"Lembur terus." Kalimat pertama yang diucapkan Ares begitu bertemu Helene.
Ares berdiri di depan mobilnya, tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana. Tungkai kakinya yang panjang sedikit disilangkan. Lagaknya sudah mirip model dalam pemotretan suatu majalah mode. Helene tersenyum lebar.
Beberapa hari ini setiap bertemu Ares, Helene dihantui rasa bersalah. Sejak Ares pulang dari luar kota, Helene nyaris tidak punya waktu untuk Ares. Dia mengejar ketertinggalannya dalam mengerjakan pekerjaan karena membesuk Dion. Helene juga jadi lebih sering melamun, tidak bisa fokus apabila berbincang dengan Ares.
Seperti malam ini, Ares memaksa untuk menjemput Helene di kantor, padahal Helene sudah berkali-kali menolak. Dia sedang tidak ingin bertemu Ares dan digelayuti perasaan bersalah.
"Kapan lagi aku bisa ketemu kamu? Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, kamu hampir nggak punya waktu untuk aku." Ares sedikit marah ketika tadi meneleponnya.
"Oke, kamu bisa jemput aku di kantor. Seperti biasa aku lembur," jawabnya mengalah.
Ares tidak bersalah dalam hal ini. Dia lah penyebab kekisruhan hubungan mereka. Mungkin Ares sudah bisa membaca perubahan dirinya. Hanya menunggu waktu Ares mengatakannya.
"Capek?" Ares bertanya dengan nada yang penuh perhatian.
"Ya, aku capek." Helene memejamkan mata, kepalanya disandarkan pada jok mobil.
"Kalau aku ajak ngopi sebentar... mau?"
Helene menoleh, melihat Ares dan laki-laki itu berharap Helene tidak menolak ajakannya. Helene dengan berat hati mengiyakan. Tubuhnya sudah begitu lelah, tetapi dia tidak tega menolak Ares.
Mereka memilih kafe yang tidak jauh dari kantor Helene.
Ares bercerita tentang perjalanannya kemarin saat berada di luar kota. Ada beberapa kisah yang belum diceritakannya pada Helene. Namun, malam ini Helene sangat sulit berpura-pura memperhatikan cerita Ares. Sebentar memang dia ikut tersenyum, tapi tatapan matanya tidak kepada Ares.
"Len, kalau dalam waktu dekat aku ke rumahmu bagaimana? Aku ingin berkenalan yang benar-benar serius dengan orang tuamu, kemarin kan hanya bertemu sebentar di kos kamu."
Helene hanya diam, memandangi cangkir kopinya.
"Len...," panggil Ares pelan dan itu membuat Helene tersentak, seolah mengembalikan kesadarannya. Bahwa dia tidak sendiri, ada Ares sedang duduk di hadapannya.
"Maafkan aku Ares... maafkan aku," katanya. Namun, kerusakan telah terjadi.
"Len, adakah sesuatu yang membuatmu menjadi begini?" Ares bertanya dengan tatapan menyelidik.
Helene menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, dia merasa bingung dan bersalah pada Ares.
"Apa yang sudah terjadi ketika aku pergi?" tanya Ares lagi.
Helene menangis terisak pelan, dia masih menutup wajahnya. "Maafkan aku Ares," Hanya itu kalimat yang keluar dari sela-sela isak tangisnya, "Maafkan aku."
"Kamu tidak pernah mencintai ku 'kan ,Len? Hubungan ini kamu jalani dengan terpaksa, kan?" Ares seperti sudah bisa membaca kegundahan Helene.
"Aku tidak menjalaninya dengan terpaksa, aku tulus menerima kamu," katanya setelah menghela napas dan berusaha menghentikan tangisnya. Dia tidak ingin menambah luka bagi Ares karena menganggap ini semua keterpaksaan belaka. Tidak, dia tidak sejahat itu!
"Lalu?"
"Ternyata aku tidak punya cukup keberanian untuk melanjutkan hubungan kita lebih jauh lagi. Aku belum siap untuk itu."
"Tidak pernah kah kamu punya sedikit rasa cinta untukku?" Ares bertanya dengan nada putus asa. Helene diam menunduk. Dari sikap Helene, Ares tahu jawabnya.
