Read More >>"> RESTART [21+] (Bab 8 (Rumah)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RESTART [21+]
MENU
About Us  

“Kamu gak kuliah? Ini kan Rabu,” tanya Aruna padaku.  Saat ini kami sedang  sarapan di warung kecil yang tidak jauh dari kost, hanya berjalan kaki tidak sampai lima menit kami sudah sampai.

“Engga, minggu tenang. Emang kamu minggu ini masih kuliah?”

Sehari lagi tepat satu minggu sudah kami berpacaran, aku bahkan mencatat tanggal itu pada buku cokelat, 8 Desember 2016. 

“Yah, walaupun ada minggu tenang, tapi kami gak ada tenang-tenangnya,” Aruna menyuap nasi uduknya, itu sudah suapan ke-tiga. Sedang aku masih mengaduk-aduk nasi di piring, belum ada satu suap pun aku telan. 

“Makan, dong. Nanti gak enak kalau udah dingin,” Aruna melirik piringku yang masih  penuh. Kami duduk bersisian, Aruna pada sisi kanan. 
Aku memangku wajah, kedua mataku nyaris terpejam. Aruna tertawa, hampir tersedak. Aku langsung membuka mata, memberinya gelas yang sebelumnya sudah kuisi penuh. Aku ikut tertawa meskipun tidak tahu apa yang lucu. 
“Kamu dengerin aku gak, sih? Bisa-bisanya nyaris tidur pas sarapan,” tanya Aruna saat batuk-batuk nya sudah reda.
“Dengerin, kok.”

Ini masih jam tujuh, tapi Aruna sudah terlihat siap menjalani hari, sedangkan aku sebenarnya masih sangat mengantuk. Memang Aruna tadi pagi mengetuk pintu kamarku saat aku masih tidur. Aruna tampak sudah rapi, tercium aroma sabun yang memberikan kesan segar, sedangkan aku masih mengusap-usap wajah dan menguap.

Aku menyuap pelan-pelan sambil melihat wajahnya ketika bercerita, meski yang dia ucapkan terdengar seperti keluhan, namun aku tahu dengan benar sebenarnya dia menyukai kampusnya.
Aruna menyuap dengan lahap sarapannya sambil menceritakan ujian prakteknya nanti dan mengenai rencana belajar bersama teman-temannya. Melihat Aruna semangat menjelaskan hal-hal tentang kampusnya membuatku lupa betapa aku tidak bisa makan sepagi ini. 

“Si culun retro juga ikutan belajar bareng?” tanyaku.
“Si culun siapa? Retro?” dahi Aruna mengkerut
“Siapa kemarin yang bareng kamu pas aku jatuh?”
“Reza? Syahreza? Kok culun, sih?”
“Menurut kamu?” tanyaku kembali, “bentar-bentar. Namanya Syahreza?” aku memastikan apa yang aku dengar dari Aruna. 
“Iya. Kenapa?”

Seketika aku tertawa terbahak-bahak.

Aruna yang awalnya kebingungan ikut-ikutan tertawa walau dia belum paham apa-apa.

“Kenapa, sih?” tanya Aruna lagi.

“Itu nama Ares. Syahreza, Ares!” Tawaku belum reda, bahkan ekor mataku terasa berair. 

“Lah?!” Aruna tampak terkejut sesaat sebelum akhirnya tertawa.

“Bayangin! Syahreza yang satu culun, yang satu lagi pemain!” kataku setengah berseru.

Aruna mengangguk, menyadari bahwa perkataanku benar mengenai temannya, lalu tidak lama setelah itu dia menggelengkan kepala seolah masih tidak percaya kami berdua memiliki teman dengan nama yang sama namun sifat berkebalikan. “Ada-ada aja emang!” ujarnya, kemudian menutup sendok sebab piringnya sudah tandas.

“Syahreza culun naksir kamu tuh!” aku ikut-ikutan menutup sendok, meskipun makanan di piring masih tersisa banyak. Aku kenyang. Bukan, lebih tepatnya tidak bisa lagi melanjutkan makan karena perutku mulai terasa tidak nyaman. Tidak terbiasa. 
“Sama dong kayak kamu, naksir aku!” dengan cepat Aruna menjawab.
“Aku gak naksir, tuh!” pungkasku.
Aruna tampak terkejut dan terperangah. Raut yang dia tampilkan sungguh menggelitik hati,  menggoda. Dia sampai berhenti minum dan memilih menatapku tajam.
“Aku sayang …,” jawabku setengah berbisik mendekati telinganya. 
“Apa sih kamu!” Kini Aruna tampak malu-malu, rona merah perlahan muncul pada wajahnya. Dia memukul pahaku dari bawah meja.

Aku terkekeh.

 

Suasana di sini mulai ramai, orang-orang berdatangan dan menunggu untuk duduk.  Aku mengajak Aruna untuk kembali. Sepanjang jalan tangan kami sama-sama lepas, berayun pelan mengikuti langkah, sesekali punggung tangan kami beradu membuatku ingin sekali menggenggamnya. Tapi aku khawatir Aruna tidak akan suka.

Pak Yahya yang sedang bersiul-siul sedang menyusun kursi-kursi plastik untuk tamu saat kami melewatinya.
“Pak? Rajin banget,” sapaku.
“Eh? Mas Gamma, Mbak Aruna,” Pak Yahya kaget saat aku menyapanya, siulannya tiba-tiba berhenti, “abis dari mana nih berdua?”
“Sarapan di depan,” jawabku singkat. 

“Kapan-kapan saya di ajak, Mas…,” guyon Pak Yahya. 

“Siap…,” jawabku santai, “Yaudah, Pak. Kami naik, ya?”
Monggo, monggo…,” Pak Yahya mengangguk, sambil memberikan isyarat untuk mempersilahkan.

“Mari, Pak?” Pamit Aruna dengan sopan. Aruna melangkah duluan, sedang aku tiba-tiba disergap oleh Pak Yahya, ia mencengkram lenganku dan mendekat, “nah, gitu, Mas. Gerak cepat! ”  bisik Pak Yahya mengerlingkan mata dengan usil saat menoleh ke arah Aruna. Aku terkesiap dan segera melihat Aruna, dia masih berjalan pelan tanpa mengetahui apa-apa. Aku mengacungkan jempol pada Pak Yahya, “Sip, Pak!” nyaris tidak terdengar

 -oOo-

“Jadi kamu hari ini mau kemana?” tanya Aruna saat kami sudah sampai di kamarku.

“Ntar sore, ada program CSR  perusahaan media kerjasama bareng PMI, donor darah. Aku ngeliput di halaman kantor media nya,” ujarku sambil merapikan kasur yang tadi aku tinggalkan begitu saja. Aruna membantu melipat selimut.
“Kayaknya aku tahu, kemarin teman-teman di kampus sempat bicarain masalah donor darah,” ujar Aruna.
“Oh, ya? Kalau gitu kamu mau ikut aku?”
“Pengen, sih. Pasti seru. Tapi aku dari siang udah janjian sama teman-teman, belajar bareng di kampus,” wajah Aruna terlihat sedikit kecewa.
“Ooh …, oke. Kalau gitu aku anter aja, ya? Aku juga sekalian mau ke rumah teman yang nanti kerja bareng.”
“Boleh, kalau kamu gak repot.” 
“Enggak kok.”

