"Siapa sih yang mengajari kamu memasak?" Helene berdiri di samping Dion, tangannya terlipat di depan dada. Dia asyik memperhatikan Dion yang sibuk meracik bumbu. Helene merasa sungguh tidak berguna berada di situ. Laki-laki itu benar-benar melarangnya menyentuh segala bumbu, sayuran dan bahan masakan lain. Yang bisa dia lakukan hanya memandangi laki-laki ini sibuk dengan masakannya.
"Mama," katanya sambil menoleh sekilas, Dion sedang mengiris bawang putih.
"Kamu yang minta diajari memasak?" Helene merasa heran.
"Bukan... mama yang memaksaku untuk terjun ke dapur. Aku harus bisa memasak, mencuci piring dan pekerjaan dapur lainnya. Kata mama, itu adalah salah satu keterampilan dasar yang harus aku kuasai." Dion menghentikan pekerjaan mengiris bawang, bicara sepanjang itu bisa menghilangkan konsentrasinya mengiris bawang. Dion tidak ingin jarinya terluka.
Helene melihat dengan pandangan tak percaya, ada seorang ibu yang memaksa anak laki-lakinya masuk dapur. Biasanya dapur selalu dianggap sebagai wilayah kekuasaan perempuan. Helene jadi jatuh hati pada ibu Dion. Dia penasaran ingin mengenal perempuan yang sudah melahirkan kekasihnya. Helene merasa ibu Dion adalah perempuan yang hangat dan menyenangkan.
"Kamu dengan rela hati waktu diajak dan diminta untuk memasak dan pekerjaan dapur lainnya?" Helene semakin penasaran.
"Siapa sih yang suka? Anak laki-laki tetap lebih suka bermain game. Saat itu aku lebih suka bermain dengan gitarku." Kali ini Dion bicara sambil menumis sayuran.
"Oh, mamamu memaksa dan memarahi kamu?" Helene berpindah tempat, dia tidak mau terciprat minyak. Helene lebih memilih memandangi punggung Dion.
"Mama tidak pernah marah. Betul dia memaksa aku, tapi mama selalu punya cara yang seru agar aku mau terjun ke dapur. Biasanya mama akan menanyakan makanan kesukaanku atau makanan apa yang aku inginkan. Setelah itu mama akan mengajak aku untuk ikut turun ke dapur. Kadang kala mama mengajak berkemah. Hanya kami berdua, papa tidak pernah punya waktu untuk kami. Saat berkemah, mama akan mengajari aku memasak. Hal-hal menyenangkan seperti itulah." Dion berbalik, Helene bisa melihat senyum laki-laki ini. Helene jadi semakin ingin mengenal ibu Dion.
"Mamamu sering berkunjung ke sini?" Helene bertanya karena dia ingin bertemu.
"Tidak, kanker merenggut mama dari sisiku beberapa tahun yang lalu." Helene melihat Dion menundukkan kepalanya. Ada perasaan bersalah yang menyelusup dalam hati Helene. Dia sudah membuat Dion sedih.
"Maafkan aku,"
"Untuk apa?"
"Sudah bertanya tentang mama kamu."
Dion berjalan mendekat, menggenggam jemari Helene. "Aku memang ingin menceritakannya padamu, hanya aku tidak menyangka secepat ini menceritakan tentang mama ke kamu. Jangan merasa bersalah. Aku sudah lama berdamai dengan rasa sakit kehilangan mama." Dion membawa Helene ke dalam pelukannya.
"Aku yakin mama tersenyum bahagia melihat aku mengenal kamu dan memilih kamu menjadi kekasihku."
"Kamu seyakin itu?" Helene mendongak, bola matanya menatap Dion lekat. Laki-laki itu hanya tersenyum, ada binar bahagia di matanya. Dion mencium kening Helene. "Aku sangat mengenal mama dan aku yakin dengan kata-kataku." Dion melepaskan pelukannya.
"Kita makan ya... kamu harus menyantap hidangan istimewa buatanku." Dion melepas celemeknya, kemudian menarik tangan Helene. Dia ingin kekasihnya segera menikmati hasil masakannya.
***
Perut Helene terlihat sedikit membuncit, dia mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. Masakan Dion sangat istimewa bagi Helene. Sapi lada hitam, tumis pokcoy dan ayam saus mentega. Semuanya enak.
