Lagu terakhir sudah lama berlalu, Dion sudah membereskan peralatannya. Dia bersiap-siap untuk pulang dari kafe. Dion melihat jam tangannya dan mulai menimbang-nimbang untuk menelepon Helene. Berharap Helene belum tidur.
Hari ini dia belum sempat bicara dengan Helene dan mengirimkan pesan untuk kekasihnya itu. Kesibukan kuliah, mengajar anak-anak panti juga bermain musik sangat menyita waktunya. Apalagi Thalita sudah mengundurkan diri jadi relawan untuk mengajar di panti. Untuk sementara Dion yang menggantikan Thalita.
Dion tahu, mengapa Thalita akhirnya memilih mengundurkan diri. Dirinya lah penyebab semua itu. Sebenarnya Dion sangat menyayangkan keputusan Thalita. Namun, Dion tidak mungkin ikut campur soal ini.
Tadi malam Dion berusaha merayu Davina agar menggantikan Thalita mengajar di panti.
"Nggak mungkin Di!" Davina menjawab dengan cepat, secepat tangannya mencomot pisang goreng di piring.
"Kenapa nggak mungkin?"
"Aku enggak punya talenta untuk mengajar, apalagi harus menghadapi anak-anak. Aku tidak akan sabar," katanya dengan mulut yang penuh dengan pisang goreng. Dion yang melihat sudah merasa takut, pisang goreng yang berada di dalam mulut Davina akan menyembur keluar.
"Lagian kamu kenapa nggak merayu Thalita lagi? Mungkin saja dia mau kembali mengajar di panti," katanya lagi.
"Aku rasa kamu tahu penyebab Thalita mengundurkan diri. Jadi saranmu tidak mungkin ku lakukan." Dion bangkit dari tempat duduknya, tidak ada gunanya bicara dengan Davina kalau hanya berujung dengan solusi merayu Thalita.
***
Di layar ponselnya tertera tulisan Mi Amor. Baru melihat tulisan itu saja sudah membuat Dion tersenyum. Dia segera menelepon Mi Amor nya, Helene nya tersayang.
Helene menerima teleponnya pada bunyi dering kesekian.
"Aku mengganggu?" Dion bertanya dengan nada khawatir.
"Tidak, aku sedang membaca novel. Hanya pengisi waktu sebelum tidur. Kamu di mana?"
"Aku masih di kafe. Ingin mendengar suaramu walaupun hanya sebentar. Hari ini aku sangat sibuk sampai tidak sempat bicara dengan kamu." Ada perasaan bersalah dalam diri Dion, dia tidak ingin Helene merasa diabaikan oleh Dion.
"Aku tahu kamu pasti sibuk, aku juga baru pulang dari kantor satu jam yang lalu."
"Helene, jangan terbiasa lembur...aku khawatir kalau kamu pulang kerja terlalu malam."
"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Kali ini aku terpaksa lembur karena pertandingan-pertandingan itu sudah menyita waktuku sedangkan laporan harus tetap dikerjakan."
"Bagaimana hasilnya?" Dion nyaris lupa dengan pertandingan bulu tangkis yang dihadapi Helene.
"Sejauh ini bagus. Nanti saja kalau jadi pemenang akan aku kabari. Hari Sabtu kita harus ketemu ya? Kamu ada acara nggak?"
"Nggak ada, hari Sabtu memang aku sediakan waktu khusus untuk kamu. Di hari biasa sangat sulit untuk kita ketemu. Kenapa?"
"Hari Minggu aku akan keluar kota, mungkin selama satu bulan karena kami akan membuka cabang baru. Sediakan waktumu untukku."
"Satu bulan? Kenapa lama sekali?" Dion mengeluh, dia menundukkan kepalanya, mengembuskan napas. Apa jadinya tidak bertemu Helene selama satu bulan?
"Bagaimana kalau aku menjadi sangat merindukanmu?" Dion tertawa kecil, dia berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya.
"Aku yakin kamu akan baik-baik saja. Aku juga pasti akan sangat merindukan kamu. Mungkin Sabtu nanti, aku harus memelukmu sangat lama dan memenuhi rongga paru-paruku dengan harummu. Aku berharap wangimu akan bertahan lama dan bisa mengobati sedikit rasa rinduku." Helene mengeluarkan sisi romantisnya. Dengan Dion, Helene bisa menjadi berbeda, dan dia nyaman dengan hal itu.
"Aku menunggu kamu Sabtu nanti."