Aruna duduk pada tepi kasur. Matanya terlempar ke sekeliling kamar. Ini sudah yang ke tiga kalinya Aruna berada di sini sejak kami berpacaran. Yang pertama Jum'at sore minggu lalu. Saat itu Aruna sudah siap dengan ranselnya dan mengatakan akan ke Tangerang, ke panti asuhan. Sebenarnya saat itu aku sedikit sedih. Itu bahkan akhir pekan pertama kami, tapi dia merasa tidak ada yang istimewa mengenai hal itu, dia tetap seperti biasa, berangkat ke panti dan menghabiskan hari bersama adik-adiknya di sana.  Sebelum aku sempat menahannya, Aruna sudah duluan menjelaskan alasannya harus mengunjungi panti, “Ini minggu terakhir di tahun ini aku bisa bareng mereka, minggu-minggu kedepannya udah mulai magang. Jadi belum tahu lagi kapan bisa kesana.” 

Saat aku menawarkan akan mengantarkannya, dia menolak dengan mengatakan bahwa ibu pantinya sudah dalam perjalanan menjemput. Aku melihat Aruna pergi, menaiki motor yang dikendarai oleh seorang wanita yang mengenakan jilbab panjang.  Aruna bahkan menolak aku antar ke bawah. Aku hanya bisa melihatnya pergi dari jendela kamar. Yang kedua, tadi pagi, saat membangunkan ku. Yang ketiga, saat ini, sekarang. 

 

Kepala Aruna berputar, matanya bergerak mengelilingi kamar. Aku sedang berdiri bersandar membelakangi jendela, melihatnya yang tengah meneliti kamar ini dengan mata berbinar. Dia sangat menggemaskan dengan segala pikirannya, aku penasaran apa yang akan dia katakan tentang kamarku.  
“Kamar kamu bersih, rapi,” celetuk Aruna, “Terlalu rapi, gak ada hiasan atau pajangan apa-apa,” sambungnya. Memang benar, aku mungkin menerapkan prinsip minimalis untuk menata kamar, fokus pada kepraktisan, keefisienan ruang, dan penggunaan barang-barang yang benar-benar diperlukan. Aku tidak suka meja yang penuh atau benda-benda terpajang sehingga aku memilih laci yang benar-benar tertutup untuk menyimpan barang-barangku. Tidak ada display kaca atau semacamnya. “Aku lebih suka begini,” ucapku santai.

Matanya berhenti pada sebuah kotak hitam berukuran satu meter dan tingginya hampir sama dengan meja kerja tepat di sampingnya. Kotak itu terletak di antara meja kerja dan jendela. Bersandar pada dinding dibelakangnya. 
“Itu apa? Mencurigakan banget,” Aruna menunjuk kotak yang membuatnya penasaran. 
Aku tertawa. “Sini,”  aku mengajaknya melihat isi kotak itu. Aruna beranjak dari kasur dan mengikutiku.

Aku setengah berdiri,  membuka kotak itu. Itu adalah kotak dengan engsel penutup satu sisi, membuatnya terbuka ke arah atas membentuk sudut sembilan puluh  derajat.
Aku mendongak ke arah Aruna yang masih berdiri di sampingku, dan tampak takut-takut. Entah apa yang dia pikirkan tentang isi kotak ini, ekspresinya tampak khawatir. Lalu setelah kotak ini terbuka, matanya membesar dan berseri-seri, dia tersenyum lebar lalu segera duduk bertopang pada lututnya, persis seperti yang aku lakukan.
“Wah? Banyak banget!” ujar nya sambil memegang bibir kotak  dengan kedua tangannya, “ini punya kamu semua?” tanyanya lagi, Aruna masih memperhatikan deretan beberapa kamera dan lensa yang tersusun rapi di dalamnya, bahkan ada alat-alat penunjang lainnya seperti tripod, alat pembersih kamera dan kabel-kabel penyambung lain. 
“Beberapa punya Ares,” jawabku. Aku masih memperhatikan wajah Aruna yang tampak takjub. Dia terlihat seperti balita yang masuk ke toko mainan, tampak senang, penuh semangat, matanya itu terlihat fokus meneliti tiap benda, telunjuknya menyisir pelan deretan lensa. 
“Kamu mau coba yang mana?” tanyaku.
“Eh? Boleh?” Aruna segera menoleh.
“Boleh, dong!”
“Kalau rusak, gimana?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang lugu. Ini bukan seperti balita lagi, tapi memang benar-benar balita yang sedang khawatir akan merusak barang milik orang dewasa. 
“Gak segampang itu juga rusaknya. Kecuali kalau jatuh atau kebanting,” jelasku.
Aruna mengangguk dengan cepat.
“Nah, yang ini coba,” aku mengambil satu kamera DSLR yang ringan dan memilih lensa standar yang tepat digunakan untuk pertama kali belajar.  Lalu setelah terpasang, aku memberikannya pada Aruna. Aruna menerimanya dengan hati-hati. Dia tampak gugup. Dua sudut bibirnya terangkat, matanya mengeluarkan cahaya kegembiraan. Aku mengalungkan tali kamera ini pada lehernya lalu  dia dengan antusias  meneliti, membalik-balikannya.

Pipi kami nyaris bersentuhan saat sama-sama menatap ke layar kontrol kamera, aku menjelaskan secara singkat kepada Aruna fungsi-fungsi menu yang ada. Aruna benar-benar memperhatikan. Aku menjadi salah tingkah sebab belum pernah berjarak sedekat ini dengannya. Rambutnya jatuh menutupi pipi saat dia menunduk. Sesekali dia  menyelipkan rambut itu ke balik telinga. Meskipun aku tampak tenang menjelaskan setiap tulisan yang ada pada layar kontrol namun degupan jantungku di dalam sini sedang berisik. Terkadang saat menjelaskan, aku melirik Aruna dari sudut mata, lehernya putih bersih dan … wangi strawberry.

“Apa?” Aruna yang tahu sedang diperhatikan langsung menoleh, membuat hidungnya sekilas menyentuh pipiku. Darahku berdersir kencang hanya karena sentuhan sekilas itu. “Ng…, Gak apa-apa.” Jawabku cepat.

“Aku coba fotoin kamu, ya?” pinta Aruna setelah dia mulai memahami apa yang aku jelaskan.
“Jangan dong,” aku diam sebentar, “kita aja gimana?” usulku kemudian. Aruna bingung.
“Ini layar kontrolnya sebenarnya bisa di putar, jadi bisa selfie,”  ujarku sambil memutar layar pada kamera yang baru aku beli pertengahan tahun lalu.
“Waahhh…,” Aruna tampak takjub. 
Akhirnya kami berfoto bersama untuk pertama kali. Jelas sekali Aruna jarang selfie, dia tampak kikuk. Aku memintanya mengatur layar kontrol kamera. Lalu kami mencoba selfie lagi setelahnya hingga dua kali. 