Dari tadi Dion hanya senyum-senyum melihat Helene makan dengan lahap. Perempuan yang duduk di depannya ini tanpa malu-malu menambah nasi, lauk dan sayur. Dion senang kalau Helene suka dengan masakannya. Bahkan dia akan dengan rela hati sering-sering memasak untuk Helene.
"Sekarang giliranku...aku yang akan mencuci piring." Helene beranjak dari tempat duduknya, Dion cepat menahan Helene.
"Duduklah baik-baik di situ. Aku yang akan mencuci piring. Aku ingin kamu bercerita apa saja kepadaku sambil aku mencuci piring."
"Rasanya aku sangat tidak tahu diri harus membiarkan kamu mencuci piring, sementara kamu sudah memasak semua hidangan enak ini. Pliss deh, aku juga ingin membantu. Kamu duduk di situ, mainkan gitarmu dan aku akan menyanyi sambil mencuci piring. Daripada aku harus bercerita. Aku cuma punya cerita tentang Ninit dan Togap, nggak seru ceritanya. Sudahlah! Cepat ambil gitarmu!" Helene mendorong bahu Dion pelan.
Sore ini mereka habiskan dengan menyanyi, di tengah suara rintik hujan Helene merasakan kedamaian. Sejak ada Dion, hidupnya tak lagi sama. Helene memiliki seseorang yang dia rindukan, dan seseorang yang menantikan kehadirannya. Helene melalui akhir minggunya tanpa harus merasakan kesepian seperti waktu-waktu kemarin. Helene hanya berharap rasa ini bisa bertahan selamanya, dia tidak ingin kebahagiaan ini direnggut darinya. Helene mencintai Dion...laki-laki ini miliknya, hanya untuknya.
***
Helene sedang meliuk-liukkan tubuhnya, dia sedang melakukan pemanasan. Ninit yang sedari tadi berdiri di dekat Helene merasa gemas dengan gaya Helene. "Kamu itu lagi pemanasan atau jadi penari ular sih?" Mulutnya gatal juga untuk berkomentar.
"Pemanasan lah!" Helene menjawab cepat, dia tidak menoleh sedikit pun pada Ninit.
"Mana ada pemanasan kayak gitu!"
"Inget nggak... aku pernah cerita kalau dulu aku seorang karateka."
"Len, memangnya aku bisa kamu bodohi...aku juga tahu pemanasan itu kayak apa!"
Helene memang sengaja melebih-lebihkan gayanya di depan Ninit. Tadi dia sudah melakukan pemanasan dengan benar sebelum Ninit datang. Dia suka memancing keributan dengan Ninit, lama-lama dia ketularan kelakuan Togap.
"Len, tahu enggak?" Ninit memelankan suaranya, matanya melirik ke arah Lusi yang menjadi lawan tandingnya. Helene melihat Ninit dengan penuh minat, penasaran dengan kabar berita yang akan disampaikan Ninit.
"Dengar-dengar kabar, si Lusi itu sering jadi juara di RT nya. Sedangkan kamu belum pernah sekalipun juara. Semangat ya Len!" Ninit mengepalkan tangannya.
Helene melengos, "Sebenarnya kamu itu memberi semangat atau membuat aku jadi pesimis sih, Nit. Terima kasih buat motivasimu!" Helene berlalu, bersiap memasuki lapangan. Dia mendengar Ninit bertepuk tangan, berteriak memberikan semangat.
***
Lumayan, hari ini Helene dan pasangannya bisa memenangkan pertandingan walaupun angkanya tipis sekali. Lusi dan pasangannya adalah lawan yang tangguh, tidak mudah mengalahkan mereka berdua. Mereka berdua bisa masuk ke babak berikutnya. Helene tak sabar ingin menyampaikan kabar kemenangannya kepada Dion. Biar bagaimanapun laki-laki itu memiliki andil.
Namun, masih terlalu dini untuk mengatakannya. Nanti sajalah kalau Helene bisa mencapai final. Baru lolos babak penyisihan saja dia sudah mimpi akan sampai ke final. Sungguh mimpi yang sangat terlalu.
Ninit berlari menyongsong kedatangan Helene. Dia terlihat girang. "Nggak sia-sia motivasi yang aku sampaikan tadi...ya kan?" Senyumnya lebar. Helene mengangguk, dia tidak ingin mematahkan kebahagiaan Ninit. Melihat senyum Ninit, lengkap lah kebahagiaannya saat ini.