Gesa lulus SMP dengan nilai NEM yang rendah. Ini adalah pengalaman pertamanya mengikuti ujian menggunakan lembar jawaban yang dibaca komputer. Saat Ebtanas SD dulu, cara menjawabnya masih menggunakan lembar manual, seperti ulangan harian biasa. Rupanya, hasil coretan pensil 2B-nya di Lembar Kerja Komputer kurang tebal, sehingga tidak terbaca oleh mesin.
Alhasil, NEM Gesa menjadi yang terendah di kelas. Padahal, selama ini ia selalu menduduki peringkat tiga besar. Bahkan, dia memberikan contekan jawaban pada teman-temannya. Tak ayal, seisi kelas terkejut melihat hasil nilai yang diterima Gesa.
Gesa pun hanya bisa termangu. Impiannya untuk bisa bersekolah di SMA Negeri di Kota Pahlawan seperti Ben, telah terbang bersama angin. Ia pun kebingungan, ke mana ia bisa melanjutkan studi dengan nilai NEM sekecil ini?
Gesa akhirnya melanjutkan studinya ke sekolah kejuruan penerbangan bersama sepupunya, Nike. Selain jaraknya relatif dekat dari rumahnya, sekolah ini adalah salah satu dari sedikitnya pilihan yang tersedia bagi NEM Gesa.
Di sekolah ini ada dua pilihan jurusan yang diambil sejak kelas 1, yaitu jurusan Motor Rangka Pesawat Udara dan Listrik Instrumen Pesawat Udara. Gesa memilih jurusan Motor. Sedangkan Nike, masuk jurusan Listrik, seperti kebanyakan pilihan para siswi di sekolah ini.
Dapatkah kau menebak mengapa Gesa lebih memilih jurusan Motor yang isinya mayoritas pria itu? Jika kauingat, Gesa sangat takut terhadap listrik. Itulah jawabannya. Hehehe …
Gesa tidak mengikuti ekskul mana pun kali ini. Alasannya sederhana. Karena ia tidak ingin menghabiskan uang orang tuanya terlalu banyak. Ia juga memilih tidak aktif di OSIS walaupun banyak yang menjagokannya. Cukuplah menjadi ketua kelas saja.
Gesa sadar. Ia tidak bisa leluasa mengembangkan ketertarikannya untuk menekuni berbagai bidang. Terlalu banyak kegiatan di sekolah akan membuatnya sering pulang malam. Itu adalah hal yang paling tidak disukai ayahnya.
Benar saja. Setiap kali jadwal pelajaran Gambar Teknik, Gesa baru bisa pulang jam 8 malam. Karena ia harus mengerjakannya sampai selesai, baru boleh keluar kelas. Nike, yang memang lebih cerdas dalam hal sains, biasanya bisa merampungkan tugasnya dan pulang lebih awal.
Perbedaan jam pulangnya dengan Nike, membuat Gesa pun menjadi langganan amarah ayahnya lagi. Seolah sang Ayah tak mau mengerti keadaan sebenarnya yang dilalui Gesa. Di waktu semalam itu, sudah tidak ada lagi lyn yang lewat. Baik yang di depan sekolah, maupun yang sampai ke dekat rumahnya.
Kadang kala, Gesa juga kesulitan berkomunikasi dengan Nike. Karena perbedaan jurusan, membuat mereka belajar di gedung yang berbeda. Ruang kelas jurusan Motor ada di Gedung A, sedangkan untuk jurusan Listrik ada di Gedung B.
Bersekolah di sini memang sangat jauh dari bakat dan minat Gesa sebenarnya. Walau kebanyakan anak akan sangat tertarik dan antusias merakit miniatur pesawat hingga berhasil menjalankannya dengan telekendali. Ini bisa dipelajari jika masuk jurusan Listrik.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi Gesa. Walau begitu, setidaknya Gesa masih bisa bersyukur. Pelajaran favoritnya sejak SD, yaitu IPS, masih diajarkan di sini. Pelajaran yang hampir sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia teknik.
