Read More >>"> Ayugesa: Kekuatan Perempuan Bukan Hanya Kecantikannya (Cinta Putih Biru) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ayugesa: Kekuatan Perempuan Bukan Hanya Kecantikannya
MENU
About Us  

Gesa memilih berfokus pada studinya. Dia berusaha meraih NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang cukup tinggi, agar dapat diterima di SMP Negeri favoritnya, SMP terbaik di kecamatannya. Syukurlah, harapan Gesa itu terkabul. 

Entah mengapa, Bunda jadi suka menata rambut Gesa menjadi kepang dua dan menghiasinya dengan pita merah. Tampilan Gesa jadi tampak lucu dipadu dengan kacamata minus berbingkai hitam tebal yang dipakainya sejak kelas 5 SD. Walau sebenarnya ia risih dengan dandanan seperti ini, namun ia berusaha tetap percaya diri.

Kehadiran Gesa langsung saja menjadi pusat perhatian. Selain karena kecantikannya, juga berkat keramahan serta inisiatifnya berorganisasi. Tak heran, jika teman-temannya menunjuk sebagai perwakilan kelas dalam pembentukan pengurus OSIS yang baru. Gesa pun akhirnya terpilih sebagai wakil sekretaris OSIS.

Mulailah hari-hari penuh warna Gesa yang selalu ada saja surat kaleng mampir ke mejanya. Bukan dari para lelaki, melainkan perempuan! Tidak, tidak. Tidak seperti yang kaupikirkan. Mereka bukanlah lesbian yang tertarik pada Gesa, karena isi surat mereka bukanlah surat cinta.

Surat-surat mereka lebih banyak berisi kegusaran. Mereka marah karena pacarnya bisa begitu saja mengaku menyukai Gesa. Banyak yang dari teman seangkatan, ada pula yang senior. Mereka mengomel dan meminta Gesa untuk lebih menjaga sikapnya. Gesa kebingungan sendiri, sikap mana lagi dari dirinya yang belum terjaga?

Memang banyak tatapan yang memandang Gesa kagum, kabar tentang si Ini dan si Itu yang jatuh cinta padanya, atau salam-salam yang dititipkan untuknya. Namun, semua itu ditanggapi dengan datar saja. 

Jika ada yang secara frontal berani menunjukkan perhatian pada Gesa, ia pun membalasnya dengan senyum. Itu saja. Karena kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, bukan?

Tak hanya dekat dengan rekan seusia, Gesa juga luwes bergaul dengan kakak kelas, para guru, bahkan semua pegawai di sekolah. Bahkan Cak Mud, satpam sekolah, pun sering menggodanya karena memiliki banyak penggemar lelaki.

Dengan cueknya, Gesa pun bertanya pada Cak Mud saat sedang makan di kantin milik Bu Hindun, istri Cak Mud, “Ya udahlah, Cak Mud. Aku pokoknya mau sama yang paling keren di sekolah. Siapa idola di sini, Cak? Dia harus jago sepakbola dan pandai main gitar, ya. Terus, dia juga mesti cerdas dan kalem. Hayo, nggak ada, kan?”

Gesa yakin sekali dengan tebakannya. Karena sebagai siswi yang ikut ekskul Band sebagai vokalis, ia tidak pernah menemukan lelaki yang memenuhi semua kriteria tersebut selama ia berlatih.

“Wah, ada, Mbak Gesa! Itu Mas Ben, anak kelas 3G. Cocok!” seru Cak Mud sambil mengacungkan jempol.

“Ben? Kelas 3G? Berarti sekelas sama Mas Iwan?” tanya Gesa sambil melongo. Ote-Ote pun tersendat lajunya untuk masuk mulut, hanya tergantung sampai di ujung bibir Gesa. Wah, iya! Gesa lupa kalau anak kelas 3 sudah tidak ikut ekskul karena diminta berfokus pada ujian nasional.

“Betul! Betul! Mas Iwan, kan satu desa sama Mbak Gesa, ya?” Cak Mud antusias.

“Satu jalan, malah. Oke, terima kasih infonya, ya, Cak Mud!” sahut Gesa sambil meluncur pergi.

“Lho? Mbak Gesa, bayar dulu!” seru Bu Hindun.

“Ngutaaanggg …! Besok kalau ada yang ngaku naksir saya, suruh bayarin aja, Bu!” teriak Gesa sambil tergelak menjauh. Ia sangat bersemangat pulang sore ini. Tujuannya satu, ke rumah Mas Iwan. Gesa sangat penasaran. Apa iya, ada lelaki yang sekeren itu?

