Sudah dua hari aku di Bogor, pulang di sela-sela libur semester untuk menghabiskan tahun baru bersama ibu dan Marwa. Aruna langsung praktik lapangan sehari setelah cuti bersama natal. Dia mendapatkan jadwal magang siang pada dua minggu pertama dan dinas malam seterusnya hingga berakhir masa magang. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang justru akan merengek agar pasangannya menghabiskan malam tahun baru bersama, Aruna justru memintaku untuk pulang ke Bogor saja menemani ibu dan Marwa. Dia sedikit memaksa sebenarnya. Aku juga sebenarnya berniat pulang sebelum semester genap di mulai, namun rencana awalnya adalah menghabiskan malam tahun baru dulu bersama Aruna. Besoknya, mendadak ibu mengabarkan bahwa dalam dua hari seorang pria akan bertamu ke rumah dan ingin menemuiku. Sehingga aku tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan Aruna dan menuruti keinginan ibu: pulang segera. Sabtu siang, tepat hari terakhir di tahun 2016, setelah mengantar Aruna magang, aku langsung berangkat ke Bogor.
Hari ke-dua di awal tahun, rumah kedatangan seorang tamu. Tamu spesial, menurut Marwa begitu. Kalau saja Marwa bertanya bagaimana pendapatku, tamu itu belum cukup spesial. Dia seorang pria dengan usia lebih tua tiga tahun dariku. Namanya Ikhsan. Dia bisa sampai ke rumah ini karena bapak yang telah mengenalkan Ikhsan kepada Marwa saat acara family gathering dari kantor bapak yang diadakan tepat satu tahun lalu. Ikhsan adalah anak seorang rekan kerja bapak di kantor. Aku ingat ibu pernah mengatakan bahwa bapak telah memilihkan laki-laki agar kelak menikahi Marwa. Lalu setelahnya kami tidak membahas hal tersebut secara detail entah karena itu belum waktu yang tepat untuk dibicarakan atau memang saat itu belum terlalu serius direncanakan, lagipula ditengah perjalanan bapak meninggal, sehingga aku sempat menyimpulkan bahwa perjodohan ini tidak berlanjut.
Saat melihat wajah Ikhsan, aku ingat bahwa pria ini hadir dan mengikuti proses pemakaman bapak dari awal hingga akhir. Saat itu kami tidak sempat bicara banyak. Sekarang pria ini datang lagi, dengan situasi yang jauh lebih baik. Aku menatapnya lekat, memperhatikan sikap dan segala hal yang dia tunjukkan. Wajah tirusnya tampak ramah, bahasa tubuhnya baik, bahkan dia bersalaman dengan ibu sama seperti yang aku lakukan –menempelkan punggung tangan ibu ke kening. Kami duduk di teras depan, berhadapan, dengan pemisah sebuah meja kecil dengan papan catur dan bidak-bidaknya yang sudah setengah berjalan.
“Silahkan, Mas,” ujar Marwa. Dia membawa baki dan menyuguhkan dua cangkir kopi hitam pada meja lain di samping kami. Satu cangkir untukku dan satu lagi tentu saja untuk tamu. Lalu dia kembali ke dapur, mungkin membantu ibu menyiapkan kudapan. Ikhsan tampak memperhatikan Marwa yang berlalu ke dapur. Melihatnya begitu aku mulai berdeham sehingga ia kembali menatap bidak-bidak putihnya.
“Aku denger dari Marwa, kamu lagi sibuk persiapan lulus, ya?” tanya Ikhsan membuka percakapan.
“Iya,” jawabku singkat sambil menyeruput kopi dengan pelan. Kopi itu masih panas sehingga bibirku terasa terbakar. Aku kaget menyadari kebodohan sendiri. Lalu apa yang membuatku sadar setelah kopi panas tadi tidak hanya membuatku terkejut, aku bahkan malu mengetahui bahwa dalam situasi ini, ternyata aku yang gugup. Ini rumahku, Marwa adalah adik kandungku, papan catur ini adalah milikku bahkan bidak-bidak hitamku tampaknya memiliki posisi lebih kuat. Mengingat semua itu Ikhsan lah yang seharusnya menjadi gugup, bukan aku.
“Kerjaan lancar?” tanyaku untuk memecah ketegangan di antara kami. Sedikit banyaknya aku mengetahui bahwa Ikhsan saat ini tengah bekerja pada salah satu perusahaan swasta di Bogor sebagai staff Sumber Daya Manusia sambil melanjutkan pendidikan S2 psikologi.
“Yah, sekarang lagi sibuk bikin perencanaan buat pelatihan dan pengembangan karyawan, tahun ini bakal banyak gunain aplikasi baru,” jelasnya. Aku manggut-manggut sambil memperhatikan papan catur.
Aku menjalankan kuda untuk menyerang benteng. Jari telunjuk Ikhsan yang panjang itu mengetuk-ngetuk dagunya. Seperti permainan ini, aku juga berusaha memperhatikan pertahananku untuk Marwa. Bukannya aku tidak mempercayai pilihan bapak, tetapi tidak ada salahnya untuk memeriksa sekali lagi, bukan? Permainan catur ini terhenti, ketika ibu mengajak kami berpindah ke ruang tamu.
Ikhsan memulai pembicaraan, dia mengatakan bahwa di luar perjodohan ini, secara personal dia memang menyukai Marwa. Dia mengatakan akan bersungguh-sungguh kedepannya. Sekitar satu tahun lagi dia akan lulus menyandang predikat Master, lalu dia akan mengurus izin praktek untuk membuka klinik psikologi sendiri. Setelah semuanya berjalan baik dan tampak menjanjikan untuk menjalani kehidupan pernikahan, dia akan menikahi Marwa. Dia meminta Marwa untuk bersabar selama proses itu dan mendukungnya. Aku dan ibu justru mengatakan bahwa jalani saja seperti seharusnya, tidak perlu terburu-buru karena Marwa juga belum menyelesaikan kuliahnya. Selama mendengarkan Ikhsan, di dalam pikiran, aku terus menghitung jika memang waktu akan berjalan sesuai yang telah dia rencanakan, maka adikku akan menikah tidak lama setelah kelulusannya. Aku melihat Marwa yang duduk di sampingku, walau menunduk aku masih bisa melihat raut bahagia di wajahnya.
Sore itu, setelah membahas hal-hal yang krusial, kami menghabiskan waktu dengan bercengkrama ringan. Ikhsan bertanya mengenai hal-hal apa saja yang aku pelajari dalam jurusan yang aku ambil. Dia terlihat penasaran dan sungguh-sungguh mendengarkan saat aku menjelaskan dengan singkat. Lalu dengan suasana yang santai dan tidak terdengar mengintrogasi aku bertanya kepada Ikhsan hal-hal yang perlu aku ketahui. Ikhsan sepertinya paham benar sehingga dia menjawab dan menjelaskan dengan baik. Marwa tidak seperti biasanya, di depan Ikhsan dia tampak lebih tenang dan hanya tersenyum saja jika memang ada percakapan yang seru. Terkadang Marwa dan Ikhsan membicarakan hal yang mereka ketahui berdua, itu bukan sesuatu yang mengganjal, terdengar seperti percakapan umum dan normal, namun sepertinya hanya mereka yang tahu apa yang mereka bicarakan. Misal seperti tiba-tiba Marwa menanyakan apakah Ikhsan jadi berangkat ke Solo pada akhir pekan depan. Percakapan mereka terdengar luwes sehingga aku menyimpulkan bahwa mungkin saja Marwa sudah beberapa kali bertemu dengan Ikhsan sebelum ini. Orang tua Ikhsan berasal dari Jawa Tengah, Solo. Namun sejak ayah Ikhsan pindah tugas ke Bogor dua belas tahun lalu, maka mereka pergi meninggalkan kota kelahiran. Mungkin saja bapak menjadi lebih akrab dengan ayah Ikhsan dikarenakan persamaan daerah asal dan kota kelahiran. Menjelang malam, Ikhsan pulang. Sebelum pulang aku sempat meminta nomor telepon Ikhsan langsung kepadanya. Marwa dan aku mengantarkannya hingga pintu depan. Saat Ikhsan sudah tidak tampak lagi Marwa berbalik badan sambil tersenyum tipis. Aku mengernyit. Ada perasaan tidak nyaman melihat adikku tersipu-sipu begitu karena laki-laki lain.
