Bu Dewi dan Pak Yahya sedang berbincang-bincang saat aku baru kembali dari bertemu seorang desainer busana independen, yang berkonsultasi mengenai identitas visual hingga kemasan produknya.
“Seru banget obrolannya …,” ujarku berkomentar ringan saat mendekati mereka.
“Seru apanya, Mas! Orang Bu Dewi gelagatnya mau pindah, nih!” Pak Yahya sengaja membuat wajah ketus, “gak ada lagi yang bakal bagi-bagi makanan gratis.”
Bu Dewi hanya tersenyum masam, lalu bergeleng ringan, “Jangan gitu, Pak. Nanti kan saya bisa aja mampir. Atau Bapak sama Gamma mau datang silahkan.”
Pandanganku beralih pada kertas-kertas yang dipegang Bu Dewi, dengan ditulis tangan terdapat alamat pilihan kontrakan lengkap dengan nomor telepon pemiliknya.
“Ada empat nih, Gam,” jelas Bu Dewi, sambil mengangkat kertas-kertas itu saat sadar apa yang tengah aku perhatikan, “saya mau cari yang dapurnya lega. Biar gak numpang-numpang lagi sama dapur orang bawah.”
Ada raut kebanggaan pada wajah Bu Dewi saat mengatakan itu, usaha kuliner dan kue-kue rumahannya kini tampak menjanjikan. Aku turut senang.
“Wah! Bentar lagi ada yang buka usaha catering, nih!” Aku menggoda Bu Dewi.
“Aamiin…,” ucap Bu Dewi dan Pak Yahya bersamaan meski lagi-lagi, Pak Yahya menyunggingkan senyum pahit.
“Kapan pindah, Bu?” tanyaku.
“Belum nemu yang pas, sih …,” Bu Dewi kembali melihat lembaran-lembaran kertas yang dipegangnya, “nih, yang ini. Kayaknya ini yang lebih baik daripada yang lain,” ujarnya lagi sambil menunjukkan pada kami satu alamat yang cukup jauh dari kost ini.
“Oalah! Jauh!” celetuk Pak Yahya.
“Aman, Pak. Kapan-kapan kita serbu rumah baru Bu Dewi.”
“Siap, Mas! Saya bawa plastik gede!” canda Pak Yahya.
“Ah! Kalian. Pindah juga belum!” Bu Dewi tertawa.
Pak Yahya nyengir.
Aku diam saja sambil memperhatikan dua orang ini. Benar-benar mereka berdua sudah aku anggap saudara dan tentu saja, selain ikut senang karena akhirnya hobi Bu Dewi menghasilkan, ada bagian kecil dari perasaanku yang merasa sedih. Bu Dewi, saat aku baru pindah ke sini, bukan hanya makanan yang selalu dia beri, secara tidak sadar mungkin dia sudah berubah peran sebagai adik ibuku, yang sedia kapan saja saat aku butuh bantuan dan selalu dengan tidak berlebihan memperhatikan. Bahkan hubungan Bu Dewi dan ibu sudah seperti teman lama.
“Ya udah. Saya naik dulu, Bu, Pak.”
Siang ini cerah dan gerah. Aku hanya mengenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Pendingin bekerja ekstra mengejar target suhu yang aku setel membuat suara desirannya terdengar kuat. Aruna yang baru kembali dari rumah sakit, duduk dengan menggoyang-goyangkan kaki dan pandangannya tertuju pada layar komputer. Sebelah tangannya sibuk mengipaskan kertas ke arah wajahnya sedang matanya menyipit dengan alis menukik. Dia terlihat serius menonton tutorial berdandan dari youtuber perempuan yang terlihat seperti keturunan arab. Video itu sedang menampilkan pengaplikasian alas bedak. Aku yang tengah duduk di lantai persis di samping kursi yang didudukinya tengah membersihkan box hitam –yang dulunya berjajar kamera dan lensa– hanya tertawa-tertawa kecil melihat Aruna menggaruk-garuk dagu pertanda tidak paham apa yang tengah dia saksikan. Tidak jarang dia memundurkan video itu beberapa menit untuk mengulang bagian yang terlewatkan.
