Di usia 11 tahun, Gesa pindah dari Kota Pahlawan ke Kota Udang. Sejak itu, Gesa sudah menarik minat para pemuda di desanya. Tahun ini ia memang mendapatkan haid pertamanya. Mungkin, itu pula yang membuat kemolekannya semakin bersinar.
Sebut saja Toto, seorang pemuda yang tinggal di rumah iparnya, tak jauh dari rumah Gesa. Sebenarnya, ia sudah berpacaran dengan Nini, anak bungsu dari tetangga depan rumah. Toto suka sekali mengikuti Gesa ke mana pun ia pergi.
Puncaknya, Nini menemukan buku harian Toto yang semua isinya berupa rasa kagumnya pada Gesa. Nini pun jatuh demam dan tidak mau lagi pergi sekolah. Gesa sampai dipanggil oleh Bu Sujito, ibu Nini, dan dinasihati untuk tidak lagi menggoda Toto. Padahal, siapa yang menggoda, ya?
Ada juga Al, Sang Ketua Karang Taruna. Ia selalu melindungi, perhatian, dan bersikap baik pada Gesa. Namun, akhirnya semua pemuda di desa itu mundur teratur, tidak lagi berani mendekati dan berharap terlalu dalam pada Gesa.
Penyebabnya tak lain karena lambat-laun mereka mengetahui bahwa Badra Kaifan pun menaruh hati padanya. Para pemuda merasa segan bersaing dengannya, karena Badra adalah seorang anak tuan tanah yang kaya raya dan terkenal sangat baik hati.
Badra telah berusia 17 tahun ketika itu. Wajahnya cukup manis dengan garis muka khas pemuda Jawa. Kulitnya cokelat sawo matang, dengan perawakan tubuh kurus tinggi, dan rambut ikal.
Menginjak kelas 6 SD, Gesa mulai dekat dengan Badra. Ia senang saja, karena Badra adalah pemuda yang halus tutur katanya. Bersama Badra, Gesa merasa aman pergi ke mana pun. Karena, banyak orang yang mengenal Badra dengan baik. Tak ada yang berani mengganggu Gesa sejak kabar kedekatan Gesa dengan Badra semakin merebak.
Sebenarnya, Gesa tidak benar-benar jatuh cinta pada Badra. Ia hanya merasa sayang. Sejak dulu, Gesa memang ingin memiliki kakak lelaki. Badra telah mengisi ruang kosong yang selama ini dirindukan Gesa, di tengah perlakuan kasar yang sering diterimanya dari Ayah.
Tak perlu menunggu lama hingga kabar tentang hubungan Gesa dengan Badra sampai ke telinga sang ayah. Beliau gerah sekali mendengar berbagai berita tentang Gesa yang tersebar dari mulut ke mulut. Seolah terus mendengung di dalam udara desa.
Itulah yang menyebabkan Beliau sering bertindak keras pada Gesa. Ia merasa perlu mendisiplinkan Gesa agar tidak terlalu akrab dengan para pemuda. Malu rasanya memiliki anak putri yang selalu menjadi bahan omongan miring di antara ibu-ibu.
Seperti yang bisa ditebak, ayah Gesa pun naik pitam mendengar kali ini Gesa benar-benar memiliki hubungan khusus dengan Badra. Melihat Badra sedang di rumah depan mengunjungi Edi, teman karibnya sekaligus kakak Nini, ayah Gesa tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Terjadilah keributan di rumah Bu Sujito. Keributan monolog yang diperankan oleh ayah Gesa, dan berakhir dengan tamparan di pipi Badra. Ayah Gesa memperingatkan Badra agar tidak mendekati putri sulungnya lagi.
Peristiwa ini cukup mengakibatkan hubungan Gesa dan Badra agak renggang. Mereka mulai mengurangi intensitas pertemuan. Namun, apa mau dikata, Gesa masih saja haus perhatian dan kelembutan Badra, yang tak jua pernah dibayar oleh ayahnya bahkan selepas ia jauh dari Badra.
Pada dasarnya, Badra pun selalu perhatian dan ingin melindungi Gesa. Pertemuan mereka sejatinya tak pernah bisa dielakkan, karena keduanya aktif dalam kegiatan Karang Taruna. Perlahan, mereka berdua pun mulai berinteraksi lagi.
Lalu, kejadian itu pun terulang. Di tempat yang sama, dengan alasan yang sama, dan teriakan yang sama. “Masih berani kau mendekati anakku lagi, ha? Kaupikir aku tak tahu akal busukmu ingin memperdaya anakku?”
Wajah bergaris tegas itu semakin mengeras dengan otot-otot menegang yang lebih tampak alurnya. Roman muka ayah Gesa terus menggelap, dengan pandangan tajam laksana elang.
Kacak pinggang dan posisi kepalanya yang mengulur ke depan semakin membuatnya tampak mirip dengan burung buas yang sedang bersiap menerkam mangsanya.
Dan, sayap kanan itu pun terentang, menyambar lawan yang menunduk hormat di hadapannya. Badra mendapatkan tamparan ayah Gesa untuk kedua kalinya di rumah Bu Sujito. Entah, hal ini akan berlangsung berapa kali lagi.
Masalah yang sama akan terus berputar-putar, selama kebutuhan Gesa akan kasih sayang seorang ayah belum juga ia dapatkan. Perlu adanya pemicu lain bagi Gesa untuk benar-benar melepaskan diri dari Badra.
Dan pemicu itu segera hadir setelahnya. Tanpa disangka, Yuni yang selama ini dikenal sebagai sahabat dekat Badra, mengaku terang-terangan pada ibunya bahwa ia mencintai Badra. Ibu Yuni mendatangi Bunda untuk menyampaikan hal tersebut, dan meminta agar Gesa tidak lagi bersama Badra.
“Sudahlah, Yu. Tak usah lagi kamu dekat dengan Badra. Kalau dia mendatangi kamu, pergi saja. Ayah dan Bunda ini malu sekali terus-terusan menjadi gunjingan orang sedesa. Toh, kamu ini masih kecil, masih sangat muda. Perjalananmu masih panjang. Masa kamu mau menggantungkan hidupmu hanya pada seorang pria? Iya kalau Badra benar-benar mau menunggu kamu sampai dewasa. Kalau ia keburu terjerat perempuan lain, bagaimana?” tutur Bunda.
Gesa hanya bisa nanar menatap dinding. Sebenarnya, ia tak masalah jauh dari Badra. Muak juga membayangkan bagaimana bundanya diomongi dengan ketus oleh ibu Yuni. Ia juga sudah sangat jenuh dengan tatapan sinis para ibu setiap kali berjalan. Sebenarnya, Gesa juga ingin meredam semuanya. Walau hasilnya, ia akan kembali merasakan kehampaan di dalam hatinya.