Masa PKL (Praktik Kerja Lapangan) pun tiba, di awal kelas 3. Gesa memilih tempat praktik di bandara dekat sekolah saja supaya lebih praktis. Di sana, ia dijodoh-jodohkan oleh ketiga gurunya dengan Serka (Sersan kepala) Garda Nusantara.
Namanya memang unik. Ibunya bahkan mendapatkan penghargaan dari Presiden lantaran nama yang diberikan untuk bayinya itu. Kini, bayi itu sudah tumbuh dewasa. Wajahnya terbentuk alami hingga mengingatkan orang-orang pada salah satu aktor India, Akhsay Kumar.
Garda adalah pembimbing favorit di sana. Selain karena kepribadiannya yang asyik, ia juga suka olahraga, cerdas, serta modis. Ia sering tampak bercakap-cakap dengan Valen, salah satu teman sekelompok Gesa yang bertubuh besar. Mereka biasanya mendiskusikan tentang body building.
Para guru itulah yang meminta Garda mengantar jemput Gesa setiap hari. Baik ke sekolah, maupun ke rumah. Dua hari sekali, Gesa tetap ada jadwal belajar di sekolah usai PKL. Setelah 3 minggu pendekatan, garda pun mengungkapkan perasaannya.
Gesa diberinya kado berupa kaos dan baju penghangat. Bahkan, Garda juga memperkenalkannya pada orang-orang terpenting dalam hidupnya saat mereka datang berkunjung. Eyang putri angkatnya, ibu, serta adiknya semata wayang.
Sebulan kemudian, menjelang PKL usai, ketiga guru tadi mempertanyakan kembali pada Gesa tentang kejelasan hubungannya dengan Garda, Gesa menjawab, “Tidak ada hubungan apa-apa.” Murkalah ketiganya.
“Gesa! Lebih baik dicintai daripada mencintai. Garda adalah bibit unggul di sini. Tahun depan dia akan sekolah di Rusia selama dua tahun. Kamu akan dilamar dulu. Mau ya, Gesa?” bujuk mereka.
Gesa tetap menggeleng, “Maaf, Pak. Saya sudah mengecewakan Bapak semua. Tapi, saya benar-benar tidak bisa.”
Dua hari menjelang ujian PKL, Gesa bertengkar hebat dengan Garda. Rupanya, Garda mendengar kabar bahwa Gesa sedang berjalan dengan Fuad yang baru datang dari Jakarta.
Berdasarkan informasi dari para penggemarnya, Garda mengetahui bahwa Fuad adalah salah satu pacar Gesa. Menurut mereka, Gesa memiliki banyak pacar. Jelas saja ini membuat Garda cemburu.
Detik-detik menuju ujian PKL benar-benar membuat Gesa gelisah. Jantungnya berdebar keras. Garda sebagai pembimbingnya dalam PKL adalah salah satu penguji yang akan menentukan kelulusannya.
Gesa berusaha menenangkan diri sebelum memasuki ruang rangka mesin untuk ujian PKL yang pertama. Di sana, setiap kelompok diminta merangkai ulang rangka mesin pesawat dalam waktu yang cepat. Kemudian, setiap siswa harus menjelaskan masing-masing bagian rangka mesin tersebut beserta fungsinya.
Ujian berikutnya, mereka dibawa ke hangar dan masuk ke dalam ruang kokpit pilot. Satu per satu pertanyaan pun dilontarkan kepada setiap anggota kelompok Gesa. Mereka diminta menunjukkan dan menjelaskan setiap tombol yang ada di panel instrumen.
Tak disangka, selama ujian tersebut, Gesa mendapatkan pertanyaan yang paling mudah dari Garda. Gesa pun bisa keluar dari ruangan ujian dengan napas lega. Tuntas sudah satu fase penting dalam pembelajarannya di sekolahnya ini.
Jika perasaan bertepuk sebelah tangan, tak akan ada suara cinta yang menggema. Daripada mengepalkannya menjadi pukulan dendam, lebih baik tangan itu direlakan untuk terbuka menerima semua kenyataan.
