Hari ini sangat terik, tapi tidak menyurutkan semangat Dion berjalan menyusuri jalanan yang panas untuk datang ke panti asuhan.
Sudah dua minggu Dion mengajar matematika untuk anak-anak panti. Dia bekerja sebagai relawan di sana. Ada salah seorang kenalan di gereja yang meminta pertolongan Dion untuk membantu mengajar di panti. Dion dengan senang hati menyanggupi, waktunya tidak mengganggu jadwal kuliah dan jam kerjanya di kafe. Apalagi dia tidak perlu datang setiap hari, dalam satu minggu Dion mengajar hanya tiga kali. Itu pun dua jam saja.
Ada kebahagiaan tersendiri bagi Dion melihat anak-anak itu berlari menyambut kedatangannya. Itu saja sudah cukup. Terkadang kebahagiaan itu tidak selalu berhubungan dengan uang.
Mama pernah bertanya padanya ketika dia masih remaja, "Saat kamu melihat orang lain tersenyum karena perbuatan yang telah kamu lakukan untuknya, apa yang kamu rasakan? Apakah kamu juga jadi ikut tersenyum?" Dion mengangguk.
"Orang itu tersenyum bahagia karena kamu dan kamu tersenyum bahagia karena melihat senyum orang lain. Jadi hal-hal sederhana pun bisa membuat kamu bahagia. Ingatlah untuk memperlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan."
Ketika pertama kali datang, anak-anak itu masih terlihat takut-takut dan gugup. Dion juga masih mengamati dan mempelajari bagaimana cara yang efektif dan nyaman untuk anak-anak. Untunglah saat itu Dion membawa gitar, dia mulai mendekati anak-anak dengan bernyanyi.
Dion mengingat banyak lagu anak-anak, dulu mama sering menyanyikan lagu anak-anak sambil bermain piano. Dion mengingat suara mama sangat merdu ketika menyanyi. Dion merindukan mama ketika dia mengiringi anak-anak tersebut menyanyi. Setelah menyanyikan dua lagu baru lah Dion mulai mengajar.
Dion mengajar matematika untuk anak-anak sekolah dasar dan SMP. Awalnya anak-anak itu malu untuk bertanya apabila ada hal yang tidak mereka pahami, setelah dua kali pertemuan mereka sudah lebih mengenal Dion dan anak-anak mulai lebih percaya diri untuk bertanya dan bicara. Dion memposisikan dirinya sebagai kakak bagi anak-anak panti agar mereka bisa dekat. Sungguh hati Dion sudah terpaut kepada anak-anak itu.
Dion tidak menceritakan tentang kegiatan barunya kepada Davina. Dion merasa tidak mengganggu jadwal kerja mereka berdua, jadi buat apa Davina tahu. Tidak semua hal Davina harus tahu walaupun hubungan mereka dekat, bahkan sebenarnya teman dekat Dion hanya Davina.
Dari dulu Dion tidak pernah menjalin hubungan pertemanan yang akrab dengan seseorang baik laki-laki maupun perempuan. Dion memiliki teman tapi hanya sekedar teman saling bertukar sapa. Menurut Dion itu sudah cukup.
"Bang, nanti aku diajari cara menghitung pecahan ya? Aku masih bingung menghitungnya." Ragil menyambut Dion di depan pintu sambil membawa buku cetak matematika. Rupanya Ragil sudah menanti Dion sejak tadi. Dion tersenyum, mengusap puncak kepala Ragil sambil mengangguk.
"Bang, nanti aku mau nyanyi lagu kupu-kupu." Cindy datang menyongsong lalu melingkarkan tangannya di kaki Dion yang panjang.
"Cindy belajar lagu kupu-kupu di mana?" Dion menundukkan kepala, melihat Cindy.
"Di sekolah, Cindy ikut paduan suara di sekolah belajar lagu kupu-kupu." Cindy yang bertubuh mungil melepaskan pelukannya lalu mulai menggerak-gerakkan lengannya seperti kupu-kupu yang sedang terbang. "Tidak kah sayapmu, merasa lelah..." Cindy menyanyi tubuhnya berputar-putar mengelilingi ruangan.
