TIT TET TET TIT. TIT TET TET TIT.
Ponsel pintar merusuh dunia mimpi, badan akhirnya dipaksa bangun oleh teriakan tak kenal lelah mesin.
Pagi, saatnya burung berkicau.
Matahari baru menghapuskan kegelapan, awan-awan baru memberikan panggung bagi bintang yang selalu menyinari bumi untuk tampil. Teriakan ayam jantan nyaring dan jelas, mengejutkan mimpi indah menyelamatkan dunia yang hampir tercapai. Nafas tak teratur, perut mulai keroncongan saat mata melihat ke sekitar. Ruanganku seperti biasanya, meja belajar dengan lampu masih terbuka, langkah kaki yang perlu diambil untuk mencapai sisi lainnya bahkan lebih luas dari antrian panjang supermarket. Seekor cicak memelototiku dari balik lemari baju yang bercelah.
Aku bangun, berniat untuk mengusirnya, tetapi binatang itu sudah pergi duluan. Baju tidur dan celana panjang melekat di badan, mata kukucek beberapa kali, kasur dirapikan.
Menatap diri sendiri di cermin, aku menyadari mataku memerah, mungkin karena debu. Seragam SMA sudah menjadi sejarah, digantikan almamater khas mahasiswa yang kesulitan kupakai sekarang.
Pintu terbuka, seorang wanita berjalan santai mendekatiku.
“West, kau bisa sendiri?” Mama masih memegang spatula, kacamata tebal terpasang di mata, bau masakan harum masih menempel di sekitar celemek, celana pendeknya memiliki sobekan yang sudah pasti bukan model pakaiannya.
“Jangan membantuku lagi, Ma. Aku sudah kuliah, jadi semuanya sudah harus mandiri.”
“Dengan aku membantumu, akan lebih sedikit waktu yang terbuang, kan?” Senyumnya manis dan meyakinkan, membuatku luluh dengan tawarannya.
“Lain kali jangan lagi, oke? Aku tak ingin merepotkanmu.” Kerah dinaikkan, ujung lengan dirapikan dari kerutannya.
“Jika kau bisa keluar 15 menit setelah alarmmu berbunyi, tentu boleh.”
15 menit?! Tunggu, jadi sekarang ...
Jam dinding menunjukkan pukul 7.45.
“Sial, sisa 15 menit lagi!” Lari dikencangkan menuju ruang makan.
“West, jangan buru-buru!”
Meja makan dengan setumpukan kombinasi daging merah dan tak terlalu merah, sayur berwarna hijau dan tak terlalu hijau, minuman dengan 5 rasa yang dapat dikecap lidah manusia, hingga pelengkap terakhir tersuguh dalam meja berbahan kayu langka dalam ruang makan mewah yang dihiasi lampu lilin gantung emas dan parfum bertuliskan bahasa Prancis. Rice cooker terbuka, nasi putih dengan harum semerbak pandan mengundang air liur untuk mengalir dari ujung bibir.
Kontrol pada nafsu makan semakin tak tertahan saat sendok dan garpu perak bergerak dikontrol kedua tangan, satu demi satu suapan memenuhi mulut.
Tak butuh waktu lama untuk tersedak karena gaya makanku, Mama bergegas menuangkan air lemon dan air mineral pada kedua tangannya.
“Pelan sedikit makannya, oke?” Ia mengelus-ngelus punggungku.
“Oke, oke.” Aku memelototi pakaian rumahnya. “Kau tak ada jadwal ke kantor hari ini, Ma?”
“Tidak. Kau lupa bahwa kita sudah menang lotere besar dan dapat hidup sejahtera selamanya?”
“Ada barang semacam itu?”
“Kurasa kau masih belum bangun tidur.” Pipi dicabut, ia mengusirku pelan ke depan pintu, sepatu dan kaus kaki telah siap.
Semua siap, ransel di punggung, Angel dan Daniel telah menunggu di depan pintu, keduanya bertengkar mesra memperdebatkan cara yang paling efisien untuk mengumpulkan kekayaan, tangan bergandengan satu sama lain.
“Oh hoh, kalian sudah menjadi pacar?” Mama keluar sambil mengelus kepala mereka.
Pipi kedua temanku tiba-tiba memerah.
“U-uh, c-cepat jalan, West. Bibi, kami jalan dulu.” Angel cepat-cepat menggandeng tanganku, memposisiskanku di antara ia dan Daniel.
“Terima kasih atas doanya, bibi. Kami pasti akan berakhir di pelaminan!” Daniel dengan antusias mendeklarasikan rencananya, mendapatkan pukulan di kepala dari Angel yang tersipu malu.
