Satu bulan kemudian
"Bagaimana? Benar sudah baikan?"
"Jadi Papa mau aku berada di sini terus?" Dion tersenyum sinis, matanya melirik tajam.
"Ah, nggak usah pura-pura... bukannya kamu senang berada di rumah sakit. Bebas dari pekerjaan yang tidak kamu suka. Memangnya Papa tidak tahu kamu terpaksa bekerja di perusahaan Papa. Kalau bisa kamu menyanyi terus di kafe bersama Davina. Iya, kan, Vin?"
"Hahaha...Om, bisa membaca pikiran saya dan Dion."
Davina tertawa senang, dia suka bicara dengan papa Dion. Orangnya sangat humoris. Dion bilang kalau dulu papanya tidak lah seperti itu. Beliau adalah orang yang sangat serius dan gila kerja. Mungkin seiring bertambah usia, perlahan-lahan semua berubah.
Dion belajar untuk mendekatkan diri dengan papanya. Walaupun Dion merasa sangat sulit ketika memulai.
"Om bersyukur ada kamu, Vin. Kalau tidak, siapa yang akan mengurus anak bandel ini waktu dia kecelakaan. Saat itu Om cuma ingat kamu. Terima kasih ya, Vin. Om juga sudah merepotkan kamu dan mengganggu waktumu mengurus pernikahanmu. Kamu bisa minta bantuan Om, tinggal bilang."
Ekspresi papa Dion berubah menjadi serius. Sinar matanya memancarkan ketulusan. Davina menjadi tidak enak dengan situasi seperti ini. Menurut Davina, itulah gunanya sahabat. Bisa memberikan pertolongan ketika sahabatnya membutuhkan.
"Nggak apa-apa Om... saya senang bisa membantu."
"Jadi, anak bandel... apa rencanamu setelah keluar dari rumah sakit? Masih ingin beristirahat?"
"Kalau boleh, aku mau jalan-jalan... aku mau travelling."
"Maaf anak muda, kalau untuk itu... saya tidak mengizinkan. Lebih baik kamu beristirahat saja di rumah."
"Ah, sudah ku duga," kata Dion dengan nada lemah. Dia merasa sebal keinginannya tidak terwujud. Apa enaknya hanya beristirahat di rumah... bukanlah hal yang menyenangkan.
"Om.. Di... saya pamit pulang, masih ada yang harus saya kerjakan," pamit Davina. Dia merasa tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Apalagi hari ini Dion akan keluar dari rumah sakit.
"Vin, Om antar kamu keluar." Papa Dion lekas berdiri dari tempat duduknya.
"Nggak usah Om, biar saya pergi sendiri." Davina diserang perasaan segan. Tetapi papa Dion ngotot dengan keinginannya untuk mengantar Davina. Terpaksa Davina menerima.
"Anak bandel, kamu urus administrasinya sebentar... Papa antar Davina." Dion mengangguk, lalu mengucapkan terimakasih kasih pada Davina yang sudah membantunya. Ini, entah sudah ucapan terima kasih yang ke berapa kali yang diucapkan Dion pada Davina.
***
"Vin, sebenarnya ada yang ingin Om tanyakan ke kamu." Di pintu keluar, papa Dion menahan langkah Davina dengan menyentuh lengannya.
Davina menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuhnya hingga berdiri berhadapan dengan papa Dion.
"Adakah seorang perempuan yang sedang dekat dengan Dion? Dia tidak pernah menceritakan hal seperti itu pada Om."
"Tidak ada Om." Davina menjawab mantap, karena hanya dia perempuan yang dianggap dekat dengan Dion.
"Kekasih? Pacar? Teman tapi mesra? Atau apalah itu?" Davina nyaris tertawa, dia menggenggam erat jarinya untuk menahan tawa mendengar pertanyaan papa Dion. Darimana pula si Om tahu istilah teman tapi mesra?
"Tidak ada, Om." Davina menjawab sekali lagi dengan mantap.
