Bintang memasang telinganya kuat – kuat menguping pembicaraan Zayan dan cewek yang tiba – tiba datang menanyakan tentang pernikahan itu. begitu penasarannya dirinya dengan apa yang sedang dibicarakan kedua orang yang terlihat sangat cocok seperti pasangan itu.
Meski dia berkali – kali mencoba untuk berpikir positif kalau Zayan tidak mungkin membicarakan tentang pernikahan di usianya yang muda itu. tetap saja pada akhirnya dia sangat penasaran dengan itu. Barangkali ternyata Zayan dijodohkan dengan cewek cantik itu seperti yang di film – film atau novel – novel pada umumnya.
“Lo yang urus aja soal itu.” Suara Zayan mulai terdengar dengan jelas.
“Tapi, Zay. Gaunnya, dekornya?” Cewek itu tetap bersikeras.
Zayan menghembuskan nafasnya pelan, “Ana, gue mana ngerti begituan. Lagian namanya nikah gaun sama dekornya mau bagaimana pun, tamu undangan nggak akan peduli,” kilah Zayan.
Bintang menutup mulutnya rapat – rapat. Zayan akan benar – benar menikah? Bagaimana dengan Bintang. Dia masih tak habis pikir saja karena di usianya yang masih kelas dua SMA, Zayan sudah benar – benar menata masa depannya.
Memang benar Bintang sangat menyukai Zayan, dia juga tak berharap banyak pada akhirnya nanti dia dan Zayan hidup bersama dan bahagia. Saat ini saja, Zayan bahkan belum menyukainya dan tiba – tiba dia harus mendengar bahwa orang yang dia sukai itu membahas pernikahan dengan cewek lain.
“Tapi lo bakal datang ‘kan?” Anna masih mencoba meyakinkan.
Zayan berjalan meninggalkan Anna, “Mungkin,” jawabnya.
Bintang segera pergi dari sana ketika melihat Zayan hendak pergi dari tempat itu. sayangnya, dia kembali terjatuh seperti biasa. Membuat Zayan langsung menemukannya dalam keadaan tersungkur.
“Ce – ro – boh,” ucapnya meninggalkan Bintang tanpa menolongnya.
Bintang bangkit dan mengejar Zayan, “Itu calon istri lo ya?” tanyanya langsung tak mau menyimpan rasa penasaran terlalu lama.
Tak ada jawaban dari Zayan. Benar – benar lelah membahas tentang pernikahan itu. Siapa pun yang ingin menikah, sebenarnya Zayan tak peduli sama sekali dengan hal – hal yang Anna diskusikan dengannya. Apalagi tentang gaun, dekorasi dan juga kehadirannya di pernikahan itu.
“Lo beneran mau nikah, Zay?” Bintang masih terus mendesak Zayan.
“Menurut lo?” balas Zayan menoleh.
“Jadi benaran?!”
“Bacot, ah.”
Zayan berjalan mendahului Bintang. Dia rasa hal seperti itu tidak perlu dibicarakan dengan orang lain selain keluarganya. Padahal sebenarnya Zayan sedang butuh seseorang untuk sedikit mengeluarkan unek – uneknya ketimbang dia harus menyimpannya sendiri. Tapi bukan Bintang.
Dia terlalu ribut, berisik dan heboh. Sekarang saja, Bintang tetap mengikutinya dengan segala ocehan – ocehan yang keluar dari mulutnya itu tak ada hentinya. Semuanya ditanyakan, meski Zayan belum menjawab satu pun dari pertanyaan cewek itu.
“Jawab dong, Zay. Lo ‘kan tahu kalau gue suka sama lo. Masa ditinggal nikah begitu aja,” celutuk Bintang asal.
“Yang suruh lo suka sama gue siapa?”
“Namanya juga cinta, Zay. Gue nggak apa – apa kalau lo nggak suka balik, tapi jangan ditinggal nikah napa. Rasanya sakit nggak berdarah tuh, nyesek banget tahu!”
“Bukan gue yang nikah. Puas lo?”
Jawaban Zayan berhasil membuat Bintang terdiam dan tersenyum lebar. Bukan Zayan yang menikah, berarti mungkin cewek bernama Anna tadi sebenarnya adalah saudari Zayan yang mencoba membahas pernikahan anggota keluarga mereka. Begitu ‘kan? Berarti semuanya sudah jelas.
“Jadi, siapa yang nikah? Kakak lo? atau siapa?” Bintang tetap Bintang yang cerewet.
Zayan mengendus kesal, “Ayah gue.”
“Eh?”
“Kenapa?”
