Aku dan Ares Si Bembeng ini duduk pada warung pecel lele. Sebuah warung pinggir jalan yang hanya berdiri dengan tenda kayu dan ditutupi dengan kain putih yang juga berfungsi sebagai daftar menu dengan gambar besar. Warung ini tidak ramai tapi juga tidak sepi. Dari sekitar delapan meja, setengahnya terisi. Tempe dan tahu goreng terhidang di meja kami, lengkap dengan es teh manis. Dia membawaku ke sini menjauhi teman-teman yang kusut dan lusuh tadi, memilih sebuah warung secara acak di sekitar minimarket.
Aku menyebarkan seluruh pandangan pada Ares yang tengah duduk di depanku. Dia mengenakan kaos dengan gambar kodok hijau bermata besar tersenyum kekanak-kanakan. Sudah bukan gayanya, gambar itu juga bukan karakter yang dia suka. Aku yakin sekali itu bukan kaosnya. Melihat wajahnya yang jauh lebih tirus dan … entah bagaimana mengatakannya tapi dia tampak terbengkalai, membuatku cukup bisa menebak bahwa beberapa minggu terakhir juga tidak mudah untuknya. Dia yang sepertinya tidak nyaman aku soroti demikian, sesekali melempar pandangan ke jalan. Aku ingin menanyakan luka bakar pada lengannya, tapi melihat tidak ada perban yang menggulung di sana, aku simpulkan luka itu sudah sembuh. Kalaupun belum sepertinya bukan perihal serius.
Setelah hampir lima menit tidak ada pembicaraan, akhirnya dia menanyakan hal yang sudah jelas dia tahu jawabannya.
“Gua ngirim kunci. Nyampe?” Katanya.
“Nyampe.”
Aku menyeruput minuman. Tidak ada lagi suara selain seorang pengamen sedang menyanyikan dengan baik lagu-lagu dari Dewa 19 yang sayangnya berpadu dengan suara gemericik ayam digoreng di dalam kuali besar.
“Gimana kabar lu?” tanyanya yang kikuk mengambil tempe goreng.
Aku melipat kedua tangan di dada, menatapnya yang semakin kesusahan mengunyah. Menghela nafas sebab tahu mungkin saja pertanyaannya yang hampa itu hanya lompatan untuk memulai sebuah percakapan. Lagi pula aku malas menjawab pertanyaan itu. Jawaban dari pertanyaan itu bagai mencungkil lagi kekecewaan dan sakit hati yang telah aku sembunyikan dalam-dalam.
“Alat optik udah diganti.” Kataku memberikan informasi yang memang patut dia ketahui.
“Hah?” dia ternganga dengan memperlihatkan tempe yang ada di dalam mulutnya, “emang cukup uang yang dari gua?”
“Kagak, lah!”
“Terus?”
“Mami ngasi uang.”
“Hah?!” Seru Ares lagi kali ini terbelalak dan nyaris berteriak kuat jika saja tidak segera sadar sedang berada di tengah-tengah warung makan. Sesudahnya dia tampak resah, gelisah dan jari-jarinya mengetuk meja dengan kuat.
“Kenapa lu?” tanyaku heran.
“Itu uang sogokan, bego!” Dia menggaruk-garuk rambut yang dulu selalu berkilau karena sehat kini justru kilap karena lepek.
Aku tidak paham dengan apa yang dia maksud dengan sogokan, lalu menatapnya menuntut penjelasan.
“Wah, parah si madam! Gua jelas-jelas nolak, lho! Makanya gua kerja begini!” katanya sambil menggebrak meja dengan kesal.
“Kerja ‘begini’ gimana?” tanyaku menyelidiki. Jujur itu terdengar jauh lebih mengganggu daripada mami yang memberikan sogokan.
Dia diam, menelan ludah. Toleh kiri dan kanan, menggaruk dagunya dengan ragu, “lu sibuk?” tanyanya kemudian.
