Untuk diriku yang pernah rapuh,
Tak apa jika mencoba untuk sedikit angkuh.
Belajar dari hal lalu tentu perlu,
Agar mampu berdiri kokoh, dan terus melangkah maju.
(Jogjakarta, 28 Maret 2014)
Apa yang masih dia kejar di usia dua puluh delapan tahun? Sebuah pertanyaan yang sangat sering Tesalonika Dahayu Ivory dengar, tetapi kini dia sama sekali tak berminat untuk menjawabnya.
Ada yang salah, jika dia masih ingin berkeliling Indonesia atau bahkan seluruh dunia? Ada yang salah, jika dia masih ingin melanjutkan pendidikannya? Atau memang salah, jika seusianya masih melepas penat dengan menonton konser penyanyi favoritnya?
Ayu, begitu orang-orang memanggilnya, sangat membenci stereotip yang sudah telanjur mengakar dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti wanita yang seharusnya menikah di usia seperempat abad, dan memiliki anak setelahnya. Entah berapa ratus pertanyaan yang sudah dia dengar juga, perkara kapan dia menikah, atau kenapa sampai sekarang belum terlihat membawa pasangan.
Ayu memang mendambakan pernikahan, tetapi dia tidak mau terjebak pada orang yang salah. Pengalaman sekitar juga apa yang dia rasakan waktu kecil, selalu membuatnya waspada. Ayu memang dilahirkan dari pasangan yang saling mencintai, tetapi tidak dengan keluarga dari pihak Ayahnya yang terus menentang keberadaan Ibunya. Hal itu membuatnya sangat selektif memilih pasangan, dan mungkin berlangsung hingga sekarang.
Ayu ingat betul, jika Daisy--sahabat terbaiknya selalu berkomentar setiap dia dekat dengan seorang pria, tetapi pada akhirnya tidak pernah berhasil. Sahabatnya itu telah menambahkan gelar Sp. G dibelakang namanya yang berarti spesialis ghosting.
Ngomong-ngomong tentang sahabatnya, tiga bulan yang lalu, sahabatnya itu telah melabuhkan hatinya. Daisy menerima lamaran Samuel Kaivan, penyiar radio yang merupakan selebgram dan juga pembisnis yang dikenalnya dari kencan buta. Saat itu, sebagai sahabat setia, tentu Ayu ikut menemani sahabatnya, dia bahkan juga harus mengikuti kencan konyol yang disusun Daisy. Namun, sebagaimana kencan itu ada karena Daisy, maka hanya Daisy juga yang berhasil. Sedangkan Sonya, sahabat yang Daisy temukan saat kuliah, berakhir sama seperti dirinya. Hilang jejak, atau lebih tepatnya Ayu yang menghilang, karena sekalipun terlibat obrolan seru, hatinya sama sekali tidak beranjak.
"Tesa, Sayangku! Akhirnya datang juga! Aduh, senang banget, kamu bisa menyempatkan waktu buat aku!"
Ayu balas memeluk Daisy erat, begitu dirinya bertemu dengan gadis itu di butik yang telah dijanjikan. Tesa adalah panggilan kesayangan dari Daisy untuk Ayu.
"Aku ikut senang, akhirnya perjuangan kamu dan Mas Kaivan membuahkan hasil! Nggak kebayang nanti resepsi kamu bakal ramai artis, dong! Sonya bakal nyanyi juga, kan?"
Daisy mengangguk antusias. "Dia lagi syuting buat film, tapi demi aku katanya dia bisa. Senang banget aku, punya sahabat kayak kalian! Kalau ingat konyol juga, kamu yang niatnya cuma liburan dari Jogja ke Jakarta, aku kerjain buat ikutan kencan itu. Sonya yang mau latihan opera juga sampai harus keburu-buru gara-gara ide kencan rombongan yang aku buat!"
Ayu menggeleng tak habis pikir mengingat kepingan memori yang Daisy maksud. Saat itu, dia memang berlibur ke Jakarta dengan tujuan menonton konser. Tetapi, begitu sampai di Jakarta, Daisy sudah menodongnya untuk mengikuti kencan buta yang dibuat gadis itu.