Demi agar hidupnya lebih berwarna, Gesa tetap berlanggangan majalah remaja sebagai bahan bacaannya. Dari situ, ia tahu mode busana yang sedang ngetren belakangan ini. Untuk melengkapi seragam sekolah, pilihan Gesa jatuh pada sepatu Doc Mart setinggi betis yang sedang hits.
Hal ini tentu menarik perhatian para guru. Salah satu pengajar yang baik pada Gesa pun menegurnya, “Ini kenapa kaupakai sepatu ngeceng ke sini?”
“Lho? Ini kan, cocok untuk seragam seperti Polwan yang sedang saya kenakan, Pak,” Gesa membela diri, “Masa, yang laki-laki harus menggunakan sepatu PDH (Pakaian Dinas Harian), tapi yang perempuan nggak boleh sama gagahnya? Makanya, saya pakai Doc Mart, Pak. Kan, tidak melanggar peraturan? Tetap hitam polos, kan?”
Sebenarnya, alasan Gesa untuk tampil gagah juga agak tidak konsisten. Buktinya, bersamaan dengan sepatu Doc Mart yang dikenakan, ia juga menata rambutnya menjadi belah tengah, dan menghiasinya dengan sepasang jepit cantik di sisi kanan dan kiri.
Setiap hari, warna jepit yang dipilihnya bisa berbeda. Aksesori di atasnya pun lucu-lucu. Ada yang berbentuk boneka, hati, bunga, atau pita polkadot yang besar. Modis? Harus!
Begitu melihat gaya dandanan Gesa mendapat lampu hijau dari guru, para siswi di sekolah itu pun satu per satu mengikutinya. Gesa memang paling bisa menjadi trend setter sejak zaman dulu kala.
Satu lagi yang membuat Gesa tetap kuat bertahan belajar di sekolah ini. Karena ia mendapatkan banyak teman baru dari berbagai penjuru Indonesia. Gesa percaya bahwa anak perantauan cenderung memiliki daya juang dan solidaritas yang tinggi dengan temannya. Dan ia membuktikan sendiri kebenarannya.
Tak hanya sebagai teman. satu per satu pria lain mulai mengisi hari-hari Gesa dan mengharapkan hubungan yang lebih khusus dengannya. Padahal, Gesa masih menjalin kasih dengan Ben. Gesa tak pernah bisa menampik mereka secara terang-terangan.
Tampaknya, semakin dicurigai dan dilarang pacaran, Gesa semakin keras melanggar aturan dari ayahnya ini. Walau Ben yang datang ke rumah Gesa, sudah pernah diusir oleh ayahnya. Ia tetap membuka hatinya bagi pria lain.
Yang paling dekat dengannya adalah Fuad, si kakak kelas. Ia seorang pemuda yang sangat lembut suaranya. Bahkan, wajahnya pun lebih tepat disebut cantik daripada tampan.
Penampilannya kurus tinggi, dengan kulit berwarna coklat, rambut lurus cokelat, dan bibir kemerahan yang selalu tersenyum ramah. Matanya lebar berkilat-kilat.
Suatu siang, saat Gesa sudah kelas 2, lagi-lagi Yuni mengejutkan Gesa dengan datang ke sekolahnya. “Ada apa lagi, ya? Perasaan aku sudah benar-benar tidak ada urusan dengan Badra?” Gesa sibuk menebak-nebak di dalam hati.
Dengan senyuman yang terkesan congkak, Yuni pun menghampirinya sambil menyerahkan selembar kertas tebal terlipat-lipat, berwarna krem, dan dihiasi gambar wayang. “Seperti undangan pernikahan, ya?” cetus pikiran Gesa.
“Datang ya, ke pernikahanku dengan Badra,” Yuni sengaja memperjelas gerak bibirnya saat mengucapkan nama ‘Badra’. Gesa hanya mengangguk dan tersenyum dengan tulus, “Selamat, ya!”
Ia justru merasa lega. Karena kini, dalam bayangannya, Badra telah benar-benar pergi. Gesa jadi lebih bebas terbang bersama kedua pria yang masih saja setia mendampinginya.
