Sekitar pukul dua siang tiba-tiba Tessa mendatangi Tyaz. Hal itu membuat Tyaz terkejut, pasalnya, setelah kejadian empat tahun lalu saat Tyaz bertanya kenapa Myth tidak bisa melihat Tessa, dia tidak pernah lagi menemui pemuda itu. Tyaz pikir Tessa marah karena dia memaksa Tessa untuk menjawab pertanyaannya.
Jujur saja, Tyaz ... sedikit merindukan gadis berambut hazel itu.
Entah perasaan Tyaz saja atau memang dia melihat raut wajah Tessa yang menampakkan wajah sedih, sepertinya dia memiliki masalah, mungkin saja hatinya sedang gundah gulana. Seperti saat Tyaz disuruh memilih antara makan dan menonton TV—yang mana kedua hal itu sangat Tyaz sukai—bukankah itu pilihan yang sulit?
“Kenapa kau menemuiku dengan wajah murungmu yang jelek itu, Tessa?” Tyaz mencoba bergurau.
Tessa hanya menoleh sekilas, mengumamkan kata yang tidak bisa Tyaz dengar jelas. Tessa menelusuri pandangannya di sekeliling taman panti, mungkin saja dia menemukan sesuatu yang bisa dia pukuli agar hatinya merasa sedikit lega.
Tessa mengusap wajahnya gusar, dia harus bagaimana? Kenapa dia berada dalam keadaan pelik ini?
Tyaz menghela napas, sepertinya Tessa benar-benar memiliki masalah yang serius. “Apa kau memiliki masalah, Tessa? Ceritakanlah masalahmu, aku akan membantumu menyelesaikannya.”
Tyaz mencoba tersenyum.
Kau lah masalahku, Tyaz, batin Tessa.
Tessa memandang Tyaz yang tersenyum, Tessa berani bersumpah kalau melihat Tyaz tersenyum seperti ini, ia terlihat sangat manis. Mungkin orang-orang tidak akan percaya jika Tyaz yang terkadang nakal dengan muka garang itu orang sama dengan Tyaz yang kini tersenyum. Benar-benar berbeda, seperti malaikat dan iblis.
“Hentikan senyum konyolmu itu, bodoh!” Tiba-tiba Tessa berseru, membuat Tyaz terkekeh kecil.
“Kau semakin lucu jika marah, Tessa. Aku suka.” Tyaz mengacak pelan rambut hazel Tessa. “Apa kau sedang bermasalah? Ceritakanlah, aku siap membantumu, bahkan jika kau meminta nyawaku, akan kuberikan.”
“Berhenti membuat kata-kata seperti itu? Siapa yang mengajarkanmu? Tidak ada orang yang mau merelakan nyawanya demi orang lain, hanya orang konyol yang melakukannya.”
“Dan akulah orang konyol itu,” jawab Tyaz.
Tyaz tidak pernah diajarkan siapapun tentang kata-kata itu, dia hanya belajar dari apa yang dilihatnya di film, bukankah itu kata-kata heroik yang biasa diucapkan seorang pahlawan?
Tessa memalingkan wajahnya dan bergumam, “Berhentilah membuat anak orang sekarat dengan ucapanmu.”
Tessa menghela napas, lantas menoleh ke arah Tyaz. “Aku sedang memikirkan sesuatu, dan itulah sumber masalahku sekarang.”
Tyaz menatap Tessa, menunggu perkataan Tessa selanjutnya tanpa niat untuk memotong perkataannya.
“Bagaimana jika kau telah mencuri sesuatu, dan sebagai hukumannya, kau harus merelakan salah satu anggota tubuhmu untuk dipotong, dan orang itu menyuruhmu memilih, antara tangan atau kaki. Bukankah kedua anggota tubuh itu sangat penting? Lalu kau akan merelakan yang mana?”
Tyaz tercekat beberapa saat, tampak berpikir.
“Kau bertanya tentang hukum mencuri di Arab Saudi? Kalau ada yang mencuri maka dipotong tangannya? Yang itu?” Tyaz memastikan.