“Kamu mau dandan untuk siapa, sih?” tanyaku yang sedari tadi tergelitik melihat tingkahnya.
“Untuk pemotretan,” jawabnya santai tanpa meninggalkan layar komputer.
“Widihh! Gaya amat!” celetukku sambil tersenyum usil.
“Gini-gini aku dipilih jadi model untuk iklan rumah sakit,” ujarnya lagi yang tampak tidak terima aku ejek, dia bahkan menoleh ke arahku sebentar dengan air muka kesal. Cemberut.
Tanganku berhenti menyeka lapisan dalam box itu, menatapnya yang kini kembali terpaku pada layar yang menampilkan cara melukis alis.
“Oh ya?”
Itu bukan pertanyaan untuk meragukan ucapan Aruna, tapi suatu reaksi menunjukkan kesenangan.
“Ya.”
Aku tersenyum dan kembali memegang kain lap untuk menyeka sarang laba-laba (tidak berlebihan, memang ada sarang laba-laba halus) yang menempel pada dinding bagian dalam box.
“Kamu kayak yang biasa aja aku yakin udah jadi yang paling cantik di antara yang lain,” kataku.
Aruna yang tidak mengenakan dandanan berlebihan –dia hanya memoles lipstik merah muda yang nyaris sama dengan warna asli bibirnya dan bedak tipis– sudah sangat menawan.
Dia memencet tombol spasi dengan kasar, membuat video itu terjeda.
“Maksud kamu?” nadanya terdengar sinis namun kulihat-lihat matanya bersorot jenaka.
“Lah? Kok marah? Aku muji, lho. Muji!” jawabku heran.
“Ulang lagi. Apa tadi?”
Aku menghela nafas, “Kamu udah paling cantik tanpa dandan.”
“Terus?”
Aku mengangkat bahu dan menampilkan raut tidak paham. Kedua telapak tanganku bergerak terbuka.
“Di antara …?” kata Aruna dengan nada memancing agar aku menyambung kalimat itu. Alisnya terangkat naik. Matanya menunjukkan harapan.
“Yang lain.” Dengan polos dan mengangguk pelan sambil menatapnya. Aku mengikuti permainan ini sebelum aku tersadar satu hal, “Oh! Astaga! Ralat! Se-Indonesia Raya! Kamu paling begini seantero Bima Sakti.” Pada kata begini, aku mengacungkan kedua jempol.
Dia tertawa terbahak-bahak lalu melompat menghambur kepadaku yang tengah duduk bersila. Membuatku hampir celentang jika saja tidak segera menopang badan. Tangan dan kakinya bersamaan melingkari tubuhku. Dia memelukku kuat dan menggoyang-goyangkan badan sambil berkata, “Gemes!”
“Kamu kecil-kecil tapi tenaganya besar! Aku berasa dililit phyton! Dikit lagi aku mati sesak,” kataku.
“Iya, gitu?”
“Tentu!”
Lalu kami tertawa. Dia terus mengayun-ayunkan tubuhnya, membuatku ikut terayun. Sementara tangan kiriku meraih atas meja, meraba-raba untuk menemukan ponsel. Lalu aku rentangkan tangan lurus sambil membuka aplikasi kamera, dan menjepretnya. Foto itu terlihat lucu dengan Aruna membelakangi kamera, memelukku. Saat dia menoleh kebelakang, cepat-cepat aku menjepretnya lagi.
“Aku jelek! Ulang, dong!” protesnya.
“Justru lucu,” ucapku tertawa melihat dua foto itu bergantian.