Ingin aku menjawabnya dengan mengatakan tidak ada lagi waktu santai bagiku sejak kebakaran itu terjadi. Tapi itu akan terlalu menghakimi jika dibandingkan dengan penampilannya yang cukup memprihatinkan: lusuh, kusut dan kurus. Bulu-bulu halus pada wajahnya itu tidak tumbuh teratur. Sisa-sisa ketampanannya memang masih terlihat, buktinya dia masih saja dilirik oleh pengunjung perempuan warung ini. Tapi, aku yang tahu bagaimana dia menjaga penampilan dulu, tentu bertanya-tanya apa yang dia lalui hampir sebulan terakhir. Pekerjaan apa yang dia lakoni sehingga membuatnya nyaris saja menjadi orang yang berbeda.
“Enggak.” Jawabku singkat.
“Abis ini ikut gua,” katanya berbisik sambil mencondongkan badan, “gua gak bisa ngobrol bebas di sini.”
Semakin berhati-hati, semakin aku merasa ada yang tidak benar. Aku tidak bisa menatapnya tanpa kecurigaan yang besar. Belum lagi jika mengingat jumlah uang yang sudah dia transfer selama sebulan ini. Mungkin kini tatapanku berubah menjadi menekan. Dia mundur, menyandarkan punggungnya sambil menghela malas, “Aman, gua gak ngedar. Mereka juga bukan bandar,” ujarnya yang tampak paham sekali skenario apa yang sedang berputar dalam kepalaku.
“Oh?” Aku mengangguk, “ oke.”
Kami bercerita sambil mengangsur tempe dan tahu goreng. Ares menanyakan bagaimana Aruna, ibuku dan Marwa serta Tyas bereaksi terhadap kebakaran. Aku menceritakan yang sebenarnya, bagaimana Aruna membantuku. Bagaimana campur tangan Pak Yahya dan Bu Dewi. Ibu dan Marwa yang segera datang. Aku menceritakan semuanya kecuali bagian ibu menangis. Beberapa kali dia gagal memasukkan makanan ke mulutnya sebab dia merasa sudah dilahap duluan oleh penyesalan.
“Maafin gua, Gam. Gua gak maksud biarin lu beresin semuanya sendiri.”
Dia benar-benar nyaris mengeluarkan air mata jika saja aku tidak melempar tisu yang baru saja aku lap ke mulut, “Udahlah…, udah lewat juga. Gak usah nangis. Geli gua!”
Dia tertawa pelan dan terdengar ragu, “Gua utang banyak sama lu!” lalu ikut-ikutan melempar tisu bekasnya.
Berjarak meja, dia merangkul, memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Aku melakukan hal yang sama, hanya saja aku juga dengan sengaja menyeka tanganku yang berminyak pada kaos kodok lusuhnya.
“Sialan lu!” ujarnya saat tahu dan melepas rangkulan itu segera.
“Udah bulukan juga tuh kaos!”
“Iye, sih.”
Meninggalkan warung makan, tanpa menghabiskan kudapan, kami berjalan bersisian, melewati trotoar dengan lampu jalan temaram. Lalu lintas yang ramai membantu trotoar ini jauh terlihat lebih semarak. Dia memintaku meninggalkan motor di parkiran minimarket tadi.
“Gak jauh. Jalan aja.” Ucapnya saat kami baru saja keluar dari warung pecel lele.
Selama perjalanan, dia kembali menanyakan bagaimana pelanggan Gammares terselesaikan dan apa yang aku sedang kerjakan sekarang. Aku juga menceritakan bagaimana keadaan Cak Son yang sudah jauh membaik. “Kalau semuanya udah beres, gua kunjungin tuh bapak-bapak,” ujar Ares saat aku mengatakan Cak Son menanyakan kabarnya.
Kami berbelok ke gang sempit saat aku menanyakan bagaimana bisa Trisna mengirimkan uang atas namanya.
Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Mungkin kejadian ini ada hikmahnya. Gua udah jadian sama dia, udah dua mingguan.”