Meskipun ia pernah mempunyai rasa denganku, tapi syukur saja Angel dapat tersadar dan menemukan yang terbaik untuknya.
Keluar ke halaman rumah raksasa dengan taman hijau dan kolam renang, Mama mengantar kami bertiga hingga ke gerbang estetik berpahatkan tengkorak.
“Ma, kau benar-benar tak pergi ke mana-mana, kan?”
“Duh, dasar anak mama. Kau ingin aku pergi ke sekolahmu dan mendampingimu layaknya saat masa TK?”
“Ohh, dasar anak Mama.” Daniel menyenggol-nyenggolku.
Perasaan malu akan terungkapnya masa lalu memang ada, tapi rasanya ada sesuatu yang hampa saat aku mendengar candaan Mama dan melihat tawa terbahak-bahak Daniel.
Mobil Angel telah menunggu, sebuah kendaraan mewah yang memiliki kulkas tersendiri dan bahkan hingga komputer khusus yang terimplan, segala game impian yang hanya bisa dibajak dengan kesabaran dan keterampilan kini dapat kuakses secara bebas, Daniel langsung menantangku dengan 2 jari, muka sombongnya ingin cepat kubungkam.
Angel mengunyah cone es krim, sesekali menyumbatkan biskuit coklat ke mulut kami berdua, kemacetan di kota tak terasa saat adu mekanik terjadi.
Supir menginjak rem, halaman depan sekolah telah ada di pijakan kaki, pak Suparman yang biasanya garang entah kenapa malah melambai-lambai kepada kami sambil mempersilahkan masuk. Pak Partono menggeber motornya dengan bangga sambil menunjukkan gigi putihnya kepada setiap siswa yang lewat dengan bangga.
Tangan bu Patricia mengejutkan langkah kami yang mencapai kelas, suara berbisik dengan nada horor kepada kami yang baru melewati ulangan.
“Nilai ujian kalian semua tuntas.” Bu Patricia menoleh padaku. “98, 1 kesalahan minor.”
“100, sangat mantap.” Senyum guru sejarah kami lebar saat melihat Angel.
Lalu, Daniel. “75, pas-pasan.” Dingin dan tanpa nada, bu Patricia meninggalkan kami dengan sebuah ketukan pelan di kepala.
Papan ujian yang menyiarkan seluruh hasil murid di SMA terpampang di tengah lapangan sekolah tanpa atap, dikerumuni oleh siswa-siswi yang sudah menyerupai semut.
Ponsel dikeluarkan, Angel mengeluarkan ponselnya dan memperbesar kamera jernihnya, nilai kami satu per satu muncul.
Semuanya tuntas, Angel menduduki peringkat pertama anak terpintar di sekolah, aku mengekornya di urutan 5, Daniel sendiri berada di peringkat terakhir siswa yang berhasil melewati nilai minimal ujian.
“Kita tuntas.”
Sorak-sorai anak-anak remaja yang gembira tak menghentikan kenyataan bahwa kami masih harus mengikuti kelas yang membosankan.
Semuanya terasa seperti mimpi saja. Rumah besar, Mama yang telah mendapat jatah bersantai selama-lamanya, uang saku tebal di kocek, teman yang telah saling jatuh cinta satu sama lain tanpa menyangkutkanku, hingga nilai ujian yang berada di atas ekspektasi. Semua impian telah tercapai.
Seperti ada sesuatu yang kosong, ada yang kurang.
Elevator sekolah menatapiku dengan penasaran, seseorang berdiri di sana sendirian.
Tempat semuanya dimulai.
...?!
Apanya yang dimulai?
Ponsel berdering sekali di kelas yang jauh dari kata kondusif, sebuah notifikasi pesan singkat membawa teka-teki. Elevator Game.
Jemari berniat menghiraukan, pandangan melihat ke luar jendela untuk meredakan kebosanan dari lantai 5.
Orang dengan bayangan hitam masih di sana.
Ia menatapku.
Aku tahu ia menatapku, meskipun sosok tubuhnya saja terlalu kecil untuk menyadari seperti apa wajahnya.
Seperti ingin menarikku ke sana. Seperti ingin aku mendekat ke sana.
Sosok itu mengangkat sesuatu kepadaku, mirip sebuah buku tebal, ensiklopedia mungkin.
Kondisi kelas yang ribut kumanfaatkan untuk membuka ponsel dan memperbesar sosoknya, rupanya kak Riselia yang melambai-lambai sambil berteriak, meski aku tak dapat mendengar apa yang dikatakannya.
Pesan singkat dibuka, kak Riselia memanggilku turun.
