang.

"Lho, kenapa Kak Ben bisa masuk ke kluster ini? Kenapa satpam kluster bolehin Kak Ben masuk?"

Ben mengulum senyum sambil terus melajukan mobil, lambat seperti siput.

"Rumah kamu nomor berapa?" Ben memilih untuk tidak menjawab Cori.

"Mending Kak Ben berhenti. Aku bisa jalan ke rumahku sendiri." Suara Cori mulai gusar. Ia sudah bersiap-siap membuka pintu mobil kalau-kalau Ben berbuat mesum padanya.

Cori dihujani perasaan was-was, takut, dan merinding. Perumahan ini cukup lengang karena baru dibuka dua tahun yang lalu. Di kluster ini saja baru terisi lima unit. Dia tidak mengenal siapa tetangganya karena setiap hari pergi pagi pulang malam. Akhir minggu ia habiskan untuk beres-beres rumah. Mana sempat bersosialisasi dengan tetangga? 

"Ayolah. Rumah di kluster ini cuma delapan unit."

Bulu kuduk Cori berdiri tegak! "Kenapa Kak Ben tahu berapa jumlah unit Kluster Kepodang?! Kak Ben stalking aku? Kak Ben mau berbuat mesum? Mau jahatin aku?!"

Cori semakin ingin lari saat Ben mematikan mesin si Brio putih. Pria itu memutar badannya pada gadis yang mulai panik. 

"Rumahku nomor empat. Rumah kamu nomor berapa, Coriander?"

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Surat 2
240      200     1     
Short Story
Kepada suami terimakasih untuk semua cintamu Karena mu aku kuat karena mu aku tegar kerenamu aku bertahan satu saja harapku tetaplah begitu sayangiku hingga ujung waktu sungguh hal itu lah kekuatan hidupku cobaan apapun yg membuat aku terpontal pontal aku akan jadi tabah aku akan jadi sabar karena tau kau di situ selalu ada, kapan pun siap merengkuh rapuh ku ada untuk menikmati be...
DEUCE
675      381     0     
Short Story
\"Cinta dan rasa sakit itu saling mengikuti,\" itu adalah kutipan kalimat yang selalu kuingat dari sebuah novel best seller yang pernah kubaca. Dan benar adanya jika kebahagiaan dan kesakitan itu berjalan selaras sesuai dengan porsinya..
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Help Me Help You
1666      975     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Salju di Kampung Bulan
2097      962     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Kamu Obat Penyejuk Iman (KOPI)
756      428     1     
Romance
Kamu mungkin dihadirkan dihidupku untuk mengajarkanku tentang bagaimana kita menjalani hidup ini. Sebentar, tapi begitu berharga. Aku akan berusaha menjalani hidup dengan tetap “mencari ridho dariNya” seperti katamu. Terima kasih, sekarang hanya doa yang bisa aku panjatkan untukmu. Kamu tau?, bagiku kamu itu.... Kamu obat penyejuk iman.
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
5919      2098     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Night Wanderers
17805      4182     45     
Mystery
Julie Stone merasa bahwa insomnia yang dideritanya tidak akan pernah bisa sembuh, dan mungkin ia akan segera menyusul kepergian kakaknya, Owen. Terkenal akan sikapnya yang masa bodoh dan memberontak, tidak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Billy, satu roh cowok yang hangat dan bersahabat, dan kakaknya yang masih berduka akan kepergiannya, Ben. Ketika Billy meminta bantuan Julie...
Should I Go(?)
10369      2407     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
Percikan Semangat
904      502     1     
Short Story
Kisah cinta tak perlu dramatis. Tapi mau bagaimana lagi ini drama yang terjadi dalam masa remajaku. Cinta yang mengajarkan aku tentang kebaikan. Terima kasih karena dia yang selalu memberikan percikan semangat untuk merubahku menjadi lebih baik :)