Siang itu dia terus-terusan belajar, memotret apapun yang ada di kamarku, bahkan sampai mengarahkan bidikan ke luar jendela. Aku membiarkannya menikmati waktu-waktu yang baru itu baginya sambil mempersiapkan peralatan untuk nanti bekerja. 

-oOo-

Jum’at sore, aku sedang duduk bersama Ares dan teman-teman lain pada pelataran kampus. Ares tengah sibuk pada laptopnya, dia sedang  memilih-milih footage untuk video profil komunitas skateboard yang telah disetujui dengan cepat oleh dosen pembimbingnya. Mungkin karena Pak Sam sudah muak melihat kurangnya kemajuan pada proyek sebelumnya atau karena komunitas skateboard ini memang sedang menarik perhatian. Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, komunitas ini sudah banyak menggapai prestasi nasional. Lagipula, Ares memang harus serius kali ini, selain karena sempat tertinggal, orang tua Ares mulai tidak sabar melihat Ares lulus dan segera bekerja. Harapan orang tua Ares sangat tinggi, Ares selalu dibandingkan dengan sepupu atau anak teman orang tuanya yang telah berpenghasilan besar. 

Teman-teman lain juga tampak sibuk. Sibuk dengan ponsel, sibuk dengan buku dan sibuk dengan obrolan-obrolan rumit, entah itu tentang rencana proyek ke depan, kritik desain, budaya populer atau etika desain. Aku mendengar salah satu obrolan mereka mengenai plagiarisme, mereka mungkin memperdebatkan bagaimana desainer menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Aku memilih diam,  malas bersuara. Aku hanya melihat kiri dan kanan, mengawasi situasi di sekitar. Mataku bergerak pelan menyusuri halaman kampus. Mahasiswa jurusan lain yang bersebelahan dengan jurusan kami tampak lalu lalang, wajah-wajah yang telah mengisi kampus selama tiga setengah tahun terakhir akan meninggalkan kampus dalam kurun waktu kurang enam bulan. Mataku berhenti pada Ares, anak yang dulu menabrakku dari belakang.

Saat itu acara penutupan orientasi mahasiswa baru di auditorium kampus. Acara berlangsung sejak sore pada hari Sabtu. Aku baru bisa datang pukul tujuh malam, melewati orasi ilmiah dari jurusanku mengenai desain dan inovasi dari salah satu praktisi yang sudah banyak bekerja sama dengan perusahaan besar. Aku masuk auditorium tepat saat anak jurusan teater mementaskan drama. Semua kursi penuh, sehingga aku dan beberapa puluh orang lainnya terpaksa berdiri. Acara tersebut menyenangkan karena sudah tidak ada lagi teriakan-teriakan senioritas terdengar. Semua akrab tanpa batas tahun angkatan, tidak seperti saat ospek. Panggung kini sudah diambil alih oleh jurusan musik, awalnya mereka menampilkan orkestra yang memukau, setelahnya perkusi lalu terakhir band. Band tersebut membawakan empat lagu ciptaan mereka sebelum akhirnya membawakan lagu dari Bon Jovi berjudul Livin’ on A Prayer sebagai penutupan, pemilihan lagu yang tepat untuk memotivasi mahasiswa agar tetap semangat dan pantang menyerah dalam mencapai tujuan. Seisi ruangan melompat mengikuti irama. Auditorium berubah menjadi gegap gempita dan penuh riuh iringan nyanyian bersama. Saat sedang menikmati suasana, tiba-tiba kepalaku terbentur sesuatu dari belakang. Aku segera menahan tubuh agar tidak ikut menabrak seorang perempuan di depan. Saat menoleh, terlihat laki-laki yang badannya sedikit lebih tinggi, dia mengusap dahinya sambil mengernyit dan mendesis kesakitan, “Sorry, gak sengaja. Gua ditubruk juga tadi,” ujarnya saat itu. Aku mengangguk, lalu mengabaikannya dan kembali menikmati lagu yang hampir selesai. Lalu saat di parkiran, aku bertemu dengan anak itu lagi, motor kami bersebelahan.  Entah kenapa sejak itu, kami sering bertemu secara acak dan tidak sengaja. Masuk kelas hari pertama, dia datang terlambat lalu saat ditanya  dosen,  tiba-tiba dia menunjukku dengan mengatakan, “Saya tadi jemput dia, Pak. Eh, dia malah sampai duluan.” Alasannya mengejutkan seisi kelas, semua kepala menoleh ke arahku yang duduk dibelakang.  Aku yang terperangah bahkan tidak mampu mengeluarkan satu kata pun. Akhirnya dengan muka masam, dosen  mempersilahkannya mengikuti kelas. Tanpa diduga, dia memilih duduk di sampingku, barisan paling belakang, sudut. Padahal banyak kursi yang masih kosong.

“Kayaknya kita pernah ketemu,” katanya

“Lu yang nubruk gua.” 

“Oh!” lalu dia tertawa dan kembali ditegur dosen.

“Gua Ares,” ujarnya memperkenalkan diri dengan santai sambil mengeluarkan tablet dari ranselnya.

“Gua Gamma.” 

“Abis kelas mau kemana?” tanyanya, sambil menulis entah apa di tabletnya.

“Belum tau, kenapa?”

“Gua ikut kemana lu pergi.”

Hah? Udah gila anak ini! Seruku dalam hati.

Aku tidak mengerti kenapa si Ares ini sok kenal sok dekat. Dia benar-benar ikut kembali ke kost. Begitu seterusnya. Kemanapun aku pergi, dia akan ikut. Terkadang dia mengajakku berkumpul bersama teman-teman jurusan lain. Ares ini orang yang cukup santai, dia dengan mudah disukai karena selain rupawan dimata perempuan, dia juga menyenangkan, tidak pernah membedakan orang.  Lalu perlahan dia menceritakan bahwa kedua orang tuanya memiliki sentimen negatif atas keputusannya melanjutkan pendidikan mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual. Dia tidak tahan dengan tatapan tajam ibunya –yang dia panggil mami, setiap kali pulang. Akhirnya karena sering bersama, aku dan Ares menjadi lebih dekat daripada teman-teman lainnya. Dia orang yang memperkenalkan aku dan alkohol untuk pertama kali dan hal itu tidak aku sesali sama sekali.

 

Ares biasa-biasa saja pada semester pertama, cenderung medioker. Dia mengikuti alur kampus seadanya, tetap berada di tengah-tengah antara tidak ingin repot dengan urusan kegiatan organisasi mahasiswa dan juga tidak ingin terlalu berusaha pada nilai akademis. Padahal aku yakin jika mau, Ares bisa mendapatkan nilai lebih baik sebab dia memiliki bakat bawaan sebagai seniman. Sedangkan aku bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa atau kami sebut dengan UKM yang terbagi menjadi tiga fokus yaitu: fotografi, videografi dan desain grafis. Aku memilih UKM Fotografi.  Namun, sayangnya aku berhenti dari klub itu pada semester tiga sebab sudah mulai sibuk bekerja. 