“Mar, kamu udah deket sama Ikhsan?” tanyaku sambil mengemas papan catur yang masih terbuka lebar.
“Deket banget enggak,” jawabnya singkat, Marwa mengangkat dua cangkir kopi yang masih terisi setengahnya.
“Ketemuan?” tanyaku menyelidiki.
“Pernah, dua kali.”
Tanganku berhenti menyusun bidak-bidak, aku melihat Marwa, menatapnya tajam menuntut penjelasan.
“Jemput di rumah, kok,” ujar Marwa lagi seolah tahu apa yang aku pikirkan. Dia menepuk pelan pundakku untuk menenangkan.
“Kalau telponan?” tanyaku menelisik.
“Ah! Kakak!” Marwa masuk rumah membawa cangkir-cangkir kotor itu ke dalam dengan wajah merengut. Dia tidak suka aku tanya-tanya.
“Jawab aja, Mar,” suaraku berat. Marwa menatapku sebentar, langkahnya terhenti di ambang pintu. Dia tahu bahwa jika aku sudah begitu artinya aku tidak sedang bercanda atau menggodanya. Aku sedang bersungguh-sungguh.
Marwa menarik napas pelan sebelum menjawab, “Ada, sih. Kayak tiga hari sekali, malem-malem tapi enggak pernah sampai larut,” jelasnya pelan.
“Bahas apa?”
“Tuh kan? Gak aneh-aneh, kok!” Marwa tampak keberatan dan langsung masuk ke rumah.
Aku menyusulnya, membawa papan catur yang sudah rapi terkemas. Ibu yang sedang mengibaskan alas meja tersenyum melihat kami berdua. Aku mengikuti Marwa ke dapur, lalu ibu menyusul dengan membawa piring-piring sisa kudapan tadi. Aku tengah duduk dan minum. Ibu duduk persis di hadapanku. Pada meja makan bundar itu, ibu menatapku dengan senyuman lebar.
“Kakak kamu itu khawatir. Ada laki-laki lain yang tiba-tiba dateng bilang mau serius sama adiknya. Gimana gak was-was, tuh.” Ibu memang berbicara kepada Marwa, namun pandangannya tertuju padaku.
“Iya, tapi gak harus kepo juga, Bu,” ujar Marwa. Dia tampak kesal terlihat dari cara dia mengusap piring-piring yang dicucinya dengan kasar.
“Bedain, dong, antara kepo dan memeriksa,” jawabku pelan.
Marwa hanya diam dan melanjutkan pekerjaannya –mengusap kasar piring kotor.
“Ibu udah ketemu sama orang tua Ikhsan sebelum bapak meninggal. Keluarganya baik. Lagipula ayahnya juga udah kenal lama sama bapak. Ibu rasa juga bapak pasti udah penuh pertimbangan memutuskan hal ini. Menurut kamu Ikhsan gimana?” tanya ibu kepadaku.
Aku bersandar pada kursi, kembali melihat ke arah Marwa yang memunggungi kami, masih sibuk dengan tumpukan piring kotornya. Aku mengusap rambut beberapa kali, “Yah, aku juga baru ini ngobrol lama sama dia, Bu. Kalau dinilai dari yang hari ini, sih, ya oke-oke aja,” jawabku seadanya, “aku bukannya meragukan pilihan bapak, Bu. Tapi yah…, masih lama juga, kan? Masih ada waktu untuk kenal lebih.”
“Iya. Semoga baik-baik aja kedepannya,” ibu tersenyum sambil mengangguk pelan.
Marwa duduk bersama kami setelah selesai dengan pekerjaannya. Sambil mengeringkan tangannya dengan kain lap, dia menatapku. Tatapannya tidak bisa aku artikan. Ada perpaduan perasaan kesal yang sangat tebal dari sorot matanya, namun saat bersamaan juga sendu, “Kak, hari ini dia datang sebenarnya juga khusus buat memperkenalkan diri ke kakak. Dia nunjukin kalau dia serius.”
“Iya. Aku tahu. Sekarang kamu fokus kuliah, selesaikan kuliah. Jangan mentang-mentang udah ada yang nungguin di ujung sana terus kamu seenaknya sama pendidikan. Itu juga belum pasti kedepannya bakal gimana. Kamu jalani dulu yang udah jelas, udah pasti, kuliah ini. Wisuda,” pintaku sambil mengetuk kuat meja dengan ujung telunjuk pada kata kuliah dan wisuda. Aku tidak ingin Marwa menjadi santai lalu abai karena hal-hal yang tampak menjanjikan di depan mata.
“Tuh, dengerin kakak kamu. Kakak kamu sayang, loh. Kamu aja yang kadang ngeyel. Dibilang kepo segala,” ujar ibu sambil mencolek pangkal lengan Marwa.
“Masa, sih, kakak sayang sama aku?” Marwa mencondongkan badannya kepadaku. Dia mengedipkan mata beberapa kali. Aku menjauhkan kepalanya, mendorong keningnya dengan telunjuk yang kemudian ditepis Marwa.
“Bu, aku keluar bentar, ya? Temen SMA pada ngumpul.” Aku pamit sambil berangsur berdiri.
“Iya, jangan kemaleman baliknya,” pesan ibu.
-oOo-
Hari-hari di Bogor terasa begitu-begitu saja. Terkadang aku memeriksa rumah, apakah ada hal yang bisa aku kerjakan. Aku mendapati keran halaman belakang sudah longgar, tidak bisa tertutup rapat sehingga selalu jatuh tetesan, memang bukan masalah besar, tapi jika dibiarkan akan membuat tumpukan lumut yang nantinya akan melebar. Dulu halaman belakang ini sering kami gunakan untuk acara bakar-bakaran saat malam, mulai dari yang sederhana, seperti jagung bakar hingga barbeque-an, atau saat sore, seminggu sekali aku dan bapak sering mencuci mobil di sini. Kini panggangan arang itu terletak menyudut, sudah lama tidak panas justru benda metal itu terasa dingin sekali juga mobil bapak hanya kebanyakan diam. Marwa sangat jarang menggunakannya, dia lebih suka mengendarai motor kemana-mana, macet katanya. Lagipula jika membawa mobil ke kampus, dia harus melewati tol Jagorawi. Mobil itu hanya digunakan jika membawa ibu jalan-jalan atau menemani ibu ke pasar.
Aku duduk sambil merokok saat keran sudah selesai diperbaiki. Rumput pada halaman ini tumbuh tidak beraturan dan mulai tinggi. Pohon mangga yang ditanam bapak seolah tahu bahwa pemiliknya sudah tidak di sini untuk mengurusi. Daun-daun pohon itu kering dan berguguran, berserakan terbawa angin kemana-mana. Pohon itu pun merasakan kesedihan yang sama. Selesai merokok aku mulai menyapu halaman sambil mencoba menghubungi Mang Asman, tetangga kami yang pekerjaannya memang dipanggil untuk membantu membersihkan rumah dan halaman. Selang berapa menit, Mang Asman datang membawa peralatan tambahan, aku memintanya untuk memotong rumput agar halaman ini rapi kembali. Saat sibuk menyapu halaman, tiba-tiba ponselku berdering, melihat nama Aruna tertera pada layar membuatku tersenyum lebar. Aku menjauh dari Mang Asman untuk menjawab telepon itu, duduk pada teras, tepat di samping keran tadi.
