Read More >>"> Sugar Baby Wanna be (Dream Come True) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sugar Baby Wanna be
MENU
About Us  

Semua putri itu dimanja oleh rajanya. Nggak ada cerita Putri Leonor, yang lahir sebagai putri mahkota Spanyol, harus cuci piring dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Aku juga nggak pernah beresin rumah. Aku nggak tahu gimana cara menggoreng telur biar kuningnya nggak pecah dan letaknya tepat di tengah. Alasannya sederhana, aku seorang putri walau nggak akan mewarisi sebuah kerajaan.

Ini hampir tengah malam dan aku lapar. Katanya, malam itu waktu yang paling cocok untuk makan mi instan. Aku pengin makan mi instan sekarang.

Aku mengetuk pintu kamar Mak Oci sambil memanggil namanya. Nggak butuh waktu lama membangunkan Mak Oci. Dengan wajah mengantuk dia membuka pintu. Daster dan rambut putihnya sudah kusut, bahkan ada sisa iler di sudut bibirnya.

Aku tersenyum tanpa dosa. "Mak, buatin mi instan, dong," rengekku.

"Kirain ada apa, ternyata laper," sahut Mak Oci, tetap menuruti permintaanku tanpa mengeluh.

Beberapa menit kemudian, Mak Oci memberikan semangkuk mi instan yang baru saja matang. Iya, aku memang nggak bisa masak mi instan. Ini bukan dosa yang akan dihitung sama malaikat, kok. Jadi, aku nggak perlu malu.

Jangan sampai Papa tahu aku sedang makan ini. Dia bisa murka nanti.

Aku mengendus aroma mi instan di depanku. Perutku berbunyi untuk yang kesekian kalinya. Aku menggulung mi dengan garpu. Uap panas menyerang wajahku. Nggak sabar aku pengin segera melahap makanan ini.

"Kenapa Kakak makan mi instan?" Suara serak mengusik ritual makan tengah malamku. "Papa sudah bilang berapa kali kalau ini makanan nggak sehat? Kakak bisa bodoh kalau makan mi instan. Memangnya Kakak nggak mau masuk Universitas Merva?" Papa datang sebelum aku sempat menikmati makananku.

Duh!

Malam ini aku nggak jadi makan mi instan. Papa mengambil alih mangkuk di hadapanku dan menghabiskan mi instan milikku. Aku terpaksa cuma makan roti dengan olesan banyak selai kacang. Masuk Universitas Merva itu impian terbesarku saat ini. Aku nggak mau impianku hancur karena mi instan.

Aku sudah menuruti semua nasihat Papa demi bisa mewujudkan menjadi mahasiswi Merva. Aku nggak makan mi instan, rajin belajar, dan nggak pernah pacaran. Sekarang aku berhasil diterima di kampus yang termasuk deretan lima universitas terbaik di Indonesia itu.

Aku masih nggak percaya berhasil jadi salah satu mahasiswi Universitas Merva, yang sudah kuimpikan sejak duduk di kelas XI. Ini benar-benar dream come true!

Kuliah itu seru. Aku nggak perlu pakai baju seragam yang sama selama bertahun-tahun menjadi mahasiswi. Kelas juga nggak selalu berlangsung di pagi hari, kadang malah nggak ada kuliah karena dosennya terlalu sibuk menyelesaikan proyek apalah-apalah itu. Kalau nggak ada kelas, aku bisa bebas nongkrong bareng teman satu geng, tentu dengan alasan bikin tugas atau ada kelas tambahan.

Yang paling penting dari kuliah, aku bisa mulai merajut kisah cinta manis dan romantis. Aku bisa pacaran dengan kakak tingkat galak yang ternyata perhatian atau lebih seru pacaran lintas jurusan, biar bisa mengeluh bosan menunggu saat dia sibuk bikin tugas. Eh, bisa juga aku malah pacaran dengan dosen muda yang ganteng dan pintar.

Pasti seru banget jadi mahasiwi!

