Semalaman Tyaz tidak bisa tidur karena terlalu khawatir dengan keadaan Myth, dia gadis baik yang mudah sakit—Myth sering meminta Tyaz untuk membelikan tisu dan obat setiap kali dia flu.
Keesokan harinya, saat mentari belum benar-benar bersinar terang Tyaz sudah berada di depan kamar Myth, mengetuk pintu pelan, takut bila menganggu yang lain, bisa-bisa Tyaz kena semburan karena pagi-pagi sudah membuat kerusuhan.
“Myth ... ini aku, Tyaz,” ucap Tyaz sembari mengetuk pintu kamar Myth.
“Masuklah, pintunya tidak dikunci,” sahut Myth dari dalam, suaranya terdengar lemah dan pelan.
Tyaz mendorong pelan pintu. Melangkahkan kaki masuk, lantas menutup kembali pintu kamar Myth.
Myth berbaring di kasurnya, selimut tebal berwarna merah menyelimuti tubuhnya, wajahnya tampak lelah, di dahinya ada sebuah kompres yang telah mengering.
Tyaz mengambil kompres di dahi Myth, memeriksa sebentar suhu tubuh Myth, masih panas. Tyaz membasahi kompres dengan air yang berada di nakas, dia memeras kain itu lantas menaruh kembali kompres di dahi Myth.
“Kau masih sakit, Myth?” tanya Tyaz pelan.
“Tidak terlalu sakit, tadi kakak datang membawakan obat,” jawab Myth.
“Kak Harro tadi datang? Kapan?” Tyaz duduk di kursi setelah Myth mempersilahkannya, lebih tepatnya memaksa Tyaz untuk duduk.
Myth mengangguk kecil. “Dia tadi datang pukul empat, dia membawa obat entah dari mana.”
“Sebenarnya aku penasaran dengan kakakmu, Myth,” ujar Tyaz.
“Kenapa?”
“Itu ... asap hitam yang menyelimuti kakakmu, juga ... dia mendapatkan kekuatan dari mana hingga bisa membuatmu melayang?” Tyaz mengerutkan kening.
“Apa karena wanita berambut biru yang bersamanya malam itu?” tanya Tyaz lagi.
Myth menggeleng. “Aku tidak tahu, Tyaz, Kak Harro memiliki banyak rahasia, dan dia tidak pernah menceritakan rahasia itu walau sama orang tuaku.”
“Jadi kakakmu memiliki kekuatan itu sejak kecil?” Tyaz melototkan matanya.
Myth menggeleng lagi. “Aku tidak bisa menyebut itu kekuatan. Tapi ... tunggu dulu, kau tadi tahu dari mana kalau Kak Harro bertemu dengan wanita berambut biru itu? Padahal aku tidak pernah menceritakan tentang wanita itu kepadamu.”
Tyaz mengatupkan mulutnya, terdiam, kenapa dia bisa seceroboh itu. Kalau Tyaz hanya mengatakan kalau dia sekadar menebak, pasti Myth langsung tahu kalau Tyaz berbohong. Gadis kecil itu sepertinya punya detektor kebohongan di tubuhnya, Myth selalu tahu kalau Tyaz sedang berbohong.
“Aku hanya merasa ... cerita Kak Harro mirip dengan cerita seseorang, dia juga memiliki kekuatan seperi itu, dan pernah ada wanita yang menemuinya, namun wanita itu tidak membawanya terbang, dia juga tidak menyakiti saudaranya, karena ... dia tidak punya saudara,” jawab Tyaz.
“Ah, begitu.” Myth mengangguk kecil.
Myth berusaha untuk duduk, Tyaz segera membantu Myth. Tyaz mengambilkan air minum untuk Myth.
Terkadang Tyaz berpikir, bagaimana bisa dia dan Myth diberi kamar sendiri-sendiri, padahal anak-anak lainnya menggunakan kamar untuk berdua atau bertiga. Karena hal sepele itulah tak sedikit teman Tyaz yang iri padanya karena dia punya kamar sendiri—padahal kamar itu tidak sebagus kamar Tyaz yang dulu di rumahnya.
“Kak Harro sebenarnya sangat menyanyangiku, hanya saja dia tidak mau menunjukkannya, apalagi di hadapan orang lain,” ucap Myth.
“Meski begitu hati-hati, katamu Kak Harro bisa tidak terkendali. Aku takut kau akan terluka.” Tyaz memandang Myth.
“Kalau aku terluka, selalu ada Tyaz yang akan menolongku, kan?” tanya Myth, lantas tersenyum tipis.
Tyaz mengangguk dan membalas dengan senyum lebar.
Tyaz tidak sengaja melihat sebuah buku di kasur Myth, dia mengambil buku itu membaca judulnya, sekadar memenuhi rasa penasarannya. “Black and White. Buku siapa ini?”
“Buku kakakku, dia mungkin ketiduran saat membaca buku itu, lalu dia tidak sengaja meninggalkan bukunya di sini,” jawab Myth.
