"Dion? Uh, emm..." Helene mengambil jeda, "Dia orang suruhan Mama untuk mengambil barang Mama yang tertinggal di apartemenku."
"Oh, aku kenal?" Ninit memiringkan sedikit kepalanya, raut wajahnya tetap menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.
"Apaan sih!" Helene tertawa, "nggak usah kepo deh jadi orang!" Helene menjulurkan tangannya, kemudian meletakkan telapak tangannya di wajah Ninit. Dia meminta Ninit untuk berpaling setelah itu merasa geli melihat tampang Ninit.
"Pengumuman! pengumuman!" Togap berseru lantang dari sudut sana. Dia berdiri sambil memegang kertas yang dibentuk seperti corong.
Ninit melihat dengan pandangan sebal, "Tuh kan, berlebihan banget gayanya!" Ninit mendumal, "ruangan sebesar ini, dengan suara seperti guruh menggelegar begitu, masih ditambah lagi dengan corong. Memangnya dia kira kita budeg apa!" Ninit masih ngomel, tapi tidak berani keras-keras takut kalau Togap mendengar. Nanti dikira perhatian.
Helene yang berdiri di dekat Ninit langsung mencolek dagu Ninit, "Perhatian banget sama Abang Togap. Hati-hati bisa jadi suka, lho."
"Ih, enggak usah ya! Jangan sampai deh!" Ninit berpaling sambil menyibakkan rambutnya ke samping. Gayanya sengaja dibuat berlebihan. Helene menutup mulutnya, menahan tawa.
Semua yang ada di ruangan menunggu pengumuman dari Togap. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Lagaknya seperti orator yang menciptakan jeda untuk bicara. Togap mendramatisir suasana agar terkesan penting. Helene terkikik geli melihatnya. Beberapa orang sudah mulai ribut, mendesak Togap untuk segera bicara. Mereka menanti dengan harap-harap cemas. Apakah ada bonus, kenaikan gaji, uang tambahan atau pengurangan karyawan? Soalnya tadi Togap dipanggil menghadap manajer HRD.
Togap lagaknya semakin menjadi-jadi, tersenyum lebar memandang teman-temannya, "Kalian mau tahu banget ya?" katanya bahagia, sengaja banget dia bikin orang sebel. Beberapa orang mulai menyumpah. Bahkan ada yang sudah tidak peduli dan kembali sibuk di depan laptop.
"Jadi mual!" celetuk Ninit spontan, mukanya sangat judes.
Togap tersenyum menyambut celetukan Ninit, " Apakah aku bisa jadi pria yang bertanggung jawab?"
Helene bergumam, "Togap sudah bosan hidup, dia cari mati."
Ninit menatap Togap tajam, melontarkan kata tanpa bersuara, mulutnya bergerak membentuk kata, "Awas!"
"Jadi, dalam rangka menyambut ulang tahun perusahaan kita. Akan diadakan beberapa pertandingan." Togap menyebutkan beberapa pertandingan dari mulai pertandingan olah raga seperti badminton, futsal, catur sampai pertandingan ala tujuh belas Agustus. Semua mendadak ramai membicarakan pertandingan itu. Setiap divisi wajib mengirimkan perwakilannya.
"Untuk pertandingan badminton ganda campuran, aku minta berpasangan dengan Ninit." Togap bicara dengan bersemangat, matanya memandang Ninit. Kata-kata Togap mendapat sorakan huuu yang panjang. Ninit sontak berdiri dari kursinya.
"Andaikan di dunia ini laki-laki cuma kamu, aku lebih memilih mati dari pada sama kamu." Togap yang mendengar hanya tertawa geli. Bisa mengerjai Ninit adalah salah satu kebahagiaan untuk Togap.
Kesibukan di kantor mendadak meningkat, selain harus mengerjakan tugas kantor. Mereka mulai membahas persiapan untuk lomba. Helene mengirimkan pesan kepada Dion, bahwa dia tidak bisa menemui laki-laki itu malam ini. Helene berjanji akan datang hari Sabtu ke kos Dion.
***
Tanpa sengaja Thalita bertemu Dion di kampus, laki-laki gondrong dengan gayanya yang cuek itu sedang berjalan ke arahnya. Thalita menjadi gugup, dia mengingat kebersamaanya dengan Dion kemarin. Mungkin saat ini raut wajahnya pasti berbeda dan terlihat memalukan. Ingin rasanya Thalita menghindar, tapi dia juga rindu. Tadi malam dia tidak bisa tidur karena mengingat Dion. Apalagi dia mendengar Davina yang sangat bersemangat menjodohkan Dion dengan dirinya. Davina mengupas habis semua tentang Dion. Semua hal yang Davina ketahui disampaikan ke Thalita.