Saat semester dua sepertinya Ares berniat memanjangkan rambut dan memelihara bulu-bulu halus di wajahnya. Dia lebih pantas berpenampilan seperti itu, dari awal memang wajahnya sudah memiliki daya tarik sehingga dengan gaya seperti itu dia menjadi magnet yang tidak tertolak bagi perempuan. Pacarnya gonta-ganti,  nyaris tidak ada yang bertahan hingga tiga bulan. 
Kini dia tengah serius mengerjakan karya tugas akhirnya. 

“Gam, ntar gua mampir ke kost, ambil kamera,” ujarnya di tengah-tengah mata dan jarinya sibuk memilih file di layar laptopnya.
“Sekarang aja. Gua juga mau balik.”
“Duluan, gua masih nunggu Trisna,” Ares menekankan nama Trisna, membuat teman-teman lain menoleh. Dia sengaja, agar teman-teman mengetahui bahwa dia sedang memamerkan keberhasilannya mendekati Trisna. Lantas Ares tertawa bangga. Saat teman-teman lain mulai ribut, bahkan ada yang memukul-mukulnya dengan buku ataupun dengan tangan kosong, aku menggelengkan kepala. “Gua duluan, yak!” ujarku pada teman-teman yang masih bersenda gurau. Siang ini aku berjanji menjemput Aruna di kampusnya, lalu kami akan makan siang bersama. Akhir pekan nanti dan beberapa minggu kedepan, Aruna tidak ke panti asuhan karena persiapan ujian dan akan magang setelahnya.

Aku dan Aruna makan siang pada sebuah cafe sederhana di sekitar kampusnya. Aruna bercerita mengenai jadwal magang yang sudah dia terima. Di mengatakan kali ini dia akan magang pada rumah sakit yang dibina oleh yayasan kampusnya. Rumah sakit itu tidak jauh dari kampus Aruna. Magang kali ini semua teman-teman angkatannya lebih sering mendapatkan jadwal dinas malam yang dimulai dari pukul sembilan malam hingga pukul tujuh pagi. Pihak klinik ataupun rumah sakit telah menganggap mereka sebagai mahasiswa terlatih yang mampu menghadapi situasi genting saat tengah malam. 

“Kamu kenapa begitu wajahnya?” Aruna bertanya, mungkin terlihat sangat jelas bahwa aku mencemaskannya..
Was-was. Malem banget kamu dinasnya,” aku meletakkan sendok ke piring, sudah tidak selera makan.
“Iya tapi juga gak setiap hari. Tiga kali seminggu.”
“Aku anter ya?” pintaku.
“Deket, kok. Kayak aku ke kampus biasa.”
“Gak apa-apa. Sama aku aja.”
Aruna mengangguk kemudian melanjutkan makannya. Aku yang tiba-tiba sudah merasa kenyang mendorong piring ini menjauh dari hadapan. Aruna tampak tidak suka aku begitu.

 

Piring Aruna tandas. Hampir setiap makan dia selalu menghabiskan makananya, kalaupun bersisa itu sangat sedikit. Aku suka sekali melihatnya makan lahap begitu. Yang  membuatku bertanya-tanya adalah bagaimana bisa badan sekecil Aruna menampung makanan dengan porsi yang banyak.  Walau makannya selalu habis, badannya terlihat tidak bertambah tumbuh. Untuk ukuran wanita berusia dua puluh satu tahun, tubuhnya termasuk kecil. Aku memangku wajah, memperhatikan dia minum. 
“Apa?” Aruna selalu begitu, jika sudah mulai hening atau tidak ada percakapan, dia akan mengatakan apa kepadaku. Terlebih saat ini, saat aku dengan sengaja melempar senyuman padanya. Aku mengangkat bahu dengan santai. Lalu Aruna juga dengan santai minum kembali.

Kami pulang, kembali ke kost setelah hampir satu jam duduk di cafe itu. Selama perjalanan, Aruna memegang bahuku. Aku mulai terbiasa, awalnya jari jemarinya yang halus dan kecil terasa asing bersandar di kedua pundakku. Dia mengenakan jaket jeans milikku yang sengaja aku bawa sejak pagi karena aku tahu Aruna hampir selalu keluar tanpa jaket atau baju pelindung lain dari angin. Lagipula seragam berwarna putih polos itu akan menerawang jika terkena cahaya berlebih. Tidak ada percakapan apapun selama perjalanan pulang. Saat kulirik melalui kaca spion, dia tampak menikmati sore yang sedikit mendung, sudah turun beberapa rintik air dari langit. Sesekali dia menampungkan tangannya ke udara, menunggu air jatuh menimpa telapak tangannya. Awalnya aku tersenyum melihatnya begitu, namun senyum itu memudar ketika aku memikirkan bagaimana masa-masa kecilnya saat di panti asuhan, apakah sulit sekali sehingga untuk hal seperti ini saja dia sudah senang. 

-oOo-

Minggu tenang sudah berakhir. Akhir minggu kemarin aku habiskan dengan kembali mengulang materi kuliah, sebab kemungkinan hari-hari kedepannya tidak banyak waktu. Rabu sore aku kembali akan bekerja di pabrik Garmen, kali ini aku memastikan Ares bisa mendampingi sebagai rekan kerja, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, membuat Kak Ami kecewa dan juga menambah pekerjaanku hingga dua kali lipat pada akhirnya. Proses menyelesaikan materi itu butuh waktu dua hingga tiga hari sedangkan pada pabrik garmen itu aku datang empat kali dalam sebulan. Mereka sangat cepat dalam memproduksi produk-produk baru. Persaingan pasar fashion memang sangat ketat, terlebih melalui platform jual beli online. Lalu aku dengan sengaja tidak mengambil pekerjaan lain untuk sementara agar fokus menghadapi ujian dan pada pengerjaan materi tugas akhir.

Aruna juga tampak sibuk belajar sendiri ataupun bersama teman-teman di kampusnya. Dia juga fokus dengan penelitian untuk karya ilmiah. Aku membantunya dengan mencoba menyebarkan kuesioner penelitiannya kepada Ares, Trisna dan beberapa teman lainnya. “Lu sama Aruna udah jadian?” tanya Ares saat dia menyerahkan kembali kuesioner yang sudah diisi. Saat itu kami baru saja sampai pada studio pabrik garmen dan tiba-tiba listrik padam, membuatku akhirnya lupa menjawab pertanyaan Ares karena Ares sudah menggerutu bersama Kak Ami. Lalu saat listrik sudah menyala kembali, kami mulai terburu-buru bekerja karena dikejar waktu.