Ini kali kedua Aruna menelepon selama aku di Bogor, pertama kali saat malam tahun baru, dia mengatakan Bu Sarah datang dan memintaku untuk tidak menghubungi terlebih dahulu sebab Aruna masih enggan Bu Sarah tahu hubungan kami, malu katanya. Saat itu dia menelepon dengan tergesa-gesa, tidak banyak hal yang dibicarakan, sejujurnya hanya seperti pemberitahuan. Lalu pesan-pesan yang aku kirimkan hampir selalu lama mendapat balasan. Selain karena selama magang dia tidak bisa memegang ponsel, mungkin setelah pulang dia butuh istirahat lebih, aku mencoba menenangkan perasaan sendiri dengan berpikir seperti itu. Lalu saat yang kedua ini, Aruna menanyakan kabarku serta kabar ibu dan Marwa. Hal-hal normal yang dibicarakan sepasang kekasih saat bertelepon, tidak ada yang begitu spesial. Aruna juga sedikit menceritakan pengalaman praktik lapangannya kali ini yang terasa lebih menguras tenaga. Lalu dia juga menceritakan bagian-bagian lucu saat menjalani pekerjaannya. Lumayan menghibur, bukan ceritanya, tapi suaranya. Benar-benar menyenangkan. Aku juga bercerita bahwa saat ini tengah membersihkan halaman. Mendengar itu Aruna tertawa. Dia bilang itu hal bagus karena selama di Jakarta aku hanya banyak duduk di depan meja kerja. Anggap saja ini olahraga, begitu katanya. “
“Aku kangen,” Ujarku pelan.
“Sama, aku juga kangen kamu,” suaranya terdengar malu-malu.
“Kamu baik-baik, ya, di sana. Jaga kesehatan juga.”.
“Kamu tuh, mumpung di rumah, makan yang bener,” celetuknya lagi.
“Itu udah jelas. Kamu tiap hari di rumah sakit yang jelas-jelas sarang penyakit, lebih rentan, kan?”
“Iya. S-sayang,” ujar Aruna ragu, malu-malu dan terbata-bata saat mengucapkan kata sayang itu. Ini pertama kalinya.
“Ulangin, dong. Gak kedengeran,” pintaku susah payah menahan senyuman sebab Mang Asman sudah sedari tadi memperhatikan.
“Udah, ah! Salah sendiri, kenapa gak didengerin tadi!” Seru Aruna.
Lalu kami berdua tertawa. Setelah sedikit lagi bercerita, telepon itu berakhir.
Aku kembali menghampiri Mang Asman yang sedari tadi terlihat ikut-ikutan tersenyum saat aku menelepon.
“Ciehh, saha eta nu telpon? Sura seuri wae? (Cieeh, siapa itu yang nelpon? Senyum-senyum segala?)” celetuk Mang Asman.
“Ah, Mang Maman hayang nyaho wae. (Ah, Mang Maman mau tau aja).” Aku berkilah sambil berlalu di depannya, menahan senyuman.
“Kabogoh? (Pacar?)" tanyanya lagi.
“Tos ah! Rumputna can anggeus. (Dah ah! Rumput nya belum selesai).” ajakku padanya untuk melanjutkan pekerjaan.
Sore menjelang malam, akhirnya pekerjaanku dan Mang Asman selesai. Ibu dan Marwa yang telah kembali dari berbelanja tampak senang akhirnya halaman sudah bersih. Ibu masak makan malam lebih banyak dari biasa, untuk dibawa pulang Mang Asman untuk anak dan istrinya. Malam itu Mang Asman pulang dengan wajah penuh kegembiraan dan tangan penuh bungkusan.
-oOo-
Aku memutuskan kembali ke Jakarta setelah menghabiskan seminggu di rumah. Saat matahari baru saja turun, aku sudah sampai di kost. Sesaat berbaring melepas penat, Pak Purwa –dari brand kecap dulu, menelepon. Ia memintaku meliput acara Tahun Baru Imlek di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Dia akan mengenalkan dengan seseorang yang telah menghubunginya untuk mencari pekerja tambahan. Pak Purwa mengingatkanku agar membawa satu rekan lagi untuk membantu bekerja. Aku menyetujuinya mengingat pekerjaan ini masih dalam masa libur semester. Tidak terlalu disibukkan oleh kegiatan lain, selain editing tugas akhir dan janji bersama Ares untuk mencari lokasi studio yang telah kami bahas sebelumnya.
Aku menghubungi Ares untuk mengajaknya bekerja pada event kali ini, dia menolak sebab sehari sebelum dan sesudah acara itu dia sedang berada di Magelang –kota asal ayahnya, di rumah neneknya. Ares justru menyarankan untuk mengajak Trisna.
“Gak apa-apa?” tanyaku pada Ares, mengetahui dia sendiri sedang berusaha mendekati Trisna, dengan paksa sebenarnya.
“Yaelah, Gam! Aruna satu aja belum kelar. Gak mungkin juga lu naksir Trisna!” Sela Ares di ujung telepon.
“Ya kalo lu gak masalah, gua oke aja,” jawabku santai.
“Aman. Lagian bantuin gua juga sekalian, apa kek lu ceritain gua yang bagus-bagus gitu ke dia,” ujar Ares sambil tertawa.
“Si Anying!” seruku sambil tertawa juga, “gua udah di kos. Kapan gerak nyari lokasi?” tanyaku pada Ares mengenai rencana mencari tempat membuka bisnis.
“Ntar, deh gua kabarin. Gua masih ngeliput skateboard.”
“Oke.”
Aku melanjutkan berbaring, berharap tertidur sebentar sebelum nanti menjemput Aruna pulang magang, sekitar jam sembilan malam.
-oOo-
Aruna tampak terkejut saat dia melihatku datang menjemput. Memang sebelumnya aku tidak memberitahu Aruna bahwa aku kembali ke Jakarta dan akan datang menjemput. Kejutan ceritanya. Aku hanya mengirimkan pesan sesaat setelah aku sampai pada halaman parkiran rumah sakit, bahwa aku menjemput. Wajah nya sangat lucu, dia merubah raut dari terkejut ke penuh kegembiraan dalam waktu sangat singkat. Rintik-rintik hujan tidak menghalangi langkahnya menghampiriku. Senyumannya tidak putus, matanya tampak membesar melihatku. Aku yang duduk di motor ikut-ikutan tersenyum melihatnya begitu. Baju seragamnya yang tertutup jaket jeans kebesaran dan berjalan sambil membawa helm di tangan tidak membuat wibawanya berkurang sebagai perawat. Begitu saja dia sudah tampak profesional. Ketika sudah tepat di depanku, Aruna menaikkan kedua alisnya, matanya menyipit sebab senyuman yang semakin tinggi menaikkan kedua pipi. Sebuah ekspresi kegembiraan maksimal dalam diam.
“Kamu kapan balik? Gak ngabarin aku,” Aruna mencubit lenganku pelan. Dia setengah berbisik karena dua satpam sedang memperhatikan.
“Barusan,” ujarku sambil memperbaiki jaketnya yang tidak menutup sempurna, “kita cari tempat neduh dulu, sambil makan.”
“Iya. Cari yang sekitaran sini aja,” ujar Aruna sambil memegang bahuku untuk naik ke motor. Dia sudah terbiasa dan terlihat leluasa sehingga tidak kesusahan lagi dengan bangku penumpang yang menurutnya tinggi.
Banyak deretan tempat makan sederhana di sekitar sini dengan pilihan beragam. Memudahkan para penunggu pasien untuk menemukan makanan sesuai selera mereka. Kami berhenti pada sebuah tempat makan dengan menu andalan hidangan laut. Aruna bercerita banyak hal, mulai dari pekerjaannya, hari-hari nya, masakan yang dia buat dan dia simpan untukku nanti. Namun yang paling ingin aku tanya adalah mengenai Bu Sarah yang sengaja datang menghabiskan malam tahun baru dengan Aruna.
“Bu Sarah itu siapa? Dia juga bukan Ibu Panti, kan?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit ragu jika topik ini akan mengganggu. Tapi menurutku, ini cukup menarik mengingat Bu Sarah rela mendatangi Aruna yang bahkan bukan keluarga. Aruna cukup lama menjawab, entah karena dia sedang mengunyah cumi tumisnya atau memang sedang menimbang apakah hal ini pantas dibicarakan sekarang atau tidak.
