Suara Michael Bubble melantunkan lagu Home, lamat-lamat terdengar dari playlist ponselnya. Helene merebahkan tubuhnya di sofa. Salah satu kebiasaannya kalau pulang.
Seorang Michael Bubble saja rindu untuk pulang, tapi aku tidak pernah punya perasaan itu.
Helene memejamkan mata, telinganya masih mendengar Michael Bubble menyanyi. Tadi dia sengaja berlama-lama di kantor menemani Ninit. Helene sedang tidak ingin bertemu dengan Dion. Dia tidak peduli kalau Dion menganggapnya ingkar janji. Hatinya sedang merasa marah karena peristiwa tadi siang. Bukan, bukan karena dia cemburu. Helene tahu bahwa perempuan itu hanya teman biasa. Helene menangkap kesan itu di mata Dion. Dia hanya tidak suka cara Dion. Sebenarnya hal sepele, tapi... entahlah! Helene tidak bisa menerimanya.
Kemarahannya dilampiaskan dengan kerja lembur gila-gilaan.
Helene juga tahu pasti Ninit bertanya-tanya di dalam hati ketika Helene menemaninya lembur, padahal siang tadi, dia jelas-jelas menolak. Namun, Helene lebih baik mendiamkan saja. Dia sedang malas harus menceritakan semua pada Ninit.
Kini suara Michael Bubble sudah berganti menjadi Coldplay yang menyanyikan lagu Fix You. Tanpa sadar Helene juga ikut menyanyi dengan suara lirih.
When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse
Helene merasa lelah setengah mati. Tubuh, pikiran dan emosinya membuat Helene merasa tak berdaya. Dion adalah faktor kesekian, pekerjaannya juga menempati urutan kesekian yang membuatnya lelah. Helene tak tahu yang terutama apakah Mama atau perasaan kesepian?
Ponselnya berdering untuk yang kesekian kali. Helene melirik layar ponselnya, nama Dion muncul di layar. Helene membiarkan ponselnya berdering ribut, hanya membalikkan ponsel agar dia tidak bisa melihat. Dia masih malas untuk bicara dengan Dion. Helene tahu Dion juga mengirim beberapa pesan. Tak satu pun dibaca olehnya.
***
Dion berdiri menunggu dalam dinginnya udara pagi. Dia tidak tahu jam berapa Helene biasa keluar dari apartemennya. Dion ingin bicara dan meminta maaf, walaupun Dion tidak tahu persis di mana letak kesalahannya. Lebih baik bersikap sebagai seorang gentleman dengan meminta maaf terlebih dahulu, lagi pula ada quote yang mengatakan bahwa perempuan tidak pernah salah.
Bukan karena Dion sebagai laki-laki takut dan harus menurut kepada perempuan. Dia hanya ingin berdamai dan tidak suka harus didiamkan seperti ini berlarut-larut oleh Helene. Mungkin dengan permintaan maafnya, perempuan itu bisa tersenyum lagi padanya.
Dari jauh Dion melihat Helene berjalan. Tiba-tiba Dion disergap perasaan gugup. Jantungnya berdebar kencang. Dia seperti pemuda ingusan yang baru mengenal cinta. Dion menundukkan kepala, tersenyum malu karena perasaannya. Dion cepat menguasai diri, menegakkan kepalanya.
Helene menghentikan langkah, melihat Dion dari kejauhan. Untuk apa pagi-pagi Dion sudah berada di sini?
Helene tidak mungkin menghindar. Aku terlalu kekanak-kanakan kalau terus mengabaikan dirinya.
Helene berjalan mendekat, laki-laki itu tersenyum lebar menyambutnya.
"Aku membawakan kamu roti cokelat dengan kopi." Dion mengangkat tangannya yang membawa tas kertas berisi roti dan kopi.
"Sebagai permintaan maafku atas kejadian kemarin," katanya lagi. Senyumnya terlihat malu-malu.
"Oh, kenapa harus minta maaf?"
"Kamu mengabaikan ku... pasti ada sesuatu yang membuat kamu begitu."
"Kalau aku mengabaikan kamu, sudah pasti karena kamu bersalah?" Helene bertanya dengan nada serius. Padahal dia nyaris meledak tertawa melihat Dion yang kebingungan.