"Len, aku tidak ingin memaksa kamu menjalani suatu hubungan yang tidak didasari oleh cinta. Aku juga tidak ingin hanya mempunyai perasaan ini sendiri. Suatu saat aku pun bisa merasa lelah. Lebih baik kita akhiri saja semua sekarang."
"Maafkan aku Ares. Aku sudah terlalu menyakiti hatimu."
***
Ares mengantar Helene ke kos, sebelum Helene turun dari mobil Ares menggenggam tangan Helene. "Kamu adalah perempuan paling istimewa dalam hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti mencintai kamu sampai kapan pun. Aku hanya ingin kamu tahu. Berhentilah meminta maaf padaku, dalam hal ini kamu tidak pernah bersalah. Mungkin kamu sudah berusaha keras untuk mencintai aku dengan caramu. Mungkin tanpa aku sadari, aku telah membuatmu menjadi tidak nyaman dengan perasaanku. Jangan pernah ada rasa bersalah."
"Terima kasih Ares."
"Bolehkah aku memelukmu sekali ini saja." Helene mengangguk.
Ares memeluk tubuh Helene, sudut matanya basah. Oh Tuhan, dia benar-benar mencintai perempuan ini. Berpisah darinya adalah hal paling menyakitkan dalam hidupnya. Tetapi perempuan ini bukan untuknya, dia bukan miliknya.
Seseorang telah memiliki hati Helene.
***
Sabtu sore di rumah Bayu
"Jadi kamu sudah nggak sama-sama dengan Ares?" Ninit bertanya dengan suara tajam. Dia tidak habis pikir dengan isi kepala Helene.
"Hanya karena melihat Dion, kamu tahu kalau kamu tidak mencintai Ares? Sinting!" Ninit mencak-mencak mendengar cerita Helene.
"Apa kurangnya Ares sih, Len? Dia calon menantu idaman, orang tua kamu sudah setuju. Bahkan mama kamu yang sulitnya minta ampun bisa takluk dengan Ares. Ini nih isi otakmu kayaknya ada yang korslet?" Ninit berkacak pinggang, sedari tadi dia nggak bisa duduk dengan tenang. Begitulah gaya Ninit kalau sedang kesal.
"Iya iya, syaraf di otakku ada yang korslet. Mungkin berat otakku juga kurang seons. Makanya aku jadi nggak becus begini." Helene mencoba kalem meladeni Ninit. Tidak ada gunanya juga marah-marah dengan Ninit. Helene tahu, dibalik kata-kata kasar yang diucapkan Ninit sebenarnya Ninit sangat sayang padanya.
"Sudahlah kalian berdua." Bayu melerai adu mulut yang tidak akan ada habisnya. Bergaul sekian lama dengan dua perempuan ini, Bayu hapal dengan tabiat mereka berdua.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?" Adinda bertanya lembut.
"Ya, aku yakin. Bukan berarti aku ingin kembali pada Dion. Sampai sekarang aku juga tidak bertemu dengannya lagi. Aku juga tidak ada niat untuk menemuinya. Aku hanya tidak bisa menjalani hubungan dengan didasari kebohongan," kata Helene.
"Kamu nggak bohong... siapa bilang kamu bohong! Kamu hanya belum mencintainya. Semua kan butuh proses. Seharusnya kamu sabar menjalani proses itu, hanya tinggal beberapa langkah lagi lho, Len." Ninit merasa gemas pada Helene.
"lagian, ngapain sih Davina pakai menghubungi kamu segala! Dia itu sudah merusak hubungan kamu, tau nggak!"
"Nit, cukup! Aku tahu kamu sayang tapi bukan berarti kamu bisa menentukan apa yang harus aku lakukan. Ini hidupku, bukan hidup kamu. Ini percintaan ku bukan kamu. Makanya kemarin aku nggak mau cerita, aku tahu bakal begini jadinya. Kamu nggak punya hak, Nit. Kamu harus tahu itu!"
Helene berkata tegas. Dia tidak suka Ninit jadi masuk terlalu jauh dalam kehidupan pribadinya. Seorang sahabat cukup mendengarkan dan memberikan pertimbangan, tetapi dia bukanlah pengambil keputusan. Ninit sudah melompati garis batas yang dibuat dalam persahabatan mereka selama ini.
Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya Ninit memecah kesunyian, "Maafkan aku, Len."