Aruna melongok ke layar ponsel sedang tangannya masih mengalungkan leherku. Dia belum beranjak, sepertinya juga tidak ingin. Dia bahkan tidak peduli keringat yang membasahi leherku kini juga membasahi lengannya.
“Kamu tahu? Foto itu alat penjaga kenangan. Kamera menangkap momen yang nggak terulang. Kalaupun di reka ulang, udah pasti gak akan sama dan ceritanya udah nggak otentik lagi,” ucapku padanya.
“It will bring back the memories.” Suara Aruna lembut dan kini dia menatap foto yang dia protes sebelumnya dengan penuh perhatian.
“Waktu kita masih banyak untuk buat foto-foto lain,” aku mencium pipi kirinya yang tepat di hadapanku karena dia masih menoleh ke arah ponsel yang aku genggam.
Tombol spasi tidak dipencet lagi membuat video youtube itu terjeda panjang. Akhirya Aruna membantuku mengemas buku-buku kuliah yang tidak aku baca lagi ke dalam box itu, menggantikan deretan kamera dan lensa sebagai penghuni pertamanya.
“Aku yakin, box ini nanti akan diisi lagi sama kamera dan alat-alat pelengkap lainnya,” kata Aruna menghiburku.
“Semoga. Doain aja.”
Selanjutnya, selama menyusun buku, aku menceritakan padanya bahwa Bu Dewi akan pindah. Sama dengan reaksiku, dia senang namun tetap setelah raut senang itu ada air kesedihan tergambar pada wajahnya walau sebentar.
-oOo-
Video Mapping akan diputar selama sepuluh hari terakhir di tahun ini. Diputar selama dua kali, pada jam tujuh dan delapan malam. Pemutaran video mapping hari pertama berjalan baik. Aruna yang nyaris selalu dinas malam, hanya bisa dua hari menemaniku bekerja, tanggal 23 dan 28, Sabtu dan Kamis. Libur sehari dalam seminggu-nya kali ini jatuh pada Sabtu tanggal 30 dan dia memutuskan pulang ke Tangerang.
“Ada urusan penting.” Katanya saat aku membujuknya untuk tidak pergi. Aku cukup sedih, sebab sudah dua kali melewati malam tahun baru terpisah darinya dan tahun ini akan menjadi yang ketiga.
“Tenanglah, tahun-tahun berikutnya akan ada.” Katanya. Tahun-tahun berikutnya yang diucapkan Aruna berhasil membuat perasaanku lega. Tidak seperti dulu yang cenderung pesimis, Aruna kini terlihat menyambut masa depan kami berdua dengan perasaan terbuka.
Sejak studio benar-benar sudah selesai dibenahi, Aruna tidak lagi sibuk mengurusi hal lain selain pekerjaannya. Begitu juga aku, setelah urusan dengan semua klien selesai, aku kembali fokus pada pekerjaan yang ada. Pada kesempatan pertama dia menemaniku bekerja di areal Monas, Aruna terlihat sangat bangga. Antusias yang dia tunjukkan tetap sama saat melihat setiap cahaya yang bergerak bak animasi, ilusi optik yang memukau dan imersif membuat Tugu Monas hidup dalam gambar-gambar tiga dimensi.
“Ini kamu yang bikin?” tanyanya sambil menunjuk Tugu Monas yang kini berdiri bermandikan cahaya menarik.
“Iya.”
“Beneran?”
“Yaa, bareng sama tim yang lain, lah…,” jawabku sambil merangkulnya.
“Keren banget kamu!” ujarnya sambil bertepuk tangan kecil.
Tidak lama, jika gambar atau cahaya yang ditampilkan mulai berbeda, dia akan menanyakan hal yang sama dan akan selalu menutupnya dengan tepukan kecil lagi.