Pagi itu, waktunya ujian olahraga lari. Gesa dan teman-teman sekelasnya berlari keliling lapangan. Belum juga jauh ia mengayunkan kakinya, tangan kirinya ditarik kuat oleh seseorang yang berteriak, “Hai, Mantili! Kau punya asma, kan? Sini, aku bantu. Biar nggak pingsan kau!”
Rasa kaget Gesa bergulung-gulung. Ia terkejut karena dihentikan secara mendadak. Ia juga heran karena sangat mengenal pemilik suara berat itu walau belum menoleh padanya. Dan yang lebih membuat hatinya gusar, mengapa ia disebut Mantili? Itu kan, tokoh pendekar perempuan dalam drama radio yang sudah lama usai.
Belum sempat Gesa protes, Valen sudah mendorong badannya dari belakang karena mereka sedang melewati tanjakan. Begitu sampai garis akhir, di tengah sengal napasnya yang memburu, baru Gesa bisa mengobati rasa tidak terimanya pada Valen, “Kenapa sih, kamu panggil aku Mantili?”
“Karena kamu suaranya keras. Tertawamu seperti halilintar,” jawab Valen santai, tetap saja dengan tampang dinginnya.
Nama lengkapnya Valentino Roberto. Tubuhnya tinggi besar dan berotot. Teman-teman biasa menyebutnya Van Damme. Perawakannya memang mirip aktor Hollywood itu. Hanya kulitnya saja yang berwarna sawo matang. Namun, wajah blasteran Ambon-Belanda miliknya justru lebih dekat dengan Salman Khan, aktor India kenamaan.
Valen adalah idola para siswi di sekolahnya. Maklum saja. Selain selalu menjadi siswa terbaik untuk seluruh jurusan, dia memang paling ganteng. Bentuk tubuhnya juga paling keren, berkat kedisiplinannya mengikuti program olah kebugaran. Tak cukup di situ, kemachoan Valen dilengkapi pula dengan kemampuan bela diri.
Sejak kelas 1, Valen sudah menjadi pelatih karate di untuk siswa di sebuah SMP dan SMA. Ia juga mengajar karate, jujitsu, dan pelajaran Bahasa Inggris di suatu SD. Begitu kelas 2, Valen diminta membantu mengajar ekskul karate, jujitsu, dan Bahasa Inggris di sekolah ini.
Gesa dan Valen selalu sekelas selama tiga tahun belajar ini. Namun, Valen adalah sosok yang sangat angkuh. Mereka tak pernah saling menyapa, apa lagi mengobrol. Sekali pun! Bahkan, ketika mereka satu kelompok saat PKL.
Padahal, Gesa sudah beberapa kali berusaha berinteraksi dengannya sejak awal masuk sekolah. Ia sungguh tak betah jika ada orang yang tidak mengacuhkannya. Mulai dari cara yang paling halus, manis, hingga asal-asalan pernah dicobanya. Namun, hasilnya tetap saja sama. Nihil!
Seperti ketika Valen pernah tak masuk sekolah, besoknya Gesa sebagai ketua kelas menegur, “Hai, Rambo! Kamu kemarin kenapa nggak masuk? Kakimu terserempet barbel, ya?” Seisi kelas pun tertawa terbahak-bahak. Valen hanya membisu dengan mata melotot marah pada Gesa.
Atau ketika dengan isengnya Gesa menambahkan nama ‘Supriyono’ di belakang nama Valentino Roberto yang tercantum di dalam daftar hadir kelas. Saat pelajaran Kimia berlangsung, Ibu Guru mulai memanggil beberapa nama untuk menjawab pertanyaannya.
Beliau menggunakan daftar hadir untuk menyebut nama siswa, karena belum hafal, “Ya, nomer selanjutnya. Tolong dijawab, Valentino Roberto Supriyono!”
“Maringono!” sahut Gesa melanjutkan nama Valen lebih panjang lagi. Suasana pun kembali berubah ger-geran. Ibu Guru ikut terpingkal-pingkal menyadari apa yang terjadi. Tatapan mata Valen yang tajam itu semakin mengerikan menusuk ke arah Gesa, saat ia melangkah maju untuk menjawab soal di papan tulis.