Tyaz sedikit ingat pelajaran yang diberikan guru tentang hukum-hukum yang diberlakukan di negara-negara lain ketika seseorang mencuri, kalau tidak salah seingat Tyaz hukum mencuri di Arab Saudi dipotong tangan atau kakinya.
Tessa mengangguk menjawab pertanyaan Tyaz, walau dia sendiri tidak tahu tentang hukum negeri Arab Saudi itu bagaimana. Tessa hanya sekadar mengangguk agar Tyaz segera menjawab pertanyaanya.
“Ini bukan jawaban yang terbaik yah, ini hanya pendapatku,” ucap Tyaz. “Kalau aku ada di posisi itu, aku akan memilih mengikuti kata hatiku. Dan kata hatiku mengatakan aku harus merelakan tanganku. Bayangkan saja jika aku merelakan kakiku sedangkan kaki ini dipakai untuk menghidupi keluargaku, dan bukankah jika aku kehilangan kaki maka aku akan semakin menyusahkan keluargaku? Walau kenyataanya aku sebatang kara.
“Dan jika aku merelakan tanganku, menurutku itu tidak masalah. Aku bukannya ingin mengatakan bahwa tangan tidak berguna, bukan. Jika aku merelakan tanganku, masih ada tangan yang lain ‘kan? Jika kakiku hanya satu, mana bisa aku berdiri. Tetapi jika tanganku satu, aku masih bisa berdiri ‘kan?” Tyaz mengakhiri argumennya.
Tessa termenung sejenak, lantas berujar, “Kesimpulannya, kau memilih anggota tubuh yang lebih penting, bukan?”
Tyaz mengangguk, lantas tersenyum tipis. “Apa kau mendapat tugas dari gurumu tentang hukum mencuri di Arab Saudi?”
Tessa mengangguk.
“Berarti kau memilih anggota tubuh yang lebih penting, tangan?” tanya Tessa lagi untuk memastikan.
Tyaz mengangguk. “Kenapa dibahas lagi? Apa kau tidak merindukanku setelah empat tahun menghilang? Ingat ini, Tessa, kau punya hutang untuk menjelaskan ke mana saja kau menghilang selama empat tahun ini.”
“Aku tidak ke mana-mana, aku hanya pindah rumah ke kota sebelah, aku ke sini hanya beberapa hari lalu kembali.”
Tessa menundukkan kepala, dia merasa bersalah karena berbicara dusta pada Tyaz. Tapi dia bisa apa? Tessa tidak bisa sembarangan mengatakan kebenarannya, kalau tidak dia bisa dibunuh seseorang karena salah bicara.
Tessa sekali lagi mengingat jawaban Tyaz tadi, memilih tangan untuk direlakan daripada kaki, intinya Tyaz lebih memilih sesuatu yang lebih banyak manfaatnya dan menyingkirkan yang tidak ada gunanya.
Bagaimana jika engkau adalah tanganku, dan ‘dia’ adalah kakiku? Haruskah aku merelakanmu pergi, Tyaz Gamma? batin Tessa, memandang Tyaz yang sibuk bercerita tentang Ibu Panti yang mendongeng penuh dengan omong kosong.
***
Tessa terdiam sebentar, menatap langit yang menyemburatkan warna jingga, membuat Tyaz yang sedang asik berceloteh menoleh ke arahnya, karena merasa tidak diindahkan.
“Kenapa?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Tyaz.
“Sudah senja ya?” tanya Tessa. “Apa kau menyukai senja, Tuan Gamma?” lanjutnya kemudian.
Tyaz terkekeh mendengar panggilan khas itu, lantas menjawab, “Aku tidak suka senja. Karena senja hanya datang sesaat, walaupun indah, tetapi kemudian membuat hariku gelap.”
Tessa termenung beberapa saat. Tidak suka senja, ya?
“Baiklah kalau begitu, aku harus pulang sekarang, kalau tidak ibuku akan memarahiku,” ucap Tessa tepat saat senja undur diri dan membuat langit gelap.
Tyaz tersenyum, walau terkesan memaksakan. Kukira hanya senja yang pamit, ternyata kamu juga.
