"Dionisius...apakah kamu akan jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?" Helene merebahkan kepalanya di pangkuan Dion.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Dion menghentikan belaiannya di kepala Helene. Raut wajahnya berubah menjadi serius.
"Aku tidak tahu. Apa yang kamu inginkan untuk hubungan kita?"
"Aku? Ingin bersama denganmu."
"Bagaimana kalau seandainya suatu saat kita berpisah? Apakah aku bisa mengucapkan kata perpisahan dengan benar kepadamu?"
"Sshh, jangan pernah memikirkan perpisahan." Dion meletakkan jari telunjuknya di bibir Helene, "kembali lah padaku."
"Aku pasti kembali padamu."
"Lalu, mengapa bicara seperti itu?"
"Entahlah..." Helene memejamkan mata. Firasat itu kembali hadir.
"Apa karena besok kamu akan pergi dengan Bayu, jadi kamu takut tergoda dengannya?" Dion berkata dengan sikap merajuk.
"Ah, sialan kamu!" Helene tersenyum lebar
"Aku cukup tampan dan cocok untuk jadi kekasihmu selamanya." Dion menahan tawanya. Berada di dekat Helene, Dion bisa menunjukkan sisi lain dari dirinya.
"Heh, sejak kapan kamu berubah menjadi narsis!" Tawa Dion meledak mendengar kata-kata Helene.
"Ayo, aku antar kamu pulang! Sudah malam, besok kamu harus berangkat keluar kota."
"Iya," Helene bangun dengan rasa malas, dia masih ingin berbaring seperti tadi. Terasa nyaman dan dia jadi enggan untuk beranjak.
Ketika mereka berdua meninggalkan rumah Dion sambil berjalan bergandengan tangan, sepasang mata mengawasi mereka dari jauh. Dion dan Helene terlalu asyik bicara, tersenyum dan tertawa hingga tidak menyadari bahwa seseorang menatap mereka dengan tajam.
***
"Besok aku akan mengantarmu ke bandara." Dion menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil, sikapnya terlihat santai. Meski begitu, nada bicaranya tidak terdengar santai.
"Tidak perlu, aku bisa naik taksi." Helene tidak ingin mengganggu jadwal Dion yang padat.
"Aku juga perlu bertemu dengan Bayu. Laki-laki itu juga harus mengenal aku. Jadi, kamu tidak bisa menolaknya." Dion masih ngotot dengan pendapatnya.
"Dionisius, Kenapa kamu berubah jadi laki-laki cemburuan sih! Aku akan bilang ke Bayu kalau aku sudah punya pacar, kalau perlu aku akan bilang ke seluruh dunia." Helene jengkel dengan kecemburuan Dion, yang sangat tidak beralasan.
Dion menggenggam jemari Helene, "Besok aku tetap akan mengantarmu, tidak perlu menolak dan menjadi keras kepala." Dion mendaratkan ciumannya di pipi Helene, "Aku pulang!" Dibelainya puncak kepala Helene. Dion tertawa kecil melihat wajah cemberut Helene.
***
Pagi ini Helene dan Dion sudah berada di bandara, Helene terlihat santai dengan blouse berhias ruffle di dada berwarna baby pink dipadu dengan celana panjang denim berwarna hitam, memakai selop berwarna senada dengan blouse yang dipakainya.
Seorang laki-laki datang menghampiri Helene, tersenyum lebar pada Helene dan meminta maaf karena sedikit terlambat. Laki-laki jangkung berbadan tegap dengan rambut berpotongan pendek. Diatas hidungnya yang mancung bertengger kaca mata hitam yang menambah daya tarik laki-laki itu. Melihat Helene tersenyum manis membalas senyum Bayu dan bicara ramah dengan Bayu, membuat Dion tidak rela melepas Helene pergi berdua keluar kota bersama Bayu.
Kalau Helene tahu bahwa Dion cemburu, pasti dia sudah menertawakan Dion.
"Oh ya, Dion kenalkan ini Bayu dan Bayu...ini Dion, pacarku." Helene memperkenalkan mereka berdua, Helene terlihat salah tingkah karena melihat ekspresi Bayu.
Ekspresi laki-laki itu seolah-olah mengatakan, "Pacar kamu? Sejak kapan? Harus ya diajak?" Atau ini hanya perasaan Helene saja karena dia tidak terbiasa dengan status barunya apalagi dia harus mengenalkan pacarnya kepada seorang teman. Padahal itu adalah hal yang biasa...entahlah!, Helene merasa kikuk.