Aku dan Aruna belum pernah melewati akhir pekan berdua seperti kebanyakan pasangan lainnya, belum ada kesempatan. Aku berharap setelah selesai ujian, akan banyak akhir-akhir pekan yang kami lewati bersama dengan kegiatan menyenangkan. Walau jarak kami hanya beberapa langkah, namun itu bukan suatu jaminan untuk memudahkan bertemu, kenyataanya rutinitas kami memiliki jadwal yang berbeda. Aruna dan aku hampir selalu menyempatkan bertemu pada pagi hari dan sarapan bersama, sedikit banyaknya aku sudah mulai terbiasa bangun pagi, namun perutku masih belum mampu menerima makanan pada waktu-waktu itu. 

Dua mata kuliah dijadwalkan ujian pada minggu yang sama. Itu sangat baik sebab akhir minggu ini sudah libur cuti bersama Natal. Aku melewati ujian dengan mengerjakannya sungguh-sungguh, Ares juga tampak begitu. Untuk pertama kalinya Ares terlihat belajar dengan benar sampai mencoret buku teks (ini hal langka), menandai yang sekiranya perlu. Entah ada hubungannya dengan Trisna atau tidak, yang jelas ini perubahaan yang baik, Ares justru bersungguh-sungguh saat berada di semester akhir. Semester tujuh sudah selesai bersamaan dengan ujian mata kuliah terakhir tadi. Aku hanya menunggu nilai dua mata kuliah ini keluar. Semester depan, jika tidak ada mata kuliah yang mengulang, kami sudah akan sangat sibuk mempersiapkan materi tugas akhir untuk kelulusan. 

Hasil ujian akhir semester akan keluar pada minggu kedua bulan Januari. Semester genap akan di mulai pada awal Februari 2017. Sebelum semester genap itu berakhir aku sudah harus membawa materi tugas akhir untuk tampil pada ujian akhir, mempresentasikannya dengan baik. Belum lagi rencana usaha bersama Ares, sudah sejak dulu kami berencana membangun sebuah studio yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan produksi komersial. Ini juga salah satu target yang aku tuliskan pada buku bersampul cokelat itu. Kami berencana mengerjakannya selama libur semester, dimulai dari mencari tempat yang strategis. Benar-benar awal tahun yang sudah sangat sibuk.  Saat nantinya itu, Aruna justru tengah menjalani praktek lapangan. Kembali lagi kami pada jadwal masing-masing yang akhirnya membuat kami jarang bertemu. Dalam hubungan kami, sepertinya tidak terlalu berlaku percakapan romantis yang panjang baik melalui pesan ataupun telepon. Kami hanya mengirim pesan jika memang diperlukan, seperti aku akan menjemput atau mengantarnya, atau dia yang menyampaikan jadwalnya hari itu secara singkat. Yang tidak pernah Aruna lupakan setiap hari adalah selalu mengingatkan untuk menjaga kesehatan dan usahakan makan dengan benar. Terkadang juga saat benar-benar bertemu, seperti malam itu setelah aku selesai dari bekerja pada studio pabrik garmen, Aruna datang ke kamar, memberikan makan malam yang telah dia persiapkan dan sebotol vitamin. “Kamu itu kegiatannya banyak, pulangnya malam, tidurnya suka larut, bangunnya kesiangan, gak minum vitamin apa-apa,” ujarnya saat itu. 

-oOo-

“Gimana ujian kamu? Lancar?” Aku bertanya pada Aruna, hari Jumat ini sama-sama menjadi hari ujian terakhir kami. Kami tengah makan malam pada sebuah kedai makan yang sederhana namun cukup terkenal di daerah ini. Suasananya terbuka, menu makanannya beragam dan cukup ramai namun tidak terlalu sesak. Jarak tempat makan ini dengan kos kami hanya sekitar tujuh menit jika ditempuh dengan motor. 
“Lancar, yah, walaupun ada yang aku gak bisa jawab, lupa.” Jawabnya santai sambil menyuap bubur ayam.
“Ujian prakteknya? Aman?”
“Kalau itu, sih, bisa. Kamu gimana ujiannya?” Aruna balik bertanya.
“Aman lah itu. Aku gak berharap nilai sempurna juga.”

“Jangan gitu, ah! Aku tahu kamu belajar kan?”
“Iya, sih. Tapi gak berharap gimana-gimana juga,” jawbaku santai, “enak bubur nya? Nambah yuk?” aku melihat bubur ayam Aruna sudah hampir habis. Sedangkan martabak di piring ku masih ada setengahnya.
“Enak, tapi udah, ah. Udah kenyang juga,”  Aruna menolak.
“Aku seneng tiap lihat kamu makan lahap.”
“Kebiasaan mungkin, karena selama di panti, semuanya diatur. Jam tidur, jam bangun, termasuk makanan. Gak boleh pilih-pilih apalagi nyisa. Makanya kalau ambil makanan itu harus dikira-kira, bakalan abis atau engga. Kalau gak abis, sayang aja. Mana tau ada teman yang masih lapar tapi kita seenaknya gak abisin makanan.” Aruna mengatakannya dengan santai. Aku tertegun.  Itu tidak mudah, sama sekali tidak mudah. Jika dibandingkan denganku, semasa kecil aku selalu mendapatkan pilihan dari orang tua, walau pun tidak banyak meminta tapi pilihan itu tetap selalu ada, mau ini atau itu, pilih yang kanan atau yang kiri, hal-hal semacam itu. Beda dengan Aruna yang sudah harus menerima, suka atau tidak, dia akan tetap mengambil apa yang sudah ada di depan matanya. 

Ternyata begitu. Aku semakin terpacu untuk membuat Aruna lebih bahagia dengan menyediakan berbagai pilihan atau apapun yang dia inginkan.

“Kamu tahu? Tempat makan ini pernah jadi salah satu lokasi syuting film, loh?” ujarku mencoba mengalihkan pembicaraan, “nih, persis di meja kita ini,”  aku mengetuk dengan telunjuk permukaan meja kami. 
“Tahu, dong. Yang mereka mendaki Semeru itu, kan?” Aruna memastikan, wajahnya tampak ceria. Aku tahu itu jenis film yang dia suka. Dulu saat pertama kali makan bersama Aruna –mi instan di kamarnya, kami sempat mengobrol sedikit mengenai film favorit. 
“Pinteeeerrrr…,” ujarku sambil menunjukkan kedua jempol padanya. 

“Aku nonton, tuh,” sambungnya lagi.

“Oh, ya? Itu pas kita SMA kan? Kamu nonton sama siapa?”

“E-ehhh, sama temen, temen lama. Udah kenal lama maksudnya,” Aruna tampak ragu-ragu menyampaikannya dna terbata-bata..

Aku tertawa, aku bahkan tidak akan mempermasalahkan jika dia mengatakan saat itu dia nonton bersama seorang pacar. Itu masa SMA, puncak usia pubertas. Bahkan saat SMA dulu aku juga menyukai seorang gadis dari kelasku lalu kami berpacaran dulu.

