Dalam ruangan luas itu suasana terasa tegang dan panas, padahal ada lebih dari satu pendingin ruangan yang terpasang. Tatapan tajam seorang ayah tak sedikitpun beralih dari sosok dihadapannya yang tak kalah balas menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun.
“Jadi ini tujuan kamu tinggal di apartemen? Supaya kamu bisa urak-urakan diluar? jawab Panca!” ujar Fakhryan diakhiri bentakan.
“Kalau iya emang kenapa? Ayah nggak punya hak untuk melarang Panca,” jawab Panca tanpa sedikit pun merasa takut.
“Apa kamu bilang, nggak berhak? justru ayah sangat berhak untuk mengatur kamu panca!”
“Mas jangan,” cegah Khansa ketika suaminya itu hendak mengangkat tangannya.
Fakhryan luluh dan menurunkan tangannya. Dihadapannya terlihat jelas Panca menyunggingkan senyum sinis.
“Seorang suami yang bahkan nggak pernah berani membantah sama istrinya, apa itu yang dibilang Ayah yang bertanggungjawab.”
“Panca,” geram Fakhryan.
“Kenapa yah? Bahkan sekarang aku bisa mengira bahwa dulu ayah bahkan sama sekali nggak nangis kan waktu pemakaman mama. Karena ayah sama sekali nggak peduli dengan mama bahkan sampai mama pergi sekalipun. Dimata ayah, semuanya itu buran karena tertutupi sama rasa cinta ayah sama perempuan ini,” ucap Panca tajam mengarah pada Khansa. “Perempuan yang sudah menghancurkan kehidupan mama!”
PLAKK!!!
Panca menyentuh bagian kiri pipinya yang terasa berdenyut dan membiru karena tamparan sang ayah yang begitu keras.
“Jaga ucapan kamu Panca, perempuan yang kamu maksud ini istri ayah, dia bundamu juga yang sudah merawatmu dari kecil. Tega-teganya kamu berbicara seperti itu.”
“Mas udah,” peringat Khansa menyentuh lengan suaminya.
“Nggak sayang, dia sudah keterlaluan sama kamu.”
“Ayah sudah tidak tau lagi, harus bagaimana menghapus pandangan salah yang ada difikiran kamu itu,” Fakhryan mengusap wajahnya kasar. “Sekarang terserah kamu mau dengar kata ayah atau tidak. Yang jelas jika sekali kamu kembali tinggal di apartemen itu semua fasilitas kamu ayah cabut.”
...............................
Coba tanyakan kepada bumi dan langit siapa yang tidak mengenal Pancaroka, pasti jawabannya tidak ada. Karena semua mengenalnya. Tetapi coba sekarang tanya pada Panca, siapa temannya. Jawabannya pasti tidak ada. Jabatan ketua geng hanyalah simbolis, karena faktanya tak seorang pun dari mereka adalah temannya. Baginya mereka hanyalah bawahan dan partner rusuh.
Hidupnya terlewat gelap hingga setitik cahaya pun tak sempat masuk. Baginya di dunia ini semuanya itu sama, sifat manusia itu hanya bullshit. Tak ada yang dapat benar-benar dipercaya. Itu sebabnya memilih menutup diri adalah opsi yang terbaik.
“Shitt,” maki Panca memukul tangki motornya. “lo punya mata nggak sih, untung nggak gue tabrak!”
Meskipun gelap gadis itu masih bisa mengenali siapa yang tengah memaki dirinya dan hampir saja menabrak dirinya.
“Kamu kalau nggak berniat menolong nggak usah maki-maki,” dengan kesal gadis itu berdiri dengan susah payah karena lututnya sedikit terluka.
“Kamu menyalahkan orang lain seakan dia salah, padahal kamu sendiri yang paling salah karena menggunakan jalanan umum untuk kebut-kebutan. Untung hari ini aku yang jadi korban kalau misalnya orang lain mungkin udah dibawa dibawa ke kantor polisi kamu.”
“Jadi lo nyalahin gue?” tanya Panca menunjuk dirinya sendiri. Ternyata selain adiknya, cewek dihadapannya ini sangat berani memarahinya.
“Iya, karena kamu yang salah,” kata gadis itu lagi tak ada takut-takutnya padahal wajah Panca sudah segarang itu. Entah mengapa Panca menjadi terdiam ketika gadis itu menyalahkannya.
“Tunggu,” Panca berusaha mencegah gadis dihadapannya itu pergi. Dengan kesal gadis itu berbalik tatkala Panca justru menahan tangannya.
“Gue Panca,” ujar Panca memperkenalkan dirinya entah untuk apa. Yang jelas gadis itu tak memperdulikannya.
Gadis itu memandang sekilas cowok berhelm didepannya, lalu menghempaskan tangannya begitu saja tanpa berniat menanggapi. Gadis itu tahu maksud Panca memperkenalkan dirinya, apalagi jika bukan untuk berkenalan.