Rasanya nggak sabar menunggu seminggu lagi. Aku pengin segera masuk kuliah. Hari ini, aku akan belanja keperluan kuliah, tentu bersama Papa, Mama, dan Kara. Selama nggak sibuk, Papa pasti menyempatkan waktu buat aku. Apesnya, Papa nyaris nggak pernah sibuk. Artinya, Papa akan selalu menemaniku ke mana pun! 

Ini bukan hal manis, tapi menyebalkan. Bayangkan saja kalau aku nongkrong bareng teman, di kafe atau nonton bioskop, tapi Papa terus menempel. Papa benar-benar berada di sisiku, duduk di sampingku di dalam bioskop, dan mengikuti semua obrolanku dengan teman-temanku. Iya, rasanya malu banget. Aku bukan anak lima tahun yang harus diawasi selama 24 jam penuh.

“Pa, Kakak udah kuliah, nih. Boleh dong Kakak berangkat ke kampus sendiri?” rayuku dalam perjalanan menuju mall.

“Nggak nggak. Nggak ada anak perempuan bawa mobil sendiri. Kakak tahu, kan, gimana macetnya Jakarta? Kuliah itu bisa kelarnya sampai malem. Kalau Kakak bawa mobil sendiri, terus pulang malem, eh, ada orang jahat, gimana? Ada banyak orang jahat di sini, Kak." Mama yang menjawab. "Pokoknya Kakak harus diantar-jemput Papa.”

Ketika Mama bersabda, semua yang ada di bumi harus menurut, terutama aku sebagai anaknya. Jangan membantah atau aku akan dianggap anak durhaka. Semua orang tahu, kan, nasib jadi anak durhaka? Anak durhaka akan jadi batu, kayak Malin Kundang. Aku nggak mau dikutuk jadi batu yang selamanya harus diam di pinggir pantai, sendirian, dan kelaparan.

Aku manyun. Selesai sudah impian masa indah kuliahku. Aku nggak akan bisa dapat pacar dan jadi perawan tua karena selalu diikuti Papa ke mana pun. Mana ada cowok yang mau mendekat kalau aku selalu bersama malaikat pencabut nyawa?

“Mama bener. Papa masih mampu antar jemput Kakak kuliah. Biar Papa melaksanakan kewajiban sebagai orang tua. Mumpung Papa masih sanggup, mumpung Papa masih ada.” Papa memberikan alasan yang selalu sama kalau aku membahas ini. Aku sampai bosan mendengarnya.

Sampai saat masuk ke toko buku, aku masih ngambek. Aku menolak berjalan di dekat Papa. Biasanya, kalau aku ngambek, Papa nggak akan tega.

Aku sering pura-pura ngambek begini biar kemauanku dituruti Papa. Iya, cara ini cuma berhasil sama Papa, tapi selalu gagal kalau diterapkan ke Mama. Lebih gampang bikin seribu candi daripada merayu Mama. Harusnya, dulu Roro Jonggrang memberikan Bandung Bondowoso syarat merayu Mama saja daripada bikin seribu candi.

Aku memisahkan diri dari keluargaku. Papa dan Mama asyik memilih buku bacaan untuk Kara. Aku lebih senang berlama-lama di bagian novel. Aku memang bukan maniak buku, tapi punya beberapa koleksi novel.

“Vio.” Seseorang memanggil saat aku asyik membaca blurb salah satu edisi Harry Potter. Aku membalikkan badan dan menemukan Laras, teman sekolahku yang paling menyebalkan. Di sisinya berdiri seorang cowok yang nggak pernah kulihat sebelumnya. Aki yakin usia cowok itu lebih tua dibandingkan Laras dan aku. Kumis yang menempel di atas bibirnya jadi bukti nggak terbantah.

Aku tersenyum pada Laras. Walau dia menyebalkan, aku nggak mau repot membalasnya dengan sikap yang sama menyebalkannya. Aku bukan Laras. Aku Vio yang manis dan baik hati. “Laras,” sahutku.

Laras melihat sekeliling, seperti mencari sesuatu. “Sendirian?” tanyanya bingung.