Usai Magrib, Gesa bergegas ke rumah Iwan. Cukup berjalan kaki saja, karena memang dekat dengan rumahnya. Begitu dipersilakan masuk, Gesa pun bertanya, “Mas, di kelasmu ada yang namanya Ben, ya?”

“Wah, iya, benar. Ada apa kamu tiba-tiba ke sini menanyakan dia?” Iwan tampak kaget sekaligus senang. Gesa pun menceritakan kejadian sepulang sekolah tadi di kantin Bu Hindun. Iwan jadi semakin lebar senyumnya, bahkan tertawa.

“Kebetulan sekali! Soalnya, memang sejak majalah sekolah terbaru itu terbit, Ben tertarik sama foto kamu yang di sampul depan itu, lho,” jelas Iwan. 

“Ha? Itu kan, aku sedang membaca Pembukaan UUD ’45 di upacara bendera? Apa istimewanya? Wong, motretnya seluruh badan, agak jauh. Wajahku juga judes, gitu,” Gesa tak habis pikir. Dan Iwan pun kembali terbahak-bahak.

“Ya, pokoknya dia tertarik sama kamu. Katanya, kamu culun sekali,” keterangan Iwan yang sama sekali tidak mencerahkan. Culun dicampur judes, apa menariknya?

“Kayak gimana sih, orangnya? Punya fotonya, nggak?” tanya Gesa penasaran. Iwan terburu-buru mencari kumpulan foto teman sekelasnya. Didapatnya sepotong pasfoto Ben berukuran 3x4, “Ini!” katanya sambil menyerahkan pada Gesa.

Lamat-lamat Gesa mengamati wajah di dalam foto itu. Berkali-kali ia membetulkan letak kacamatanya seolah sulit sekali mendapatkan fokus yang tepat. Pandangannya memicing, “Yang kayak gini namanya idola sekolah?”

“Ganteng lho, dia. Baik lagi. Nggak aneh-aneh lah, sama cewek,” promosi Iwan.

“Ganteng apanya? Muka pasaran begini. Bibirnya aja menutup rapat dan mewek. Benar-benar kayak nggak punya gairah hidup,” ucap Gesa kesal.

“Eee … Aslinya lebih ganteng itu. Dia juga Milanisti, lho. Sama kayak kamu, kan? Idolanya juga Van Basten dan Maldini,” Iwan tetap saja gencar menyerang.

Gesa melirik sekilas dan menolehkan wajahnya. Matanya sempat berbinar. Namun, mengingat foto tadi, ia jadi mendesah malas. “Terus, kamu bilang apa soal aku, Mas?” tanya Gesa.

“Ya, kubilang kamu itu adikku. Dia nggak boleh macam-macam sama kamu. Kalau dia serius, baru aku mau kenalin,” jawab Iwan.

“Dan sampai sekarang, aku nggak dikenalin. Berarti dia tidak serius, kan?” Gesa mencibirkan bibirnya.

“Serius, lah! Ini juga aku baru mau kasih tahu kamu,” sergah Iwan.

“Ooo … Ya udah. Besok siang kenalin, ya, di kantin Bu Hindun,” kata Gesa disambut anggukan Iwan. Gesa pun pamit pulang. Perasaannya di antara ragu dan ingin tahu sepanjang malam, menunggu hari esok terbit.

Di SMP ini, hanya siswa kelas 2 dan 3 yang masuk pagi. Sedangkan siswa kelas satu masuk siang, bergantian ruang dengan kelas 3. Walaupun jumlah ruangan di sekolah ini memang banyak, namun siswa yang diterima pun melimpah. Ada 10 kelas, dari A sampai J, untuk setiap jenjang.

Siang itu, Gesa berusaha berangkat lebih awal. Ia tidak mau kehabisan waktu bertemu dengan Ben. Nanti perkenalannya jadi terlalu singkat karena terputus oleh bunyi bel tanda masuk. Begitu memarkir sepedanya, ia segera bergegas menuju bagian belakang sekolah.

“Bu Hindun, Lontong Mie satu, ya. Kali ini aku bayar, kok. Sama yang kemarin juga,” ujar Gesa berusaha bersikap semanis mungkin. Tak enak juga rasanya kemarin ia berutang tanpa sosialisasi dulu ke Bu Hindun.

Tak disangka, Bu Hindun justru menyambutnya dengan senyuman yang lebih legit dari biasanya, “Nggak usah, Mbak Gesa. Sudah ada yang bayar, kok,” katanya sambil mengibaskan tangan kanan. Gesa cuma bisa mendelik terkejut. 