Walau menunduk dan gang ini cukup gelap, matanya yang berkilat-kilat tidak mampu dia sembunyikan. Senyumnya masih bertahan, mungkin mengingat bagaimana hari itu bisa terjadi, mungkin juga di kepalanya kini ada wajah yang selalu dia nanti-nanti.
Aku yang tadi sempat berhenti, terperangah karena senang dan terkejut, kini bertanya-tanya dalam hati bagaimana bisa tembok kokoh yang menjulang tinggi pada keluarga Trisna bisa roboh begitu saja. Apakah Trisna yang melakukannya atau malah temanku yang kusut, lusuh, dan kurus ini dengan tanpa malu datang untuk menghancurkan tembok itu. Justru saat dia telah kehilangan sebagian daya tarik fisiknya dan kemunduran stabilitas finansial, Trisna masuk ke dalam pelukan.
Aku mengejarnya, memukul kepalanya, “Ah! Sialan! Lu seneng-seneng pas gua amburadul!”
Ares tertawa, “Yah, gak seneng-seneng amat, lah! Orang gua baru ketemuan sekali. Itu pas dia transfer uang ke lu. Gua punya tunai, males ke bank,” jelas Ares sambil menghentikan langkahnya pada sebuah rumah yang tidak seperti rumah, dikatakan warung juga tidak.
Kepalaku bergerak bergantian dari menatap rumah yang tidak rumah ini kepada Ares yang berdiri memasukkan kedua tangannya pada saku celana jeans belel sambil berjinjit-jinjit. Dia seperti memamerkan bangunan di hadapan kami yang masih tidak aku ketahui apakah rumah, warung atau toko. Aku berasumsi ini bangunan tempat tinggal yang juga berfungsi sebagai warung makan karena pada dinding depannya terdapat jendela besar juga lebar yang ditutup dengan barisan balok-balok kayu, seperti rolling door konvensional, sebuah akses agar pelanggan mudah melongok ke dalam untuk melihat menu yang berjajar pada etalase. Lampu terasnya menyala redup dan berwarna kuning hangat sehingga tidak jelas cat dinding itu berwarna oranye pasi atau merah muda pucat. Dinding itu sedikit lembab dan beberapa bagian cat sudah terkelupas. Lantainya yang hanya semen ini sepertinya sudah sering terendam banjir, tampak retak, berlubang dan beberapa bagian berwarna lebih gelap. Walau begitu, bagian atap masih kokoh.
Ares menepuk pundakku dan membawaku masuk
Pintu dibuka Ares tanpa mengetuk. Ruang pertama yang kami masuki tanpa pencahayaan sama sekali, sepertinya sengaja begitu. Walau gelap aku masih bisa melihat terdapat kursi dan meja kayu serta etalase sederhana yang terbuat dari alumunium. Benar, ini dulunya mungkin warung makan.
Lalu Ares menyibak tirai tebal berwarna entah biru entah abu-abu.
Sebagaimana penampilan di luar, begitu juga di dalam. Kusam dan menyedihkan. Hanya saja, ruangan di balik tirai ini bercahayakan lampu putih, bukan kuning. Yang membuatku terkejut adalah, ruangan ini nyaris seperti kantor–yang tidak terurus. Tiga komputer dan dua laptop berbaris membentuk dua kolom. Tiga diantaranya menyala dengan orang-orang yang duduk di depannya. Penampilan lusuh dan kusut sepertinya menjadi syarat utama untuk masuk ke pekerjaan yang entah apa ini. Untuk bagian kurus, sepertinya bukan menjadi kategori, sebab satu diantara tiga orang yang duduk ini bertubuh gembul. Cahaya kurang memadai, ruangan yang pengap, cenderung berbau rokok yang kemudian bercampur bau-bau makanan membuatku tidak nyaman. Untung saja tidak tercium bau badan yang tidak sedap. Semua kondisi itu ditambah pula dengan suara kecipak mulut si gembul yang sedang mengunyah keripik. Betul-betul tidak nyaman.
“Beng! Bawa siapa lu?” Tanya seorang yang tadi bersama Ares di mini market. Nada bicaranya menusuk, sangat jelas dia tidak menyukai kehadiranku. Atau justru mereka memang menolak siapa saja orang baru.