Kakak sepupu perempuanku menurunkan topi di kepala, celana pendeknya memamerkan kulit putih layaknya ia sedang bersantai di rumahnya. Segelas air mineral menyentuh bibir saat ia meneguk setengah gelas, mengeluarkan erangan puas saat dahaganya terpenuhi.
“Yo, aku telah menepati janjiku datang ke sini. Kau butuh bantuanku, kan?”
“Huh? Janji apa?”
Tunggu, aku bahkan tak mengunjunginya kemarin? Aku tak ingat ... pernah melakukan itu.
“Lalu apa maksudmu dengan pesan ini, hah?”
Ponsel ditunjukkan. West, TOLONG.
Permintaan tolong!
“Sekarang, giliran kak Riselia yang menghilang. Karena itu aku ingin mencoba menyelidikinya. Ke dunia lain yang pernah kudatangi.”
It’s said that at this point, you will find yourself in another world, sometimes called the “otherworld”.
“Tidak, ini tanggung jawabku sebagai detektif dan sebagai polisi. Aku akan pergi.”
“Kita semua juga ingin agar kak Riselia pulang dengan selamat. Aku bisa membantu.”
“Menukar satu jiwa dengan jiwa lainnya tak akan menyelesaikan masalah, West!”
“Kita akan bertindak sebagai kelompok saat masuk. Prioritas pertama adalah selalu tetap bersama dan tidak terpisah saat menyebrang.”
“West, kau datang juga.”
“T A K B E R F U N G S I!”
Huh?
“Tak kusangka panggilan dari dunia nyata akan menyadarkanmu.” Si penunggu elevator muncul di ruangan putih, hanya kami yang menghuninya.
Huh? Tidak.
Akhir dari semua kejadian itu adalah jebakan selama-lamanya.
Huh. “Jadi, semua ini hanya ilusi?”
“Betul. Kau tentu bisa berpuas setelah mengetahui kenyataan dari semua kasus ini?”
Aku mengangguk.
“Adalah peraturan untuk mengabulkan impian terdalam dari setiap jiwa yang dapat melangkah menuju dunia yang lebih baik.”
“Surga?”
“Mungkin.”
“Kau tak yakin?”
“Bukan aku yang bertanggung jawab setelah ini, lagipula siklus ini akan terus berulang. Orang mati, aku muncul, ingatanku mulai terkumpul. Jika sudah cukup banyak orang yang mati, maka arus kegelapan akan menyapu semua ingatan, semuanya, hingga sirna. Kecuali kau.”
“Aku adalah pengecualian?”
“Kau yang pertama kali membunuh arwah yang sudah mati, sukses melakukannya, dan masih berada di dimensi ini.”
“Jadi Tuhan tak dapat menentukan perlakuan seperti apa yang pantas kudapatkan?”
Ia menggeleng. “Hukumanmu adalah kau akan tersadar kembali ke dunia manusia setelah semua orang yang kau tahu telah berkumpul di sini.”
“Jika tidak?”
Si penunggu menatapku layaknya aku adalah orang dengan IQ dibawah 50. “Kau juga tak bisa berbuat apa-apa.”
“Oh, benar juga.”
“Jadi, biarkan aku bertanya padamu. Maukah kau mengorbankan diri untuk temanmu? Untuk keluarga yang berhubungan darah denganmu?”
“Apa mereka pasti akan selamat?”
“Jika mereka punya bantuan dari manusia dunia lain yang paham, maka bisa kujamin.”
Ada abang Daniel, Brian Rockfort, lalu bibi dan paman juga seperti tahu beberapa hal terkait dengan kemistisan dan semacamnya.
“Kalau begitu, tak ada cara lain. Aku akan menerimanya.”
“Bagus. Sesuai dengan aturan di dunia ini, setidaknya kau akan dapat melanjutkan mimpi indah ini. Memorimu akan pengetahuan ini akan terhapus. Hingga gelombang selanjutnya terjadi.”
“Berapa lama itu?”
“Tergantung tingkat kematian di duniamu. Mungkin 100 tahun lagi jika cepat.”
Oh, yasudahlah. Yang penting semuanya selamat, menumbalkanku di sini dalam dunia ilusi.
Tidak buruk juga.
“Apa benar tak ada jalan lain lagi?”
Si dewa kematian memegang bahuku dengan tangan tengkoraknya yang dingin. “Tidak.”
“Oh.”
“Mamamu benar-benar menyayangimu, hingga dapat bangkit lagi dan memberikanmu petunjuk di akhir-akhir.”
“Aku tahu. Ia cinta padaku, dan begitu juga aku padanya.”