Ketua tim kami, yang hanya memiliki sorot mata memerintah dan raut masam itu tiba-tiba berubah menjadi lebih ramah saat melihat reaksi Aruna dari kejauhan. Sesekali aku memeriksa tim operator kontrol dan saat itulah Aruna terlihat sedang bercengkrama dengan teman-temanku satu tim. Dia seseorang yang gampang disukai bahkan kemungkinan besar gampang dicintai. Teman-temanku yang saat bekerja itu cenderung ketus, saat bercanda cenderung pedas dan saat bercengkrama terdengar saling melempar cercaan intelektual nan sarkas, kini justru tampak cerah ceria meskipun Aruna jarang terlihat berbicara. Tapi aku tahu, orang-orang itu sedang mencoba meraih perhatiannya. Komentar Ares tiba-tiba menyusup pikiran bahwa memang benar, Aruna istimewa. Dia bisa saja memilih pria manapun dari kelas terbaik, tapi dia memilih bersamaku—seseorang yang bahkan belum bisa menjanjikan apa-apa untuknya.
Hah~ Tiba-tiba aku jengkel sendiri membayangkan jika Aruna berdiri di sana digandeng pria lain yang lebih mapan.
Semua berjalan baik. Rapi. Sesuai rencana. Sesuai jadwal. Malapetaka lain muncul setelah kami kembali dari malam kedua Aruna menemaniku bekerja dalam pemutaran video mapping. Satu masalah dengan teman selesai dengan mendatangkan masalah lain bersama pacar. Kamis malam, tanggal 28, sekitar pukul sebelas kami sampai di kost setelah berhenti pada warung makan dengan antrean cukup panjang hanya untuk mendapatkan nasi goreng kambing. Makanan itu kami bungkus sebab tidak ada lagi sisa tempat duduk di sana.
Kami memutuskan makan di kamarku sambil menonton TV, rencananya begitu. Namun semua berantakan bahkan sebelum makanan itu dibuka. Tas ransel, yang resletingnya tidak aku tutup kembali karena baru saja mengeluarkan laptop, jatuh ke lantai karena salah satu talinya yang menjuntai tersangkut pada tangan kursi yang aku geser. Memang selalu begitu, jika kami makan duduk di lantai, kursi itu akan berada di tepi merapat pada dinding agar lebih lapang. Tas hitam itu mengeluarkan segala isinya yang aku saja tidak hafal apa-apa saja selain yang sudah pasti seperti tablet, stylus pen, laptop, kunci dan obat lambung. Terlebih saat terdesak, aku memasukkan dengan sembarang benda apa saja yang rasanya perlu saat itu, padahal tidak terlalu. Lantas tidak aku keluarkan segera dan bertumpuk di dalam sana hingga aku lupa. Maka jadilah begitu, di lantai saat ini bertebaran segala macam benda yang keluar dari ransel. Ada baut, ada mainan kunci, pena, kertas-kertas bon parkir, flashdisk lama yang aku kira hilang, satu buku catatan sebesar telapak tangan, penutup lensa kamera yang entah mana dan satu benda yang aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya bisa ada dalam ranselku, sebuah kotak berwarna hijau: kondom.
Aruna yang sudah siap dengan piringnya, bangkit segera untuk memungut bungkusan itu dengan raut terkejut.
“Gam?” Dia menatapku dengan wajah menuntut sambil memperlihatkan apa yang dipungutnya.
Aku yang tidak tahu apa-apa justru tidak kalah tersentak dari Aruna.
“Aku gak tahu kenapa itu ada di dalam ransel.”
Memang terdengar seperti dialog umum aktor yang ketahuan berbuat salah pada sinetron-sinetron, namun ternyata benar itu adalah respon pertama yang keluar dari mulut orang yang sedang bingung karena perkara yang tidak dibuatnya.
Aruna menyeringai sinis, “Gak mungkin ini punya kaki terus jalan sendiri ke tas kamu, kan?”
Ketika tampaknya Aruna masih ingin mengatakan sesuatu, aku segera menjawab, “Tunggu dulu, Runa. Aku juga lagi mikir kenapa itu bisa ada.”
