"Tri?" Dion menunjuk Thalita, bertanya memastikan.
Thalita tersenyum manis, "Iya, aku Tri alias Thalita." Lalu dia mengulurkan tangan, "namaku Thalita Triyanti, teman-teman lebih mengenalku dengan Thalita. Anak-anak itu lebih suka memanggil namaku Tri, karena lebih mudah," katanya menjelaskan. Senyumnya masih merekah. Dion mengangguk, akhirnya mengerti mengapa Thalita adalah Tri.
"Kalian sudah saling mengenal?" Davina menunjuk Thalita dan Dion, ekspresinya keheranan.
Thalita mengangguk, "Baru beberapa waktu yang lalu, masih dalam hitungan jam."
"Trus anak-anak itu siapa?" Davina menuntut penjelasan, dia tidak rela kalau ada sesuatu yang tidak dia ketahui tentang mereka berdua. Apalagi ini menyangkut Dion.
Davina merasa hubungan pertemanan mereka sudah sangat dekat. Ternyata banyak hal yang tidak dia ketahui tentang Dion.
"Oh itu..." Thalita ragu-ragu untuk meneruskan, tatapan matanya diarahkan kepada Dion seolah meminta persetujuan, apakah dia boleh bercerita. Thalita merasa Dion belum menceritakan tentang kegiatannya mengajar di panti.
Sekian detik yang ada hanya diam, Dion tidak menyambut pertanyaan Davina untuk menjelaskan semuanya. Thalita semakin ragu untuk bicara.
"Aku sekarang mengajar di panti, sebagai relawan. Thalita juga ternyata mengajar di situ. Kami kemarin bertemu tanpa sengaja." Akhirnya Dion memberikan penjelasan, dia tidak mungkin lagi menyimpan cerita itu dari Davina.
"Kok selama ini kamu nggak pernah cerita?" Davina protes, wajahnya cemberut.
"Aku merasa nggak perlu menceritakannya padamu." Dion menatap lurus mata Davina. Sebagai teman yang sudah sangat mengenal ekspresi Dion, Davina mengerti itu adalah isyarat untuk Davina tidak boleh bertanya lagi. Semuanya sudah selesai.
Thalita merasa serba salah, dia tidak terlalu mengenal Davina dan Dion. Seperti ada ketegangan diantara mereka berdua. Thalita berdehem untuk mencairkan suasana.
"Emm, dari satu bulan yang lalu aku sering melihat kamu lewat taman kampus. Aku minta tolong Davina untuk mengenalkan aku ke kamu." Thalita memberanikan diri bicara.
Sebenarnya dia malu untuk menceritakan pada Dion secara terang-terangan, bahwa dia tertarik dengan Dion. Namun, saat ini hal itu adalah yang paling memungkinkan untuk dikatakan demi mencairkan keadaan yang terasa menegangkan di warung pecel yang sempit ini. Udara yang panas jadi semakin terasa panas.
Dion hanya tersenyum simpul, dia sudah terbiasa dengan kisah perempuan-perempuan yang tertarik padanya. Thalita menunggu reaksi Dion atau apa pun yang keluar dari mulut laki-laki ini. Hanya senyum singkat yang dia dapatkan.
Oh, malunya aku... andaikan aku tahu kalau ternyata laki-laki ini pelit bicara, mungkin aku lebih baik diam.
"Dion memang orangnya begitu, Lita. Pelit bicara!"
"Kemarin waktu ketemu di panti nggak kok," sanggahnya.
"Dion itu ramah dan baik tapi yang keluar dari mulutnya cuma satu dua kata. Kalau kemarin dia beda, mungkin pas kemasukan jin baik. Ya 'kan?" Davina menunjuk Dion dengan garpu yang berada di tangannya.
"Kalau ketemu kamu, jin baiknya suka males datang." Dion menjawab tak mau kalah.
"Jin nya takut kalah kharisma sama aku...tau nggak!"
Dion mengangguk, "Terserah kamu lah Vin, asalkan kamu bahagia." Dion menjawab datar. Dia malas bersahut-sahutan dengan Davina, lebih baik mengalah saja. Davina tertawa bahagia, merasa memenangkan satu babak pertempuran.