“Bu Sarah itu, ya, hmmmm....,” Aruna minum, kata-katanya terputus, “orang dinsos,” sambungnya lagi. Lalu dia menghabiskan minumannya yang tersisa satu tegukan.
“Terus?” Aku menuangkan air lagi untuk Aruna.
“Jadi, Bu Sarah itu dulu kayak dua atau tiga bulan sekali datang ke panti, untuk yaah, macem-macem. Kadang mendistribusikan bantuan pangan, kadang ngecek administrasi panti, pengawasan dan pembinaan juga,” papar Aruna.
Aku mengangguk-angguk menyimak, “Seingat aku dulu kamu bilang, dia sekolahin kamu bahkan sampai sekarang ini?” Aku mulai tertarik dan ingin menelisik. Apa memang ada orang sebaik Bu Sarah?
Aruna diam. Dia menyendok cumi lagi. Aku hanya memesan jus alpukat untuk diri sendiri, tidak lapar karena sebelum menjemput Aruna aku sempat minum kopi dan makan roti. Jus ini sudah hampir habis tapi cerita Aruna baru saja dimulai.
“Kamu tahu dana BOS?” Tanya Aruna
“Boss?” aku bertanya kembali dengan wajah tidak kalah heran.
“BOS, Bantuan Operasional Sekolah.” Jelas Aruna.
“Oh, oke. Terus?”
Aku penasaran.
Aruna tersenyum enggan.
Selanjutnya dia bercerita singkat mengenai dana BOS yang merupakan bantuan pemerintah pusat untuk sekolah-sekolah negeri yang terpilih. Bahkan di SD Aruna dulu, semua siswa tidak membayar uang sekolah bulanan lagi sejak kelas tiga dimana tahun itu adalah awal mula Bantuan Operasional Sekolah mulai dilaksanakan.
“Aku masuk SD itu karena pembagian zonasi dan setiap SD itu disediakan persentase d untuk menerima murid kurang mampu. Itu semua urusannya di bantuin sama dinas sosial. Kebetulan waktu itu yang bantuin urusan administratif nya Bu Sarah. Ada empat anak yang masuk SD waktu itu dari panti aku, termasuk aku.” jelas Aruna dengan hati-hati, dengan suapan-suapan cumi-cumi. Mengunyah pelan dan tenang.
Sejujurnya ada gumpalan terasa mengganjal yang merayap cepat dari dada ke tenggorokan saat mendengar ceritanya. Hal-hal yang baru aku ketahui dengan cara begini semakin membuat perasaanku berat. Aruna dulu bahkan harus menunggu pembagian dari sekolah negeri untuk anak kurang mampu agar dia bisa sekolah. Ah, kini aku tahu, perasaan mengganjal itu adalah sebuah pilu. Aku terus menekan pilu itu, menelannya dalam agar raut kesedihan tidak terlihat di wajahku.
Aruna minum lagi, entah sudah keberapa kali aku menuang air ke gelasnya. Dia mendorong piringnya, meninggalkan cumi tumis dan nasi. Baru kali ini aku melihatnya tidak menghabiskan makanan.
“Kamu kenyang atau gak nyaman sama obrolan?” tanyaku menatapnya lamat-lamat. Aruna menyeka mulutnya dengan tise kemudian menjawab, “Kenyang.”
“Bu Sarah mulai perhatiin aku sejak aku masuk tiga besar kelas selama tiga tahun berturut-turut. Gitu kata ibu panti. Hebat, gak aku?” Ternyata cerita ini masih berlanjut. Aruna membuat raut bercanda, membanggakan dirinya. Mungkin begini caranya mencairkan suasana.
“Gak kaget, sih, aku. Kamu emang pinter,” jawabku sambil mengacungkan dua jempol. Hujan di luar sudah reda, namun aku tidak ingin ada jeda dalam kisah Aruna, sehingga aku belum mengajaknya untuk segera beranjak.
“Kebetulan juga, Bu Sarah gak punya anak, Gam. Jadi yaa, gitu, dulu tuh sebelum ada dana BOS, aku bisa sekolah dari donasi-donasi yang masuk ke panti atau bantuan dari pemerintah daerah. Sejak ada dana BOS bahkan buku-buku sekolah aja di fasilitasi, di pinjemin dari sekolah. Paling, yaah … alat-alat tulis aja yang perlu di beli. Sampai SMA begitu,” ujar Aruna yang kini tengah melipat kedua tangannya di meja, dan pandangannya dia fokuskan hanya ke aku saja, “tapi banyak hal-hal yang memang gak bisa ngarepin bantuan pemerintah, ya? Kayak Study Tour, atau misal kamus-kamus, atau keperluan sekolah lain kayak sepatu atau tas, walau emang jarang banget aku ganti selain emang rusak atau gak cocok lagi. Nah, Bu Sarah ngebantuin aku secara pribadi untuk mencukupi itu semua.”
Lalu Aruna diam. Rautnya menunjukkan sebuah keraguan apakah seharusnya dia lanjutkan atau tidak ceritanya. Aku sengaja tidak memberikan pilihan. Biar dia yang memutuskan itu hak Aruna sepenuhnya. Aku terus menunggu keputusannya dengan sedikit berdebar. Cukup lama Aruna berfikir bahkan terlihat menelan ludah beberapa kali.
“Terus, SMA udah selesai, nih. Bu Sarah bilang ke aku, untuk sekolah perawat, coba cari-cari beasiswa, ntar biaya-biaya di luar itu Bu Sarah yang handle. Sejak aku SMA kelas dua kayaknya, Bu Sarah bilang kalau dia bakalan buka klinik gitu. Terus nanti aku bakal kerja di sana, bantuin kliniknya. Makanya aku mikir kalau Bu Sarah itu investasi di aku untuk kedepannya bantuin dia jalanin cita-citanya, ya? Toh, aku saat itu mikir malah ini baik buat aku. Makanya, ya udah, setelah setahun nyari beasiswa, akhirnya lulus. Itulah kenapa aku terlambat setahun masuk kuliah, tes sana-sini dulu untuk beasiswa.”
Aku mengangguk pelan. Memahami alur cerita ini. Terdengar masuk akal. Memahami mungkin Bu Sarah memang orang yang baik, bahkan dari sudut pandang Aruna, ini sama sekali tidak merugikannya. Bayangkan saja, mulai dari pendidikan dan lingkungan kerja sudah dipersiapkan untuk Aruna. Siapa yang bisa menolak? Ini bahkan tidak terdengar seperti balas budi.
“Sekarang kliniknya Bu Sarah gimana?” tanyaku.
“Belum ada, masih urusan perizinan. Gak gampang, kan, ya? Banyak birokrasi, berlapis-lapis urusan itu ini. Aku juga kurang paham masalah hukum-hukum perizinan. Tapi menurut Bu Sarah, kalau semuanya lancar, klinik itu bakalan ada sekitar dua atau paling lama tiga tahun lagi. Dia udah siap-siap karena gak lama lagi pensiun.” Aruna menatap rambutku, “rambut kamu bentar lagi udah bisa diiket kayak Ares.” Dia menyisir dengan jari-jari kecilnya, membawa rambutku semua ke belakang. Nyaman sekali sehingga tanpa sadar aku memejamkan mata.
“Dua atau tiga tahun lagi, ya? Jadi setelah lulus kamu balik ke Tangerang?” tanyaku dengan mata masih terpejam karena nyaman.
“Awalnya gitu. Tapi aku pengen setelah lulus, kerja di rumah sakit yang sekarang. Lingkungannya aku udah kenal, juga aku pengen di sini, deket kamu,” ujar Aruna sambil menyentuh ujung hidungku saat mengatakan kamu. Mataku langsung terbuka dan tersenyum, “Aku seneng dengernya, tapi nih, kalau seandainya ada yang lebih baik, kamu harus kejar, dong.”
“Laki-laki lebih baik, maksud kamu?” tanya Aruna dengan nada setengah berseloroh bahkan setengah lagi terdengar menantang.
“Kerjaan. Kerjaan lebih baik,” jawabku cepat.