"Tapi... kira-kira teman Mas Kaivan yang waktu itu ikut kencan, bakalan ada nggak?"
Ayu mendadak mengingat kemungkinan yang akan terjadi. Dan sangat anti baginya, bertemu seseorang yang pernah dekat, atau berniat mendekati dirinya.
"Kemungkinan sih, ada karena semua yang Mas Kaivan ajak waktu itu sohibnya juga. Tapi, itu sudah hampir tujuh tahun, dan kalau nggak salah, Mas Kaivan pernah cerita, salah satu yang dia ajak sekarang sudah menikah, kayaknya namanya Rangga."
Ayu mengembuskan napas lega. Namun ternyata tidak selega itu, ketika Daisy kembali berucap.
"Sa, aku sangat mengenal kamu, dan kamu adalah sahabat pertamaku. Aku tahu kamu selalu menghindari orang-orang yang membuat kamu nggak nyaman, termasuk... Masku."
Ayu memejamkan mata, dan ia tahu jika Daisy sangat berhati-hati ketika berbicara.
"Aku nggak tahu, ini berita baik atau buruk untuk kamu. Tetapi, aku harap, apa yang aku bilang nggak mengubah keputusanmu untuk selalu ada dalam tiap langkah persiapan pernikahanku, bahkan sampai acara di tempat Mas Kaivan nanti."
Ayu merasa ada yang mengganjal di hatinya.
"Mas Ndaru pindah tugas di Jogja, dan dia berhasil mendapatkan cuti panjang selama perisapan pernikahanku. Mungkin kamu akan sering bertemu dengan dia."
Jantung Ayu berdegup cepat ketika Daisy menyebut nama kakaknya. Nama itu yang dulu membuat jantung Ayu berdegup kencang seperti ini, awalnya menyenangkan. Namun, berakhir menyakitkan, seperti yang dia rasakan sekarang. Ayu tahu, cepat atau lambat dia akan bertemu pria itu lagi.
Cinta pertamanya.
"Mas Ndaru belum menikah. Dan dia bersedia aku langkahi." ucap Daisy lagi.
Kalimat itu berhasil membuat Ayu terkejut. Debar itu semakin dia rasakan, namun tidak terasa nyaman.
"Aku harap, kalian bisa bekerja sama dengan baik, karena aku sangat membutuhkan bantuan kalian. Mungkin, aku sangat egois ke kamu ya, Sa? Tetapi... jika Mas Ndaru menjelaskan ke kamu, dan ternyata ada salah paham, apa kamu akan kasih kesempatan ke dia?"
Ayu membuang muka, tak sanggup melihat wajah Daisy yang penuh harap.
"Dai... aku akan selalu membantu kamu. Kamu sahabatku, ini sudah menjadi resiko dari apa yang terjadi sebelumnya. Lalu, untuk kesempatan... kesempatan apa yang harus diberikan setelah sepuluh tahun berlalu? Sepertinya aku sudah lupa."
Bohong, Ayu tidak lupa. Ayu mengingat tiap kata yang laki-laki itu ucapkan. Hingga pada akhirnya, Ayu tersadar, jika cinta pertamanya tidak akan berhasil.
Harus Ayu akui, jika Daisy adalah sahabat yang baik, setelah mengetahui perasan Ayu untuk kakaknya, tidak ada perubahan sikap dari Daisy, bahkan ketika Ayu menangis untuk pria itu, Daisy sama sekali tidak membela Kakaknya, malahan Daisy ikut menangis karena ketakutan, persahabatan mereka akan berakhir. Setelah hari itu, Ayu tak sekalipun melihat Ndaru, pria itu seolah lenyap tanpa kabar, karena Daisy tak sekalipun membahasnya. Dan Ayu tahu, kemungkinan dia akan kembali bertemu Ndaru akan kembali terjadi, cepat atau lambat. Sepuluh tahun memang lama, tetapi dia tidak menyangka jika saat ini akan tiba.
"Kamu benar nggak pa-pa? Nanti, Mas Ndaru akan kusuruh jauh-jauh dari kamu." Nada Daisy terdengar tidak yakin.