“Lu jangan macem-macem, Beng! Tahu Bang Panca mampus lu!” Sahut salah seorang lagi. Sedangkan si gembul masih asyik berkecipak dengan keripik kentang. Terlihat tidak peduli, dia hanya menoleh sekali lalu sibuk lagi dengan apa yang ada pada layar komputernya. Mengetikkan sesuatu.
“Dia sodara gua! Jamin aman!” ujar Ares sambil mendorongku masuk ke salah satu ruangan yang kemudian aku tahu itu kamar tidur yang juga seperti bukan kamar.
“Sebulan ini gua tidur dan kerja di sini.” Katanya Ares sambil rebah pada kasur.
“Lu tinggal di sini?”
“Yap!”
“Apa yang lu kerjain?”
“Buzzer.” Ares memantik korek untuk menyalakan rokok yang sudah terkapit di antara bibirnya.
“HAH?! GILA LU!” Seluruh isi wajahku rasanya menampilkan raut terkejut total.
“Shhhh! Suara lu, Nyet!” Ujar Ares segera sambil melempar korek ke arahku dan melongok ke arah pintu, “ini satu-satunya kerjaan yang nerima gua cepat dan ngasilin duit juga gak kalah cepat. Buat bantuin lu beresin kebakaran.”
Aku menghampiri Ares yang sedang meniup-niupkan asap, menerawang ke langit-langit kamarnya yang lembab. Ada dua kasur kapuk di atas dipan dan satu lagi di bawah hanya beralaskan tikar. Tidak satupun kasur ini dilapisi sprei. Aku memilih duduk di kasur yang Ares tiduri.
“Ini tahun politik, Nyet! Internet megang peranan besar buat mengaduk-aduk pendapat orang di ajang politik kali ini,” jelas Ares lagi.
Aku hanya bisa nyengir, “Jadi kerjaan lu gimana?”
“Yah. Siang keluar, nyari bahan. Malem sibuk ngegiring netizen. Ngebuat echo chamber.”
Ares duduk, merogoh ponselnya–bukan ponsel yang biasa dia gunakan– memperlihatkan padaku salah satu postingan di instagram yang menjadi viral beberapa hari terakhir mengenai kebaikan dan kebajikan salah satu pasangan calon presiden.
“Tuh! Kerjaan kami.”
Aku membacanya sebentar. Tidak ada yang salah dari postingan itu. Tidak menjelekkan kubu lawan maupun oposisi. Apa yang tertulis dalam postingan itu memang benar menurutku yang hanya memiliki pengetahuan dangkal dan cenderung tidak memberi atensi pada perkembangan politik. Hanya saja, sepertinya tugas Ares dan timnya ini melebih-lebihkan kebaikan itu demi citra pasangan calon presiden tersebut jauh lebih bersinar. Memolesnya sehingga sangat kilap.
“Oke, kan, Nyet?” Ares tengah berbangga pada hasil pekerjaannya saat menerima ponsel itu kembali.
“Gua kira lu kerja untuk satu kantor berita pas Fahmi lihat lu ada di kerumunan panggung kampanye.”
“Gua butuh duit cepet. Ada sih yang nawarin kerja bareng pewarta, cuma yah, lebih cepet nyebarin pamflet online gini, mana bisa anonim lagi. Masa-masa begini gak ada yang lebih cepet laris dari pada isu politik!”
Aku menghela nafas, merebahkan punggung pada kasurnya yang keras, “Jadi semuanya harus anonim? Itu alasan lu punya nama lain?”
Kami berdua menatap nanar plafon yang sudah terdapat banyak corak dengan garis tepi kekuningan.
“Ya, itu juga yang buat gua ngilang, nomor gua gak bisa aktif terus. Kami di sini sebenarnya ada enam orang. Semua gak tahu nama asli, gak ada yang tahu tinggal dimana, gak juga umur. Itulah alesan tadi mereka sinis pas lu masuk. Semuanya harus rahasia.”