“Jadi lo bakal punya ibu tiri?”
Hanya satu anggukan kepala Zayan untuk menjawab pertanyaan cewek cerewet itu. Benar, ayahnya akan menikah lagi dengan ibu Anna. Itulah yang membuat mereka dekat. Awalnya, Zayan sama sekali tak tahu siapa Anna, cewek yang dibawa oleh ayahnya ke rumah dan dia pikir, Anna adalah calon ibu tirinya.
Ternyata itu semua salah. Anna akan menjadi saudara tirinya ke depannya. Untuk saat ini, sikap Anna tidak buruk. Dia bersikap seperti seorang kakak perempuan yang dia harapkan.
“Lo jangan suka sama ibu tiri lo nanti loh!” Bintang menepuk punggung Zayan.
“Hah?!”
“Zayan, pesona Ibu Tiri itu sangat menggoyahkan iman. Jadi, lo harus tahan – tahan. Jadi, mending suka sama gue aja dari pada sama Ibu Tiri lo.” Bintang tertawa kecil. Dia hanya berniat menghibur Zayan yang terlihat sedikit gundah dengan pernikahan ayahnya.
Tapi saat itu, Zayan langsung menatap Bintang dengan tajam penuh ancaman. Bintang hanya bisa menelan ludahnya getir tak bisa menghindar ketika Zayan tiba – tiba mencengkeram pergelangan tangannya sangat erat. Zayan tidak suka dengan candaannya kali ini. Bintang yang kurang tahu situasi.
“Gue nggak suka sama lo dan nggak akan pernah suka sama lo! Cuman karena waktu itu gue merawat lo, lo jangan kepedean dan berpikir gue jadi suka dengan cewek bodoh yang nggak ngerti cara ngomong dengan baik,” marahnya.
“I – iya tahu, kok. Kenapa marah banget sih?” Bintang sedikit ketakutan.
“Lain kali kalau ngomong dijaga!” tegur Zayan.
Bintang mengangguk. Mereka kembali berjalan bersama menuju ke kelas. Saat bintang membuka mulutnya hendak berbicara, Zayan langsung melirik tajam sambil menodongkan pulpen ke arah Bintang.
“Ngomong lagi, gue sobek itu mulut!”
Bukannya takut, Bintang tertawa kecil, “Hahaha... Ternyata gue memang suka sama lo," ungkapnya untuk ke sekian kalinya.
“Bisa nggak, nggak usah bilang suka setiap hari? Gue udah tahu!”
“Kenapa?”
Mereka sampai di kelas. Zayan tak menjawab langsung maksud ucapannya itu. sebelumnya Zayan tidak begitu keberatan dengan ungkapan Bintang padanya. Tapi akhir – akhir ini dia sedang menjadi sedikit sensitif dan kesal ketika mendengar Bintang berbicara seperti itu.
“Uang kas!” teriak Dinda yang langsung menagih pada Bintang dan Zayan.
Mereka berdua memberi uang kas dan Dinda langsung menerimanya dengan senang. Jarang – jarang memang ada yang mudah dimintai uang kas.
“Belum jawab pertanyaan gue, lo,” tagih Bintang kini tentang pertanyaannya.
“Ngomongin apa sih?” tanya Dinda ikut nimbrung.
Bintang menunjuk Zayan. “Kata Zayan, gue nggak boleh ngomong suka sama dia terus. Dia udah tahu.” Bintang memberitahu.
Dinda tertawa mendengarnya. “Memang iya. Dia bosan kalau dengarnya dari lo mulu,” timpalnya.
“Memang begitu ya, Zay?” Bintang menatap Zayan serius.
Kali ini masalahnya bertambah lagi karena Dinda juga berusaha memprovokasi Bintang.
Bintang terlalu bodoh untuk tidak percaya dengan ucapan Dinda. Mereka sudah menjadi perhatian seisi kelas karena membahas hal seperti itu dengan begitu terbuka. Yang jelas, semuanya semakin memburuk karena Dinda.
Tapi, akan lebih buruk lagi jika Zayan tidak menjawab pertanyaan Bintang. Cewek itu akan terus bertanya di mana pun, kapan pun dan mengambil waktu – waktu berharganya hingga kehilangan ketenangan untuk selamanya.
Dinda tersenyum meledek ke arah Zayan merasa puas dengan keusilannya.
Tak terpikirkan apa pun oleh Zayan, kecuali apa yang tengah dilihatnya. Tiba – tiba dia merangkul Dinda. “Karena gue suka sama Dinda. Bukan lo,” katanya santai.
“APA?!” Seisi kelas mendadak heboh. [ ]