Lalu Aruna sumringah, “Abisnya kamu ambigu banget!”
“Kamu, tuh, usil banget.”
Tidak lama dari percakapan itu berakhir, kami memutuskan untuk kembali. Aku meminta Aruna untuk mampir sebentar ke kamar karena ingin memberikannya oleh-oleh dari Bogor. Kue manis yang ibu katakan merupakan makanan khas, lapis Bogor namanya.
“Kamu beli cuma satu?” tanya Aruna dengan wajah heran. Kami berdua sedang berada di dapur, tepat di depan kulkas kecilku.
“Iya. Kebetulan pacar aku cuma satu,” jawabku ringan.
“Bu Dewi?”
“Dia udah punya suami masa aku pacarin?” tanyaku kembali sambil menahan senyum.
Aruna mencubit pinggangku dan berhasil membuat badanku meliuk, bukan karena sakit tapi ini terasa menggelitik.
“Maksudnya, gak kamu bawain? Dia udah sering kasih makanan, loh?” Sambung Aruna lagi setelah mencubit.
Aku tertawa melihat Aruna dengan wajah kesalnya, “Biasanya juga aku gak pernah bawa oleh-oleh. Ini karena kamu aja aku bawain.”
“Spesial dong aku?” Aruna tersenyum.
“Banget!” aku mengacak rambutnya membuat dia tertawa manja.
“Karena cuma satu, kita makan bareng aja,” ajaknya.
“Aku sih, ayuk aja, tapi kamu apa gak capek? Gak pengen istirahat?”
“Besok aku libur. Senin mulai lagi, dinas pagi,” jelas Aruna.
“Pas banget aku balik hari ini, ya? Minggu main yuk!”
"Ayuk! Sekarang makan ini dulu," Aruna mengetuk kotak kue dengan telunjuknya, lalu membuka dan mulai memotong dengan pisau plastik kecil yang ternyata sudah disediakan di dalam kotak itu.
“Tumben, kamu gak kepengen bersih-bersih dulu,” tanyaku. Aku berdiri bersandar pada meja pantry sambil melihatnya memotong kue itu menjadi bagian kecil-kecil. Aruna bahkan tidak mengukurnya terlebih dahulu dan bergerak tanpa ragu, potongan-potongan kue itu terlihat sama besar dan simetris. Sungguh kemampuan luar biasa.
“Saking aku kangen sama kamu, aku gak mau kecurian waktu. Bersih-bersihnya bisa nanti," jelasnya sambil sesekali melirik.
Aku memeluknya dari belakang, melingkarkan kedua lenganku pada pinggangnya, mencium kepalanya lalu menyandarkan kepalaku setelahnya. Dia masih belum menyelesaikan potongan kuenya.
“Aku lebih kangen. Kamu susah dihubungi,” ujarku.
“Maaf, ya, situasinya gak bisa,” Aruna menjawab pelan.
“Gak apa-apa. Sekarang kita bisa santai-santai begini aja aku udah seneng.”
Aku memeluknya lebih erat sambil berayun perlahan kiri ke kanan, begitu juga sebaliknya. Nyaman.
-oOo-
Mencari tempat untuk studio benar-benar menghabiskan hari. Aku dan Ares sudah lelah karena terus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain sejak pagi. Belum lagi teriknya matahari yang setia menyoroti. Berbagai kombinasi yang saling bertentangan membuat kami ragu untuk memutuskan: harga bagus namun lokasinya kurang pas, lokasi ideal tapi tempatnya kurang mendukung, atau ada yang tidak sesuai dengan keduanya.
“Bakalan lama, nih!” Ujar Ares sambil menyeruput kopi instan. Kami tengah berhenti pada sebuah minimarket dan memutuskan untuk duduk sebentar pada kursi dan meja yang telah mereka sediakan di pelataran.
“Santai aja, kita juga gak buru-buru buka studio,” ujarku sambil mengipas-ngipaskan tangan.
“Yah, okelah...,” Ares memutar kepala dengan kasar, mengurangi ketegangan pada lehernya, “masih banyak juga yang harus dilengkapi, properti-properti kurang,” lanjutnya.
Aku mengangguk panjang, memejamkan mata sambil mengingat-ingat catatan apa saja yang kurang, “Gak properti aja, stabilizer kayaknya ganti, tuh!”
“Lu yakin, nih?” tanya Ares tiba-tiba.
“Apaan?”
"Pertaruhin tabungan demi ini?" Ares menatapku dengan rokok menyala tergantung di bibirnya.
“Yakali, kan gak habis semua juga.”
“Di gua cuma nyisa sepertiga,” Ares tersenyum getir.
“Sama.”
Kami tertawa, namun kami berdua sama-sama tahu bahwa dalam tawa itu ada kepedihan menghadapi ironi kenyataan yang terasa seperti sebuah candaan. Dua pria yang merasa telah tumbuh dewasa ingin menjelajahi dunia bisnis bersama mirisnya lagi hanya dengan tabungan seadanya. Namun, pada hari pertama salah satu dari mereka sudah mulai meragukan arah yang mereka pilih, kembali mempertanyakan keputusannya, menggoyahkan keteguhan rekannya.
-oOo-
Saat jalan-jalan bersama Aruna hari Minggu kemarin, semuanya terasa begitu menyenangkan. Padahal itu mal yang lumayan sering aku kunjungi untuk bekerja atau sekedar berkumpul bersama teman-teman. Namun hari itu, mal itu terasa lebih istimewa, sudah pasti karena ada Aruna di dalamnya. Sepanjang jalan, kami berjalan bersisian. Sebentar-sebentar berpegangan tangan. Kami makan, kemudian nonton film komedi yang dibuat ulang berdasarkan film legendaris sebelumnya dengan trio komedi terkenal tahun 1970-an hingga 1990-an. Sepanjang film, Aruna memperhatikan dengan seksama, walau sehari-hari dia mudah melemparkan senyuman, kali ini cukup mengejutkan, saat hampir seluruh penonton terbahak, Aruna justru diam saja. Tapi bukan berarti dia tidak suka nyatanya beberapa adegan berhasil menggugah selera humornya, walau hanya tersenyum simpul. Aku duduk pada sisi kirinya, tangan kananku menggenggam tangan kirinya sementara tangan kanannya enyuap camilan. Sesekali dia menyuapkan popcorn itu ke mulutku, sekali suap tiga atau empat butir, sedangkan popcorn yang masuk ke mulutnya hanya satu. “Ah curang, aku tiga kamu satu,” aku protes.
“Gak apa-apa, biar ada tenaga, kamu banyak kegiatan,” jawabannya ringan. Perhatian-perhatian kecil seperti ini justru membuat perasaanku semakin besar terhadapnya.
Hampir jam sepuluh malam kami sudah berada di kamar Aruna. Aku mencoba menyalakan lampu tidur untuknya.
“Lampu terang itu justru ganggu kualitas tidur,” ujarku sambil sibuk mengulik lampu tidur ini. Menyalakannya sesuai instruksi yang tertulis pada kotaknya.
“Iya, aku tahu, dulu di panti kami pakai lampu tidur, tapi sekarang aku belum sempat cari,” jelasnya lagi.
Dari sekian banyak pilihan, Aruna memilih lampu tidur proyeksi. Cahayanya akan menyebar pada langit-langit dengan gambar bintang-bintang yang beragam ukuran dan warna. Saat sudah menyala, Aruna terlihat gembira, dia tengah berbaring tertelungkup di atas kasurnya, kepalanya mendongak lama memperhatikan setiap bintang yang bertebaran dan bergerak pelan mengelilingi kamar bahkan sesekali bintang itu menyentuh dinding kamar, membuat kepala Aruna berputar mengikuti arah gerak bintang-bintang. Dia takjub. “Cantik …,” ujarnya pelan.
“Iya, cantik.”
Bukan lampunya Aruna, kamunya, pikirku sambil memperhatikan wajahnya yang berseri-berseri terkena hamparan bintang-bintang yang melewati pipinya.