Lalu, apa yang baru saja terjadi? Tak ada Pedang Perak, tak ada Pedang Setan. Valen yang dulu galak, tiba-tiba perhatian. Bisa-bisanya dia mengajak Gesa mengobrol dan menolongnya. Dan, hei! Ia bahkan tahu kalau Gesa punya asma!
Esok paginya, Gesa berangkat sekolah dengan terburu-buru, tak sempat sarapan. Begitu apel pagi, Gesa pun ambruk beradu dengan kerasnya paving lapangan. Saat para siswa akan menolong menggendong Gesa ke ruang UKS, Valen pun maju ke depan.
Samar-samar, Gesa mendengar ia bersuara lantang, “Biar saya yang angkat Nonik Gendut! Kalian tak akan kuat.” Ruang belajar untuk siswa kelas 3, baik dari jurusan Motor maupun Listrik, semuanya berada di Gedung C. Dan pagi itu, seluruh penduduknya terbengong-bengong mendengarkan ucapan Valen barusan.
Kesadaran Gesa pulih begitu merasakan kesejukan ruang UKS. Tubuh lemasnya terbaring di atas kasur empuk. Lagi-lagi ia takjub dengan panggilan yang diberikan Valen padanya. Nonik, seperti nama Bunda.
Tapi, kenapa pakai Gendut? Walaupun tubuhnya memang semakin berisi, namun tetap saja Gesa merasa dongkol. Apa makhluk congkak ini tidak paham juga bahwa tidak ada satu pun perempuan yang suka disebut gendut? Hhh …
Sejak hari itu, Gesa dan Valen semakin dekat. Tahun terakhir Gesa belajar di sekolah ini terasa lebih mudah. Karena, Valen yang cerdas selalu bersedia membantunya dalam pelajaran.
Tugas praktik yang berat tinggal serahkan saja pada Valen sebagai salah satu anggota kelompoknya. Saat diminta membuat mur dan baut, Valenlah yang mengukur dan memotong
. Gesa memilih bagian mengikir dan mengampelas saja.
Sebagaimana jalannya kebersamaan Gesa dengan pria-pria lain dimulai, tak pernah ada kata-kata prasasti nan pasti yang menunjukkan kapan mereka sepakat untuk berpacaran. Semua mengalir saja apa adanya.
Tinggal memahami apa yang berasal dari hati dengan hati pula. Jika ada yang meragukan, tinggal ditanyakan saja. Seperti pertanyaan Gesa hari itu pada Valen, “Sejak kapan kamu suka aku?”
“Sebenarnya, sejak dari kelas 1 aku sudah naksir kamu. Tapi karena kukira kamu orang Indonesia asli, jadinya aku mundur. Lagi pula, aku kesal melihatmu yang selalu bergonta-ganti teman pria,” jawab Valen.
“Tapi, awal kelas 3 kemarin kan, Aris jadian sama Nike. Kamu tahu dong, kalau aku cukup dekat sama Aris. Dari dia aku tahu kalau Nike yang mirip Pay Su Chen itu sepupumu. Wah, berarti kamu ada darah Cina, dong? Aku suka cewek Cina. Makanya aku langsung kebut pendekatan ke kamu,” lanjut Valen lagi.
“Kamu baru tahu kalau aku dan Nike itu sepupuan? Ckckck … Benar-benar antisosial ya, kamu. Rasis lagi,” omel Gesa.
“Hahaha … Itu cuma masalah selera, Non,” ujar Valen tetap percaya diri walau dikata-katai apa pun sama noniknya.
Sepandai-pandainya menyembunyikan selingkuhan, akhirnya terpampang jua. Siang itu, Gesa dan Valen berdiri di pinggir jalan akan menyeberang. Gesa yang memang memiliki sifat tergesa-gesa, dengan beraninya maju lebih dulu hendak menerjang lalu-lalang kendaraan di depannya. Valen segera menggandeng tangannya untuk menjaga dan memastikan Gesa tetap aman, tidak berjalan sendirian, apa lagi sampai diterpa mobil yang melaju.