***
Sudah lebih dari dua jam Dion berada di panti. Mengajar, menyanyi dan sesekali bercengkrama dengan anak-anak membuat Dion lupa waktu. Kalau bukan diingatkan oleh Ragil, mungkin Dion masih berada di situ ngobrol dan tertawa dengan anak-anak.
Mendengar celoteh bocah yang masih polos membuat Dion betah berlama-lama mendengarkan, bahkan sering kali tertawa dan menggelengkan kepala karena takjub dengan pemikiran anak-anak itu.
"Bang, ini sudah waktunya kami belajar bahasa Inggris sama Kak Tri." Ragil berkata. Itu tandanya Dion harus segera menyudahi waktu mengajarnya dan berpamitan.
Tri adalah nama yang sering disebut anak-anak, dan Dion belum pernah sekali pun bertemu dengan Kak Tri. Mereka memiliki jam mengajar yang berbeda. Ada rasa penasaran untuk bertemu dengan Kak Tri yang sering diceritakan anak-anak sebagai "kakak permen" karena setiap mengajar selalu membagikan permen untuk anak-anak.
Tidak terduga, kali ini akhirnya Dion bertemu dengan Kak Tri. Dion tahu karena anak-anak seumur Cindy berlari menyongsong kedatangan Kak Tri sambil meneriakkan namanya. Bahkan ada yang berteriak dengan memanggil, "Kak permen datang!"
Dion melihat perempuan itu berjalan cepat bahkan nyaris setengah berlari menyambut anak-anak yang berlari mendekatinya. Kak Tri menghentikan langkah, setengah berjongkok lalu memeluk beberapa anak yang mendekat.
Dion berdiri terpaku, melihat pemandangan yang entah mengapa membuatnya terharu.
Perempuan itu seumuran dengannya. Penampilannya sederhana, rambutnya diikat satu dan wajah tanpa make up. Perempuan itu melihat Dion yang sedari tadi berdiri terpaku melihatnya. Tersenyum lebar lalu berjalan mendekat. "Dion, ya?" Perempuan itu masih tersenyum, "kenalkan namaku Tri!" katanya sambil mengulurkan tangan.
Dion menyambut uluran tangan Tri. "Aku sering mendengar namamu," katanya lagi.
"Aku juga sering mendengar namamu, tapi baru kali ini melihat kamu." Dion tersenyum ramah. Entah mengapa Dion bisa merasa akrab dengan Tri.
"Aku pulang dulu, ada pekerjaan yang menunggu. Aku juga tidak enak kalau harus menggangu waktu jatah mengajar mu hanya karena ngobrol denganku." Dion mencoba berseloroh.
"Aku tidak masalah, tapi anak-anak ini yang akan protes." Tri tertawa. Dion melambaikan tangan tanda undur diri.
***
Ponselnya berbunyi, "Aku tunggu di warung pecel depan kampus!" Begitu bunyi voice note dari Davina.
Dari tadi malam Davina sudah ribut bercerita soal Thalita yang akan dikenalkannya pada Dion.
"Pulang kuliah aku kenalin kamu sama Thalita, ya. Sediakan waktu, jangan kabur!"
"Kalau aku kabur?" Dion bertanya menggoda.
"Aku bakalan ngambek nggak mau ngomong sama kamu sebulan." Davina mengancam. Tidak ada niatan bagi Dion untuk kabur, dia hanya sekadar menggoda Davina. Dion tidak akan membuat Davina malu di depan temannya dengan tidak menepati janji. Kalau seandainya nanti teman Davina tidak menarik, Dion akan mencari seribu satu alasan untuk tidak bertemu lagi. Lalu akan menguliahi Davina untuk berhenti menjodohkannya dengan teman-temannya.
Dion melihat Davina duduk membelakangi pintu, di samping Davina duduk seorang perempuan memakai baju berwarna kuning muda. Mereka sedang berbincang. Mungkin perempuan itu yang bernama Thalita. Dion memandangi punggung Davina dan temannya, dia mendekat dan bersiap menerima segala kemungkinan. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika Davina dan temannya membalikkan badan, melihat ke arahnya. Davina tersenyum, melambaikan tangan memanggil Dion sedangkan Dion hanya bisa berdiri terpaku. Dion tidak menyangka bertemu perempuan itu di warung pecel.