Ninit merenggangkan tubuh, mungkin dengan begini bisa sedikit mengurangi kelelahan setelah berjibaku dengan tugas training karyawan baru. Berawal dari hitungan dua minggu untuk merekrut karyawan baru berubah menjadi satu bulan. Ninit bersorak dalam hati, dia merasa bahagia dua hari lagi bisa kembali ke Jakarta. Ninit ke luar dari ruangan yang dibuat menjadi kelas untuk training, dia mencari Helene. Tadi malam gadis itu resah karena harus kembali ke Jakarta.
***
"Udah cukup jalan-jalannya, aku ingin pulang. Kangen rumah." Ninit menyenggol bahu Helene yang sedang menopang dagu, dari tadi Helene hanya memandangi lontong tahu gimbal di piring, pandangannya menerawang.
"Tapi aku belum mau pulang. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan kota ini. Aku malas pulang ke apartemenku yang sepi dan aku malas bertemu Mama." Helene mengakhiri kalimatnya dengan tarikan napas.
"Kamu nggak bosen bareng aku terus selama satu bulan?"
"Nggak! Seneng aja kalau pulang bisa ketemu kamu. Dari dulu aku selalu pulang bertemu dengan rumah yang sepi. Aku menikmati satu bulan yang menyenangkan bersama kamu." Helene tersenyum lebar, ternyata kehadiran Ninit membawa kebahagiaan untuknya.
"Padahal aku sudah bosan setengah mati bareng kamu terus selama satu bulan ini. Tidur ketemu kamu, kerja ketemu kamu, di mana pun ketemu kamu lagi. Bosen banget!" Ninit mencibir, tampangnya dibuat judes.
"Sialan!" Helene memukul bahu Ninit lalu tertawa tergelak, "aku kira bakal mendapatkan jawaban yang super duper melow...teman macam apa sih kamu!" Helene menjawil lengan Ninit, yang dijawil hanya tertawa, "Makan tahu gimbalmu... dari tadi cuma dianggurin, biasanya udah habis dua kali suapan. Sekali suap sesekop." Ninit memperagakan mulut Helene yang terbuka lebar setiap memasukkan suapan tahu gimbal.
"Dasar ya kamu itu! Aku nggak sebar-bar itu, lho! Kamu kira mulutku mesin molen yang dimasukkan adukan semen sampai harus pakai sekop!" Helene cemberut. Memang malam ini Helene tidak terlalu gembira karena memikirkan harus pulang ke Jakarta.
***
Ninit menemukan Helene sedang merapikan modul, ruang kelasnya sudah kosong. Ini memang jam istirahat, Ninit mau mengajak Helene makan soto ayam khas Semarang yang berkuah bening. Disiang yang mendung, soto ayam menjadi menu yang sangat pas.
Tumpukan modul yang tinggi dibagi menjadi dua tumpukan, lalu Helene terus melihat tumpukan yang berada di sebelah kiri.
"Kenapa?" Ninit bertanya sambil menunjuk ke arah tumpukan yang di sebelah kiri.
"Masih banyak yang harus disampaikan. Bicara berjam-jam sangat melelahkan."
"Ya sudah dipikirkan nanti, sekarang makan dulu. aku udah lapar. Makan soto ayam trus minum teh anget, sedapnya." Ninit menepuk perutnya.
Mangkok soto kedua sudah tandas, Helene mengangkat tangannya dan memesan mangkok ketiga. Ninit berdecak kagum dengan nafsu makan Helene juga daya tampung perutnya. Ninit nyaris membuka suara menanyakan, sebenarnya perut atau baskom makanya bisa muat banyak.
"Soto Semarang ini porsinya sedikit. Lihat dong mangkoknya aja kecil begini!" Helene berkilah, mengangkat mangkok sotonya.
"Pokoknya kalau berat badanmu bertambah, jangan salahkan aku, ya!" Ninit menunjuk perut Helene. Helene cuma terkekeh, dia tidak peduli dengan berat badannya. Tidak peduli dengan perutnya yang sedikit membuncit dan tak peduli dengan olok-olok dari Ninit. Hanya sebentar lagi dia bisa menikmati kota ini dan makanannya. Dua hari lagi dia harus pulang, berkutat dengan kemacetan dan pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya. Dia akan pulang untuk bertemu dengan kesepian, sesuatu yang sudah dicumbuinya dari dulu hingga terkadang Helene merasa muak. Ada saat Helene membutuhkan sepi namun, dia lebih merindukan keramaian.