Tyaz membuka sembarang halaman, di sana tertera judul bab yang bertuliskan Black Pearl. Tyaz tidak berniat membacanya, jadi ia melanjutkan membuka sembarang halaman. Tyaz tidak sengaja membuka bab dua yang berjudul White Pearl. Dia membaca sekilas.
“Jika Black Pearl lahir, pastilah White Pearl juga ada. Jika kejahatan lahir, kebaikan pasti akan terlahir juga .... Ei, apa maksudnya ini?” Tyaz menggelengkan kepala.
“Hei, Myth, apa kau tahu Pearl itu apa? Yang kutahu hanya hitam dan putih, lalu Pearl sendiri itu apa? Aku tidak terlalu pandai bahasa Inggris.” Tyaz nyengir sembari menggaruk belakang kepala.
Tyaz sejenak teringat saat pelajaran bahasa Inggris di kelas, dia selalu mengabaikan pelajaran itu, baginya, untuk apa belajar bahasa orang lain kalau dia punya bahasa sendiri? Tapi karena prinsip itu dia jadi kesusahan sekarang.
“Pearl itu mutiara, memangnya kenapa?” tanya Myth.
“Bukan apa-apa. Kita mungkin akan kesusahan saat kelas enam nanti, lihat saja pelajaran Kak Harro sudah membahas masalah mutiara.” Tyaz mengembalikan buku itu ke Myth.
“Apa saat SMP nanti kita akan membahas kenapa bumi bulat? Kenapa manusia diciptakan? Kenapa langit biru? Kenapa ada malam dan siang? Menyusahkan saja.”
“Yah mungkin saja, bahkan kita saja kesusahan saat guru tanya kenapa terjadi hujan, dan sekelas tidak ada yang bisa menjawab,” sahut Myth.
Tyaz tertawa. “Padahal jawabannya mudah saat guru menjelaskannya, kenapa tidak ada yang tahu?”
Myth ikut tertawa, dia menggelengkan kepala.
Melihat senyum Myth, mengingatkan Tyaz akan kejadian kemarin di ruang kesehatan saat Myth tidak sengaja diserang Harro. Saat itu Myth mengatakan bahwa dia tidak melihat Tessa di sana, padahal Tessa jelas-jelas duduk di kursi.
Setelah keluar dari ruang kesehatan. Tyaz tidak bisa menahan rasa ingin tahunya tentang kenapa Myth tidak bisa melihat Tessa.
“Apa Myth yang rabun sehingga tidak bisa melihatmu, atau kalian sudah merencanakan ini sebelumnya untuk membuatku kebingungan?” tanya Tyaz saat itu.
Tessa mengedikkan bahu. “Itu bukan suatu hal yang perlu dibicarakan, Tyaz.”
“Kenapa tidak perlu? Itu suatu hal penting, Tessa. Apa kau benar-benar seperti dugaanku sebelumnya? Kau hantu. Seperti yang kulihat di TV, ada hantu yang menyamar jadi manusia dan mengikuti seseorang untuk diajaknya mati bersama,” ujar Tyaz.
Tessa sesaat merasa hatinya tertohok, namun dia cepat menutupinya dengan senyum. “Tidak ada hantu yang seperti itu, memangnya acara TV apa yang kaulihat?”
Tyaz menggeleng. “Aku lupa judulnya. Tapi film itu ceritanya menyenangkan, kau harus melihatnya, tayang setiap hari jam delapan malam. Kau harus melihatnya, Tessa.”
Tessa mengangguk, tersenyum tipis karena dia bisa mengalihkan pembicaraan. Namun tidak secepat itu, Tyaz lebih dulu menyadarinya.
“Aku sampai lupa pertanyaanku karena membahas film itu.” Tyaz menepuk kepalanya. “Bagaimana Myth tidak bisa melihatmu?”
“Jawabannya simpel, karena temanmu itu bukan ‘orang terpilih’ yang bisa melihatku. Hanya orang terpilih yang bisa melihatku, termasuk kau salah satunya, Tyaz Gamma,” jawab Tessa sembari menekankan
Orang terpilih? Mahluk apa itu? batin Tyaz.
***
Tyaz yang kini menginjak umur empat belas tahun tidak lagi terlalu percaya dongeng yang diceritakan Ibu Panti.
Sudah menjadi peraturan tidak tertulis di panti, bahwa setiap malam Ibu Panti akan menceritakan sebuah dongeng—begitulah Tyaz menyebut cerita omong kosong Ibu Panti—dengan anak-anak lainnya yang kini duduk selonjoran di lantai.
Tyaz tidak membenci Ibu Panti karena dongengnya, memang menyenangkan bagi dirinya saat kecil dulu. Namun itu dulu, sekarang Tyaz lebih sedikit mengerti dan lebih sedikit dewasa. Jadi dia tidak akan percaya begitu saja.
Bukan tanpa alasan Tyaz mengatakan cerita Ibu Panti sebagai omong kosong. Dia sudah membuktikannya. Waktu itu Ibu Panti pernah bercerita tentang penyihir dan dunia lain, saat Tyaz bertanya apakah mereka ada, Ibu Panti menjawab mereka ada dan menjadi bagian dari kehidupan di sini.