Lampu utama sengaja kami matikan. Lampu proyeksi itu tidak terlalu terang, tidak juga terlalu redup. Cahayanya sangat tepat untuk menemani tidur. Aku berbaring tepat di sebelahnya. Ukuran kasur Aruna lebih kecil sehingga kami cukup berdekatan, lenganku bersentuhan dengan lengannya. Kami sama-sama menengadah melihat ke atas melihat bintang yang berputar. "Kamu tuh kayak bintang-bintang ini, tau?" ujarku di tengah-tengah situasi ini.
“Cantik?” tanyanya yang masih fokus kepada bintang-bintang itu.
“Bersinar, terang. Keliatan, tapi jauh banget dijangkau.”
“Cantiknya enggak?” Aruna menyela cepat. Kali ini justru dia menatapku.
Aku tertawa kecil mendengar respons Aruna, “Konteksnya apa jawabnya apa.” Aruna ikut tertawa sambil menyandarkan kepalanya pada pundakku, menyembunyikan malunya karena menyela topik utama, “iya-iya. Sekarang kan udah deket, nih.” ujarnya. Setelah itu, Aruna berbaring, matanya berhadapan dengan langit-langit. Kilauan mata Aruna sesuai dengan warna cahaya yang menimpanya, bergantian terkadang kuning, putih, pink, bahkan biru muda.
“Gam? Makasih …,” Suara halus Aruna memenuhi rongga telinga. Dia tersenyum bahagia. Posisiku yang masih tertelungkup membuat mata kami bertemu. Sorot mata itu menghanyutkan sehingga tanpa sadar aku mencium matanya dengan lembut, Aruna memejamkan matanya. Lalu entah bagaimana, bibir ini turun mencari pasangan tepatnya, bibir Aruna. Lagi-lagi pagutan itu malu-malu.
“Aku tidur di sini, ya?” Candaku setelahnya, pipi kananku kini bertemu dengan kasur menatap Aruna dari samping.
“Enggak!” Jawab Aruna segera, setengah berseru dan segera duduk. Aku tertawa, menyembunyikan wajahku pada kasur saat Aruna memukul-mukul punggungku.
-oOo-
Semester delapan sudah dimulai tepat pada minggu kedua Februari. Hari-hari disibukkan dengan menyelesaikan karya untuk tugas akhir, membaca kembali buku teks, bekerja lepas dan kembali mencari lokasi bisnis bersama Ares. Sudah tidak ada mata kuliah lagi semester ini, sehingga kami bisa fokus pada tujuan akhir kuliah dan rencana jangka panjang bersama: membuka bisnis. Aruna juga sudah selesai praktek lapangan tepat pada Rabu kedua di bulan ini. Mata kuliah Aruna yang masih empat lagi, sidang karya ilmiah dan persiapan ujian kompetensi membuatnya tidak kalah sibuk. Aruna mengatakan bahwa ujian kompetensi itu juga merupakan sebagai salah satu syarat kelulusan selain karya ilmiah yang sedari semester lalu sudah dia persiapkan. Tampaknya semester ini kami sibuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana dan tetap pada jalurnya –lulus dan menghasilkan uang segera.
Sedikit bercerita mengenai pekerjaan di TMII pada acara Tahun Baru Imlek kemarin, segalanya berjalan baik bersama Trisna. Pekerjaan selesai sesuai waktu yang diberikan dan hasilnya sesuai harapan. Namun sejujurnya ada masalah sedikit setelahnya, Aruna tampak tidak begitu suka. Walaupun dia tidak mengatakannya dengan terang-terangan, namun dia melontarkan sindiran-sindiran yang berlangsung hingga beberapa hari setelahnya.
“Seru, ya? Itu kerja atau jalan-jalan, sih?” atau “Jajanin apa aja buat Trisna? Banyak, dong ya? Waktu itu aja kamu jajanin satu plastik gede buat dia.”
Aku tidak yakin sehingga bertanya pada Aruna, ternyata yang dimaksudkan Aruna adalah ketika saat malam pulang bekerja untuk brand kecap dari Tangerang. Aruna mendengar percakapan kami di tangga saat aku kembali menyerahkan belanjaan Trisna setelah mengambil titipanku di dalamnya. Aruna telah salah paham mengatakan bahwa aku yang membelikan itu untuk Trisna. Perasaanku tergelitik mengetahui itu semua, ternyata saat itu Aruna sudah memperhatikan. Bahkan dia mengingat detail kejadian yang sudah lewat dua bulan itu. Walaupun ingatan itu dia simpan dan sekarang digunakan sebagai senjata.
Pada awalnya aku berusaha memaparkan, namun sepertinya Aruna tidak butuh penjelasan karena walaupun rasanya mulutku sudah pegal menceritakan detail pekerjaan bersama Trisna, dia tetap terus-terusan saja melontarkan sindiran. Aruna hanya butuh melampiaskan rasa kesal. Aku yakin dia tidak membenci Trisna, dia hanya tidak suka situasinya saja. Walau begitu, daya tarik Aruna saat kesal malah nyaris menyentuh level maksimal. Membuatnya semakin memikat. Terkadang saat dia bergumam kesal, aku mengecup bibir kecilnya agar dia tenang. Lagipula sepertinya tindakan akan lebih berarti dari sekedar kata-kata yang aku berikan. Walaupun begitu, namanya perempuan, segala perbuatanku tetap saja salah di matanya jika dia memang sedang kesal. Saat aku menjelaskan dengan sungguh-sungguh, Aruna mengatakan aku sedang beralasan untuk menutupi kebohongan. Saat aku justru diam dan mendengarkan ocehannya, dia menyimpulkan bahwa yang dia pikirkan dan katakan adalah suatu kebenaran, “Diam itu artinya iya, setuju, Gam. Kamu pernah denger ungkapan itu gak, sih?” Ujar Aruna setelahnya. Saat aku mengecup bibirnya untuk menghentikan kalimat-kalimat kecurigaannya, dia mengatakan aku ini tidak sopan, vulgar atau apalah yang membuat aku seolah laki-laki yang kurang ajar. Namun justru setelahnya wajahnya bersemu, bibirnya terangkat, tersenyum singkat.
Kamu tidak akan bisa menang jika berhadapan dengan seorang perempuan yang sedang kesal. Itu merupakan kata-kata yang terlintas di kepalaku saat menghadapi situasi begini dengan Aruna. Kalimat itu merupakan perkataan bapak kepadaku ketika bapak sedang dimarahi ibu karena hal kecil: lupa mencabut kabel colokan mesin air sehingga melimpah, terbuang sia-sia, membuat halaman belakang menjadi banjir. Saat itu bapak duduk merokok pada halaman belakang, memandangi hasil keteledorannya sendiri, genangan air yang sudah menyerupai kolam kecil, dan aku menemaninya. Itu saat SMA, kelas berapanya aku lupa. Lalu karena duduk bersama bapak, ibu berpikir aku memihak, sehingga malam itu ibu ikut-ikutan kesal kepadaku. Sungguh, perempuan mau bagaimanapun dewasanya, mau berapapun usianya, mereka benar-benar makhluk membingungkan, namun anehnya tetap menjadi kesayangan. Begitulah kira-kira.
Lalu pada suatu kesempatan, beberapa hari sebelum perkuliahan semester ini dimulai, aku dan Aruna tengah menonton film bersama menjelang sore. Bersantai di kamarku, duduk di atas kasur dengan potongan buah-buahan yang sudah disiapkan oleh Aruna. Itu film aksi namun Aruna ternyata tidak begitu bereaksi. Saat aku perhatikan, matanya tampak sayu, beberapa kali kedapatan tertutup sambil duduk begitu. Tanpa bertanya, aku sudah paham kalau dia sedang lelah, wajar saja karena bulan lalu dia telah bekerja, bahkan tak jarang shift ganda sebab menggantikan seorang teman. Akhirnya dia tertidur, bersandar pada dinding di belakangnya, bahkan saat film itu belum berjalan setengahnya. Melihatnya begitu aku memperbaiki posisi nya dengan sangat pelan dan hati-hati, tidak berniat membuatnya terbangun. Aku juga tidak melanjutkan film itu, menyimpannya agar nanti bisa menonton bersama lagi. Lagipula Aruna butuh suasana yang tenang. Lalu aku memutuskan untuk lanjut mengerjakan karya tugas akhir.