Dion mengangguk pada Bayu, tersenyum sekadarnya. Kali ini Dion seperti bukan Dion yang biasa dilihat Helene. Oh, sepertinya laki-laki ini cemburu. Helene merasa maklum, Bayu terlihat menarik walaupun Helene menganggapnya biasa aja.
"Aku harus segera boarding, terima kasih sudah mengantar." Helene menatap Dion, memegang tangannya.
"Aku pulang, kabari kalau sudah sampai." Dion memeluk pinggang Helene, lalu undur diri.
***
"Pacar kamu kerja di mana Len?" tanya Bayu sambil lalu.
"Dia jadi penyanyi sekaligus main musik di kafe, dia juga masih kuliah. Katanya sih tahun depan lulus." Helene merasa tidak perlu menyembunyikan status dan pekerjaan Dion. Bahkan Helene merasa bangga, Dion mahasiswa yang mau bekerja mencari uang tambahan. Apa perlu aku menceritakan kalau Dion juga jago masak, kata Helene dalam hati. Helene menunggu reaksi Bayu.
"Yang penting kamu nyaman dan merasa bahagia menjalaninya, menurutku apa pun status dan pekerjaannya tidak masalah."
Helene tidak menduga Bayu berkata seperti itu. Ah, sepertinya mereka akan jadi partner yang cocok. Bayu tidak berpikiran picik. Mereka memang teman satu kantor tapi beda divisi. Helene tidak terlalu mengenal Bayu. Hanya sekadar say hello kalau bertemu. Bayu salah satu idola di divisi finance, setahu Helene ada beberapa perempuan yang diam-diam naksir Bayu dan beberapa lagi terang-terangan menunjukkan ketertarikannya.
"Kamu sudah punya pacar?" Helene bertanya karena penasaran.
"Sudah, bahkan enam bulan lagi kami akan menikah." Helene menggigit bibir bawahnya, dia menahan tawa membayangkan akan berapa banyak perempuan di kantor yang patah hati.
"Wah, selamat kalau gitu. Dengan orang kantor?" Helene semakin penasaran, karena dia tidak pernah mendengar gosip soal Bayu pacaran dengan teman sekantor.
"Bukan, aku tidak pernah ingin punya pacar teman satu kantor."
Namun, Helene tidak melihat wajah Bayu yang bahagia. Apakah pernikahan ini karena perjodohan? Helene menebak-nebak. Dia penasaran tapi tidak ingin bertanya, Helene tidak mau dianggap terlalu ingin tahu.
"Semakin dekat tanggal pernikahan kami, kekasihku menjadi bingung...apakah memang aku layak untuk menjadi teman hidupnya? Dia mempertanyakan hal seperti itu." Bayu tersenyum getir. Bayu seperti bisa membaca pikiran Helene.
"Aku merasa ini sungguh gila, tiga tahun kami pacaran masakan dia tidak bisa yakin?" Bayu melihat Helene. Dia menantikan pendapat Helene.
"Menurutku, ada kalanya seseorang berpikiran seperti itu. Kamu yang harus berusaha untuk meyakinkan dia bahwa kamu adalah laki-laki yang tepat untuknya, yang akan mencintai dirinya disaat terbaik bahkan disaat terburuknya. Jadi, semua kembali padamu." Helene menepuk lembut punggung tangan Bayu.
"Terima kasih, Len." Bayu tersenyum tulus.
"You're welcome...nanti traktir aku makan gudeg."
"Gampang kalau cuma gudeg," kata Bayu sambil menjentikkan jarinya.
"Tapi aku makannya banyak lho."
Bayu tertawa, "Sebanyak apa sih? Tenang saja, kalau perlu aku beli sewarungnya sekalian biar kamu puas."
"Ah, lagakmu!" Bayu semakin mengeraskan suara tawanya. Helene sampai harus meminta Bayu mengecilkan suara tawanya. Dia meletakkan jari telunjuk di bibir, sebagai isyarat kepada Bayu.
"Malu tahu, dilihat orang-orang. Nanti dikira kamu duduk sama pelawak."
"Biarkan saja, biar mereka tahu aku dapat teman seperjalanan yang menyenangkan."