Mungkin, sudah saatnya Ayu bersikap lebih dewasa, bahkan di usianya yang hampir kepala tiga. Tidak selamanya dia terus menghindar, kan? Lagi pula, kenapa dia harus menghindar? Dia tidak lagi burik, dia memiliki sebuah apotek yang menjadi bisnisnya, selain itu dia sedang merintis sebagai influencer kesehatan. Lukisannya juga beberapa kali ikut dalam beberapa pameran. Dia juga mengajar sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Dia bukan wanita lemah yang tidak tahu tujuan hidupnya.
Ayu mengangguk, meyakinkan sahabatnya yang langsung memeluknya erat.
"Sekarang, kamu coba gaun dan kebayanya dulu, ya?"
Daisy masih harus menyempurnakan gaun yang dia gunakan untuk pemberkatan, sehingga harus meninggalkan Ayu sendiri. Tak lama setelahnya, salah satu petugas memanggil nama, dan memberikan dua pasang baju yang harus dia coba.
"Nanti, setelah dicoba, bisa keluar dulu ya, Kak. Biar bisa kami lihat dimana letak yang masih kurang."
Ayu mengangguk mengerti. Dia memilih mencoba gaun berwarna biru pastel yang akan dikenakan saat pemberkatan lebih dulu. Gaun itu bermodel sabrina, meski begitu masih terlihat sopan, karena Ayu sendiri tidak suka gaun dengan belahan dada rendah. Selain itu, Ayu merasa gaunnya sedikit longgar. Sedangkan panjangnya menjuntai, menutupi sepatu flat shoes yang dia kenakan. Gadis itu keluar ruang fitting dengan hati-hati karena takut tersungkur.
Benar saja, meskipun Ayu sudah menarik gaunnya sebatas mata kaki, ternyata bagian belakang gaun itu tak terjangkau oleh tangannya.
"Mbak, gaunnya sedikit kepanja--"
Ayu nyaris tergelincir jika saja seseorang tidak menahan pinggangnya tepat waktu.
"--ngan."
Nafas Ayu tertahan, ketika menyadari dia menghirup aroma khas dari laki-laki. Menyadari jika dia terlalu dekat dengan orang asing, langsung menjauhkan dirinya, sekalipun dia nyaris tergelincir lagi.
"Hati-hati."
Ayu menoleh, ketika mendengar suara baritone yang familiar tetapi tidak begitu dia ingat. Gadis itu terkesiap dan langsung menjauhkan diri begitu seorang pria dengan garis wajah yang dulu begitu dia hapal berada tepat di sampingnya. Pria itu bahkan berjongkok, membetulkan letak gaunnya agar dia mudah berjalan.
Ayu masih terpaku, takut jika praduganya benar. Sepuluh tahun, tak banyak yang berubah dari pria itu, selain wajahnya yang bersih dan rahang yang semakin tegas. Badannya juga semakin bidang dan berisi. Gaya rambut pria itu masih sama seperti terakhir kali Ayu melihatnya.
"Tesalonika Dahayu Ivory, ya?"
Ayu hanya mengangguk kaku, mendadak semakin ragu, apakah pria dihadapannya memang pria yang dia maksud atau bukan, karena dia sangsi jika pria yang dia maksud mampu mengingat namanya dengan baik setelah sepuluh tahun berlalu.
Hey! Bahkan dia yakin jika pria itu--kakak dari sahabatnya, tidak mengetahui nama panjangnya!
Sekarang, Ayu benar-benar bingung ketika pria itu memanggil salah satu pegawai dan membawanya kehadapannya.
"Maaf, kak. Tadi saya tinggal sebentar. Ada yang masih tidak nyaman?"
Ayu menanggapi dengan cepat, "Ah, gaunnya sedikit kebesaran. Juga, sepertinya ini terlalu panjang."
Dengan cekatan, pegawai wanita itu langsung mendekati Ayu, dan kembali mengukur. "Sepertinya, berat kakak turun, ya? Apa mungkin, kena sindrom sahabat yang mau menikah, jadi ikut kepikiran juga."
Ayu tersenyum kecil, "Kerjaan saya lagi banyak, Mbak. Mungkin karena itu juga. Tapi, bersyukur juga sih, artinya saya nggak perlu diet."