“Santai aja. Aku gak gimana-gimana,” ujarku setengah berbisik, dan menyenggol pelan kepalanya dengan kepalaku. Aku menatapnya, mencoba merapikan poni rambutnya yang sudah mulai panjang. Namun Aruna sepertinya gundah. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah. 
Tangan Aruna yang tadinya terlipat di atas meja, kini perlahan menggenggam tanganku. Daripada cerita yang mengatakan bahwa dia dulu pergi bersama seseorang, hal ini jauh lebih mengejutkan. Tangannya sangat kecil untuk tanganku. Tangan Aruna  sangat lembut dan dan halus seperti kue mochi yang sudah dilumuri dengan tepung.  Aku membalikkan tangan, membiarkan telapak tangan kami bertemu lalu saling menggenggam erat. Tatapan gusar itu kini berubah hangat. 

“Nih, jaket kamu,” Aruna menyerahkan jaket padaku saat kami sudah sampai pada parkiran kost. 

“Simpen aja buat kamu, dipakai terus tiap keluar, oke?” pintaku.

“Tapi kan gerah, Gam.” Aruna beralasan.

“Pakai aja daripada masuk angin,”  ujarku cepat, “oke?”

Seandainya aku bisa mengatakan dengan terang-terangan bahwa jaket itu bukan hanya sekedar melindunginya dari angin, tapi juga dari mata nakal pria lain. 
“Oke, deh …,” Jawab Aruna sambil mengangguk pelan. Untungnya dia tidak berkilah lagi dengan alasan lain. Kami berjalan berdampingan dan aku menggenggam tangannya. Terasa nyaman dan hangat. Aku menoleh dan melihat wajahnya berseri-berseri, terkadang dia mengayunkan lebih kencang tangan yang di genggam itu. 
“Apa?”  ujarnya lagi saat aku hanya melihatnya tanpa berkata apapun.
Aku tersenyum sambil menggeleng.
“Kamu gak kepengen jatuh lagi?” tanya Aruna dengan wajah usil.
“Hhmm ... ? Gimana?” tanyaku bingung.  
“Jatuh, karena mabuk dulu. Gak kepengen jatuh lagi?” jelas Aruna.
“Oh!” Aku terkekeh malu dan menggelengkan kepala mengingat betapa konyolnya saat-saat itu, “Gak jatuh, sekarang udah ada yang megangin,” kataku sambil mengangkat tangan yang saling menggenggam.
Andai dia tahu bahwa saat ini pun aku tengah mengerahkan seluruh tenaga untuk sekedar melangkah. Berjalan sambil menggenggam tangannya seperti ini benar-benar membuatku lemah dan hampir merosot turun hingga ke lantai bawah. 
Aku menunggu Aruna masuk ke kamarnya.  Dia menatapku lekat.

“Apa?” ucapku mencoba menirukannya.
“Tangan. Gimana aku mau masuk kalo masih belum di lepas?” Aruna menggoyang-goyangkan tangan yang aku genggam.
“Oh iya. Lupa,”  aku melepas genggaman itu, “tapi bisa aja dibawa masuk sekalian sama orang nya,” kedua alisku terangkat cepat beberapa kali dan tersenyum usil.

Aruna tertawa, menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan yang tertutupi oleh jaketku. Jaket itu memang kebesaran untuk tubuhnya tapi memang itulah tujuannya, semakin menutupi bagian tubuh dan tiap lekukan. 
“Kalau gitu, sini …,” Aruna memberikan isyarat agar aku sedikit lebih mendekatkan wajah padanya. Aku mengikutinya. Aku berpikir mungkin dia akan membisikkan sesuatu, seperti waktu di coffee shop dulu, tapi ternyata apa yang terjadi kali ini justru benar-benar nyaris membuat jantungku berhenti. Aruna mengecup pipiku! Walau pun dia melakukannya dengan sangat cepat tapi aku terpaku pada posisi itu cukup lama.

“Udah. Kamu berdiri yang bener dong,” ujarnya dengan malu-malu berseru.
“Udah gak bisa berdiri aku, tuh. Kamu tanggung jawab,” ujarku masih di posisi yang sama. Condong menunduk ke arah Aruna.
“Bohong banget!” Aruna menahan senyum, lalu segera masuk, menutup pintunya sedikit keras. Aku terpaku dan ya, juga tersenyum malu.


“Aduh, aduh, love birds …,” Suara Bu Dewi yang entah sejak kapan berdiri pada ambang pintunya. Bu Dewi tersenyum lebar dengan memangku kedua tangan.
“Eh? Bu Dewi.” Aku menggaruk alis –sungkan.
“Saya sampai nahan buat keluar, loh. Takut gangguin kalian,”  goda Bu Dewi.
Aku terkekeh pelan, malu karena ketahuan.
“Saya anggap gak lihat, deh,”  Bu Dewi mengedipkan sebelah mata.

“Saya masuk dulu, Bu.”

Malam itu, aku terus mengelus pipi yang dikecup Aruna, pipi kiri. Bahkan saat mencuci wajah, aku terbiasa mengusapkan sabun dengan kasar dan cepat, tetapi kini aku mengusap pelan bagian pipi yang dikecup Aruna. Aku menatap cermin, melihat diriku sendiri yang tersenyum menggelikan. Seberapa pun kuatnya aku ingin menahan senyuman tapi tetap saja tidak berhasil, kedua ujung bibirku tetap terangkat tinggi mengikuti perasaan di hati. Aku sudah tidak normal. Ini benar-benar seperti yang orang-orang bilang:  mabuk cinta. 

Malam itu, daripada terus-terusan seperti orang gila, aku memutuskan untuk video call ibu dan Marwa, menanyakan kabar mereka serta mengabarkan kemungkinan akan pulang sebentar sebelum semester ganjil dimulai. Saat mendengarkan Marwa bercerita mengenai ujiannya, ibu tiba-tiba menyela dan bertanya, “Kamu kayaknya lagi seneng, ya?”
“Enggak, biasa aja, Bu,” aku mencoba tenang.
“Iya. Wajah kamu lebih cerah. Berseri-seri. Juga tadi ibu lihat kamu beberapa kali senyum sendiri,” Ibu dengan cepat menyadari. Memang benar, firasat seorang ibu hampir selalu tepat. Tidak diragukan lagi, bahkan hanya dengan layar sekecil ponsel ini pun ibu bisa mendapati bahwa ada yang berbeda kali ini.
“Ada apa, sih kak?” Marwa menimpali.
“Gak ada apa-apa, kok. Kenapa, sih?” aku memohon pada diri sendiri agar senyuman tidak  mencuat seenaknya didepan ibu dan Marwa. 
“Ya udah, kalau gak ada apa-apa. Ibu seneng aja liat kamu begini, lebih ganteng.” ujar Ibu.
“Ah? Masa, sih?” aku mendekatkan wajah pada kamera ponsel untuk  memastikan perkataan ibu benar. 

“AH! APA SIH! Gak ganteng-ganteng banget juga!” Marwa terdengar kesal. Lalu kami bertiga tertawa. Setelahnya Marwa melanjutkan ceritanya mengenai ujian. Dia kecewa karena salah satu mata kuliahnya tidak sesuai perkiraan. Apa yang dipelajari tidak sesuai dengan materi ujian yang dia terima. Lalu aku menakut-nakutinya dengan mengatakan dia akan mengulang pada semester genap berikutnya. 