Aruna terdiam sejenak, kembali mengatup bibirnya yang tadi sempat bergerak-gerak, “Silahkan …,” katanya sambil melipat kedua tangannya di depan dada, masih memegang bungkusan itu pada satu tangannya.
“Aroma apel.” Dia membaca bungkus itu. Sebelah pipinya naik karena satu sudut bibirnya naik tinggi.
Aku menarik nafas dalam-dalam, “Sini.” kataku sambil mengulurkan tangan meminta apa yang dipegangnya.
“Siapa yang suka apel, Gam?” Pertanyaannya terdengar seperti sebuah tantangan terbuka. Tumit kirinya yang dia hentak-hentakan cepat pada lantai semakin membuatku gusar.
Kapan tas itu jauh dari jangkauanku? Siapa yang dengan usil menaruh barang itu?
Pikiranku sibuk mendatangi tempat-tempat dan menemui orang-orang yang selama beberapa hari belakangan mengisi rutinitas. Semuanya muncul dalam slide show cepat. Aku tersentak saat slide itu terhenti pada satu tempat dan satu wajah: minimarket dan Ares.
“Kamu lama banget mikirnya. Mikirin mau ngarang cerita apa? Mau bohong kayak gimana? Gitu?” Aruna semakin mendesak.
“Ares!” Kataku cepat.
“Ares?” Aruna memandangku dengan sangsi, “Ares suka apel?”
“Gak! Bukan!” aku mengambil langkah maju, mendekatinya yang ternyata semakin mundur, lantas aku berhenti.“Ares yang masukin itu ke tas aku.”
“Ares bahkan gak ada kabar udah sebulan lebih, Gam! Kamu kalau ngarang jangan kelewatan!” Aruna sepertinya kesulitan menahan amarah. Wajahnya memerah, begitu juga dengan matanya. Sepertinya seluruh kemarahannya dia lepaskan dengan melempar kuat kemasan itu ke kasur. Aku terdiam, tidak berani menunjukkan reaksi apapun, khawatir akan membuat situasi semakin buruk. Setelah itu dia semakin mundur menjauhiku menuju pintu.
“ Runa? Please …, aku gak bohong. Memang begitu kejadiannya.”
“Ngaku aja.” Suaranya mulai terdengar seperti orang tersedak.
“Apa yang harus aku akuin?” Aku menarik nafas sedalam-dalamnya, berusaha tetap tenang sepanjang nafas itu aku hirup, “aku bahkan gak tahu kalau itu ada. Itu masih tersegel, belum dibuka. Aku beneran gak ngapa-ngapain.” Ucapku dengan tempo pelan dan menekankan setiap ujung kalimat untuk membuatnya terdengar yakin.
Aruna membersihkan kerongkongannya. Bibirnya dia lipat ke dalam, tangannya kembali berpangku di depan dada dan juga pandangannya terlempar ke segala sisi bagian atas ruangan, berusaha membuat air yang sudah melapisi bola matanya tidak jatuh. Dia sangat berusaha sekuatnya memperlihatkan padaku keingintahuannya yang keras sebelum akhirnya lemah menangiskan kekecewaan, “Aku kan gak tahu udah berapa bungkus yang kamu habiskan sebelum ini? Dua? Tiga? Lima?” katanya sambil menebak seenaknya.
Perasaan aneh menggeliat dengan cara ganjil di dalam dadaku mendengar dugaan-dugaan itu. Ada angin panas yang meniup ubun-ubunku mendengar dia berkata begitu. Aku sedih dan marah. Terkejut dan kecewa. Bagaimana bisa dia menyimpulkan seperti itu?
Apa betul dia tidak percaya padaku?
Jujur saja, harga diriku sebagai pria tercoreng karena tuduhan hidung belang melekat bersamaan dengan tebakan asal itu.
“Dimana?” tanyanya lagi.