Begitu mangkok soto ketiga datang, Helene menghirup perpaduan aroma bawang goreng dan kuah soto.Hmm, wangi. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Helene menandaskan mangkok soto ketiga, lalu dia tersenyum bahagia. Kalau dengan makan saja sudah bisa membuatnya bahagia, Helene merasa tidak membutuhkan yang lain. Siang ini dia yakin bisa menyelesaikan tumpukan modul pelatihannya.
***
"Dia belum pulang?" Davina bertanya sambil mengambil tempat berhadapan dengan Dion.
"Besok dia pulang." Dion menjawab cepat, Dion tahu Davina menanyakan soal Helene. Akhir-akhir ini Helene adalah topik pembicaraan yang sangat disukai Davina. Padahal cerita tentang perempuan itu hanya sebatas beberapa kali pertemuan mereka. Dion juga bukan laki- laki yang suka menceritakan isi pembicaraan telepon atau tentang pesan-pesannya kepada Helene. Davina selalu saja antusias menanyakan soal Helene.
Kemarin Dion bertanya lagi kapan Helene akan pulang ke Jakarta. Helene memastikan tanggal kepulangannya. Selama ini beberapa kali Dion bertanya, Helene hanya menjawab dengan kalimat tunggu saja.
"Sebelum ini target kami hanya dua minggu lalu ternyata harus molor hingga satu bulan. Aku tidak bisa berjanji padamu." Itu alasan yang dikemukakan Helene pada Dion. Dari telepon atau isi pesannya Helene pasti tahu kalau Dion merindukan Helene walaupun Dion tidak pernah menyatakannya secara langsung. Helene harusnya tahu kalau Dion mempunyai perasaan suka padanya. Tak sabar rasanya menunggu besok, untuk bertemu perempuan itu.
***
Koper dan satu kardus kecil berisi oleh-oleh sudah masuk bagasi. Helene dan Ninit hanya membawa tas tangan berjalan menuju ruang tunggu. Dari tadi senyum tidak lepas dari mereka berdua. Tadi malam mereka sibuk berburu oleh-oleh di jalan Pandanaran. Titipan dari beberapa teman, si bos dan saudara Ninit. Helene tidak memiliki saudara yang akan diberi oleh-oleh, tidak juga mama. Belum tentu mama akan dengan sukacita menerima pemberiannya.
Helene mengingat Dion. Ya, Dion beberapa kali bertanya tentang kepulangannya. Baru kali ini Helene dirindukan seseorang. Mama tak pernah merindukannya, bahkan tak pernah menanyakan kabarnya. Telepon dari mama lebih sering berisi instruksi. Helene sudah berhenti berharap suatu saat mama akan memperlakukannya berbeda. Seharusnya dari dulu memang Helene tidak perlu berharap apa-apa.
Melihat Ninit dengan kalap membeli oleh-oleh dan terlihat bahagia, Helene pun ikut membeli satu besek besar wingko untuk teman kantornya. Beberapa kotak moaci yang diberi taburan wijen, enting-enting kacang, dan terakhir Helene membeli lumpia untuk Dion.
Dion... sampai saat ini perasaan Helene pada laki-laki itu hanya sebatas ketertarikan biasa. Dia suka ketika Dion mencurahkan perhatian untuknya. Helene melambung ketika Dion menunjukkan ketertarikannya. Dia tersenyum membayangkan wajah tampan Dion ketika menatapnya. Namun bukan cinta, Helene belum yakin kalau dia jatuh cinta. Helene tidak merindukan Dion seperti laki-laki itu merindukannya. Helene tidak pernah berinisiatif untuk lebih dulu menelepon Dion atau mengirim pesan sekadar bertanya kabar Dion. Bahkan Helene tidak mengingat laki-laki itu ketika dia disibukkan dengan pekerjaan. Ketika Helene dan Ninit asyik menjelajahi kota, tak pernah sedikit pun Dion hadir dalam benaknya. Entahlah, dia belum bisa mendefinisikan perasaannya.
Hari ini Helene akan kembali, tetapi dia belum yakin untuk menemui Dion nanti malam. Helene tidak pernah menjanjikan apa pun pada Dion.