-oOo-

 

Sabtu sore, tapi Aruna sudah sejak pagi berada di kampusnya. Aku memeriksa ponsel saat baru bangun tidur pada setengah sepuluh pagi tadi.  Aruna mengirimkan pesan sekitar satu jam sebelumnya, mengatakan bahwa dia akan berada di kampus hingga sore, dosennya memberikan semacam pengarahan mengenai praktik lapangan yang sebentar lagi akan mereka laksanakan. Bahkan setelah ujian berakhir Aruna tidak sempat merasakan libur semester. Membuat ku berpikir bahwa semua akademi ataupun sekolah kesehatan benar-benar sesibuk ini. 

Sudah pukul setengah lima sore. Aku mencoba menelepon Aruna, tidak diangkat. Aku mengirimkan pesan mengatakan aku akan datang menjemput.

Aku datang lebih dulu sebelum Aruna selesai. Kampusnya tidak terlihat ramai, hanya ada beberapa motor dan satu mobil terparkir. Kemudian aku melihat  pemandangan dari kejauhan yang tidak begitu menyenangkan, segerombolan pelajar  yang tengah duduk bersama, laki-laki dan perempuan saling bersenda gurau dan Aruna berada pada tengah-tengah mereka. Memang, Aruna tidak melakukan hal yang membuatnya terlihat mencolok, dia hanya duduk diam dan ikut tersenyum atau tertawa jika salah satu dari mereka membuat candaan. Namun satu laki-laki yang duduk tepat di belakang Aruna terlihat tengah menatapnya dengan lekat. Dari seragamnya aku bisa mengetahui laki-laki itu adalah teman seangkatan Aruna. Aku menyipitkan mata, ingin melihat wajah pria itu sedikit lebih jelas. Bukan, ternyata bukan si culun. Ini pria lain. Bahkan si culun tidak tampak hadir. Aruna sedang asyik di sana sehingga tidak menyadari aku datang., mungkin juga karena aku berdiri jauh dan tidak turun dari motor, hanya masuk sedikit dari gerbang kampusnya. Di sinilah tempat aku biasa menunggu Aruna.  Aku mencoba menelepon Aruna. Entah karena ponselnya dalam mode hening membuat sambungan ini hanya berdering panjang di telinga. 

Sudah sepuluh menit, tapi Aruna masih tetap tidak menyadari aku berdiri di sini, membuatku ingin segera menghampiri gerombolan itu. Sesaat sebelum aku melangkah, Aruna berdiri, dia mengenakan jaket jeans yang sedari tadi berada di pangkuannya lalu mulai menjauhi teman-temannya. Laki-laki yang sedari tadi dibelakangnya turut mengikuti. Mereka tampak berbicara sebentar, aku kembali menyipitkan mata dan kali ini mencondongkan badan sedikit  ke depan. Aku sendiri tahu bahkan dengan mencondongkan badan pun aku tetap tidak bisa melihat dan mendengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan, tapi tetap saja aku lakukan. Aruna menepis tangannya di udara dan menggelengkan kepala kepada laki-laki itu kemudian Aruna menunjukku. Aku terkejut sebab ditunjuk tiba-tiba namun bisa dengan segera melambai pada Aruna. Aruna berlari kecil menghampiriku. Angin sore yang tidak begitu kuat membiarkan rambutnya bergerak lembut sesuai hentakan kakinya.  
“Yok!”  Aruna langsung naik setelah aku membuka pijakan motor untuknya. 

“Jalan?” ajakku. Aku berencana membawa Aruna makan dan nonton film setelahnya.

“Ayok, ayok!” ujarnya semangat. 

Jalanan sangat padat sebab malam misa. Matahari sudah jauh condong ke barat dan digantikan oleh penerangan dari lampu kendaraan dan lampu jalan. Jika saja jalanan lancar, sekitar sepuluh menit saja kami sudah sampai pada salah satu mall di daerah Kelapa Gading. Namun nyatanya sudah lebih dari dua puluh menit perjalanan dan tujuan kami masih belum juga kelihatan.
“Gam? Kita balik aja, gimana?”

“Iya, nih. Kayaknya filmnya gak keburu juga.” aku menyetujuinya.

“Iya. Gak apa-apa. Lain kali aja.”

 

-oOo-


Akhirnya, entah untuk yang keberapa kali, rencana malam minggu kembali gagal. Aku kesal.  Berbeda dengan Aruna, dia tampak biasa-biasa saja, tidak terlihat raut kekesalan pada wajahnya. Aruna masih dengan semangat membawa tubuhnya menaiki setiap anak tangga. Kedua tanganku tengah sibuk membawa dua kantong belanjaan. Sebelum pulang, aku menghentikan motor pada sebuah mini market. Aruna memilih beberapa jeruk dan satu potong kue strawberry yang sudah dibungkus dalam kotak bening. Aku memilih cemilan, beberapa roti dan minuman kaleng.

“Oh ya, yang ngikutin kamu tadi siapa?” tanyaku tiba-tiba mengingat teman laki-laki yang mengusik Aruna.
“Oh,  Rama. Tadi dia nawarin buat anterin aku pulang.”
“Terus?” tanyaku curiga.
“Ya aku bilang, udah dijemput. Terus aku nunjuk kamu.”
“Kamu bilang ke dia kalau aku ojek online kali ya?” Aku sedikit pesimis, mengingat Aruna dengan sifat tertutup dan pemalu. 
“Pacar, dong!” sahutnya.
“Serius?” Rasa kesal akibat segala hal tidak berjalan sesuai rencana tiba-tiba memudar mendengar jawaban menyenangkan dari Aruna.
“Iya. Emang ada ojek online sekeren kamu?” lagi-lagi Aruna menatapku usil, menaikkan kedua alisnya tinggi.

“Kamu bilang aku perayu, nyatanya kamu juga ahli, tuh!” kataku menggodanya.

“Mungkin aku belajar dari kamu,” sanggahnya cepat sambil mengedipkan sebelah mata.

Kemudian kami tertawa bersama.

Kami sudah sampai di lantai tiga, dan Aruna langsung merogoh kunci kamarnya, “Kamu ngapain ikutan?”  tanyanya sambil menoleh ke belakang. 
Aku mengangkat kedua tanganku, memperlihatkan kantong belanja yang penuh. Alisku naik satu, seolah bertanya bagaimana dengan ini semua. 
“Nanti aku susul ke kamar kamu. Kita kan mau nonton dan makan bareng. Cuma di kamar kamu yang ada TV. Aku mau mandi dulu, gak lama, kok,” jelas Aruna lagi.

“Oh ya? Kalau begitu aku siapkan dulu filmnya,” ujarku sambil tersenyum lebar. Meskipun tidak sesuai rencana awal, hal seperti ini tetap menyenangkan.

Kemudian aku mencondongkan wajah kepadanya, memberikan satu sisi pipiku ke arah Aruna.

“Kamu ngapain lagi?” tanyanya dengan wajah datar yang malas.