Tyaz bersikukuh bahwa penyihir dan dunia lain itu tidak ada, tetapi Ibu Panti hanya tersenyum dan mengatakan pada Tyaz, “Mereka ada Tyaz, kau tidak perlu mencarinya. Suatu saat kau akan mengetahui kebenarannya dan kau akan percaya semua cerita yang kuceritakan padamu tidak bohong.”
Bahkan sampai sekarang pun Tyaz tidak bisa menemukan kebenaran itu. Memangnya, bagi manusia tolak ukur suatu saat itu berapa lama?
“Berhentilah berekspresi seperti itu, Tyaz. Kautahu? Orang yang memperhatikanmu akan merasa kesal karena wajah menyebalkanmu itu,” bisik Myth.
“Aku sebenarnya bosan mendengar ceritanya, lebih baik aku pura-pura tidur saja daripada mendengar ceritanya yang katanya sebagai pengantar tidur, tapi malah buatku tidak bisa tidur karena harus memikirkan bagaimana itu dan ini ada,” ucap Tyaz dengan suara kecil agar tidak terdengar oleh Ibu Panti.
“Kau sama seperti Kak Harro, dia selalu berpura-pura tertidur agar tidak mendengarkan cerita Ibu Panti. Kurasa Kak Harro di umurnya yang ke enam belas tahun itu tidak pernah sekalipun mendengar cerita Ibu Panti. Dia hebat, ‘kan?” Myth menaik-turunkan alisnya, membangga-banggakan kakaknya.
“Dia tidak terlalu hebat, aku hanya bertanya-tanya, bagaimana dia bisa melakukan itu? Berpura-pura?” tanya Tyaz.
Dia pandai berpura-pura ya? batin Tyaz.
Myth menggeleng, dia fokus kembali ke cerita Ibu Panti seolah-olah dia belajar bahasa baru oleh mentor dengan sertifikasi terbaik. Myth sangat menyukai belajar bahasa asing, dia bercita-cita ingin menjadi penerjemah sekaligus tour guide. Katanya dua pekerjaan itu banyak keuntungannya, dia bisa keliling dunia tanpa membayar, malahan dia yang dibayar.
Tyaz menghadap ke depan, di mana Ibu Panti sedang duduk di kursi. Wanita yang berumur setengah abad itu bercerita penuh dengan semangat, mungkin cita-citanya saat kecil dia ingin menjadi pendongeng alih-alih pengasuh sebuah panti asuhan.
“Apa kalian tahu kenapa Ibu melarang kalian bermain di hutan Hidup itu?” tanya Ibu Panti.
“Sudah sampai mana ceritanya? Kenapa tiba-tiba membahas hutan Hidup itu,” gumam Tyaz.
Tyaz pernah mendengar tentang hutan itu, hutan Hidup adalah hutan yang paling dekat dengan panti, Tyaz tidak tahu berapa jaraknya dari panti, karena dia tidak pernah mengukurnya. Tyaz pernah sekali datang ke hutan itu bersama orang tuanya dulu.
“Hutan itu tempat bersarangnya pembunuh, banyak yang tidak kembali setelah datang ke hutan Hidup, dan di sana banyak yang berkelakuan aneh, seperti ada sesuatu yang mempengaruhi orang yang datang ke hutan Hidup. Bisa saja kalau ada orang ke sana dibunuh pembunuh atau bunuh diri karena dipengaruhi sesuatu itu,” ujar Ibu Panti.
“Oh ya? Bukannya sesuatu yang membuat orang-orang itu tidak pernah kembali, tapi karena jalan ke hutan itu rumit dan banyak semak belukar. Tapi aku pernah sekali ke sana dan buktinya aku bisa kembali, ‘kan?” gumam Tyaz seakan menantang Ibu Panti.
“Benarkah? Kau pernah ke hutan Hidup?” Myth tiba-tiba menyahut.
“Kau mendengar gumamanku?” Myth mengangguk. “Aku dulu pernah ke sana dengan orang tuaku saat kecil.”
Tyaz menyungingkan senyuman. “Cerita itu pasti bohong juga, cerita itu hanya untuk menakuti anak-anak agar tidak ke hutan itu.”
“Ada apa dengan senyum dan gumamanmu itu, Tyaz. Jangan berpikir macam-macam,” ucap Myth dengan nada mengintrogasi.
“Tidak, aku tidak berpikir macam-macam. Aku hanya ingin membuktikan kalau cerita Ibu Panti kali ini hanya omong kosong, tidak ada hutan yang seperti itu.”
“Jangan bilang kau akan ke hutan itu meskipun Ibu Panti melarangnya?” Myth asal menebak.
“Terkadang aku berpikir, apakah temanku yang satu ini bisa membaca pikiranku? Kau selalu tahu jawabannya.” Tyaz tersenyum tipis lantas mengacak pelan rambut Myth.