“Sinis dan kritis.” Kataku.
Ares mengangguk, “Ya.”
“Yang gua tahu, mereka semua orang-orang pinter. Ada yang tamatan luar negeri, ada juga yang dulunya guru. Masalahnya kantor berdasi gak butuh orang pinter, butuhnya orang yang gampang diatur untuk kepentingan atasan.”
Aku mengangguk lagi, sedikit banyaknya menyetujui.
Selanjutnya Ares bercerita bahwa seorang kenalannya memperkenalkan dengan Bang Panca yang memiliki tempat ini. Dulunya bangunan ini adalah warteg milik Bang Panca–yang juga nama samaran, seorang jurnalis yang cukup terkenal. Banyak tulisannya dimuat pada rubrik politik di koran-koran nasional dan majalah besar. Lalu sebuah kecelakaan (yang menurut Bang Panca merupakan rencana terorganisir dari kelompok kepentingan yang merasa mendapatkan tekanan dari isu politik yang ditulisnya) membuatnya harus menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan. Dia yang tidak bisa bekerja secara maksimal memilih membuka warung makan. Lalu beberapa bulan lalu, saat warung tidak balik modal dan keluarganya sedang terpuruk karena masalah finansial, seorang makelar politik–yang tentu saja Bang Panca kenal karena perjalanan karirnya– datang membuat permintaan untuk mengkinclongkan nama salah satu pasangan calon presiden.
Aku terdiam mendengar cerita ini sambil bertanya-tanya dalam hati apa boleh aku mengetahui hal-hal semacam ini?
Cerita Ares terus mengalir. Dia menceritakan apa yang terjadi setelah dia keluar dari rumah sakit. Trisna menjemputnya setelah dia menelepon mengatakan bahwa dia penyebab kebakaran dan minta diantar menemuiku. Dia sempat mampir ke kost, Pak Yahya mengatakan aku di studio.
“Pak Yahya juga cerita gimana lu setelah kebakaran itu kocar-kacir, Gam. Itu juga ngebuat gua makin malu. Tapi sore itu yang gua pikirin, gua mau minta maaf dan memang gua udah ngira juga bakal berantem.” Ujar Ares sambil beberapa kali berdeham.
Ares menginap di hotel setelah kembali dari studio. Trisna masih di sana, membantunya mengoleskan obat luka dan memasangkan perban saat mami menelepon. Ares mengulang pada mami apa yang dia saksikan melalui CCTV yang diperlihatkan oleh dua orang polisi. Ares kembali tampak murung saat menceritakan itu. Jelas sekali rasa bersalah masih menggerogoti dirinya. Saat kembali bercerita mengenai studio, ekor matanya berair.
“Terus mami nanya, tabungan gua berapa. Ya, tabungan gua cuma yang transferan pertama itu, Gam. Cuma dua puluh jutaan.”
Aku mengangguk pelan. Karena kebiasaan hura-huranya, tidak heran sisa tabungan yang dimiliki Ares hanya setengah dari jumlah yang aku punya.
“Mami bilang lagi, bakal kasih lima puluh juta, dengan syarat tinggalkan Gammares atau kalau emang Gammares gak bisa diselamatin, gua gak boleh buka usaha lagi. Nurut kata mami yang pengen gua punya kerjaan tetap di perusahaan.”
Aku memikirkan uang dolar Singapura yang mami berikan juga berkisar sekitar lima puluh juta. Uang yang aku kira sebagai kompensasi dan upaya untuk mengurangi rasa bersalah anaknya, ternyata hanya omong kosong belaka. Uang sogokan yang tidak berhasil masuk melalui Ares itu justru berhasil masuk melaluiku dengan cara curang juga. Aku berdecak kesal, “Sorry, Nyet! Gua gak tau kalau uang itu–”
“Ah! Jangan ngomong sorry ke gua. Gua yang salah. Gak ngomong apa-apa dari awal. Gak cerita apa-apa. Ngilang gitu aja. Intinya gua malu, mau bantu tapi uang gak ada. Yah, akhirnya gini, deh…,” ujarnya Ares menyela.
