Ia teringat dahulu, di mana ia masih bebas sebagai anak kecil yang tak tau apa-apa. Berlarian ke sana kemari dengan membawa perasaan bahagia yang membuncah
Tapi semua itu mulai memburuk saat kondisi kakeknya yang mulai menunjukkan kejanggalan sampai akhirnya mereka semua harus menginap di rumah sakit secara bergantian. Tubuhnya yang semakin memburuk akhirnya malah tidak bisa menahan lagi dan kakeknya wafat setelah satu minggu berada di rumah sakit
Di dalam duka yang menyelimuti keluarganya, pamannya yang tak berguna itu malah meminta agar rumah kakek dijual dan segera membagi harta warisan. Di saat semua orang menangisi kepergian orang tua itu, pamannya yang tak berguna malah terus menelepon rentenir dan mengatakan bahwa ia akan segera membayar seluruh hutangnya.
Ayahnya membenci pamannya, begitupula dengan Jun kecil. Meskipun ia harusnya berada pada usia yang tidak peka pada sekitarnya. Jun tau betul apa yang sedang terjadi
Semua ini pasti gara-gara paman. Hanya itu yang tertanam pada otak Jun
Puncaknya setelah satu bulan kematian kakeknya. Ayah Jun masih tidak ingin menjual rumah itu. Bagaimanapun juga, nenek masih hidup. Ialah yang akan mengurusi soal harta warisan, dan pembagian itu hanya akan terjadi kalau nenek sudah tiada
Nenek sendiri tidak pernah mempermasalahkan hal seperti warisan. Ia sendiri sudah tidak ingin hidup setelah kepergian kakek
Tapi ayah Jun tetap kukuh tidak akan menjualnya
Karena berada di ujung tanduk. Malam itu, Paman memanggil seluruh keluarga ke ruang tamu. Ayah sudah menduga apa yang akan terjadi
Suara paman meninggi, matanya memerah. “Karena kau lebih tua, apa kau kira semua warisan itu akan jatuh untukmu?!
Ayah yang sudah tak tahan pun ikut menimpali, “Bagaimana bisa kau memikirkan tentang uang di saat kita baru kehilangan ayah sendiri?!
Paman menarik kerah ayah, mengangkatnya tinggi-tinggi. “Diam! Aku membutuhkan uang itu untuk membayar utang-utangku. Kau kira aku se-kaya dirimu?
“Katakan padaku, ke mana uang yang selama ini selalu kuberikan untukmu?!” wajah ayah Jun mengeras. Rahangnya seolah menahan agar urat-urat tidak keluar
“Kau tidak perlu tau! Sialan!” pamannya langsugn melempar tubuh ayah Jun ke bawah. Karena gelap mata, ia mengambil sebuah Vas bunga di dekat sana, mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia sudah tidak mengancam, tapi benar-benar akan melemparkannya
Nenek yang sudah tak tahan segera bangkit, ia langsung memeluk ayah Jun dan melindunginya dari serangan bengis paman Jun itu
Sebagai hukumannya, Nenek Jun pun pingsan. Vas bunga itu mengenai tepat ke kepalanya. Darah merah mengucur dengan deras. Malam itu, pelukan hangat antara ayahnya dengan nenek malah berubah menjadi malapetaka
Ibu yang sudah panik segera mengangkat telepon rumah dan menelepon 119. Paman yang melihat kejadian itu hanya bisa meringkuk tak percaya. Ia menjauhkan vas bunga yang sudah hancur berkeping-keping menjauh. Belahan vas bunga menusuk menancap ke tangannya. Kedua tangan paman juga mengeluarkan darah yang banyak.
Sekali lagi, mereka berada di rumah sakit. Jun membenci bau rumah sakit karena ia pernah kehilangan kakeknya. Kali ini pun kemungkinan besar ia akan kehilangan neneknya.
Di depan ruang operasi, semua orang berkumpul. Ayahnya terus berjalan ke sana kemari, kakinya terus bergerak tidak sabar. Sedangkan ibu Jun hanya bisa menangis. Istri paman acuh tak acuh duduk di dekat mereka sedang menidurkan anaknya. Paman sedang dirawat di unit gawat darurat karena darah yang keluar tak henti-hentinya
Bangku di seberang mereka juga di duduki keluarga lainnya. Dua orang yang seumuran dengan orang tua Jun dengan anak kecil bermata hitam duduk di sana
Saat pertama kali para dokter menyeret kasur ke ruangan operasi, kedua orang itu mendekati orang tua Jun. Mereka saling berbicara, sekali-kali orang itu menepuk punggung ayah Jun, berusaha menenangkannya
Tak berselang beberapa lama, perempuan yang agak tua tadi kembali dan membawakan kopi serta minuman ringan lainnya di dalam plastik. Ia sepertinya berlari ke supermarket di depan rumah sakit karena terlihat keringat yang terus bercucuran dari wajahnya
Seorang lelaki yang nampaknya suaminya itu langsung mengambil kopi dan menghampiri ayah Jun. Lagi-lagi mereka berbicara dengan ekspresi wajah penuh kekhawatiran
Anak perempuan mereka malah tertidur di antara kursi karena kelelahan. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Jun tak merasa rasa kantuk menyerangnya, walaupun matanya memerah dan ia terus-terusan menguap. Tapi ia tak bisa memaksa dirinya untuk tidur
“Tenang saja, bibi pasti akan baik-baik saja.” Kata lelaki itu
“Benar, kau harus tidur sekarang.” Istri lelaki itu menimpalinya
“Sial...” Ayah Jun meneteskan air matanya
“Kami akan menjaga di sini,
“Tidak bisa, aku tidak bisa pergi begitu saja.” Ayah Jun mengusap air matanya, ia berpura-pura tegar.