“Apa?”
“Kamu dimana ketemu Ares. Kapan? Kalau memang iya, coba ceritakan.” Aruna menyandarkan tubuhnya pada pintu. Pada wajahnya terlukiskan harapan besar bahwa cerita yang akan keluar dari mulutku akan menyelesaikan masalah ini. Hanya saja aku tidak bisa menceritakan seperti apa adanya mengingat pekerjaan Ares yang berkali-kali dia katakan rahasia. Pekerjaan yang membuatnya menghilang. Pekerjaan yang membuatnya bergerak di bawah tanah.
“Aku gak sengaja ketemu dia,” aku menelan ludah, dan kini memilih duduk saja di ujung kasur, “di warung pecel lele,” kataku sambil memijat dahi. Stress sendiri karena tekanan menjaga rahasia teman dan membuat pacar percaya datang bersamaan.
“Warung pecel lele?” tanya Aruna dengan nada tidak percaya.
Aku mengangguk pelan.
Aruna menggeleng seolah kecewa, “Warung pecel lele mana? Kapan?”
“Pas aku balik dari meeting sama tim projection mapping. Seminggu lalu,” jawabku dengan suara yang nyaris tak terdengar. Wajah Ares yang selalu cerewet mengingatkan bahwa ini seharusnya menjadi rahasia kami saja, masih terbayang jelas di benakku. Aku sengaja tidak menyebutkan tempat pertemuan kami secara spesifik. Aku tahu, melihat sikap Aruna yang menggebu-gebu, dia bisa saja langsung mengajakku ke tempat itu malam ini juga bertemu Ares untuk mencocokkan cerita.
“Seminggu lalu dan kamu gak ceritain ini ke aku?!” Aruna kembali meradang. Wajah penuh harap itu kini hilang berganti menjadi kelam. Dia mengira entah aku sedang mengarang atau justru dia terkejut menerima kenyataan bahwa aku menyembunyikan pertemuan dengan Ares.
“Kamu ingat? Kamu kirim foto selfie di depan loker? Itu aku bareng Ares.” Aku membujuknya.
“Oh? Oh! Kamu balas chat itu lama banget, bilang mau jemput besoknya, gak tahunya malah ketiduran,” Aruna tiba-tiba mengingat.
“Nah! Tuh dia! Inget, kan?” Aku mulai lega. Tapi ternyata lega itu tidak bertahan lama sebab dia menyerang dengan tuduhan yang begitu menyakitkan diriku bahkan dirinya, “Kamu ketiduran, gak sempat bersih-bersih karena semaleman main-main sama perempuan? Kamu bilang kamu capek sampai gak sempat ganti baju!” ucapnya dengan suara bergetar. Kini air mata yang dia pertahankan tetap di mata saja, mengalir tanpa jeda, membelah setiap pipinya pada garis lurus menjadi dua.
Aku tidak sempat mencari kata-kata pembelaan karena lagi-lagi terkejut dengan apa yang dia pikirkan. Rasa panas dari dada menyebar cepat ke seluruh tubuh. Aku jelas sekali ingin marah mendengar tuduhannya. Tapi sayangnya, setiap dugaan benar-benar mendukung tuduhannya terlihat masuk akal, meskipun kenyataannya tidak demikian. Aku merasa terjebak dalam situasi yang hampir mustahil untuk membela diri. Bagaimana caraku membuatnya percaya? Bagaimana aku bisa menjelaskan kebenaran ketika semua bukti tampak mengarah ke arah yang salah? Belum lagi rahasia dengan Ares yang harus ditutup rapat.
Sekarang dia tersedu-sedu sebab cerita buruk yang dia karang sendiri. Kepalanya tertunduk, satu tangannya sibuk mengusap air yang terus berebut ingin keluar dari matanya, sementara tangan lainnya sudah terulur memegang gagang pintu.