Sunyi.
Kami kembali diam.
Suara decakan cicak mulai terdengar.
“Ngomong-ngomong, gua sempat dua kali ke studio. Liat lu sama Aruna beres-beres. Pengen nyamperin tapi ternyata gua cemen,” Ares menerobos keheningan.
Aku memilih diam, tidak menjawab. Pikiranku justru berkutat pada masalah lain yang masih mengganjal: perbincangan Paman dan Bibi mengenai lukisan.
“Lu mabuk karena berantem sama bokap, kan?”
“Mami cerita, ya?” Ares nyengir.
“Waktu di rumah nenek, gua pengen minum, gak sengaja denger obrolan paman sama bibi lu,” aku membersihkan kerongkongan dari segumpal ludah yang tersekat, “dijual ke Sabah.”
Ares merengut, “Itu udah cerita lama, Gam. Jauh sebelum nenek meninggal. Mau gimanapun gua keras, akhirnya lukisan itu dijual dan dikirim diam-diam.” Ares mengacak-acak wajahnya, seperti kembali merasa jengkel “sisa lukisan gua titip di rumah anak sahabat nenek.”
Aku mengangguk, mengingat lagi perkataan Aruna. Benar. Semua yang diperkirakan Aruna benar. Keluarga Ares memang akan menjual itu walau Ares sudah tahu.
“Trisna pernah ke sini?” Tanyaku.
“Enggak, lah! Gua ajak ketemuan di warung pecel lele tadi, persis di bangku tadi juga.” Jawab Ares dan saat aku menoleh ke arahnya, garis senyum tersungging pada ujung bibirnya.
“Trisna tahu kerjaan lu?”
Ares menghela nafas, “Gua bilang gua kerja bareng seorang public relations sebagai penulis dan konten editor….”
“Taik!”
“Lah? Kan, bener?” Ares membela dirinya dan merubah sebutan pekerjaan tidak jelas ini terdengar profesional.
“Beda konteks, Nyet!”
Dia tertawa.
Aku mengangkat tangan untuk melihat arloji, sudah pukul sebelas lewat. “Jadi gimana? Semuanya udah selesai juga. Lu mau lanjut kerja di sini?” tanyaku sambil bangkit dan duduk.
Ares diam, dia ikut-ikutan duduk. Memangku kedua tangannya pada lutut, “Menurut lu?” ujarnya sambil menyenggol lututku dengan kakinya.
“Ada yang bilang ke gua, doa ibu itu menembus langit.”
“Aruna, ya?” tukasnya segera.
Aku menaikkan alis dan bahu bersamaan.
Ares menggeleng dan tersenyum dengan cara menyebalkan, “Dia kebagusan buat lu, Nyet!”
“Trus lu pikir Trisna enggak?”
“I-iya, sih!”
“Dah ah! Gua balik!” Kataku menepuk lututnya dan segera turun.
“Gammares gimana?” tanya Ares buru-buru.
“Udahlah. Gua ngeri sama doa mami! Takut gagal lagi!” Aku terkekeh.
Ares memukul kepalaku, “Gitu-gitu mami gua!”
“Ya makanya! Nurut aja. Disuruh kerja, ya kerja, Njing! Malah sok-sok buka usaha. Gua nih kena imbasnya.”
Ares menggaruk-garuk rambutnya, sepertinya memang gatal. Aku menatapnya kecut, “Mandi lu! Kumal amat!”
“Kami rebutan air, cuy! Air susah!”
“Pantes!”
Saat keluar, tatapan sinis kembali menghujam dari orang-orang kusut dan lusuh.
“Hati-hati, Beng! Gua gak mau kehilangan duit karena sodara lu!” ujar salah satu yang tadi juga memperingatkan di awal.
“Aman, Bang!” Jawab Ares sambil mengacungkan jempol dan mendorongku keluar, menyibak tirai dan melewati ruangan kelam.