Aku menggeleng. “Nggak. Sama Papa, Ma—”

“Oh, masih ditemani Papa ke mana-mana.” Laras memotong ucapanku dengan seenaknya. Dari nada bicaranya, jelas-jelas dia sedang meremehkanku. “Kirain udah lulus SMA nggak akan jadi anak manja lagi. Ternyata Viona masih sama, masih jadi anak yang suka ngumpet di ketek papanya.” Dia tertawa meremehkan.

Aku diam, nggak berminat membalas perkataan Laras. Dia memang begini, suka mengejekku. Ini juga yang membuatku nggak suka kalau Papa terus mengikutiku ke mana pun aku pergi.

“Vio anak kesayangan saya. Saya sebagai orang tuanya harus melindungi dia. Jangan sampai dia keluyuran sama cowok nggak jelas yang bisa membahayakan dirinya.” Papa tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Matanya menatap tajam cowok yang bersama Laras. Cowok itu jadi salah tingkah karena sejak tadi menatapku.

“Eh, Om. Saya harus buru-buru pergi.” Tanpa menunggu respons Papa, Laras menarik cowok berambut gondrong itu menjauh.

“Kakak jangan sembarangan nerima ajakan cowok, ya. Papa nggak mau Kakak kayak cewek-cewek di luar sana, yang digodain cowok malah bangga. Nanti kalau dia sampai hamil baru teriak abis dilecehin, diperkosa. Harusnya cewek itu punya dinding tebal biar nggak dilecehin. Semua cowok itu sama. Mereka bakal cari celah biar bisa mendapatkan gadis yang menarik hatinya, apalagi kalau cowoknya nggak ada akhlak, di otaknya cuma mesum doang. Kalau cowok baik itu, datengin orang tuanya, bukan malah ngajak ketemuan diam-diam gitu.” Papa mengingatkanku.

“Gimana bisa jalan sama cowok kalau Papa terus nempelin Kakak kayak komedo gini?” sahutku kesal.

Sepertinya jurus rayuanku kali ini gagal. Sampai hari aku masuk kuliah, Papa masih nggak membiarkanku berangkat ke kampus sendiri. Aku masih harus diantar jemput Papa selama kuliah, sampai nanti lulus, bahkan sampai menikah. Itu juga kalau ada orang gila yang mau memintaku jadi istrinya.

“Kakak masih ngambek?” tanya Papa sesaat setelah kami meninggalkan sekolah Kara.

Daripada menjawab pertanyaan Papa, aku memilih mengabaikannya dan memandang kerusuhan jalanan dari jendela.

“Jangan ngambek lagi, dong! Kalau sudah selesai PKKBM, Kakak boleh berangkat ke kampus sendiri.” Perkataan Papa sukses membuatku tersenyum lebar.

“Serius? Kakak boleh berangkat sendiri?” Aku harus memastikan pernyataan Papa dulu. Papa itu usil. Aku nggak mau terkena jebakannya kali ini.

Papa mengangguk dengan pandangan lurus ke jalanan di depan. “Kapan Papa bohong?” tanya Papa. "Asal Kakak janji kuliah yang bener sampai lulus dengan nilai yang bagus."

Aku histeris dan memeluk Papa. Kuciumi pipi Papa berkali-kali. “Makasih, Pa. Kakak janji. Kakak nggak akan bikin Papa kecewa. Papa memang Papa terbaik di dunia. Papa lelaki paling ganteng di Indonesia.”

“Kenapa cuma di Indonesia?” protes Papa.

“Soalnya di Amerika ada Tom Hiddleston yang lebih ganteng dari Papa,” jawabku tanpa dosa.

Papa cemberut, nggak suka aku menyebut ada yang lebih ganteng darinya.

"Harusnya Papa biarin Kakak pergi sendiri sejak dulu. Jangan ngikutin Kakak terus! Kakak malu kalau Papa nempel terus, kayak nggak ada yang lebih penting aja,” sungutku kesal.