Beberapa detik kemudian, roman muka Gesa kembali cerah. Berhubung Bu Hindun menyorongkan sepiring Lontong Mie ke hadapannya. Gesa pun menyantapnya dengan lahap. Terdengar suara petikan gitar dari kantin sebelah yang lebih besar, lagu Kangen dari Dewa 19. Rupanya, itu adalah Ben bersama teman-temannya. 

Iwan mengintip kantin Bu Hindun dan melihat Gesa sedang menikmati Lontong Mie. Segera ia memanggil Ben, “Sini! Ini lho, model sampul majalah sekolah kita. Lebih cantik aslinya, kan? Katanya kemarin ingin kenalan. Ayo, buruan! Biar nggak penasaran lagi,” katanya pada Ben.

Gesa dan Ben pun berjabatan tangan sambil saling menyebutkan nama. Ben Aldebaran, itu nama lengkapnya. Ternyata ia tak sebiasa fotonya. Perawakannya tinggi dengan berat badan yang proporsional. Kulit, iris mata, dan rambut ikalnya, semua bernuansa kecokelatan.

Matanya bersinar lembut dan dalam. Hidungnya tinggi. Bibirnya memang tipis dan sering tertutup rapat. Namun hari itu, ia berikan senyum malu-malunya sambil memperlihatkan sederetan gigi putihnya yang rapi. Mengingatkan pada Chef Juna Rorimpandey di masa kini.

Ben dan Iwan mengajaknya bergabung dengan teman-temannya di kantin sebelah. Ben sangat pendiam. Gesa yang duduk di sebelahnya pun memilih untuk diam. Teman-teman ben mulai meledek, “Duh, Ben! Banyak cewek cantik yang naksir kok malah milihnya adik kecil, ya? Udah lugu, kepang dua, kacamata tebal lagi.”

Ben berucap lirih pada Gesa, “Cuekin, ya. Jangan diambil hati. Mereka hanya kaget, karena ini perdana bagi mereka. Baru kali ini aku yang nyamperin cewek. Mulai sekarang, kalau ada PR, apa lagi Bahasa Inggris dan Matematika, bilang ya. Nanti aku bantu.”

Sejak hari itu, Iwan rajin menyampaikan salam Ben untuk Gesa. Sudah berhari-hari, dan Gesa hanya membalasnya dengan mengangguk. Lama-kelamaan Iwan jadi gusar, “Nggak dibalas salamnya?”

“Nanti. Kalau sudah numpuk segini!” jawab Gesa sambil mengangkat tangan setinggi-tingginya. “Lagian, kenapa yang naksir dia, sih? Mending Mas Rio, deh. Teman kalian itu. Cakep, putih, tinggi, ramah, … Ben apaan? Senyum aja pelit banget. Gitu kok jadi idola,” Gesa terus bersungut-sungut.

Esoknya, Ben mengejutkan Gesa dengan bertandang ke rumahnya. Katanya, ia sedang mencari Iwan, namun ternyata Iwan sedang keluar. “Sekalian, mau memberikan ini untukmu. Bagi-bagi rezeki. Aku baru saja menerima hadiah juara pertama di turnamen taekwondo se-Jawa Timur,” ucap Ben sambil mengulurkan dua benda pada Gesa. 

Dilihatnya sebotol parfum dan sekotak jam tangan. Saat dibuka, ternyata itu jam tangan digital berwarna kuning glossy dari bahan plastik. Pilihan bergaya bagi para remaja di masa itu. Wow! Perempuan mana yang tak melayang dibuatnya.

Kepopuleran Ben segera terbukti tiga hari kemudian. Akhirnya, Gesa memanfaatkan Ben untuk membantunya mengerjakan PR Bahasa Inggris di sekolah. Seorang siswi datang menghampiri Ben dan memberikannya sepucuk surat, “Titipan dari Nuke.”

Dengan pandangan tetap lekat pada buku tugas Gesa, Ben menjawab, “Berikan ke Gesa saja. Biar Gesa yang baca.” Perempuan pembawa surat itu pun kaget. Ia segera pergi. Mungkin ia sudah tak sabar ingin menceritakan kejadian itu kepada Nuke.

Walaupun bingung, namun Gesa penasaran juga dengan isi surat tersebut. Karena merasa sudah diizinkan, ia pun membuka amplop merah muda bergambar bunga dan hati yang lembut itu. Tercantum di atasnya nama label kertas surat yang sangat hype di zamannya.  

Begitu sisi amplop tersobek, selembar foto pun jatuh ke meja Gesa. Termuat di dalamnya sosok perempuan manis dengan bibir penuh berlipstik merah. Rambutnya lurus tertata rapi, dengan poni trap samping yang sedikit mengembang. 

