Ketika membuka kantor cabang baru banyak yang harus dikerjakan. Segala sesuatunya nyaris mulai dari nol. Dari mulai menyiapkan kantor, sampai rekrutmen karyawan, pelatihan dan masih banyak lagi. Begitu kembali ke rumah kos mereka berdua sudah dalam keadaan lelah. Tidak ada waktu untuk bersantai. Untunglah perusahaan mencarikan rumah kos yang tidak jauh dari kantor jadi tidak terlalu lelah dalam perjalanan. Helene membayangkan kalau ini dilakukan di Jakarta, mungkin setiap hari dia bisa tertidur di jalan karena kelelahan.
Setiap hari Dion menelepon Helene, sekadar menanyakan kabar atau terkadang memarahi Helene karena lupa makan, tidur terlalu larut atau kurang istirahat. Helene menjadi sangat gila kerja.
"Lihat siapa yang marah-marah dan mengatakan aku gila kerja!" Helene menjadi jengkel ketika Dion menegurnya, "kamu sendiri dengan seabrek kegiatan kamu... itu tidak bisa disebut gila kerja, hah! Oh ya, kamu mahasiswa bukan karyawan jadi kata-kata itu tidak berlaku untukmu!"
Helene menjadi sangat sensitif. Dia hanya ingin semua urusan ini cepat berakhir dan bisa segera kembali ke Jakarta. Tetapi sepertinya Dion tidak mengerti apa yang ada di kepalanya dan menuduh dirinya gila kerja.
"Oh, jadi sekarang begini? Kamu mulai menarik garis pembatas status sosial kita berdua?"
Dion tidak suka dengan cara Helene mengatakan soal statusnya. Terkesan sombong dan arogan.
"Kamu tidak mengerti yang aku maksud!"
Suara Helene masih tetap tinggi, sebenarnya dia lelah untuk bertengkar tapi Dion sudah dengan seenaknya mengatai dirinya dengan sebutan gila kerja.
"Aku memang tidak mengerti kalau kamu tidak mengatakannya! Kamu malah membawa-bawa status sosial kita dalam persoalan ini!"
Helene segera menutup telepon, dia malas berbantah dengan Dion.
Berkali-kali Dion menelepon hanya dibiarkan saja berdering oleh Helene. Setelah itu Helene mematikan ponselnya agar Dion berhenti meneleponnya. Dia menjadi muak dengan bunyi dering telepon.
Helene mencoba memejamkan mata, tapi kemarahan yang belum surut membuat hawa tubuhnya terasa panas. Helene memutuskan untuk bangun dan lebih baik pergi ke suatu tempat.
"Mau ke mana, Len?" Bayu yang sedang duduk menonton televisi di ruang tamu terkejut melihat Helene tergesa berjalan keluar rumah. Biasanya di jam selarut ini Helene sudah tidur.
"Aku mau cari angkringan dekat sini, aku nggak bisa tidur."
"Sama siapa?" Bayu tidak melihat ada penghuni kos lain yang menemani Helene. Matanya mencari-cari.
"Sendiri." Helene menjawab singkat. Bayu melihat wajah Helene yang kusut.
"Aku temani! Aku tahu ada angkringan yang enak di dekat sini. Beberapa hari yang lalu aku ke sana sama anaknya ibu kos."
Mereka berjalan bersisian, jalanan sangat lengang hanya terdengar suara kodok yang bersahutan. Helene melihat jam tangannya, sudah jam 23.00.
"Nanti di sana rame," kata Bayu yang sepertinya tahu keraguan Helene.
Helene memilih diam selama di jalan, hatinya masih rusuh.
Benar saja, angkringan terlihat ramai kebanyakan datang berkelompok.
Helene dan Bayu memilih duduk di kursi daripada duduk lesehan.
"Mau pesan apa?" Bayu bertanya.
"Yang anget-anget." Helene melipat tangannya di depan dada, dia merasa malam ini sangat dingin.
"Kompor tuh anget!" Bayu berseloroh, dia tersenyum simpul.
"Sialan! Wedang jahe aja." Helene tersenyum lebar.
"Nah, gitu dong, Neng! Dari tadi mukamu kusut banget kayak kertas lecek!" Bayu mulai meledek Helene.
"Udah deh jangan mulai! Sana gih cepat pesen!" Helene mendorong pelan bahu Bayu.