Papa tertawa. “Justru Kakak dan Adik yang paling penting di hidup Papa. Kalau nggak ada kalian, sudah hancur banget hidup Papa. Kalau kalian sampai rusak, gimana Papa mempertanggungjawabkan tugas Papa buat jagain kalian?”

“Lebay!” seruku. Aku turun setelah Papa menghentikan mobil tepat di depan gerbang kampusku.

“Kak,” panggil Papa setelah aku menutup pintu mobil. Kaca mobil turun. Papa tersenyum di balik kemudi. “Papa pergi dulu.”

Kubalas senyum Papa sambil melambaikan tangan. Aku terus memandangi sedan putih Papa sampai menghilang di tikungan.

Pukul tiga sore, kegiatan hari pertama kuliahku selesai. Badanku pegal karena terlalu lama duduk. Berada di dalam ruangan dalam waktu lama itu membosankan. Aku nyaris mati duduk cuma untuk mendengarkan orang ngomong di depan kelas.

Aku langsung menelepon Papa saat kakak tingkat membubarkan kelas. Lama, panggilanku nggak kunjung ada jawaban. Kuulangi lagi menelepon Papa. Panggilanku masih nggak dijawab juga.

Apa Papa masih sibuk?

Setengah jam berlalu dan Papa masih nggak ada kabar. Nggak gini harusnya. Papa nggak mungkin ingkar janji, kecuali ada hal yang lebih penting dan gawat.

Tapi ... memangnya apa yang lebih penting dari aku?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
MONSTER
5738      1587     2     
Romance
Bagi seorang William Anantha yang selalu haus perhatian, perempuan buta seperti Gressy adalah tangga yang paling ampuh untuk membuat namanya melambung. Berbagai pujian datang menghiasi namanya begitu ia mengumumkan kabar hubungannya dengan Gressy. Tapi sayangnya William tak sadar si buta itu perlahan-lahan mengikatnya dalam kilat manik abu-abunya. Terlalu dalam, hingga William menghalalkan segala...
Once Upon A Time: Peach
909      544     0     
Romance
Deskripsi tidak memiliki hubungan apapun dengan isi cerita. Bila penasaran langsung saja cek ke bagian abstraksi dan prologue... :)) ------------ Seorang pembaca sedang berjalan di sepanjang trotoar yang dipenuhi dengan banyak toko buku di samping kanannya yang memasang cerita-cerita mereka di rak depan dengan rapi. Seorang pembaca itu tertarik untuk memasuki sebuah toko buku yang menarik p...
Flying Without Wings
887      457     1     
Inspirational
Pengalaman hidup yang membuatku tersadar bahwa hidup bukanlah hanya sekedar kata berjuang. Hidup bukan hanya sekedar perjuangan seperti kata orang-orang pada umumnya. Itu jelas bukan hanya sekedar perjuangan.
The Past or The Future
405      322     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
526      375     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Orange Haze
358      250     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
CHANGE
433      304     0     
Short Story
Di suatu zaman di mana kuda dan panah masih menguasai dunia. Dimana peri-peri masih tak malu untuk bergaul dengan manusia. Masa kejayaan para dewa serta masa dimana kesaktian para penyihir masih terlihat sangat nyata dan diakui orang-orang. Di waktu itulah legenda tentang naga dan ksatria mencapai puncak kejayaannya. Pada masa itu terdapat suatu kerajaan makmur yang dipimpin oleh raja dan rat...
pat malone
3941      1186     1     
Romance
there is many people around me but why i feel pat malone ?
HABLUR
4361      1325     2     
Romance
Almarhum Mama selalu bilang, "Yang membedakan permata dengan batu lain adalah tingkat tekanan yang mengubahnya." Ruby Andalusia. Coba tanyakan nama itu ke penghuni sekolah. Dijamin tidak ada yang mengenal, kecuali yang pernah sekelas. Gadis ini tidak terkenal di sekolah. Ia ikut KIR, tetapi hanya anggota biasa. Ia berusaha belajar keras, tetapi nilainya sekadar cukup untuk ber...
Ghea
427      275     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...