“Runa...,” panggilku lembut sambil mendekatinya dengan langkah hati-hati, memastikan derap kakiku nyaris tak terdengar, “Aruna. Tampaknya memang susah, tapi percayalah, aku bahkan gak tahu kondom itu ada. Sama sekali aku gak pernah berpikir ke arah sana.”
Dia menggeleng lemah saat aku sudah tepat berada di depannya. Perlahan, aku memutar anak kunci dan mencabutnya, lalu menyimpannya di saku celana. Dia melirik gagang pintu itu sejenak sebelum mendongak menatapku. Matanya yang sembab masih menyimpan ketidakpuasan dan amarah. Dia mendorong-dorong tubuhku dengan lemah. Aku ambil kedua tangan itu dan aku genggam kuat. Dia semakin terisak, mendesis dan tersedu selagi menunduk. Menghindari mata kami beradu.
“Ya? Aku butuh kamu percaya aja sama aku. Ya?” Aku membawa kedua tangannya ke bibir, aku kecup berkali-kali, “aku mohon.”
Aruna menggeleng. Isakannya belum berkurang.
Aku menghela nafas. Dalam kepala terus memikirkan apa yang bisa membuat Aruna percaya sebab tidak mau jatuh jauh dalam friksi semacam ini.
“Apa di rumah sakit ada lie detector?” tanyaku yang benar-benar berharap ada alat itu.
Raut Aruna tampak bingung, “Itu adanya di unit investigasi.” jawab Aruna dengan serius.
“Andai bisa dipakai bebas, sistem sewa. Aku bakalan ajak kamu ke sana untuk buktiin aku gak bohong, Runa.”
Entah apa yang lucu pada kalimat itu, respons Aruna sungguh tidak terduga. Dia tertawa di antara sedu sedan.
“Iya?” Aruna mendongak dan dia mulai tersenyum.
“Iya. Apa bisa, ya?” tanyaku pura-pura berpikir.
“Kalau terbukti kamu bohong gimana?”
“Alatnya rusak.”
Aruna benar-benar tertawa sambil memukul-mukul dadaku untuk melampiaskan sisa-sisa amarahnya. Aku memeluknya, mengusap-usap punggungnya, mencium puncak kepalanya, “Gak ada perempuan lain, Runa. Gak ada. Satu aja aku kewalahan kalau udah berantem. Apalagi dua atau tiga? Itu benar-benar jalan pintas menuju akhirat.”
Lagi-lagi Aruna tertawa sambil menyembunyikan wajahnya pada dadaku.
Saat makan –akhirnya, dan nasi goreng kambing itu sudah dingin, aku menceritakan bahwa memang benar aku bertemu Ares. Aruna menanyakan apa yang Ares lakukan sebulan terakhir. Aku memberi jawaban yang Ares berikan kepada Trisna. Persis sama. Demi kebaikan kami semua.
“Nomaden.” Kataku saat Aruna bertanya Ares tinggal dimana, “dia ikut sama public relations itu.”
Aruna mengangguk.
TV menyala, memutar film aksi lama yang menurutku salah satu film terbaik sepanjang masa, The Godfather.
Aruna duduk kembali di lantai bersamaku setelah membereskan sisa-sisa makanan. Aku meraih bungkus kondom yang masih tergeletak di kasur dan melemparnya ke tong sampah. Aruna tersenyum, “Yakin gak butuh?” godanya.
“Kalau kamu mau, aku bisa ambil lagi. KALAU KAMU MAU.” Pada kalimat terakhir aku tegaskan padanya dan dia yang paham maksudku apa, kembali mempraktikan pelajaran tinju yang sudah lama tidak dilakukannya.
“Kamu coba daftar UFC, gih! Lolos pasti!” Kataku sambil menghindari pukulannya. Tapi dia masih terus memukul hingga mengenai punggungku dan berbunyi padat yang cukup kuat.