***
"Len, nanti malam kamu ke kantor Mama. Ada yang mau Mama bicarakan." Suara mama terdengar tegas di ujung sana. Seperti biasa isi telepon mama lebih sering adalah perintah. Helene tidak perlu menjawab.
Malam ini Helene berada di sini, duduk di sudut sambil terkantuk-kantuk. Mamanya yang gila kerja sedang menerima tamu. Helene tidak tahu siapa tamu yang berada di ruangan mama, seingat Helene sudah hampir dua jam dia menunggu dan tamu itu sudah sedari tadi berada di ruangan mama sebelum kedatangannya.
Helene sudah nyaris undur diri, dia ingin beristirahat di apartemennya. Baru saja dia mengetik pesan di ponsel untuk pamit, terdengar suara orang bercakap-cakap di dekat pintu ruangan mama. Dua orang laki-laki dan mama muncul, pandangan mereka ke arah Helene yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala sambil tersenyum. Dia memberi salam. Helene mengenal salah satu tamu mama.
"Apa kabar Len?" Om Anggoro datang mendekat, menepuk punggung Helene. Om Anggoro adalah teman akrab orang tuanya. Beberapa kali Om Anggoro datang ke rumah.
"Baik Om, sehat." Helene menjawab singkat, dia ingin menyudahi basa-basi ini. Tapi sepertinya Om Anggoro masih ingin berlama-lama berbicara dengan Helene.
"Masih bekerja di perusahaan makanan?" Helene mengangguk.
"Kenapa kamu tidak bekerja di perusahaan mama kamu, bantu-bantu lah di sini." Om Anggoro melirik mamanya. Helene mulai merasa sebal. Andaikan dia tahu harus ada pembicaraan seperti ini, lebih baik dia tidak datang meskipun harus menanggung resiko mendengar amukan mama.
"Duh, kamu kayak tidak tahu anak muda jaman sekarang. Mana bisa diatur kayak jaman kita dulu. Anak muda jaman sekarang punya keinginannya sendiri. Saya sudah capek bicara sama anak keras kepala ini. Tapi dia tidak mau dengar." Mama seperti menumpahkan semua unek-uneknya kepada Om Anggoro.
"Saya belum merasa mampu Om, masih harus banyak belajar." Helene menjawab kalem.
"Ah, kamu itu terlalu merendah. Perempuan sepintar kamu pasti cepat beradaptasi lah." Om Anggoro tertawa, matanya menyipit kalau tertawa.
Helene memilih untuk diam, sepertinya semakin dijawab akan semakin panjang pembicaraan basa-basa ini.
Rupanya Om Anggoro mengerti bahwa Helene ingin menyudahi pembicaraan.
"Wah, Om sudah membuat kamu menunggu lama ya...Om pulang dulu." Om Anggoro pamit. Helene bisa bernapas lega.
***
"Mama membutuhkan bantuan kamu untuk acara yang akan mama selenggarakan di panti asuhan. Mama dan teman-teman mama ingin menyumbang ke panti asuhan. Nanti detailnya kamu bisa tanya ke sekertaris mama."
"Ma, akhir-akhir ini aku sangat sibuk dengan pekerjaanku. Mama kan punya banyak karyawan yang bisa mama suruh untuk menangani acara kayak gini. Teman-teman Mama pasti juga punya banyak kenalan yang bisa ngurusin." Helene menegakkan duduknya, dia bersiap untuk beradu argumen dengan mama.
Apa-apaan sih segala urusan seperti ini diserahkan kepadanya.
"Len, ini Mama dan teman-teman arisan yang punya acara. Nggak ada hubungannya sama perusahaan. Mama sudah bilang ke teman-teman kalau kamu bisa."
Helene memberanikan diri melawan, dia nggak suka cara mama yang langsung mengambil keputusan tanpa bertanya padanya.
"Harusnya Mama tanya dulu ke aku. Mama kan bisa pakai Event Organizer, mereka lebih profesional bikin acara kayak gini." Helene tetap menolak. Mama menatapnya tajam, tidak suka dibantah.
"Mama nggak mau tahu bagaimana caranya, kamu harus ikut bantu! Berapapun biayanya akan mama berikan." Mama membalikkan badan lalu keluar dari ruangan. Tinggal lah Helene yang duduk termangu di ruangan mama. Hatinya merasa sakit, dia tidak suka cara mama memperlakukan dirinya seperti ini.