Tanpa disadari keduanya, ternyata nun jauh di sana, ada sepasang mata indah yang mengawasi gerak-gerik mereka. Tak perlu penjelasan panjang-lebar, ia langsung paham apa yang telah terjadi selama ketidakhadirannya karena mendulang penghasilan di ibu kota.
Sebenarnya, hari ini, pemuda cantik itu berniat memberikan Gesa kejutan dengan kedatangannya. Namun, justru dirinya sendiri yang terkejut. Sejak detik itu, Gesa tidak pernah lagi mendengar kabar darinya.
Hingga saat Idulfitri tiba, Gesa jadi memiliki alasan untuk menghubungi ibunya dan mengucapkan selamat hari raya. Dari Beliaulah akhirnya Gesa mengetahui apa yang pernah dilihat Fuad, dan alasannya menghilang tanpa berita.
Selepas lulus dari sekolah kejuruan penerbangan, Valen tetap mengajar bela diri dan Bahasa Inggris seperti sebelumnya. Gesa sendiri memilih mengikuti kursus Bahasa Jepang, semata karena tertarik dengan budayanya, dan ingin suatu saat bisa pergi ke sana.
Di sela-sela kegiatan tersebut, Gesa juga melamar pekerjaan sebagai SPG (Sales Promotion Girl) di sejumlah pameran. Pengalaman pertamanya menjadi penjaga stan batik Madura selama satu bulan dalam sebuah pameran budaya Nusantara di pusat perbelanjaan terluas kedua di Indonesia.
Valen setia mengantar dan menjemput Gesa selama bekerja di sana. Valen banyak bertanya tentang batik Madura sejak hari pertama. “Lumayan untuk mengisi kebosanan dan kecanggungan selama menunggu stan,” pikir Gesa.
Suatu saat, ada beberapa orang asing datang mengunjungi stan Gesa. Gesa agak panik, karena kemampuannya berbahasa Inggris cukup hancur. Benar saja, salah satu dari rombongan itu bertanya pada Gesa tentang produk yang dipamerkan.
Tiba-tiba, muncullah Valen dari arah belakang dan menjelaskan semuanya tentang kain batik Madura yang ditunjuk. Rupanya, Valen sudah menduga hari ini akan tiba. Pasti akan ada pengunjung ekspatriat yang datang.
Itu sebabnya, ia terus bertanya tentang batik Madura pada Gesa. Sehingga Valen dapat membantu Gesa agar tetap lancar memberikan informasi pada pengunjung. Valen menolak saat Gesa membagi gajinya hari itu, karena sudah menolongnya menjadi SPB (Sales Promotion Boy) dadakan.
Setelah pameran budaya usai, Gesa langsung mendapatkan tawaran untuk menjadi SPG dari sebuah produk rokok. Sempat ragu juga Gesa menerimanya, karena ia ditempatkan di sebuah diskotek untuk bekerja. Namun, melihat gaji hariannya yang lebih besar daripada pameran budaya, ia pun bersedia mencobanya.
Benar saja. Di hari pertama ia bekerja, para pengunjung diskotek sudah menampakkan keisengannya pada Gesa. Di kursi VIP, serombongan bos memanggilnya.
Mereka berjanji mau memborong seluruh produk yang sedang ditawarkan Gesa, asalkan ia mau duduk di atas pangkuan mereka sambil membantu menyalakan korek api.
Tentu saja permintaan itu ditolak Gesa mentah-mentah. Hal ini membuat para bos itu marah besar dan melaporkan Gesa ke manajer SPG di sana. Tak ayal lagi, Gesa langsung dipecat dari pekerjaannya tepat di hari pertama.
Walau sudah pernah merasakan kejadian yang tidak mengenakkan dalam bekerja, Gesa tetap gigih mencari lowongan untuk mendapat tambahan penghasilan. Kali ini, ia berusaha untuk lebih berhati-hati dalam memilih pekerjaan.
Dengan bekerja, Gesa jadi tahu bahwa mencari uang itu berat, bukan perkara mudah. Sebelumnya, ia terbiasa bersenang-senang, bergaya hidup mewah, serta sangat boros. Namun, dari pengalamannya mengais rezeki di sana-sini, Gesa jadi belajar untuk lebih hemat dan memperhatikan anggaran belanjanya.