"Panjangnya mau dikurangi seberapa, Kak? Segini, atau naik lagi?"
Ayu merasa, lebih baik jika panjang gaunnya di atas mata kaki. Namun, suara lain lebih dahulu menginterupsinya.
"Bagus segitu, kamu pasti pakai heels. Jadi kependekan dan nggak cocok nanti."
Ayu mengerutkan kening. Tiba-tiba memasang aura permusuhan. Namun, pegawai wanita itu lebih setuju usulan pria di hadapannya.
"Benar kata pacarnya, Kak. Dengan model seperti ini memang bagusnya pakai heels. Panjangnya juga pas, Kak. Kalau masih sulit jalan, bisa gandeng pacarnya."
Melihat pria di hadapannya menyeringai, Ayu mendengkus, "Terserah Mbaknya aja, saya mau coba kebayanya. Tolong abaikan dia, saya bahkan nggak mengenalnya."
Ayu kembali memasuki kamar pas, dan mencoba kebayanya. Resepsi Daisy memang menggunakan adat jawa, sehingga dia kebagian bertugas sebagai pager ayu. Beruntungnya kebaya yang dia kenakan terasa pas meskipun harus memperkecil di bagian pinggang supaya melekat pas dengan tubuhnya. Tidak ingin membuang banyak waktu, Ayu langsung mencari pegawai perempuan yang membantunya tadi. Mengabaikan sepasang mata yang terus memperhatikannya.
"Baik, Kak. Nanti kami sesuaikan ukuran di bagian pinggangnya ya."
"Cantik, kok. Nggak kelihatan longgar. Harus dikecilin juga?"
Kenapa Ayu rasanya sangat malas meladeni pria ini, ya? Beruntungnya, pegawai wanita tadi cukup tanggap, sehingga Ayu tak perlu repot-repot menjawab.
"Masnya ini loh! Namanya perempuan ya pengin penampilannya sempurna ya, Kak. Nah, namanya pakai kebaya itu bagus kalau yang pas di badan, Mas."
Meskipun jawaban itu tidak terlalu memuaskan, setidaknya Ayu bisa kembali ke ruang pas dan kembali mengganti bajunya. Yang Ayu pikirkan sekarang adalah pergi dari tempat ini secepatnya. Apalagi Daisy tak terlihat batang hidungnya. Lagi pula, kenapa pria itu bisa bersikap begitu santai, seolah mereka mengenal dengan sangat baik?
Ayu segera mengambil tasnya, lalu langsung menyerahkan kebaya yang tadi dia coba pada pegawai wanita tadi. Tak peduli jika pria tadi segera bangkit dari duduknya, dan berjalan ke arahnya.
"Sudah mau pulang?"
Ayu tak menjawab, namun pria itu terus mengikutinya.
"Padahal, saya mau minta pendapat kamu. Sebentar lagi jas sama beskap saya datang, loh."
Ayu mengerutkan keningnya, pura-pura berpikir. "Memang kita saling kenal?"
Pria itu tak gentar, "Coba kamu pandang wajah saya dengan seksama. Bukankah wajah ini yang kamu kagumi dulu?"
Tepat, prasangka Ayu memang tepat. Tetapi, Ayu cukup terkejut karena sepuluh tahun mampu merubah seseorang menjadi sangat menyebalkan.
Pria itu memang Timotius Ravendra Dewandaru. Sosok yang sebenarnya tidak ingin Ayu temui lagi seumur hidupnya.
"Saya nggak ingat."
Ndaru berdiri tepat di hadapan Ayu. Menatap Ayu lekat-lekat.
"Kamu yakin? Padahal saya begitu mengingat kamu."
Sudah cukup. Ayu telah belajar banyak dari masa lalu, sepertinya tak apa jika sekarang dia bersikap sedikit angkuh. Apalagi, untuk pria yang pernah melukai hatinya.
"Saya cukup mudah melupakan orang-orang yang tidak penting dalam hidup saya."
Gadis itu bergeser, berjalan tanpa ragu, tanpa menoleh sedikitpun pada Ndaru yang masih terpaku.
Bersambung...