"Terus selama ini dia ngapain aja sih? Masak cari pacar saja tidak bisa. Apa perlu dijodohkan anak bandel itu!" Papa Dion terlihat gusar. Namun, bagi Davina malah terlihat lucu.
"Ya sudah, Om tidak akan menahan kamu semakin lama." Davina tersenyum sambil mengangguk lalu meninggalkan papa Dion.
***
Dion sibuk merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang. Untunglah tidak terlalu banyak. Seorang perawat masuk membawa beberapa lembar kertas. Perawat itu tersenyum ramah pada Dion, "Selamat siang Pak!" sapa perawat itu, "sudah mau pulang ya?"
Dion hanya tersenyum tipis.
"Ini ada beberapa form yang harus ditandatangani." Perawat itu menyodorkan beberapa lembar kertas. Dion membaca sekilas lalu duduk untuk menandatangani kertas tersebut. Setelah selesai, Dion menyerahkan kepada perawat.
"Selama Bapak dirawat, ada yang rajin datang menanyakan keadaan Bapak. Tetapi dia tidak pernah lama berada di sini."
"Menanyakan keadaan saya?" Dahi Dion berkerut samar.
"Laki-laki atau perempuan?" Dion menjadi penasaran. Dia tidak merasa banyak memiliki teman dekat.
"Perempuan."
Dion semakin dibuat bingung, hanya Davina teman dekat perempuan.
"Rambutnya panjang sebahu." Perawat itu memberikan ciri-ciri perempuan yang datang melihatnya. Yang terbayang di mata Dion hanya Helene. Hanya dia...
"Oh, terima kasih buat pemberitahuannya." Dion memasang wajah datar. Dia menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Semua bercampur menjadi satu. Bahagia, terharu, rindu.. entah apalagi.
Tepat ketika perawat itu pergi, papa masuk ke dalam kamar. Dion menghela napas lega, papa tidak berada bersamanya. Dia tidak ingin terlalu banyak pertanyaan yang dia tidak tahu jawabannya.
***
Kamarnya adalah salah satu hal yang dia rindukan. Tentu saja setelah Helene. Perempuan itu selalu menempati posisi pertama untuk sesuatu yang dia rindukan. Mengingat Helene membuat Dion teringat perkataan perawat tadi. Dion cepat mengambil ponselnya, "Halo Vin, udah sampai di rumah?"
"Oh, sedang sibuk?" Dion bertanya memastikan, dia tidak ingin mengganggu Davina.
"Ada yang ingin aku tanyakan. Kamu cerita pada Helene tentang aku?"
"Halo Vin... kok diam aja sih?"
***
Davina baru saja sampai ketika menerima telepon dari Dion. Dia ingin berbaring sebentar sebelum nanti sore bersiap untuk pergi makan malam dengan calon mertuanya.
Mendengar pertanyaan dari Dion membuat Davina terkejut dan tak bisa berkata-kata. Kalau dia menjawab semua dengan jujur, apakah Dion akan marah padanya? Tapi dia tidak ingin menyimpannya terlalu lama.
Davina menghela napas sebelum menjawab pertanyaan dari Dion. Di ujung telepon sana Dion sudah berkali-kali memanggil namanya.
"Ya, aku menceritakan semua pada Helene." Davina menunggu reaksi Dion.
Laki-laki itu ingin Davina menceritakan secara lengkap. Davina mendengar Dion berkata, "Vin... aku menunggu." karena Davina tak kunjung bicara. Davina bingung harus mulai dari mana menceritakan semuanya.
"Baiklah... dengarkan!" Davina lancar bercerita dari mulai mendengar kabar Dion kecelakaan hingga dia bertemu Helene.
Dion hanya diam mendengarkan, tak sekalipun dia memotong cerita Davina. Hanya sesekali Davina mendengar suara napasnya. Setelah selesai menceritakan semua, Dion menutup telepon. Tak ada yang dia ucapkan. Davina berpikir, mungkin dia butuh waktu untuk memikirkan semua dan mengambil langkah selanjutnya. Davina sudah sangat mengenal Dion.
Davina yakin, Dion akan mencari Helene... suatu saat Dion akan datang pada Helene.