Gaun berlengan panjangnya berwarna hijau muda dari bahan mengkilat seperti satin, dengan posisi berbaring di sisi tubuhnya. Melihat latar bokeh gelap dan bayangan cahaya yang menimpanya, pasti ini hasil jepretan di studio foto. 

Jelas sekali, perempuan yang katanya bernama Nuke ini sedang berusaha keras untuk menunjukkan penampilan terbaiknya di depan Ben. Isi suratnya? Bisa ditebak. Ungkapan cinta untuk Ben.

“Siapa Nuke?” tanya Gesa berusaha memecah keheningan.

“Anak kelas 2,” jawab Ben singkat. Melihat Ben acuh tak acuh saja dengan surat itu, Gesa pun memilih untuk tidak mempermasalahkannya lebih panjang. 

“Mas, dulu waktu kelas 1 dan 2 ikut ekskul apa?” kejar Gesa mengusir rasa bosan.

“Nggak ikut apa-apa. Males. Banyak ‘lalat’,” jawab Ben sekenanya.

“Ooo … Maksudnya susah mandi kalau hari Minggu, ya? Pantesan dikerubungi lalat. Hahaha …” seloroh Gesa lebih asal lagi. Ben hanya menepuk keningnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri lalu merapikannya kembali dengan tangannya.

Sebentar lagi Ben lulus. Ia bisa saja bertemu dan jatuh cinta pada perempuan lain di SMA. Gesa tak peduli. Yang ia tahu, saat ini ada kakak kelas yang sangat perhatian padanya. 

Tugas-tugas sekolahnya pun terselesaikan dengan aman, karena ada yang selalu siap membantu. Mereka berdua jadi sering bernyanyi bersama lagu Kangen. Sepertinya, Gesa hanya merasa perlu tahu itu. 

Ia sadar, ayahnya juga tak mungkin mengizinkannya berhubungan terlalu dalam dengan pria mana pun. Gesa selalu memastikan Ben untuk tidak lagi mendadak datang ke rumah. Kawatir bertemu dengan ayahnya, dan kembali menimbulkan kegaduhan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Hallway at Night
3389      1843     2     
Fantasy
Joanne tak pernah menduga bahwa mimpi akan menyeretnya ke dalam lebih banyak pembelajaran tentang orang lain serta tempat ia mendapati jantungnya terus berdebar di sebelah lelaki yang tak pernah ia ingat namanya itu Kalau mimpi ternyata semanis itu kenapa kehidupan manusia malah berbanding terbalik
Redup.
385      225     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Janji-Janji Masa Depan
10049      2955     11     
Romance
Silahkan, untuk kau menghadap langit, menabur bintang di angkasa, menyemai harapan tinggi-tinggi, Jika suatu saat kau tiba pada masa di mana lehermu lelah mendongak, jantungmu lemah berdegup, kakimu butuh singgah untuk memperingan langkah, Kemari, temui aku, di tempat apa pun di mana kita bisa bertemu, Kita akan bicara, tentang apa saja, Mungkin tentang anak kucing, atau tentang martabak mani...
Renjana
367      270     2     
Romance
Paramitha Nareswari yakin hubungan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan penuh kepercayaan akan berakhir indah. Selayaknya yang telah ia korbankan, ia berharap agar semesta membalasnya serupa pula. Namun bagaimana jika takdir tidak berkata demikian? "Jika bukan masaku bersamamu, aku harap masanya adalah milikmu."
Selepas patah
116      97     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Dinikahi Guru Ngaji
482      364     1     
Romance
Hobby balapan liar selama ini ternyata membuat Amara dipindahan ke Jakarta oleh Kedua orang tuanya, Rafka begitu kahwatir akan pergaulan bebas yang selama ini terjadi pada anak muda seperti putrinya. Namun, saat di Jakarta ternyata Amara semakin tidak terkendali, Rendra akhirnya akan menjodohkan cucunya dengan seorang duda anak satu. Shaka adalah guru Ngaji di TPA tidak jauh dari rumah ...
Warisan Kekasih
618      435     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
Fallin; At The Same Time
1863      1020     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
SEPATU BUTUT KERAMAT: Antara Kebenaran & Kebetulan
5731      1802     13     
Romance
Usai gagal menemui mahasiswi incarannya, Yoga menenangkan pikirannya di sebuah taman kota. Di sana dia bertemu seorang pengemis aneh. Dari pengemis itu dia membeli sebuah sepatu, yang ternyata itu adalah sebuah sepatu butut keramat, yang mana setiap ia coba membuangnya, sebuah kesialan pun terjadi.
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
410      293     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?