Gang sudah jauh lebih sepi, Ares menendang–nendang kerikil kecil saat berjalan. Aku membaca pesan dari Aruna yang sudah dia kirimkan tepat pukul sembilan, bahwa dia sudah sampai dia sudah sampai di rumah sakit. Dia juga mengirimkan foto selfie di depan lokernya yang terbuka. Walau tidak terlalu jelas, aku bisa melihat pada sebalik pintu loker itu ditempel dua lembar foto selfie kami berdua. Aku mengingat kedua momen itu, foto pertama yang tertempel agak ke atas adalah foto yang kami ambil saat dulu pertama kali dia belajar kamera, kami selfie di kamar dengan pose kaku. Sedangkan di bawahnya adalah foto selfie dari handphone-nya yang kami ambil saat di Kebun Raya Bogor bulan Februari lalu, saat aku mengisi seminar. Entah kapan keduanya dia cetak, dia memang tidak pernah bercerita banyak. Aku tersenyum memandangi lama foto yang dia kirim itu. Ares melongok, lalu tersenyum sumbang, “Jaga rahasia ini. Termasuk ARUNA! Paham lu, ye? ARUNA!” tegas Ares
“Ah! Iya! Perasaan udah lu ingetin. Bawel amat!” Aku segera menyimpan ponsel itu ke dalam saku celana. Kami sudah hampir sampai pada minimarket tempat aku memarkirkan motor.
“Ya, kali lu merasa satu tubuh satu jiwa, apa-apa cerita!”
“Aman! Aman!” Aku menjawabnya dengan malas-malasan sebab dia sudah cerewet mengingatkan sejak keluar dari rumah yang bukan rumah, kantor yang bukan kantor itu.
Ares diam, menatapku usil, “jadi beneran udah satu tubuh satu jiwa?”
Aku yang geram mendengar pertanyaan jahil itu memukul kuat kepalanya sehingga dia berteriak dan ingin membalas tapi aku menghindar dan berlari hingga minimarket.
Kami masuk ke minimarket itu lagi. Ares membayar untuk rokok dan kopi. Lalu memasukkan sesuatu ke dalam ranselku sambil mengatakan, “Nih! Untuk yang satu tubuh satu jiwa!” sambil menepuk pundakku setelahnya. Aku cenderung tidak peduli, hanya berpikir mungkin saja itu satu dari sepuluh bungkus rokok yang di borongnya.
“Ga usah transfer gua uang lagi. All set. All done.” Aku mengingatkan Ares saat motor sudah menyala.
“Done and dusted!” Saat mengatakan itu, binar matanya masih menunjukkan kesedihan. Tangan kananku meninggalkan stang untuk menepuk pundaknya lalu dia merangkulku sekali lagi.
“Nyet! Kita dikira homo beneran sama mbak penjual minuman," ujarku berbisik.
“ANJING!” Seru Ares segera melepas rangkulannya. Reaksinya berlebihan. Dia mendorong dan membuatku hampir saja jatuh bersama dengan motor.
Malam itu, sesampainya di kost, tanpa mandi dan gosok gigi, aku rebah begitu saja. Semua bebanku dicabut satu-satu oleh tangan tak kasat mata. Pundakku terasa ringan, punggungku terasa lurus menyentuh permukaan kasur. Aku tertidur sesaat setelah mengirimkan pesan pada Aruna akan menjemputnya besok pagi.
-oOo-
Aku mendengar suara gelang-gelang tirai gorden berderak terkena besi penyangga. Mataku terbuka dengan menyipit-nyipit sebab cahaya matahari masuk menusuk. Silau. Terlihat siluet perempuan yang aku janjikan akan menjemputnya pagi ini, sedang menyibak gorden. Pagi ini? Ah, ini sepertinya sudah hampir siang.
Aku berdeham membuat perempuan ini menoleh.
“Hai?” Sapanya dengan senyuman paling indah. Dia duduk di tepi kasur.
“Maafin aku. Aku ketiduran.” Kataku sambil mengusap-usap lengan yang menyangga tubuh mungilnya.
“Gak apa-apa. Aku justru seneng, kamu akhirnya bisa pulas.” Katanya dengan raut lega, “gak mimpi buruk lagi, kan?”