“Kenapa terburu-buru?” Pertanyaan yang selalu Tessa dengar setiap kali dia berpamitan pulang pada pemuda bersurai kelabu itu.
“Karena aku ingin menemani senja pergi, agar dia tidak sendirian,” jawaban absurd itu keluar begitu saja dari bibir kecil Tessa yang sebenarnya ia maksudkan untuk mencibir Tyaz.
“Sial! Kenapa kau selalu mengerti apa yang aku pikirkan, huh? Apa kau seorang penyihir, Nona Tessa? Atau, seorang cenayang?” ujar Tyaz, mencoba sedikit bergurau.
Tessa tertawa demi mendengar ucapan Tyaz. “Kalau yang kaukatakan benar, bagaimana?”
“Ya, kau benar seorang penyihir. Kau telah menyihirku hingga aku tak bisa melupakan wajahmu walau sedetik. Selalu membekas dalam ingatanku.” Tyaz terkekeh sendiri, menyadari kalimatnya yang bisa dibilang terlalu ... dramatis.
“Apa itu sebuah pujian? Terima kasih.” Tessa menyimpulkan sendiri.
“Sama-sama,” jawaban polos keluar dari bibir Tyaz membuat Tessa menggeram gemas, rasanya ingin sekali mencubit pipi Tyaz—walaupun Tyaz bukan anak kecil lagi.
Bagaimana mungkin aku bisa menghianatimu? Tessa memandang Tyaz yang tersenyum. Membuatnya merasa serba salah, dia tidak akan pernah bisa melupakan senyum manis itu. Dan jika senyum itu hilang untuk selamanya, bagaimana dia bisa melanjutkan hidupnya?
“Baiklah, Tyaz, hentikan senyummu itu. Aku benar-benar serius, aku ingin pulang. Aku ingin meminta maaf padanya karena tidak bisa memenuhi permintaannya,” ujar Tessa serius.
Tyaz merasa ada yang ganjil dengan kalimat Tessa. Entah mengapa dia mendefisinikan kata ‘pulang’ yang diucapkan Tessa bukan sekadar kembali ke rumah. Tetapi, arti sebenarnya pulang itu. Benar-benar pulang.
“Biarkan aku mengantarmu. Ini hampir malam, tidak baik bagi seorang gadis berjalan sendirian malam-malam, nanti banyak yang menggodamu.” Tyaz bersikeras.
Tessa menghela napas, saat dirinya berusaha melindungi orang yang disayanginya, kenapa takdir seakan menolaknya mentah-mentah?
“Baiklah kalau itu keinginanmu. Tapi sebelum itu, aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu, mungkin bukan berita yang menyenangkan untuk didengar.” Tessa menghentikan ucapannya sebentar, mengambil napas dalam.
“Rumahku melewati hutan yang diceritakan Ibu Panti padamu kemarin, banyak pembunuh bersarang di hutan itu. Hutan Hidup. Kuharap ... kau mengubah keputusanmu.” Tessa mengakhiri ucapannya.
Tyaz menggeleng tegas, menyeringai. Dia tetap dengan keinginannya.
“Aku juga ingin ke sana, aku ingin membuktikan kalau cerita Ibu Panti benar-benar dongeng omong kosong.”
***
“Apa kau yakin? Padahal aku bisa pulang sendiri.” Untuk kesekian kalinya, Tessa mengucapkan kata itu saat mereka sudah berada di depan gerbang panti.
“Ayolah, Tessa. Aku hanya mengantarkanmu pulang. Jangan memandangku seolah-olah malaikat maut menantiku di sana.” Tyaz tersenyum.
Terkadang Tessa berpikir, apa Tyaz tidak merasa lelah dengan terus-terusan mengangkat sudut bibirnya?
Tessa tidak menjawab, hanya memandang dengan ekspresi datar. Dan bagaimana jika yang kaukatakan ... benar?
“Baiklah, ayo pergi sekarang.”
“Tyaz! Kau mau ke mana!?” Seruan itu terdengar dari pintu masuk panti yang berjarak dua meter dari gerbang panti.
“Eh? Hai, Myth. Aku akan mengantar Tessa pulang,” jawab Tyaz singkat.