......................
Pagi di kediaman Atmajaya selalu saja ramai, apalagi jika bukan karena ulah sepasang anak kembar mereka yakni Ray dan Alisya. Sepasang anak kembar yang memiliki kepribadian yang berbeda.
“Ih Kakak balikin itu punya aku.”
“Nggak mau Wlee,” balas Ray semakin meninggikan tangannya.
“Bunda! Ayah!” Alisya berteriak nyaring memanggil ayah dan bundanya.
“Aduh Alisya ada apa sih kog teriak-teriak?” tegur Khansa menghampiri. Ibu tiga anak ini merasa geregetan dengan tingkah putrinya.
“Bunda, Kak Ray tuh jailin Alisya terus. Masa buku diary aku diambil,” Alisya mengadu namun lebih menyerupai rengekan manja pada bundanya.
Khansa menggelengkan kepalanya membuat Ray meringis karena mendapatkan pelototan maut dari sang bunda.
“Iya-iya ini Ray balikin,” akhirnya Ray mau mengembalikan buku diary milik adiknya.
Ray seperti akan ditikam dua singa. Satu bundanya, yang satu lagi tatapan tajam ayahny. Salahnya juga sih membuat ulah pagi-pagi buta begini.
Karena sudah berhasil mendapatkan miliknya lagi, dengan sombongya Alisya memeletkan lidahnya mengejek sang kakak.
“Alisya,” Fakhryan menegur putrinya suapaya tidak kembali memancing keributan.
Alisya mendengus namun kemudian tersenyum tatakala rangkulan dari sang kakak bertengger dibahunya. Meskipun sering bertengkar, tapi sesungguhnya mereka tetaplah saling meyayangi. Itu pula yang selalu membuat Fakhryan dan Khansa menjadi tenang.
“Panca kamu nggak sarapan dulu?” tanya Khansa kepada sosok yang baru saja turun, menuruni anak tangga tanpa menoleh sedikitpun.
“Males,” jawab Panca tanpa berfikir.
“Dasar manusia kaku,” Cibir Alisya merasa kesal dengan sifat abangnya yang sangat mirip dengan kanebo kering.
“Udah biarin aja, mending kita sarapan,” Ray berkata seraya mengajak adiknya menuju meja makan untuk sarapan.
Khansa hanya bisa menghela nafasnya berat, jika tidak ada Fakhryan yang selalu menguatkannya mungkin perempuan itu sudah menangis sekarang. Panca sangat membenci dirinya, padahal Khansa sangat menyayangi anak itu. Ia tak pernah membedakannya dengan Ray maupun Alisya yang merupakan anak kandungnya.
................................
Atmajaya International High School (AIHS). Siapa yang tidak akan bangga jika berhasil menginjakkan kaki disekolah bergengsi ini. Pamor para alumninya saja bukan kaleng-kaleng.
Mobil Ranger Rover keluaran terbaru berhasil terparkir dengan sempurna di tempat parkir khusus mobil. Umumnya disamping cowok ganteng, pasti ada cewek cantik. Tetapi hal itu nampaknya tidak berlaku untuk seorang Panca.
Hari ini adalah hari pertamanya menginjakkan kaki di sekolah yang memiliki nama yang sama dengan nama belakangnya. Karena keputusan Fakhryan yang tidak dapat dibantah, mau tidak mau Panca harus mengikuti kemauan sang ayah apabila tak ingin fasilitasnya dicabut.
Mulanya Panca memang tidak bersekolah di sekolah milik keluarganya itu. Ia lebih memilih bersekolah di sekolah swasta karena ingin kebebasan. Tapi karena kesalahannya kemarin, ayahmya jadi murka. Kini mau tidak mau ia harus rela pindah sekolah dan memperbaiki kelakuannya di sekolah barunya itu.
Besar ketakutan Fakhryan, jika terus membiarkan Panca berlaku semaunya, karena sudah pasti ia akan semakin liar walaupun faktanya Panca itu sangat cerdas.
“Ini kelas kamu, 12 Unggulan.” Panca hanya menagngguk lalu duduk begitu saja disalah satu bangku yang berada di paling belakang. Alasannya, tentu saja biar bisa tidur saat jam pelajaran.
Semua murid yang mulanya diam perlahan mulai berbisik membicarakan kehadiran Panca. Pasalnya yang mereka tahu cowok itu sekolah di sekolah lain, entah kenapa tiba-tiba pindah kesini. Cowok itu juga terkenal trouble, pastinya mereka merasa was-was dan takut.
Karena merupakan orang yang tidak suka berbasa-basi. Tidur dengan menyumpal telinganya dengan headset adalah pilihan yang terbaik. Sembari menunggu kehadiran guru yang sudah pasti akan menambah nyenyak tidurnya. Tahu kenapa? Karena materi dari guru itu sudah seperti dongeng pengantar tidur. Alias membosankan.