Aku mengangguk pelan. Tercium aroma sabun strawberry yang segar keluar dari setiap pori-porinya. Dia bahkan sudah mandi dan terlihat rapi. Jendela yang dia buka membuat angin masuk dan seenaknya membelai rambut halus itu, membuatnya bergoyang kuat. Aku merapikan rambutnya saat dia masih menatapku yang tengah berbaring.
“Kamu capek banget, ya? Sampai gak sempat ganti baju?” Aruna memperhatikanku yang masih mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin siang. Aku mengangguk pelan, enggan mengeluarkan sepatah kata sebab hanya ingin menikmati keindahan wajahnya. Dia mengusap-usap garis rambutku, mengusap-usap sebelah alisku dan menyentuh ujung hidungku. Semua perlakuannya itu membuat perasaanku riang dan ringan seperti waktu kecil berlompat-lompatan di rumput basah yang terkena hujan.
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanyanya lagi.
Aku memiringkan badan, menangkup pinggang Aruna dan menenggelamkan wajah di sana.
Mungkin karena aku telah memaafkan seorang teman, merelakan apa yang telah hilang, mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, berhasil mengutarakan apa yang mengganjal, semua itu, semuanya telah mengangkat beban berat yang menghimpitku pada hari-hari belakangan. Terlebih aku tahu ada seorang perempuan yang selalu setia untuk tetap bersama bagaimanapun keadaan.
“Makasih, Runa.” Kataku.
Aruna terkikik ceria,“Kali ini untuk apa? Untuk bangunin kamu, ya?”.
Aku mendongak, “Bukan.”
“Terus apa, dong?” Nada menggoda pada suaranya itu menunjukkan dia tengah menikmati perbincangan ini.
“Aku mau bilang tapi ntar kamu nuduh aku gombal. Kamu selalu gitu.” Aku pura-pura merajuk.
“Gitu gimana?” Tanya Aruna dengan tawa tertahan, dia mencuil pinggangku. Aku meliuk geli.
“Anti-klimaks.” Jawabku cepat sembari menguatkan pagutan dan kembali menenggelamkan wajah pada pinggangnya. Tawanya membuat pinggangnya ini bergerak-gerak. Semakin bergerak, semakin kuat aku memeluknya. Lagipula wangi tubuhnya benar-benar memberikan kenyamanan. Jika memungkinkan, aku ingin memejamkan mata dan kembali tidur dalam posisi seperti ini.
Dia mengusap-usap rambutku sambil menebak-nebak apakah aku belum sempat membersihkan diri saat kembali tadi malam. Aku mengangguk –lagi-lagi dengan kemanjaan. Terdengar Aruna mengatakan jorok tapi tidak segera menarik tangannya dari rambutku, justru rasanya semakin dalam jari-jemari itu menyisir helaian-helaian rambutku.
“Kamu tahu?” tanya Aruna.
“Hm?”
“Ini hari pertama si Culun masuk kerja. Masa percobaan,” ungkap Aruna.
Aku yang tidak peduli hanya memberikan anggukan ringan.
“Emang bener, ya. Cowok tuh akan mati-matian kalau gebetannya belum di genggam.” Nada Aruna terdengar sinis.
Aku terkekeh mengetahui Aruna mencoba menarik perhatian, lalu aku iseng menggodanya, “Duh! Aku cemburu banget, nih! Gimana, dong?”
Saat aku kembali mendongak, pipi Aruna mengembang kemerahan. Entah dia malu atau justru sedang menyembunyikan kesal. Dia protes dengan menolak tanganku yang akan merangkul pinggangnya lagi, “Kamu gitu!” katanya dengan mulut maju. Aku bangkit dan segera mengecup bibirnya, “Love you.”
“Mandi dulu! Baru love you love you!”
Dia berdiri dan kini menepuk-nepuk pahaku. Persis seperti sepuluh tahun lalu saat ibu juga melakukan hal yang sama ketika memaksaku mandi di hari Minggu pagi
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)