Menjelang matahari benar-benar terbenam, saat tengah mengedit video, suara Aruna yang sedikit serak akibat baru bangun tidur menghentikanku. “Gam? Aku ketiduran…,” ujarnya pelan. Aku melihatnya, menoleh ke belakang, memutar kursi kerja, Aruna tampak mengusap wajahnya.
“Iya, gak apa-apa. Malah bagus, kamu jadi istirahat.”
“Gimana ending film nya?” Aruna yang baru bangun justru mengingat film yang tidak selesai dia tonton.
“Aku juga gak lanjutin, kapan-kapan kita nonton lagi,” aku menyusulnya, duduk pada sisi Aruna, “Pas kamu udah gak capek.” lanjutku.
Aruna hanya tersenyum, lalu dia membuka selimut dan segera turun untuk kembali melipatnya dengan rapi. “Aku ke kamar, ya? Mau beres-beres. Lampu juga belum aku nyalain.” ujarnya.
Aku mengangguk, lalu mengantarkannya hingga pintu tepat saat Ares baru saja menginjakkan kakinya pada lantai tiga. Aruna sempat tersenyum padanya. Ares membalas dengan sedikit kikuk. Lalu menatapku dengan lebih canggung lagi. Wajahnya menampilkan raut tak menentu, menahan senyuman di tengah kebingungan. Keterkejutannya tampak sangat jujur. Aruna langsung masuk ke kamarnya tanpa menunggu Ares sampai. Ares yang sedari tadi sengaja memperlambat kakinya, kini saat Aruna sudah tidak ada justru mengejarku yang bahkan diam saja di ambang pintu .Dia menatapku heran tanpa mengatakan apapun hingga masuk ke kamar. Kedua bibirnya dia katupkan rapat, lagi-lagi menahan senyuman yang jika dibiarkan sepertinya akan mencuat lebar.
“Beda, nih, wangi kamar!” komentar Ares saat masuk.
“Apa, sih? Dah ah, gua mau bersih-bersih,” ujarku membalasnya lalu berlalu menuju kamar mandi.
“Bersih-bersih? Abis ngapain lu?” Ares menautkan alis dan tidak mengalihkan matanya dari ku walau aku sedang berjalan meninggalkannya. Aku diam saja, menghiraukan pertanyaannya.
“Diem aja, ni bocah,” dengus Ares.
Suara Ares terdengar bahkan saat aku sudah di kamar mandi. Lalu aku menyalakan keran, membasuh muka untuk menyegarkan diri setelah hampir dua jam menatap layar komputer. Saat aku selesai, aku melihat Ares tengah berbaring di kasur dengan TV menyala. Dia tertawa menonton sebuah acara reality show yang menurutku mengada-ada. Tidak ada lucu-lucunya.
“WOI! Berdiri! Berdiri! Bangun!” Aku berseru cepat sambil menunjuknya.
“AH! APA, SIH?! Jawabnya tidak kalah kaget. Namun dia tetap bangkit, beranjak dari kasur segera dan duduk pada kursi kerja.
“Wangi Aruna ntar ilang karena bau lu! Ah!” Aku mengibas-ngibaskan bekas Ares dengan tanganku, menepuk permukaan kasur. Ares duduk pada kursi kerja dengan wajah bingung, mulutnya ternganga.
“Lebay banget si anying. Kirain apaan,” celetuknya.
Lalu dia diam, memutar kursi kerja, serong menghadap TV yang tergantung, melanjutkan tontonannya yang sempat terhenti. Aku lalu berbaring, melemparkan tubuh pada kasur saat Ares bertanya,“lu udah sama Aruna?”. Nada suaranya tenang, dia tidak menoleh sedikitpun.
Pertanyaannya membuatku ragu untuk segera menjawab, aku berusaha memposisikan diri sebagai Ares yang telah melihat rentetan situasi membingungkan: Aruna yang baru saja keluar kamar, wangi kamarku yang berbeda, aku yang langsung bersih-bersih, lalu pekikku saat Ares berbaring seenaknya di kasur yang bahkan hal itu sebenarnya sudah menjadi kebiasaan lama dirinya. Sedikit banyaknya aku paham apa yang ada pada kepalanya sekarang.
“Udah apa maksud lu?” Aku bertanya kembali, memastikan bahwa aku tidak salah paham.
“Iya, udah atau belum sama Aruna?” Ares malah melemparkan pertanyaan yang sama tanpa menoleh dengan nada bicara yang datar.
“Udah apa? Goblok!” aku melempar bantal ke arahnya, tepat mengenai kepala Ares sehingga berhasil membuatnya menoleh.
“UDAH JADIAN KAH ANDA?????” jawabnya cepat dan dengan wajah kesal. “Lagian lu mikir apaan? Hah? Udah apa emang?” lanjutnya sambil kembali melempar bantal tadi ke kasur.
“Yaa lagian lu nanya gak selesai,” aku sedikit lega, namun aku tahu Ares pasti sengaja, “Udah jadian, awal bulan kemaren,” lanjutku.
“Nah, kan jelas. Berarti gua gak salah paham,” kilah Ares dengan tenang.
“Tentang apa?” mataku menyipit.
“Tentang, yaaa… you know I know, lah….Masa iya gua jabarin?” Ares tersenyum usil. Kedua alisnya dia naik-naikkan secara cepat beberapa kali, berusaha menggali informasi. Mengkonfirmasi apa yang ada di dalam pikirannya.
“Ah! Kocak! Kagak, lah!”
Ares tertawa lepas setelahnya. Aku tidak bisa mengendalikan apa yang dia pikirkan, sehingga aku memutuskan membiarkan sesuka nya saja.
-oOo-
Dua bulan semester ini terlewati, saat ini junior kami dan beberapa teman tengah masa ujian tengah semester. Aku mengunjungi kampus hanya untuk menemui dosen pembimbing membahas tugas karya akhir atau sekedar menemui teman-teman lain. Mereka tampak tidak kalah sibuk, bahkan sudah ada yang sedang bekerja pada perusahaan swasta atau sudah bergabung pada sebuah proyek film. Aku masih begitu-begitu saja, bekerja pada pabrik garmen dan pekerjaan lepas lainnya. Hal ini terkadang mampu membuatku merasa tertinggal dari mereka. Akhir-akhir ini ijazah hanyalah sebuah kertas formalitas. Kenyataannya personal branding jauh lebih meyakinkan perusahaan dalam mengambil keputusan menerima seseorang bergabung bersama. Peran sosial media dan portofolio sangat besar, sehingga sejak mulai bekerja pada semester tiga, aku sudah membuat portofolio dan berusaha memperbaruinya dengan setiap-setiap proyek yang telah aku kerjakan.
Siang tadi, setelah menyelesaikan urusan masing-masing di kampus, aku dan Ares kembali mencoba mencari lokasi dan tempat untuk usaha kami. Sejujurnya lelah, memang lelah, bukan karena perjalanannya, namun karena hasilnya yang tak kunjung ada. Bayangkan saja, sejak siang hingga malam kami berputar-putar mengelilingi Jakarta namun sama sekali tidak ada hasil. Ini sudah nyaris tiga bulan sejak pertama kali. Beberapa kali Ares berpikir bahwa ini sebuah pertanda mungkin kedepannya bisnis ini tidak berjalan sebagaimana yang kami harapkan.
“Baru juga dua bulanan, Res! Lu udah pesimis,” ujarku pada Ares, berusaha mengalihkan pikiran buruknya. Kami tengah duduk pada sebuah bar di dekat kampus, bar dimana terakhir aku minum beer bersama Ares, yang berujung pada menggoda Aruna. Kami istirahat sebentar, Ares menikmati kilkenny dan combo platter sebagai camilan yang didalamnya terdapat tiga kudapan. Sedangkan aku hanya memesan minuman bersoda, khawatir akan mabuk lagi.