Myth berjalan mendekati gerbang panti. “Mengantar? Di mana rumahnya?”
Myth memperhatikan Tyaz dari ujung kepala hingga kaki. Apa ada yang salah dengan anak itu? Mungkin dia tidak senjaga tertelan biji semangka. Jelas-jelas Myth tidak melihat siapapun di samping Tyaz kecuali kekosongan, lalu di mana gadis yang bernama Tessa itu?
“Tidak jauh, hanya perlu melewati hutan itu dan sampai.” Tyaz melangkahkan kakinya menjauh dari area panti karena Tessa buru-buru menarik Tyaz.
“Hutan itu? Jangan katakan hutan yang pernah diceritakan Ibu Panti kemarin.” Berusaha mengabaikan keanehan yang dialami Tyaz, Myth menyadari sesuatu yang lebih penting. Tyaz berada dalam bahaya.
“Good girl! Kau berhasil menebak tepat sasaran,” jawab Tyaz tanpa menolehkan kepalanya ke belakang.
“Jangan ke sana, Tyaz! Berbahaya! Kau mendengar sendiri bukan Ibu Panti pernah bercerita? Di sana berbahaya!” seru Myth kalang kabut, dia berlari berusaha mengejar Tyaz.
Tyaz melampaikan tangannya, menoleh sebentar memberi kode, Aku akan baik-baik saja. Lalu tersenyum.
Myth terdiam di tempat, seperti membeku. Pelupuk mata Myth dipenuhi air mata, dan dengan sedikit kedipan halus, air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.
“Bukankah aku sudah mengatakannya padamu, Tyaz. Hutan itu sangat berbahaya, bukan sekadar pembunuh yang berada di sana, tapi gerombolan psychopath. Jika kau nekat, kau bisa saja tidak selamat,” Myth bergumam lirih.
Dia menyalahkan gadis yang bernama Tessa itu, karena dialah penyebab semua ini—walau Myth tidak pernah tahu siapa gadis itu. Menurut cerita yang dikatakan Tyaz, Myth menyimpulkam bahwa Tyaz menjadi nakal setelah kedatangan gadis itu.
Myth tidak sadar ada tetesan kebencian di hatinya, walau kecil, tetapi bagaikan tinta yang dicampur dengan segelas susu. Mengotori hati yang bersih. Di saat itu pula, Myth kembali memandang punggung Tyaz yang tampak semakin menjauh.
Myth mengerjapkan matanya berkali-kali. Apa dia tidak salah lihat?
Dia melihat seorang gadis berambut hazel sebahu dengan rambut yang tergerai bebas ... di sebelah Tyaz. Mereka menuju hutan itu. Berlari kecil bersama, lebih tepatnya gadis itu yang menarik tangan Tyaz untuk bergegas.
“Apa dia yang bernama ... Tessa?” gumam Myth, membuat Tessa menoleh kepadanya. Dari jauh, Myth melihat gadis bermata hijau itu mengedipkan sebelah matanya kepada Myth lantas menyeringai.
Seperti susu yang ternoda tinta tadi terbuang dan digantikan yang baru. Secepat itu pula rasa bencinya kepada Tyaz telah sirna. Tyaz bukan sekadar dalam bahaya, tetapi bahaya besar.
Myth mencari sosok Tyaz yang semakin jauh tidak tampak. Ia tersentak, tidak lagi menemukan keberadaan gadis beriris hijau itu. Aneh.
“Tyaz! Kau harus kembali! Ada yang lebih bahaya dari hutan itu! Dia ... gadis yang bersamamu, dia tidak lebih dari seorang iblis!” seru Myth parau, tetapi percuma, Tyaz sama sekali tidak bisa mendengar teriakan Myth, salahkan jarak, dialah penyebabnya.
Myth tidak peduli jika teriakannya menganggu seisi panti, dia juga tidak peduli jika dikenai hukuman Ibu Panti. Dia tidak memedulikan semua itu. Keselamatan Tyaz menjadi prioritasnya.
Myth berlari masuk ke panti. Yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa agar takdir berbaik hati memutar balikkan sekenario yang dibuat-Nya.