Menit demi menit terus berputar, jam berdentang keras menyusup dalam kesunyian.
Salah satu dokter keluar dari ruang operasi. keringat membasahi tubuhnya
Semua orang yang berada di ruang tunggu operasi segera berdiri. Salah satu keluarga menanti keberhasilan operasi, yang lainnya menanti keputusan hidup dan mati seseorang
Dokter itu menganggukkan kepalanya kepada lelaki lain yang sedari tadi berusaha menenangkan ayah Jun. Lelaki itu segera membangunkan anak perempuannya, menggerakkan tubuh kecil itu perlahan
Lalu menggendongnya dengan sekali angkat. Anak kecil itu terbangun, mengusap-usap matanya karena cahaya terang dari balik ruang operasi terlalu menyakiti mata
Anak kecil itu terus melihat ke arah Jun, ia tersenyum ceria
Saat itu, Jun yang masih kecil belum mengerti apa arti dari degup-an jantungnya yang kencang. Senyuman itu seperti memiliki sengatan listrik. Kemudian anak kecil itu melambaikan tangannya dan berkata lirih seolah menyemangati. Tak lama berselang, tubuhnya kembali lunglai, dan ia tertidur di pelukan ayahnya
Ketika mereka semua hampir tertidur, dokter yang satunya keluar dan memberikan berita buruk yang sudah mereka duga. Kalau sudah begini, maka rumah itu akan jatuh ke tangan pamannya karena nenek sudah tiada
Padahal kakek Jun baru saya berpulang, tak berselang lama, mereka harus mengalami lagi perasaan duka.
Di pemakaman pun, ayah Jun sudah tidak bisa menangis, sedangkan ibunya sibuk menerima tamu dan meluruskan tentang kesalapahaman tentang paman yang mendorong nenek. Semua orang tau apa yang terjadi.
Jun benci mengenakan pakaian hitam, ia benci dengan bau dupa yang dinyalakan setiap menit, ia juga benci bau bunga yang terus-teruskan menguar dari papan nama neneknya.
Ia juga sudah tidak bisa menangis, Jun bersimpuh seharian di dekat papan nama neneknya. Ia terus membantu para pelayat yang akan menghidupkan dupa.
Tapi ada hal lain yang membuatnya terkejut, anak kecil itu lagi-lagi datang dengan seluruh anggota keluarganya. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan rambutnya diikat satu.
Jun langsung merunduk, Anak kecil itu hanya berada di dekatnya saat kedua orang tuanya menyalakan dupa. Lalu saat ketiganya beranjak pergi. Ayah dari anak kecil itu mengusap kepala Jun sembari tersenyum dengan mata penuh kesedihan.
Anak kecil itu berdiri di depan Jun sekarang, ia menatap Jun lurus.
“Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja.” Anak kecil itu langsung melingkarkan tangannya ke leher Jun dan terus berusaha menepuk-nepuk punggung Jun dengan tangan kecilnya
Mendapatkan perhatian yang seperti itu membuat Jun tak bisa lagi menahan tangisannya. Ia menahan sekencang mungkin dipelukan anak itu. Air matanya terus jatuh membasahi rambut anak kecil yang enggan melepaskannya.
Untuk pertama kalinya, ia merasa lega karena menangis tapi juga malu karena tangisannya yang kencang membuat semua pelayat memandanginya.
--
Paman enggan berbicara dengan ayah setelah semua kejadian yang terjadi. Ayah diam-diam menyuruh ibu untuk mengemas seluruh barang sebelum senja. Pada malam harinya, pertemuan keluarga lagi-lagi dilakukan. Ayah mengeluarkan amplop cokelat yang dalamnya berisi berkas rumah serta tanah dengan nama kakek.
Ayah tak berkata apapun, Paman juga tidak menahan ayah pergi. Paman yang sudah merasa senang segera mengambil surat itu lalu menyimpannya baik-baik. Ia akan segera menjual rumah setelah keluarga Jun pindah keluar
Malam harinya, Ayah jun segera memijak pedal gas mobil dan tidak pernah kembali lagi ke rumah itu. Awalnya mereka akan tinggal di sekitar sana, hingga ayahnya memutuskan untuk mengawali karir barunya di luar negeri
Semuanya berjalan dengan baik, tapi tidak ada lagi telepon dari pamannya. Tidak ada yang tau apa jadinya rumah itu. Terakhir mereka mendapat kabar bahwa pembelinya adalah dua orang paruh baya yang membelinya dengan harga murah
Rumah itu sulit terjual karena kejadian yang sudah terjadi pada neneknya menyebar luas. Semua orang tau bahwa paman adalah seorang pembunuh sekarang. Paman pun menghilang setelah mendapatkan uang yang tidak seberapa dan tak pernah lagi terlihat.
Setelah Jun dewasa, rasa rindu terus menjadi-jadi. Ia mulai memasuki dunia pemimpi sadar, dan secara sadar terus-terusan memimpikan rumah lamanya itu. Bagaimana kesenangan, kehangatan serta kedekatan keluarga harusnya terjalin, kini bagaikan debu yang hilang karena tiupan angin.
Jun memutuskan untuk kembali dan membuka proyek baru, perluasan perusahaan ayahnya. Mendapatkan kesempatan itu, malah membuat Jun sering berkunjung ke rumah lamanya secara diam-diam. Ia juga mengumpulkan informasi pemilik rumah yang sekarang masih menempatinya. Dan mendapati anak kecil itu sudah dewasa.