“Yaah, bukan pesimis juga. Signal! Ini udah kayak ditahan semesta, nih, biar kita gak lanjut,” Kilahnya.
“Gaya lu semesta semesta! ” aku melihatnya bengis, telingaku asing mendengar Ares mendadak puitis, “Nyerah, nih?” tanyaku.
“Yaah, kalau sampe sebulan lagi belum nemu lokasi, nyerah asli!” Ares menjawab dengan pasti. Wajahnya menampilkan perpaduan antara lelah dan kesal. Aku menghembuskan nafas, mengusap kening dengan kasar. Aku juga tidak bisa memaksanya untuk terus bertahan jika dia memang enggan. Malah jika Ares ingin berhenti, lebih baik saat ini, saat semuanya belum dimulai.
“Yah, terserah lu, deh! Ntar gua coba cari investor,” aku berpikir sejenak, “atau donatur tepatnya.” lanjutku pelan, menghempaskan punggung pada sandaran kursi kayu ini.
“Kasian banget, donatur segala,” pungkas Ares menahan tawa.Aku enggan berkomentar lalu menghabiskan minuman.
“Gam. Lu kan tau ini juga dari kapan kita rencanain. Gua lagi capek aja. Belum beres ngumpulin materi tugas akhir, ini juga lokasi susahnya udah kayak dapetin restu calon mertua, lama.” jelas Ares lagi.
“Dan butuh sabar,” aku menyela cepat.
“Nah, itu yang sekarang jadi masalah gua. Gak sabar,” ujar Ares kini menampakkan kejujuran.
Aku mengangguk, mencoba memahami situasinya. Saat mataku mengelilingi ruangan bernuansa Inggris lama ini, pandanganku tertuju pada seorang mixologist yang tengah meracik minuman. Lalu aku tidak sengaja melihat seorang perempuan yang aku kenal duduk pada meja bar, menunggu minumannya selesai di racik, Gina, junior Aruna dan tetangga lantai dua. Dia tampak berbincang dengan seorang pria. Dari bahasa tubuh di antara keduanya, bisa aku simpulkan bahwa pria itu adalah pacarnya. Gina yang tahu sedang diperhatikan, lantas tersenyum dan melambaikan tangan pelan. Aku mengangguk dan tersenyum untuk membalas keramah-tamahannya.
“Gua cepuin ke Aruna, rasa lu!” ujar Ares
“Apaan, orang dia tetangga kami, noh, lantai dua.”
“Oohh…” Ares mengangguk, “Cakep juga tuh!” Ares berpendapat tentang Gina.
“Ah, lu! Eh, Trisna gimana?” Aku bertanya mengingat Ares tidak bercerita kelanjutannya bagaimana hubungannya dengan Trisna sekarang.
“Trisna? Gimana ya? Bingung juga. Gua ikutin arus aja, dah!” Tiba-tiba Ares tampak resah. Lalu entah karena kilkenny-nya, akhirnya dia dengan tanpa jeda menceritakan bahwa hubungannya dengan Trisna menjadi sedikit rumit. Trisna cemburu mengetahui Ares tengah mendekati perempuan lain, walau hanya main-main. Ares mengatakan bahwa perasaannya pada Trisna tidak untuk bercanda, sudah begitu sejak lama. Sudah hampir tiga tahun dia menyimpannya sendirian, perempuan lain sebagai penghiburan. Namun di saat Trisna justru sudah tahu, situasinya tidak mendukung. Trisna mempunyai seorang pacar yang mapan. Lantas Ares berpikir rasional, bagaimana bisa Trisna meninggalkan masa depan yang baik hanya untuk menghambur pada dirinya yang belum jelas. Bahkan sebelum memutuskan untuk berhenti, Ares dengan tulus dan serius menyampaikan perasaannya pada Trisna. Mendengar itu Trisna justru meneteskan air mata dan mengatakan bahwa dia telah merasa bebas menjadi diri sendiri saat bersama Ares berbeda saat bersama pacarnya, Trisna menekan dirinya dan telah terbiasa kehilangan identitas diri. Trisna kemudian hampa, tapi kehampaan itu justru tidak memunculkan permasalahan apa-apa di antara mereka. Sehingga tidak ada alasan untuk bertengkar atau mencari-cari keributan.
“Entah kenapa, gua gak bisa apa-apa kalau udah urusan Trisna. Satu sisi gua merasa dipermainin, tapi sisi lain gua sadar, kali aja ini cara Tuhan negur gua, melalui karma. Yah, kalaupun kami gak berhasil nanti, berarti memang ini cara penebusan dosa,” papar Ares.
Ares? Ngomong karma dan dosa?
Aku nyaris saja tertawa. Mungkin akan tertawa jika dia bicara seperti itu dalam keadaan sadar sepenuhnya. Kini benar, dia sudah mabuk. Selama hampir empat tahun aku mengenalnya, tidak pernah walau dalam keadaan sadar sekalipun Ares bercerita sepanjang ini, bahkan saat mabuk yang lalu-lalu, dia hanya meracau tidak jelas, paling parah hanya muntah-muntah lalu tidur pulas. Sekarang, jangankan tidur pulas, dia hanya bisa merenung, menatap sisa-sisa makanan di piring, matanya terlihat kosong jauh memandang yang entah apa, entah lampu bar yang kerlap-kerlip atau malah menembus langit-langit. Aku memakluminya, mungkin saja masalah ini betul-betul mengganggu perasaannya. Lantas aku menyimpulkan, bukan hanya masalah karya tugas akhir dan bisnis, tapi masalah ini sepertinya justru memiliki andil paling besar dalam menyebabkan kelelahannya –secara mental.
Malam itu, sedikit larut, aku membiarkan Ares mabuk, beruntung dia tidak muntah. Mungkin dengan begini perasaannya jauh lebih ringan. Tidak seperti mabuk-mabuk sebelumnya dengan segala kekonyolan, kali ini dia sedikit tenang, hanya duduk dan sesekali menunjuk langit-langit, tersenyum lalu diam lagi, tertunduk, begitu terus hingga akhirnya dia benar-benar tidur pulas. Aku memutuskan untuk kembali ke kost, membawa Ares dengan taksi, meninggalkan motor kami di parkiran bar –lagi. Sudah hampir pukul satu dini hari, jalan juga sudah sepi, lagu batak mengalun pelan dari audio mobil. Supir bermarga Hasibuan ini hanya bicara sekali yaitu saat dia mengatakan bahwa terdapat kantong plastik pada belakang jok pengemudi, berjaga jika Ares muntah.
Selama perjalanan, Ares benar-benar tidur, dia bahkan tidak terlihat seperti orang yang baru saja mabuk. Aku berfikir bagaimana bisa seorang Ares terjebak dalam kisah cinta rumit, mengingat sikapnya yang santai dan terkesan tidak peduli bahkan terhadap mantan-mantan kekasih sendiri. Tiba-tiba terlintas satu perbincangan dengan seorang penulis naskah film, menurutnya kisah yang tidak ada matinya dan paling menarik itu adalah kisah yang kontras: Ada si kaya yang naksir si miskin, ada karakter bawang merah dan bawang putih, ada perjuangan kisah cinta berbeda keyakinan. Segala perbedaan kontras membuat kisah semakin menantang. Penonton sangat menyukai konflik, begitu paparnya. Dari sudut pandangku terhadap kisah Ares, sesuatu yang kontras itu justru datang dari dirinya sendiri. Ares yang cuek, digemari banyak perempuan karena fisiknya, memacari banyak perempuan hanya untuk main-main saja, justru luluh oleh seorang Trisna. Bahkan dia rela jika ini hanya sebuah karma. Pertentangan antara sikap yang diperlihatkan selama ini dengan perasaannya yang dia curahkan saat ini benar-benar sebuah pertentangan sehingga memunculkan konflik yang lagi-lagi menyulitkan diri dia sendiri.
“Nyet, lu ada-ada aja, dah!” ucapku pelan merasa iba saat kepala Ares terbentur beberapa kali pada jendela, dan aku tidak berniat menghentikannya.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)