Bayu memilih duduk berhadapan dengan Helene, tangannya sibuk mengupas kacang rebus. Helene memilih makan nasi bungkus oseng-oseng usus. Setelah itu dia sibuk mencomot tahu bacem dan memakannya dengan cabe rawit. Bayu bersiul pelan melihat Helene memakan tahu bacemnya yang ketiga.
"Kenapa? Mau ngeledek gue?"
"Aku baru tahu ada cewek makannya segini banyak di malam selarut ini. Biasanya tuh yang namanya cewek pantang makan malam, takut gendut. Lha kamu?" Bayu menunjuk bekas bungkusan nasi dan tahu bacem yang tersisa dua di piring.
"Aku lagi kesel!" kata Helene lalu menggigit gemas cabe rawitnya.
"Berantem sama pacarmu?" Bayu menebak. Melihat Helene diam, tahulah Bayu kalau tebakannya benar.
"Kalau mau cerita, aku dengerin."
Helene merasa tidak perlu menceritakan pertengkarannya, yang menurut Helene sangat tidak bermutu itu kepada Bayu. Helene tidak mau melihat wajah Bayu yang mencemooh dirinya.
Setelah pulang dari angkringan dan tidur, Helene yakin besok dia sudah merasa lebih baik bahkan bisa saja dia sudah melupakan persoalannya dengan Dion.
"Ya sudah kalau nggak mau cerita. Cepat diminum wedang jahenya, biar kita cepat pulang! Besok kita masih harus kerja!"
***
Pekerjaan membuat Helene melupakan pertengkarannya dengan Dion kemarin. Dia menjadi terlalu sibuk dan sangat asyik. Bahkan dia nyaris lupa untuk makan siang, kalau tidak ditarik Bayu keluar dari ruangannya.
"Kalau kamu sakit, aku bisa kena marah sama pacarmu. Kamu nggak lihat apa dia melihatku dengan tatapan sinis."
Helene tertawa kecil, "Nggak usah berlebihan deh! Mana ada Dion melihat kamu dengan sinis."
"Itu kan karena kamu pacarnya, jadi kamu tidak bisa melihat hal seperti itu." Bayu sengaja meniru gaya Dion ketika bertemu dengannya di bandara.
"Awas aja kalau pacarku nanti sakit! Jangan sampai dia kembali ke Jakarta jadi kurus kering!" Bayu mencoba meniru suara Dion. Tingkah Bayu sukses mendapat lemparan tissue dari Helene.
***
"Maafkan aku sudah marah-marah nggak jelas ke kamu kemarin malam." Dion langsung meminta maaf begitu Helene menjawab teleponnya.
"aku tidak bisa tidur memikirkannya," katanya lagi.
Helene menghela napas," Aku juga minta maaf karena kata-kataku sudah menyakiti kamu. Maafkan aku."
Helene membuang egonya. Dia menyadari bahwa dia sudah sangat keterlaluan.
"Kamu tahu, aku menjadi gila kerja agar cepat mengakhiri pekerjaanku di sini dan bisa segera kembali ke Jakarta."
"Rupanya karena kamu sangat merindukan aku."
Mendengar Dion mengatakannya, Helene bisa membayangkan senyum Dion yang menggoda.
"Ya, aku rindu? Kamu tidak rindu?"
"Aku sangat merindukan kamu. Aku tidak tahu bagaimana lagi harus mengatakan rasa rinduku sebesar apa."
Helene suka kalau Dion mulai mengatakan hal-hal yang manis, rasanya kelelahannya hilang begitu saja.
"Kemarin setelah bicara dengan kamu, aku jadi tidak bisa tidur. Aku pergi ke angkringan. Ternyata menyenangkan juga nongkrong di angkringan malam-malam." Helene bercerita dengan sangat bersemangat.
"Selarut itu? Kamu pergi dengan siapa?"
"Sama Bayu. Beneran deh, seru banget!" Helene tertawa kecil, hatinya bahagia.
"Ngapain sih pergi sama Bayu malam-malam?"
Helene tersenyum lebar mendengar Dion bertanya dengan nada sinis. Dia mengingat tingkah Bayu tadi siang yang meniru-niru Dion.
Helene semakin bahagia ketika tahu kalau Dion cemburu. Ingin rasanya dia segera pulang dan bertemu Dion.