***
Ninit berdiri di dekat Helene, sibuk memberikan prediksi tentang pertandingan saat ini. Dari tadi Ninit sudah seperti pelatih, komentator, bahkan jadi manajer Helene.
Ninit sibuk menyiapkan keperluan Helene, dia juga sibuk memberikan solusi menghadapi lawan. Setelah itu dia memberikan ulasan jalannya pertandingan. Ah, satu lagi...Ninit juga bisa jadi pemandu sorak. Di pinggir lapangan Ninit berteriak paling kencang untuk setiap angka yang di raih Helene dan pasangannya. Ninit adalah segalanya.
Hari ini adalah partai final bulu tangkis antara tim HRD dengan tim finance. Sejak kemarin Ninit sudah memobilisasi staf HRD untuk perang urat saraf dengan staf Finance. Bahkan Ninit berubah menjadi baik hati pada Togap agar misinya dapat berjalan. Ninit bisa menjadi sangat oportunis.
Togap bagaikan mendapat jambu air runtuh saat Ninit mendekat dan mengajaknya bicara dari hati ke hati. Berkali-kali Togap mengucap syukur dan menceritakan pada Helene dengan semangat yang berkobar. Helene menjadi terharu. Baru kali ini dia melihat ada laki-laki yang bahagia hanya karena seorang perempuan yang "cuma mendekati karena ada maksud tertentu".
"Biarlah Len, yang penting hari ini aku bahagia...walaupun kebahagiaan ini hanya sementara. Kamu tidak tahu rasanya jadi aku. Hanya dapat senyum dari Ninit saja aku sudah bahagia, seperti orang menang lotre." Togap tersenyum lebar.
"Len, pokoknya jangan melakukan kesalahan sendiri...ini angka kritis, cuma beda tiga angka. Ngerti kan Len!" Helene yang sedang minum, hanya bisa menganggukkan kepala.
Dia ingin segera mengakhiri pertandingan ini. Tubuhnya sudah bermandikan keringat. Tadi Helene sempat berpikir masa bodoh dengan kemenangan, dia sudah lelah. Biarlah hanya mendapat juara dua. Tapi melihat semangat Ninit, Helene menjadi tidak tega. Helene mengepalkan tangannya, berusaha menyemangati diri sendiri.
***
"Dionisius! Dengar ya! Aku menang !" Helene berteriak begitu Dion mengatakan halo. Dion bersorak setelah mendengar kata-kata Helene.
Helene mengatur napasnya, dia masih terengah-engah karena lelah dan perasaan emosional yang campur aduk. Setelah selesai bertanding, Helene cepat menyingkir. Helene ingin memberitahukan pada Dion, dia tidak sabar menunggu sore.
Helene tak peduli Dion sedang sibuk atau tidak, yang dia tahu harus segera menyampaikan kabar sukacita ini pada Dion. Perasaan bahagia dan terharu menjalari dirinya. Ternyata begini rasanya menjadi seorang pemenang. Bukan dulu Helene tidak pernah memenangkan sesuatu, tapi kemenangannya dulu lebih kepada kewajiban karena harus memenuhi tuntutan mama. Kali ini tidak ada mama yang menjadi latar belakang kemenangannya.
"Baiklah, aku akan menutup telepon. Kita akan bertemu besok, aku akan menceritakan semua secara lengkap ke kamu." Helene langsung menutup telepon, dilihatnya Ninit datang kepadanya. Ninit berjalan cepat dan tersenyum sangat lebar.
"Aku belum sempat mengucapkan selamat, kamu sudah pergi aja." Raut wajah Ninit berubah menjadi bersungut-sungut. "Selamat ya buat kemenanganmu!" Ninit menyalami Helene, tertawa bahagia. Ekspresi wajahnya cepat sekali berubah.
Helene tertawa, "Terima kasih Ninit sayang. Tidak sia-sia pengorbanan mu mendekati Togap."
"Jangan singgung nama itu, merusak kebahagiaan ku aja sih!" Ninit mendengus. "Eh, aku ditraktir enggak?"
"Kok aku yang traktir? Kemenanganku ini kan hadiahnya dinikmati seluruh staf HRD. Traktirannya nunggu uang hadiah cair. Kebetulan finance kalah, aku khawatir mereka akan menunda untuk mencairkan hadiah kemenangan kita."
"Dasar, kebanyakan alasan!" Ninit melempar Helene dengan handuk kecil yang dipegangnya.