“Aduh!” Aku menjatuhkan diri ke lantai dengan posisi tertelungkup dan mata tertutup.
Aruna sempat diam beberapa detik.
“Bangun! Jangan bercanda!” Aruna terdengar tertawa.
Aku diam saja.
Dia membiarkanku cukup lama sebelum mengguncang badanku.
“Gam? Gamma!” Aruna mulai terdengar panik.
Dia segera memeriksa napasku melalui telunjuk yang dia rentangkan di hidungku. Membuka mataku lalu mengecek detak-detak nadi di pergelangan tanganku. Nafasnya terdengar berderu cepat. Aku bisa membayangkan wajah paniknya itu. Pasti lucu. Habis-habisan aku berusaha menahan senyuman dalam keadaan pura-pura pingsan.
Dia menggulung kaosku ke atas, memeriksa punggung yang dia tinju. Meraba dan menekan-nekan bekas pukulannya.
Lalu setelah memastikan tidak terjadi apa-apa dia menghela napas panjang. Tidak lagi napasnya terdengar berebutan. Dia membiarkanku tertelungkup begitu saja.
“Gamma Aditya, aku hitung sampai tiga, kalau gak bangun juga aku keluar.” Katanya dengan nada menantang. Akal bulusku ketahuan. Aku bergeming, tetap diam dan tidak bergerak karena tahu kunci pintu ada padaku.
“Satu!”
Aku diam.
“Dua ….”
Kini nada itu terdengar ragu.
“Oke, ya? Aku keluar, nih!”
Aku mengintip. Dia benar-benar berdiri di depan pintu dan tampak kesal karena beberapa kali percobaan pintu tidak juga terbuka. Dia melihatku dan menggelengkan kepala sambil berdengus. Sepertinya dia mulai ingat kunci itu ada di dalam saku celanaku. Dia meraba-raba bokong dan pahaku, memeriksa pada saku mana kunci itu berada lalu menemukannya pada saku depan dan mulai merogoh. Kali ini aku tidak lagi berusaha menahan senyuman, tapi berusaha mati-matian menekan gelora alamiah lain yang bangkit dan terasa merepotkan.
Tanganku bergerak cepat menahan pergelangan tangannya agar tidak merogoh lebih dalam, “Apa yang kamu pegang?” kataku yang kini sudah tidak sanggup berpura-pura.
Dia terkejut dan menatapku dengan mata besar.
Aku bangkit segera, mengangkatnya pada ketiak dan menidurkannya di kasur. Dia yang masih terkejut hanya bisa terbelalak.
“Ini.” Katanya sambil membuka genggaman tangannya yang sudah menemukan kunci. Aku mengambil kunci silver itu dan membuangnya ke lantai.
“Kamu malam ini tidur di sini,” kataku setelah suara dentingan kunci itu berhenti. Matanya yang terbelalak itu perlahan menjadi turun dan sayu. Aku berani bertaruh, ada semacam tantangan dalam tatapan itu.
“Ya, tentu …,” ujarnya berusaha bangkit meraih bibirku, “aku sama sekali gak keberatan.”
Dia menciumku dengan bertumpu pada dua siku.
Sekedar iseng, aku diam saja, tidak membalas ciumannya.
“Kenapa?” tanyanya ragu-ragu.
Aku pura-pura gelisah, “Apa aku ambil lagi ya yang aku buang tadi?” tanyaku dengan raut serius yang dibuat-buat. Aruna gelagapan, “Ng, a-aku…,”
Aku terkekeh lalu bibirku meluncur begitu saja ke bibirnya ketika dia masih terlihat kikuk. Sikunya yang tadi bertumpu kini jatuh lemah seturut dengan kepalanya tergeletak manja pada bantal. Bibirnya, liurnya dan lidahnya yang bertautan dengan lidahku ini selayaknya permen kapas merah muda yang semakin kau sesap semakin candu kau lahap. Manis, ringan dan menggembirakan.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)