Tidak banyak yang Davina ketahui tentang Dion. Meskipun mereka dekat, tapi Dion juga menciptakan batasan untuk Davina. Sebenarnya Dion masih menjadi misteri.
"Lita, ini ada titipan dari Vina untukmu." Dion menyodorkan beberapa buku pada Thalita. Sebenarnya itu hanyalah alasan Davina saja menitipkan buku Thalita ke Dion. Thalita belum benar-benar membutuhkan buku itu. Davina sudah mengatakan pada Thalita tadi malam. Dia ingin supaya Dion bisa lebih dekat dengan Thalita.
"Terima kasih, maaf sudah merepotkan kamu." Thalita mendongak sambil tersenyum melihat Dion yang berdiri tegak melihat ke arahnya.
"Tidak repot kok, biasa aja."
"Masih ada kuliah?" tanya Thalita.
"Tidak."
"Aku mau ajak kamu makan di kantin. Mau?" Thalita memberanikan diri, "sebagai rasa terima kasihku sudah diantar membeli buku." Thalita mencari alasan. Dia tidak rela harus cepat berpisah dengan Dion.
Laki-laki ini tampak berpikir, "Oke, tapi kamu tidak perlu mentraktirku. Juga tidak perlu merasa hal itu seperti hutang. Kebetulan aku juga lapar."
Thalita mengangguk senang, tersenyum sumringah. Kebahagiaannya hari ini makin berlipat. Berjalan di sisi Dion membawa kesan tersendiri. Beberapa perempuan akan menoleh. Ada yang memandang kagum, penuh tanya bahkan ada yang memandang iri. Dion dengan gayanya yang khas hanya memandang lurus ke depan, tampak tak peduli. Mungkin seperti ini yang dirasakan Davina ketika berjalan bersama Dion. Namun, Davina tidak memiliki perasaaan cinta untuk Dion. Berbeda dengan Thalita.
Di kantin beberapa orang melirik ke arah mereka, ada yang terang- terangan melihat dan bergosip. Thalita mendengar suara-suara itu. Rupanya si Dion ini terkenal juga, pikirnya.
Dion mengeluarkan ponselnya, ada pesan yang dikirim seseorang. Dion tersenyum. Thalita sempat melirik. Nama Mi Amor tertera di layar. Tunggu! Sepertinya itu bukan nama seseorang, itu seperti sebutan atau panggilan untuk seseorang. Thalita melihat Dion membaca sebentar pesan di ponselnya, dahinya berkerut. Lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku.
***
Mi amor artinya kesayanganku. Itu nama yang disematkan Dion kepada Helene. Dion membaca pesan dari Helene. Pesan yang membuat semangatnya menjadi turun. Padahal tadi pagi mereka sudah bertemu. Tapi entah mengapa Dion ingin selalu melihat Helene. Beginilah resiko yang harus dia tanggung kalau berpacaran dengan perempuan pekerja. Kesibukan mereka berdua berbeda, jam sibuk mereka pun berbeda. Dion harus belajar menyesuaikan dan memaklumi. Saat ini yang dia tahu, dia mencintai Helene.
Sabtu masih terlalu lama, Dion menghitung dalam hati. Dia harus bersabar.
***
"Di, bukunya sudah dikasih ke Thalita?" Davina bertanya ke Dion begitu melihat Dion di kafe. Dion hanya mengangguk, dia sibuk menyetem gitarnya.
"Thalita bilang apa?" Davina kembali bertanya.
"Menurutmu dia harus bilang apa selain terima kasih." Dion menjawab sekenanya.
"Nggak ada yang lain selain terima kasih?" Davina mengejar Dion, dia merasa gemas dengan Dion.
"Dia mengajak makan siang di kantin." Kali ini Dion menghentikan kesibukannya, benar-benar melihat Davina.
"Kamu mau?" Davina bertanya. Cara Davina bertanya sudah mirip emak-emak tukang gosip, yang akan terus mengejar sampai dia merasa puas.
"Kamu kenapa sih?" Dion mulai merasa terganggu.
Davina nyengir lebar, "Nggak apa-apa, cuma ingin tahu." Davina segera berlalu dari hadapan Dion.