“O-oh? Enggak, ya? Kirain bakal jadi salam perpisahan gitu, cium pipi kayak kemarin, lho?” jawabku setengah cemberut.
Aruna tertawa sambil mendorongku menjauh, “Sana, ah!!”

-oOo-

Aku memilih sebuah film aksi fiksi-ilmiah kerjasama Hungaria-Amerika, film terbaru pada layanan streaming ini. Setelah film selesai dipilih, aku mulai mengeluarkan barang-barang belanjaan dari kantong belanja. Di tengah-tengah itu, Ares menelepon. Dia mengatakan akan mampir ke sini untuk main PES hingga larut malam dan berencana menginap.
“Gak bisa sekarang.”  ujarku singkat saat mengangkat telepon itu. Lalu Ares tanpa banyak bertanya langsung mengakhiri sambungan.

 

Setelah itu, aku bersih-bersih diri dan karena gerah aku  memutuskan untuk mengganti baju dengan kaos lengan pendek, sangat pendek, atau bisa dikatakan tanpa lengan. Bagian bahunya masih tertutup lebar namun tidak berlengan. Aku memiliki beberapa kaos dengan model seperti ini untuk dikenakan saat musim panas atau memang sedang gerah. Aku sempat mengira-ngira apakah ini pantas dipakai di depan Aruna. Saat sedang mempertimbangkan hal itu, tiba-tiba pintu kamar diketuk. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengenakan kaos itu dan segera membuka pintu.

Aruna masuk menyusulku dan segera menutup pintu di belakangnya. Dia yang diam saja tanpa mengatakan apa-apa melihat aku mengenakan kaos itu, membuatku berpikir bahwa ini sebenarnya hal biasa, aku saja yang berlebihan pada awalnya. Kami duduk bersebelahan pada lantai. Aruna mengambil kue strawberry dan menyuap dengan perlahan. Aruna bahkan tidak mengatakan ‘apa’ seperti biasa jika suasana mulai hening. 

“Kamu suka filmnya?” tanyaku memastikan.  Aku bisa mengganti film ini jika itu yang Aruna inginkan. Namun Aruna tidak memberikan respons apapun, sedari tadi dia hanya diam, makan kue dengan perlahan dan menatap televisi yang memutar film yang aku tidak tahu dia menikmatinya atau tidak. 

Ada hening yang cukup panjang sebelum Aruna menjawab, “Aku suka kamu nya,” ujarnya cepat bahkan tanpa menoleh sedikitpun. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu tanpa merubah raut wajah. Aku  gugup mendengarnya. Baru kali ini Aruna mengatakan perasaannya dengan lantang. Tapi, jika mengacu pada film-film atau sinetron sekalipun, sepertinya orang-orang akan mengatakan hal itu sambil tersenyum dan saling menatap. Aruna tidak, dia justru tampak semakin lahap menyuap kue. Pandangannya lurus menyaksikan setiap adegan tembak-tembakan pada film, bahkan dia masih sempat minum dengan tenang.
 

Aku tidak mengatakan apa-apa lagi. Sejujurnya aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi situasi ini. Sikapnya yang tenang itu justru membuatku  menjadi salah tingkah.  Aku mencoba menarik nafas dengan pelan lalu mengeluarkannya dengan lebih pelan, berusaha meraih ketenangan yang sama persis dengan Aruna.

“Kamu mau kuenya?” tanya Aruna sambil menghentikan suapannya, dia akhirnya menyadari bahwa sedari tadi aku memperhatikannya. 

Aku diam, tidak segera menjawab. Lalu Aruna menoleh. Wajahnya terang seperti rembulan itu tampak semakin memikat karena krim merah kue strawberry melekat pada bibirnya dan sorot matanya merayu. Aku terdiam. Dua hal itu benar-benar mengganggu –dalam artian menyenangkan. 

“Gam? Kamu mau kuenya?” tanyanya sekali lagi sambil mengulurkan tangan untuk memberiku satu suapan.

Aku menggeleng pelan, lalu segera meraih tangannya yang mengulur itu, “Aku mau kamu nya,” bisikku. Bibirku  menyentuh telinganya, Tangan itu aku dekap pdi lantai dan menahannya tetap di sana. Entah keberanian yang datang dari mana, aku bahkan tidak mengkonsumsi alkohol sebelumnya, kini aku justru mendekatkan wajahku kepadanya. Matanya terbelalak.  Jempolku  bergerak mengusap rona merah yang melekat pada bibirnya. Merasakan bibir Aruna terasa sangat lembab dan hangat membuat nafasku semakin tercekat. Perlahan pipi Aruna nyaris berwarna semerah krim pada bibirnya. Desakan lain pada diri justru membuatku mulai pusing, anehnya ini pusing . Pusing yang membuatku berpikir bahwa bibir Aruna Lah yang akan menjadi obat peredanya. Lalu aku mengecupnya lembut. Aku benar mengenai pereda. Pusingku perlahan hilang, Kemudian aku candu, mengecupnya sekali lagi dengan lembut dan perlahan, berkali-kali. Aruna membalas sehingga bibir kami saling bergelut malu-malu.  Aku memeluknya. Seketika semacam pusaran hangat bertitik di ulu hati kini menyebar hingga dada. Terasa nyaman dan aman dalam waktu bersamaan. Aku seolah telah menemukan rumah pada Aruna dan aku tidak ingin pergi dari sana.

(Bersambung)

 

Restart ©2023 HelloHayden

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • suryade

    Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah

    Comment on chapter Bab 14 (Cukup)
  • ana_yo

    Asli. Cerita lain yang umur SMA udah nikah, yang nikah sama CEO posesif, yang sibuk urusan cinta. Cerita ini tuh beda banget. Kebagusan tauuuu 😱. Kompleks dan real banget. Tokoh utamanya gak egois tentang dia terus. Tokoh2 lain mengisi baik. Yang paling suka mereka khas remaja semua. Lincah, semangat, pintar dan jahil.

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • aprillia

    Cerita nya bagus thor 😭 tokoh utamanya berhasil menggeser standar kim soo hyun ku. mau ngefans sama si gamma tapi dia fiksi. Tolong bgt 😭

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • hamid

    Inj bagus banget woii kata2 nya

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Ketika Kita Berdua
30649      4221     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Mimpi Milik Shira
468      255     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Story Of Chayra
8191      2568     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
TANGAN TANGAN ASTRAL
2551      1437     2     
Mystery
Memiliki kemampuan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib justru membuat kehidupanku berantakan. Banyak hal mistis yang mengikutiku bahkan sampai ke dalam urusan asmara. Terlebih lagi saat perjalanan hidupku bersinggungan dengan sebuah petilasan keramat yang bernama Sitinggil, jalinan cintaku dengan Anggit semakin mustahil. Nini Diwut sosok perempuan renta penghuni Sitinggil seakan ta...
NADA DAN NYAWA
12794      2456     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Orange Haze
314      214     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
Begitulah Cinta?
15264      2191     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
LINN
11279      1660     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
The Past or The Future
392      310     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Frasa Berasa
57815      6409     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...