“Akhirnya Yuni mendapat hatinya Mas Badra juga, ya? Baguslah, kalau begitu. Tak ada lagi yang menggangguku. Aku bisa lebih asyik menikmati waktuku bersama Fuad. Eh, atau Ben? Hhh … Dua saja sudah repot begini,” Gesa terus saja berbincang dengan benaknya sendiri.
Sebenarnya, tak sulit untuk Gesa membagi waktu di antara Ben dan Fuad. Karena di rumah Gesa tidak ada telepon, maka hanya Gesa yang bisa menghubungi salah satu di antara mereka untuk diajak jalan-jalan. Baik Ben maupun Fuad tidak pernah merasa curiga sedikit pun.
Hal ini terus berlangsung hingga Ben dan Fuad yang seangkatan itu lulus dari sekolahnya masing-masing. Fuad melanjutkan dengan bekerja di Jakarta, sedangkan Ben mengambil kursus di jurusan perhotelan.
Jarak yang lebih dekat seharusnya membuat jalinan kasih Gesa lebih erat dengan Ben daripada Fuad. Namun, entahlah, Gesa kehilangan kontak dengan Ben saat itu. Di sisi lain, Gesa masih rajin berkomunikasi dengan Fuad melalui surat. Saat libur, Fuad akan menyempatkan diri mudik ke rumah orang tuanya, dan mengunjungi Gesa.
Hari itu, kebetulan Fuad sedang tidak bekerja. Gesa bisa pulang sekolah diantar Fuad. Ia kemudian menunjukkan undangan tersebut pada Bunda. Setelah meminta saran Beliau, akhirnya Gesa mantap akan datang ke resepsi pernikahan Badra dan Yuni.
Di luar dugaan, malam itu Gesa lelah sekali dengan aktivitasnya seharian. Tanpa sadar, ia terlelap. Dengan agak kebingungan, akhirnya Bunda memutuskan untuk menggantikan Gesa menghadiri undangan. Beliau meminta Fuad untuk mengantarnya.
Hahaha. Pasangan kondangan macam apa ini? Biasanya, pasangan yang hadir ke resepsi itu kan, kalau bukan kekasih, ya suami-istri. Kalau Bunda dan Fuad ini apa, ya? Sepasang calon mertua dan menantunya?
Lalu, bagaimana kira-kira perasaan Badra saat menyambut kedatangan mantan calon mertua bersama calon dari mantannya ini? Usai bersalaman dengan Bunda dan Fuad, Badra langsung jatuh lemas. Entah karena kelelahan fisik, atau mungkin juga mental.
Badra pun langsung dituntun beberapa orang, termasuk Fuad, untuk beristirahat di dalam kamar. Yuni mengikuti di belakangnya. Di sisa malam itu, resepsi pun berlangsung tanpa adanya pengantin.
Dengung bisikan mulai muncul dari sudut-sudut ruangan. Ah, sudahlah. Bunda dan Fuad tetap berusaha bersikap biasa. Mereka berdua pun menyambut ramah tawaran untuk menikmati hidangan yang sudah sejak tadi dipersilakan di hadapan.
Bahkan, Bunda konsisten dengan kebiasaannya membungkus beberapa sajian yang tersisa untuk keluarganya di rumah. Bagaimana pun, keluarga Badra memang telah kenal baik satu sama lain sejak dulu. Tak mungkin begitu saja menarik diri dari pergaulan.
Apakah Badra memiliki kecurigaan-kecurigaan tersendiri atas ketidakhadiran Gesa? Ah, hubungan antar manusia memang terkadang it’s complicated seperti status di Facebook. Apa yang tampak di depan mata, belum tentu hadir di dalam pikiran. Apa yang tertulis di atas kertas, tak selalu terpatri di dalam hati.
Itulah mengapa, di dalam setiap jenis hubungan, komunikasi selalu menjadi kunci. Saat interaksi dibatasi karena berbagai alasan, maka yang timbul hanya dugaan dan prasangka yang tak selamanya mengantarkan pada kebenaran.