"Aku tidak tahu... sepertinya aku yang bersalah?"
"Kalau tidak tahu, kenapa kamu yakin kamu yang bersalah?" Helene masih bertanya berputar-putar. Dia menikmati raut wajah bingung Dion.
Dion mendekat, memeluknya lalu mengecup bibirnya sekilas. "Apa pun itu, maafkan aku," bisik Dion lembut.
"Aku antar sampai ke kantor ya?"
Helene tak menduga Dion akan memeluk dan menciumnya. Apa lagi ada beberapa pasang mata yang melihat. Helene merasa sangat malu. Namun, ada terselip juga perasaan bahagia. Laki-laki ini sungguh tak terduga.
"Enggak usah, nanti merepotkan kamu."
"Tidak...aku tidak repot!"
"Siapa perempuan itu?" Helene langsung menanyakan sosok Thalita begitu mereka berdua berada di dalam mobil.
"Namanya Thalita, dia teman Davina yang akhirnya menjadi temanku juga. Kami berdua tidak sengaja ditautkan dalam kegiatan yang sama menjadi relawan di panti. Kebetulan juga kami berdua mengenal Davina." Dion tidak ingin menyebutkan soal perjodohan yang dilakukan Davina.
"Oh, aku menanyakan ini bukan karena aku cemburu." Helene langsung memberikan alasan yang membuat Dion tersenyum simpul.
"Oke. Lalu...apa yang membuatmu marah?"
"Kamu keterlaluan! Seolah-olah kamu perlakukan aku seperti seorang pemujamu yang sangat tidak tahu malu. Harusnya kamu tidak berkata seperti itu di depan Ninit dan perempuan itu!" Helene meninggikan suaranya.
Dion mengangguk, paham yang dimaksud Helene. Sebenarnya Dion tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. Memang begitu banyak pengunjung kafe yang mengenalnya, sedangkan dia mungkin hanya mengenal beberapa orang saja. Dion bukan tipikal orang yang bisa beramah tamah dengan orang yang baru saja dikenalnya. Namun, kalau ingin berdamai dengan Helene lebih baik mengalah saja. Suatu saat Dion akan menjelaskan.
"Aku minta maaf sudah menyakiti kamu, membuat kamu malu. Aku minta maaf untuk itu," kata Dion tulus. Di kecupnya tangan Helene yang berada dalam genggaman.
Helene tersenyum manis... sangat manis. Dion terpana melihat senyumnya. Dion menepikan mobilnya, menarik Helene masuk dalam pelukannya, lalu mencium bibirnya.
"Senyummu membuat aku ingin mencium kamu."
Baru saja Helene lepas dari pelukannya, dia sudah merindukan perempuan itu. "Aku mencintai kamu. Jangan pernah mengabaikan aku... kamu tahu, rasanya sangat menyakitkan saat kamu menciptakan jarak diantara kita berdua."
"Kalau suatu saat kita harus berjarak karena keadaan yang memaksa kita begitu. Bagaimana?"
"Berjanjilah padaku untuk tidak melakukannya." Dion menyentuh leher Helene dengan kedua tangannya. Menatap perempuan itu dan mencari kesungguhan di sana. Helene tersenyum, "Aku berjanji."
Dion memiringkan kepalanya, tersenyum lalu mendekatkan wajahnya pada Helene. Sekali lagi mencium bibirnya dengan lembut.
***
Masih terasa ciuman laki-laki itu di bibirnya. Helene tersenyum dan mengumpat sekali lagi di dalam hati. "Sialan! Aku tidak bisa berkonsentrasi kalau begini!"
Helene menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Berusaha menenangkan diri. Dari tadi bayangan Dion terus bermain-main di kepala. Laptop yang sedari tadi dibuka hanya dilihat tanpa ada hasrat untuk mengerjakan laporan yang harus dia buat.
"Oh Tuhan, bagaimana ini? Dion mengacaukan segalanya." Helene berbisik pelan.
"Dion? Siapa Dion?" Ninit sudah berdiri di depan kubikel Helene. Ninit melongok, raut wajahnya sangat ingin tahu. Helene terkejut, tak menduga Ninit akan mendengar. Helene terdiam dan berusaha untuk mencari kata-kata yang tepat.
"Duh, bagaimana ini?" katanya dalam hati.